Pembukaan kitab Mazmur 68 cukup mengejutkan: “Allah bangkit, maka terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya” (Mzm. 68:2). Yang mana tindakan Allah yang bangkit tersebut ternyata berkaitan dengan “Allah yang berperang” sebagaimana yang diungkapkan di Mazmur 68:8: “Ya Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umatMu, ketika Engkau melangkah di padang belantara.” Bagi saya cukup mengejutkan sebab premis dasar dari Mazmur 68 mau menyatakan Allah yang bangkit berperang di depan umat-Nya sehingga kemudian menimbulkan efek “terseraklah musuh-musuh-Nya, orang-orang yang membenci Dia melarikan diri dari hadapan-Nya.” Sebab bukankah ungkapan “Allah bangkit berperang” sepanjang sejarah telah digunakan untuk menghalalkan dan membenarkan berbagai perang dengan sebutan yang manis dan rohani, yaitu: “perang Allah,” atau disebut pula dengan “perang suci?” Padahal semua perang dengan atribut “perang Allah” atau “perang suci” tersebut justru dalam praktiknya senantiasa lebih kejam, beringas dan barbar dalam membantai setiap orang yang dianggap sebagai musuh-musuh Allah. Karena itu berbagai peristiwa perang dengan atribut “perang suci” atau “perang Allah” tersebut telah mengakibatkan jutaan anak-anak yang harus kehilangan ayah atau orang-tuanya, para isteri yang harus kehilangan suami sehingga mereka harus menjanda, dan para wanita yang kehilangan kehormatannya karena mereka dijadikan tawanan dan diperkosa secara massal. Dengan pemikiran yang demikian, kesaksian Allah yang bangkit berperang (Mzm. 68:2, 8) sangat kontradiktif dengan isi kesaksian di Mzm. 68:6-7. Sebab Mzm. 68:6-7 berkata: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia.”
Kontradiksi yang saya maksudkan adalah: apabila di Mazmur 68:2,8 menyatakan Allah yang bangkit berperang untuk menghancurkan para musuhNya dengan membawa akibat banyak dari anak-anak kehilangan ayahnya, dan para isteri kehilangan suami serta para wanita kehilangan kehormatannya dan menjadi tawanan; maka mengapa di Mazmur 68:6-7 menyatakan bahwa Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan? Dengan pemahaman tersebut timbul suatu kesan bahwa kesaksian Mazmur 68:6-7 merupakan pada prinsipnya akibat dari tindakan Allah yang berperang menghancurkan para musuhNya sebagaimana telah dinyatakan dalam Mazmur 68:2,8. Atau dengan perkataan lain para anak yatim, para janda dan mereka yang sebatang kara serta menjadi tawanan sebenarnya merupakan akibat dari tindakan Allah memerangi dan membinasakan para musuhNya. Orang-orang yang telah menjadi anak yatim, para janda dan para tawanan yang sebatang kara di Mazmur 68:6-7 sesungguhnya merupakan para korban dari suatu peperangan; sebab “ayah, suami dan keluarga mereka telah terbunuh akibat perang yang dilancarkan oleh Allah.” Analisis ini sepertinya mau menyimpulkan bahwa Allah sebagai subyek yang menjadi penyebab penderitaan dari para korban perang. Sebab melalui perang yang dilancarkan oleh Allah tersebut telah menimbulkan para anak kehilangan para ayah sehingga mereka menjadi yatim, para isteri kehilangan suami-suami sehingga mereka menjadi para janda, dan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya karena mereka menjadi tawanan atau menjadi orang-orang yang sebatang kara. Jadi karena Allah dianggap sebagai penyebab penderitaan dari para korban perang, maka kini Dia harus bertanggungjawab untuk menjadi: “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia.” Apakah ini berarti “moralitas Allah” sebagai penanggungjawab bagi anak yatim, para janda dan para tawanan” dihayati sebagai suatu kompensasi karena tindakan-Nya yang telah menghancurkan dan membinasakan para musuh-Nya? Jika benar maka moralitas Allah tersebut bukan lahir dari hakikat-Nya yang kudus dan penuh kasih. Bukankah Allah yang kudus dan penuh kasih tidak akan pernah membangkitkan perang untuk membinasakan manusia yang dianggap sebagai musuh-Nya? Sebab para penguasa dunia sepanjang sejarah umumnya juga akan melakukan hal yang sama terhadap para keluarga musuh yang menjadi korban perang.
Namun apabila kita membaca dengan teliti, maka yang dimaksudkan dengan “Allah yang bangkit berperang” ternyata bukanlah suatu tindakan dalam bentuk “perang suci” atau “perang Allah” dalam pengertian kita saat ini. Pengertian kita saat ini tentang “perang Allah” atau “perang suci” umumnya telah terbentuk oleh berbagai peristiwa menyedihkan di sekitar kita seperti meletusnya perang atas nama agama, jihad, dan berbagai teror. Sebab bukankah hampir semua orang kini telah terbentuk suatu pandangan atau persepsi negatif bahwa “perang suci” memiliki konotasi dengan berbagai kekejian terhadap kemanusiaan seperti pemotongan leher, pemerkosaan dan pembantaian masaal atas nama Tuhan? Ternyata makna Allah bangkit berperang yang disaksikan dalam Mazmur 68 sama sekali tidak dinyatakan dalam bentuk suatu peperangan fisik antara suatu umat yang menganggap dirinya sebagai “umat Allah” dengan umat lain yang dianggap sebagai “golongan kafir.” Perang yang dilancarkan oleh Allah kepada para musuh yang membenci-Nya dinyatakan melalui hukuman alam. Apabila di Mazmur 68:8 menyatakan: “Ya Allah, ketika Engkau maju berperang di depan umatMu, ketika Engkau melangkah di padang belantara”, maka di ayat 9, pemazmur kemudian menyambungnya dengan pernyataan: “bergoncanglah bumi, bahkan langit mencurahkan hujan di hadapan Allah; Sinai bergoyang di hadapan Allah, Allah Israel.” Jadi Allah yang bangkit berperang dalam pemikiran kitab Mzm. 68 sebenarnya untuk menunjuk hakikat Allah yang berkuasa dengan tidak menggunakan kekuatan senjata dan militer dari para tentara umatNya. Sebab Allah lebih memilih menggunakan kekuatan alam untuk menyatakan kekudusanNya, yaitu dengan peristiwa gempa bumi dan langit yang mencurahkan hujan deras. Tampaknya pemazmur ingat peristiwa pada zaman Nuh yang mana Allah menghukum umat manusia dengan air bah dan juga kehadiran Allah di gunung Sinai dengan guntur dan halilintar. Tetapi pada saat yang sama “hukuman alam” seperti gempa dan hujan yang deras tidak senantiasa berakibat destruktif. Gempa bumi dan hujan yang deras juga dipakai untuk memulihkan keadaan tanah padang gurun yang gersang sehingga mahluk hidup dan orang-orang yang tertindas dapat kembali memperoleh makanan. Itu sebabnya di Mazmur 68:10-11, pemazmur menyatakan: “Hujan yang melimpah Engkau siramkan, ya Allah; Engkau memulihkan tanah milik-Mu yang gersang, sehingga kawanan hewan-Mu menetap di sana; dalam kebaikan-Mu Engkau memenuhi kebutuhan orang yang tertindas, ya Allah.” Ini berarti tindakan Allah yang bangkit berperang melawan para musuh-Nya pada hakikatnya tetap ditempatkan dalam koridor karya penyelamatan dan pemulihan Allah bagi umat-Nya.
Makna teologis ini menjadi sangat penting karena Allah yang berkenan menjadi Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta peduli kepada mereka yang sebatang kara dan orang-orang yang menjadi tahanan bukan muncul dari sosok “ilahi” yang bersifat kejam dan menyukai peperangan. Gambaran Allah bernama “Yahweh” (TUHAN) tidak identik dengan “allah” yang memotivasi dan memberi inspirasi para pelaku teror dalam berbagai “perang suci.” Sebaliknya “peperangan” melalui alam yang diselenggarakan oleh Allah pada hakikatnya untuk menghasilkan karya penyelamatan dan pemulihan bagi setiap umatNya. Allah berkenan menjadi Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda serta tawanan karena Dia tetap konsisten menyelamatkan kehidupan dan masa depan mereka. Walaupun Dia selalu dilukai oleh para musuh dan umatNya, namun Allah tetap mau menanggung segenap penderitaan dan kesakitan kita. Itu sebabnya di Mazmur 68:20-21, pemazmur menyatakan: “Terpujilah Tuhan! Hari demi hari Ia menanggung bagi kita; Allah adalah keselamatan kita. Allah bagi kita adalah Allah yang menyelamatkan, ALLAH, Tuhanku, memberi keluputan dari maut.” Dengan demikian predikat “Allah yang bangkit berperang” tetap terkait erat dengan “Allah yang menyelamatkan” atau “Allah yang meluputkan dari maut.” Kalau toh dalam kasus-kasus tertentu Allah “berperang” untuk membinasakan para musuh-Nya adalah karena Dia berperang untuk menjaga dan melindungi setiap umat yang lemah dan tertindas. Dalam hal ini Allah senantiasa memosisikan diri-Nya sebagai Hakim yang adil sehingga Dia akan membalas setiap perbuatan orang yang jahat, keji dan kejam. Tetapi bagi setiap orang yang tertindas Allah justru berkenan memposisikan diri-Nya sebagai seorang “Bapa” (Father) bagi setiap orang yang “tanpa ayah” (fatherless), pelindung bagi para janda dan orang-orang yang sebatang kara serta yang menjadi tawanan. Jadi dalam konteks ini Allah yang bangkit berperang justru menjadi penyampai kabar baik yang menyelamatkan umat yang tertindas: “Tuhan menyampaikan sabda; orang-orang yang membawa kabar baik itu merupakan tentara yang besar” (Mzm. 68:12).
Karena itu ketika kita menderita dan mengalami penganiayaan, kita harus senantiasa bersedia untuk koreksi diri yaitu apakah penderitaan yang kita alami tersebut karena kita telah berlaku benar, jujur, taat dan setia kepada kehendak Allah serta memberlakukan kasihNya; ataukah penderitaan kita tersebut karena akibat perbuatan dosa kita sendiri. Apabila penderitaan tersebut diakibatkan karena sikap integritas dan kredibilitas iman kita maka Allah akan memposisikan diriNya sebagai seorang Bapa dan pelindung bagi setiap orang yang tertindas. Tetapi apabila penderitaan tersebut disebabkan karena perbuatan dan tingkah-laku kita yang sewenang-wenang, kejam dan jahat kepada sesama maka sesungguhnya Allah akan bangkit berperang melawan diri kita. Itu sebabnya di Surat I Petrus 4:15-16, Firman Tuhan berkata: “Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. Tetapi jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.” Sayangnya saat kita mengalami penderitaan, kita sering mengalami kerancuan sehingga kita tidak tahu secara persis apakah penderitaan yang kita alami karena kita menjadi korban (victim) ataukah kita sebagai penyebab orang lain menjadi korban (evildoer). Sehingga apapun penderitaan yang kita alami karena hal yang baik atau buruk, kita sering menjadikan Tuhan sebagai seorang Bapa dan pelindung. Padahal pemikiran semacam ini mengandung bahaya. Apakah ini berarti Tuhan juga kita jadikan sebagai seorang Bapa dan pelindung untuk segala keburukan dan kejahatan kita, sehingga Dia harus membela dan membenarkan segala tindakan kita yang tidak terpuji? Mazmur 68:6-7 jelas menyatakan bahwa Allah akan bangkit berperang untuk melawan setiap musuh-musuhNya yaitu orang-orang yang menindas setiap orang yang lemah dan tertindas. Sebab sebagai Allah yang kudus, Dia akan memposisikan diriNya sebagai pembela dan seorang Bapa yang melindungi setiap umat yang tidak berdaya, kaum marginal, dan minoritas (“sebatang kara”).
Ketika Tuhan Yesus berdoa di taman Getsemani, Injil Yohanes mengungkapkan kepedulian Tuhan Yesus terhadap para murid dan orang percaya ketika Dia tidak lagi bersama dengan mereka, yaitu: “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.” Dalam doaNya tersebut, Tuhan Yesus mohon kepada Allah agar para murid dan orang-orang yang percaya kepada Dia dipelihara dalam nama Allah. Bagi umat percaya, makna “nama Allah” bukan sekedar untuk menunjuk suatu identitas ilahi yaitu Allah yang bernama “YAHWEH.” Tetapi mereka mengimani bahwa dalam “nama Allah” tersedia perlindungan dan keselamatan. Itu sebabnya di kitab Amsal, Firman Tuhan berkata: “Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia mendapat selamat” (Ams. 18:10). Jadi “nama Tuhan” digambarkan seperti sebuah menara yang umumnya berhubungan pula dengan benteng yang waktu itu tinggi dan kuat, sehingga setiap orang yang masuk dalam benteng dan menara tersebut dia akan selamat dari bahaya kematian. Umat percaya kepada Kristus dan yang hidup benar namun mereka dianiaya dijanjikan oleh Kristus untuk dilindungi dalam nama Allah. Sebab pada hakikatnya Kristus datang ke dalam dunia ini dalam nama Allah BapaNya. Yohanes 5:43 berkata: “Aku datang dalam nama BapaKu ….” Karena itu setiap umat percaya kepada Kristus dan mengalami perlakuan yang sewenang-wenang dari kuasa dunia ini akan mengalami penyertaan dan perlindungan dari Kristus. Jadi doa Tuhan Yesus tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang Kristen yang hidup benar namun mereka berada di posisi yang lemah dan tertindas. Itu sebabnya dalam doaNya tersebut Tuhan Yesus tidak berdoa untuk dunia tetapi untuk setiap orang yang percaya: “Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu” (Yoh. 17:9).
Jika demikian, tugas panggilan kita sebagai umat percaya kepada Kristus sangat jelas yaitu menjadi kawan sekerja Allah. Sebagai kawan sekerja Allah, kita dipanggil menjadi alat di tangan Allah untuk membela setiap orang yang tertindas dan lemah. Dalam praktik hidup, kelompok orang-orang yang tertindas dan lemah ternyata tidak mengenal batasan agama, suku, etnis, kemampuan finansial, pendidikan, adat-istiadat dan budaya serta kategori usia. Artinya orang-orang yang tertindas tersebut dapat menunjuk kepada orang-orang yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda etnis dan kategori usia atau pendidikan di setiap budaya apapun. Karena itu apapun keadaan dan latar-belakang mereka, Allah akan peduli untuk menjadi seorang Bapa dan pelindung bagi mereka yang tertindas. Ini berarti Allah akan bangkit berperang melawan umatNya sendiri manakala mereka menjadi para penindas dan para pelaku kejahatan. Dengan demikian musuh-musuh kita secara objektif dan faktual sangatlah jelas yaitu: sebagai kawan sekerja Allah kita menentang setiap kebencian dalam bentuk apapun, kekerasan dalam bentuk apapun, perlakuan kejam dalam bentuk apapun, diskriminasi dalam bentuk apapun, perlakuan tidak adil dalam bentuk apapun, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk apapun. Kita juga menentang semua “klaim” keagamaan atau wahyu ilahi apapun untuk membenarkan penderitaan dan kesengsaraan orang lain. Itu sebabnya selaku kawan sekerja Allah di dalam Kristus kita menentang semua bentuk ungkapan dan tindakan yang didasari oleh “superioritas” keagamaan, suku, etnis, pendidikan dan posisi sosial untuk menindas kelompok lain atau sesama. Selaku kawan sekerja Allah di dalam Kristus pada hakikatnya kita merindukan dan terus memperjuangkan keadilan, perlindungan hidup, perdamaian, keutuhan ciptaan dan cinta-kasih yang tidak mengenal batas. Bila demikian, bagaimana sikap dan posisi etis saudara? Apakah saudara berada di posisi orang yang tertindas atau sebagai penindas? Apakah kita berperan sebagai kawan sekerja Allah ataukah sebagai musuh-musuh Allah? Namun apabila kita berada di posisi yang tertindas karena integritas iman dan sikap kasih kita, yakinlah bahwa Allah akan melindungi dan menjaga kita karena Dia adalah Bapa bagi setiap orang yang lemah dan menjadi pelindung bagi mereka yang tidak berdaya.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono