Seringkali umat Kristen terjebak dalam perdebatan teologis, seperti: apakah Kristus bangkit dengan tubuh atau Roh-Nya. Hasilnya ada sebagian orang yang memilih di antara dua pemahaman tersebut, yaitu mereka yang percaya kebangkitan Kristus dengan tubuhNya, dan ada juga yang percaya Kristus bangkit dengan Roh-Nya saja. Demikian pula dengan masalah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga. Sebagian besar menyatakan Kristus naik ke sorga dengan tubuh-Nya, dan sebagian lainnya percaya Kristus naik ke sorga dengan Roh-Nya. Tentunya semua pemahaman teologis tersebut memiliki dasar dan alasan yang cukup kuat sehingga masing-masing pihak merasa mampu mempertanggungjawabkan dengan penuh keyakinan dan argumentasi yang dianggap alkitabiah. Tetapi apakah semua perdebatan atau percakapan tersebut mampu membawa umat atau setiap orang yang terlibat untuk mengalami “pencerahan” yang makin memperteguh iman dan kasihnya kepada Kristus?
Perdebatan teologis seharusnya ditempatkan dalam kerangka dan upaya agar kehidupan spiritualitas kita terus-menerus diperkaya oleh kekayaan iman dan kasih; sehingga kita mampu mengalami pembaharuan hidup yang telah dikerjakan secara sempurna oleh Kristus dalam kematian-Nya di atas kayu salib, yang kemudian diperteguh oleh kuasa kebangkitan-Nya serta Kristus yang telah dimuliakan Allah dalam kenaikan-Nya ke sorga. Ini berarti yang dimaksudkan dengan “pencerahan” dengan paradigma baru berkaitan dengan proses pembaruan hidup, sehingga setiap orang percaya mampu melihat realitas kehidupan ini dengan lensa iman dan kasih kepada Allah dan sesama. Karena betapa sering kita hanya dapat membaca atau melihat realitas kehidupan ini dengan mata inderawi atau sekedar fisik belaka sehingga kita sering gagal memberikan tafsiran dan kesimpulan yang lahir dari sikap iman dan kasih. Tafsiran atau sudut pandang atas realitas hidup yang tidak didasari oleh iman dan kasih kepada Kristus yang telah wafat dan dimuliakan oleh Allah ke sorga hanyalah akan melahirkan suatu tafsiran yang sangat dangkal dan simplistik, bahkan menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh Firman Tuhan.
Sebelum Tuhan Yesus pergi meninggalkan para murid-Nya, Kristus terlebih dahulu menyatakan diri bahwa Dia sungguh-sungguh hidup: “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Luk. 24:39). Iman para murid dan gereja perdana tidak didasarkan kepada kisah mitos tentang kebangkitan Kristus. Sebab kepercayaan para murid dan gereja perdana pada hakikatnya didasari oleh pengalaman iman yang faktual. Namun perlu diingat bahwa yang menentukan para murid dan gereja perdana yang akhirnya mereka dapat percaya atau mengimani Kristus yang bangkit bukan terjadi karena kekuatan manusiawi atau daya analitis teologis mereka. Sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Dia terlebih dahulu memberi pengajaran kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”
Iman para murid dibentuk oleh pengajaran dari Kristus yang bangkit; sehingga mereka dimampukan untuk mengerti bahwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah sebagaimana telah dinubuatkan oleh Musa, pemazmur dan para nabi. Seandainya peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh kitab-kitab Musa, kitab Mazmur dan kitab para nabi maka segala peristiwa tersebut sebenarnya tidak memiliki makna apapun sebab tidak menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Itu sebabnya di Luk. 24:45 menyaksikan, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka: “Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (NKJV: “And He opened their understanding, that they might comprehend the Scriptures”). Para murid dan gereja perdana dapat percaya karena Kristus yang bangkit telah memberikan pengajaran dan Dia pula telah membuka pikiran serta pengertian mereka sehingga mereka dapat mengerti makna Firman Tuhan yang telah dinubuatkan oleh Kitab Suci.
Selaku umat percaya, pada saat ini kita juga membutuhkan karya Kristus yang “membuka dan menyingkapkan pikiran” sehingga kita dimampukan untuk mengerti makna kebenaran Firman Tuhan. Sebab manakala pikiran dan pengertian kita tertutup oleh kebenaran kita sendiri, maka segala bentuk karya dan penyataan Allah yang paling spektakuler sekalipun tidak akan mampu membuat kita secara otomatis percaya dan mengalami pembaharuan hidup. Jadi tidak dijamin orang-orang yang telah mengalami peristiwa “mukjizat” atau “supernatural” senantiasa dapat lebih dekat dan mengasihi Kristus serta mengalami pembaharuan hidup. Demikian pula peristiwa penampakan Kristus yang bangkit atau kenaikanNya ke sorga tidak secara otomatis membuat orang-orang pada zaman itu menjadi lebih percaya dan hidup dalam pertobatan. Apabila mereka memiliki paradigma teologis bahwa tubuh Kristus saat Dia menjadi manusia sebagai suatu esensi yang kotor atau berdosa (misalnya karena pengaruh filsafat “neo-platonisme”), maka pastilah mereka tidak akan menerima kemungkinan peristiwa kebangkitan dan kenaikan Kristus dengan tubuh jasmaniah-Nya. Karena itu tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah Kekristenan kemudian berkembang pula golongan “Gnostik” yang intinya menolak kebangkitan dan kenaikan Kristus ke sorga dengan tubuh-Nya.
Pemikiran dari golongan Gnostik tersebut kemudian menjadi berbagai sekte Kristen yang berkembang di Mekkah dan Medinah sekitar abad VI-VII M. Sumber-sumber dari kelompok sekte dengan “injil apokrif” inilah yang tampaknya diambil alih tetapi juga beberapa bagian dari pemikiran “injil apokrif” dikritisi dalam pemikiran teologis Islam. Itu sebabnya muncul berbagai versi mengenai peristiwa kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus. Masing-masing versi tersebut menganggap pandangan teologisnya sebagai yang paling benar. Setiap kelompok dengan versinya memiliki alasan atau argumentasi teologisnya. Jadi tanpa dibukakan dan disingkapkan oleh Kristus sendiri sebagai sumber kebenaran, maka kita akan menjadi orang-orang buta yang menganggap dirinya paling benar dengan apa yang kita yakini. Seperti 5 orang buta yang memegang seekor gajah dan memberikan tafsirannya masing-masing: ada yang menganggap gajah sebagai hewan dengan bentuk kipas karena dia memegang telinganya, ada yang menganggap gajah seperti ular besar karena dia memegang belalainya, ada yang menganggap gajah seperti pohon karena dia memegang kakinya, ada yang menganggap gajah seperti pedang yang melengkung karena dia memegang gadingnya, dan ada yang menganggap gajah seperti kemucing (alat pembersih dari bulu) karena dia memegang ekornya.
Apabila di Injil Lukas menyaksikan tindakan Tuhan Yesus yang “membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45), maka rasul Paulus mendoakan jemaat Tuhan demikian dengan gagasan yang hampir serupa, yaitu: “supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Doa rasul Paulus adalah agar setiap jemaat Tuhan dikaruniakan 3 hal yang utama agar mereka dapat mengenal kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga, yaitu:
– Roh hikmat (pneuma sophias): yang menunjuk kepada karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti rahasia dan kehendak Allah tentang jati-diri Kristus sebab rahasia dan kehendak Allah yang dinyatakan di dalam diri Kristus melampaui kemampuan pikiran dan kehendak manusia. Sebab pikiran dan akal budi manusiawi tidaklah mungkin dapat menjangkau rahasia Kristus yang ilahi dan mulia serta yang ditentukan oleh Allah sebagai penguasa hidup umat manusia.
– Wahyu (apokalupsis): dalam pemahaman iman Kristen, kebenaran ilahi bukan ditentukan sebagai upaya dan prestasi rohani manusia; tetapi kebenaran ilahi ditentukan oleh kesediaan Allah menyingkapan diriNya. Sehingga dengan penyingkapan diri Allah tersebut, manusia diperkenankan untuk mengenal rahasia dan kemuliaan Allah berdasarkan kasih-karuniaNya. Jadi tanpa anugerah berupa wahyu Allah, manusia tidak mungkin dapat mengenal Kristus dan percaya kepadaNya.
– Mata hati yang terang (pephotismenous tous ophthalmous tes kardias): suatu ungkapan dengan tekanan makna kepada sikap hati manusia. Sebab makna “hati” dalam pemikiran teologia umat Israel menentukan seluruh orientasi dan tujuan hidup manusia serta menentukan pula keputusan etis sebagai prinsip-prinsip nilai yang menentukan kualitas hidup. Namun manakala hati tersebut belum memperoleh “penerangan” atau “pencerahan” dari Allah, maka “hati” juga dapat membawa manusia kepada sikap yang memberontak dan melawan kehendak Allah. Itu sebabnya muncul ungkapan “hati yang keras” atau mengeraskan hati seperti yang dilakukan oleh Firaun. Walaupun Firaun telah melihat begitu banyak mukjizat Allah namun dia tetap mengeraskan hati (Kel. 8:19), sehingga Allah kemudian menghukumnya.
Ketiga pola tersebut di atas pada prinsipnya saling melengkapi dan mempengaruhi kehidupan umat percaya. Apabila umat percaya diberi karunia berupa roh hikmat dan wahyu dari Tuhan, maka pastilah mereka akan memiliki mata hati yang terang untuk merespon penyataan Allah dalam Kristus. Sebaliknya apabila spiritualitas mereka makin terbuka karena mereka telah memiliki mata hati yang terang, maka pastilah mereka akan mudah menyerap dan memahami secara tepat roh hikmat dan wahyu dari Tuhan. Jadi pola karunia roh hikmat dan wahyu serta mata hati yang terang merupakan kekayaan rohani yang dianugerahkan Allah dan selalu bersifat dinamis, sehingga setiap orang percaya dimampukan untuk mengalami suatu proses pertumbuhan yang semakin dalam terhadap Kristus. Karena itu apabila spiritualitas kita makin dipenuhi oleh roh hikmat dan wahyu serta mata hati yang terang, maka kita akan dimampukan untuk lebih mempermuliakan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.
Dalam realita kehidupan kita sering gagal untuk mempermuliakan Allah di dalam Kristus, sebab ibadah dan spiritualitas kita sering dipenuhi oleh roh duniawi dan kehendak manusiawi serta mata hati yang suram oleh karena berbagai permasalahan atau tekanan kehidupan. Akibatnya kita mudah bersikap pesimistis dengan hati yang suram apabila kita menghadapi berbagai hal yang mengecewakan atau hal-hal yang menyedihkan hati kita. Dalam sikap demikian kita sering jatuh dalam sikap putus-asa dan tidak lagi memiliki pengharapan apapun terhadap pertolongan Tuhan. Itu sebabnya di Efesus 1:18 rasul Paulus berkata: “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Dalam konteks ini secara sengaja rasul Paulus mengkaitkan spiritualitas “mata hati yang terang” dengan sikap pengharapan. Sebab tanpa karunia Tuhan berupa mata hati yang terang sebagai hasil dari roh hikmat dan wahyu, maka pastilah kita akan dikuasai oleh perasaan putus-asa atau tanpa pengharapan. Bandingkan pula pengertian “mata” sebagai cermin “hati” atau spiritulitas dan kepribadian kita, yaitu: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:22-23).
Namun makna dari “melihat dengan mata hati yang terang” saat Kristus dipermuliakan dan naik ke sorga, bukanlah sekedar perasaan kagum dan terpesona. Ketika kita mengagumi atau terpesona dengan sesuatu hal umumnya wajah kita juga berseri-seri atau mata kita berbinar-binar. Pada saat para murid menyaksikan Tuhan Yesus yang terangkat ke sorga dan awan kemudian menutupiNya, mereka terus menatap ke langit. Mereka terpesona menyaksikan Kristus yang dimuliakan oleh Allah dengan mengangkat Dia ke sorga. Sikap para murid Tuhan Yesus tersebut sering menjadi cermin bagi banyak orang Kristen yang hanya terkagum-kagum oleh pengalaman “adikodrati” dan hal-hal yang menakjubkan tetapi mereka melalaikan tugas atau tanggungjawabnya di dunia ini. Mata mereka mungkin berbinar-binar saat mereka melihat berbagai hal yang langka dan menakjubkan tentang kehidupan “sorgawi”; tetapi mata hati mereka segera menjadi redup atau suram saat mereka harus berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan pahit. Kisah Para Rasul 1:10-11 berkata: “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga”. Para malaikat menegur sikap para murid Tuhan Yesus agar mata mereka tidak terus-menerus tertuju untuk menatap langit; tetapi mereka diingatkan untuk kembali ke dunia realitas mereka dan melakukan tugas panggilan sambil menantikan kedatangan Kristus kembali. Jadi makna “mempermuliakan Kristus dengan mata hati yang terang” bukanlah dengan cara melarikan diri (escaping) ke realitas “sorgawi” atau “dunia rohani”; tetapi justru kita harus berani menghadapi realiatas faktual namun dengan perspektif yang baru yaitu pembaharuan hidup oleh kuasa ROH KUDUS. Itu sebabnya sebelum Kristus naik ke sorga, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau ROH KUDUS turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
Jika para murid Tuhan Yesus dan gereja perdana dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dengan kuasa ROH KUDUS, maka demikian pula kehidupan kita selaku umat percaya pada masa kini. Pembaharuan hidup sebagai buah dari ROH KUDUS haruslah kita wujudkan dalam suatu kesaksian yang nyata kepada orang-orang di sekitar kita. Dalam hal ini kita tidak mempermuliakan Allah dengan cara memberi “kesaksian-kesaksian rohaniah” yang serba menakjubkan atau betapa intimnya kita dengan Kristus sehingga kita dapat berbicara dan berjumpa secara eksklusif dengan Dia. Jenis kesaksian yang demikian patut diragukan kebenarannya, karena “ujung-ujungnya” kesaksian tersebut bertujuan untuk mempermuliakan diri sendiri dan mencari popularitas dengan simbol-simbol pengalaman religius. Sebab dengan kesaksian yang menakjubkan itu, sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa betapa penting dan istimewanya diri mereka sehingga mereka diperkenankan oleh Tuhan untuk melihat realitas “sorga” dan dapat mendengar suara Tuhan secara langsung. Tidaklah demikian sikap kita selaku jemaat Tuhan yang dewasa dan bertanggungjawab. Sebab makna dari tindakan mempermuliakan Allah perlu kita wujudkan dalam pembaharuan hidup, yaitu dengan cara menghadirkan kemuliaan Kristus melalui kejujuran yaitu integritas diri, kerajinan dalam bekerja, kesopanan dalam bertingkah laku, kepedulian dalam kasih kepada mereka yang menderita serta pengampunan kita kepada mereka yang bersalah. Manakala kita mempermuliakan Allah dan Kristus dengan pembaharuan hidup, maka pastilah kita telah mempermuliakan Dia dengan mata hati yang terang. Dengan spiritualitas yang demikian, kita akan terus diperkaya oleh Tuhan dengan roh hikmat dan wahyuNya sehingga mata hati kita akan makin dipertajam dan jeli untuk membedakan kehendak Allah dengan kehendak manusiawi; antara kepentingan Kristus dengan kepentingan diri sendiri sendiri; membedakan kebenaran dengan kebatilan. Jika demikian, bagaimanakah pola kita untuk mempermuliakan Allah dan Kristus dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kita lebih cenderung menatap “ke atas” (dunia “rohaniah”) dan tidak peduli dengan tanggungjawab yang riel? Apakah kesaksian kita didasari oleh pembaharuan hidup atau sekedar kita fasih untuk beradu argumentasi yang sifatnya kognitif? Jadi apakah kehidupan kita saat ini telah mencerminkan kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono