Spiritualitas doa dalam kehidupan Yesus secara singkat dinyatakan oleh Injil Lukas, yaitu: “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah” (Luk. 6:12). Doa dihayati dan dipraktikkan Yesus secara intensif pada waktu malam hari. Namun sebagai bagian dari umat Israel, Yesus memiliki tradisi berdoa tujuh kali dalam sehari. Dalam Kitab Mazmur 119:164 menyatakan: “Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil.” Bagi umat Israel mereka memiliki tradisi dan praktik berdoa sebanyak tujuh kali dalam sehari. Menurut P.T. O’Brien dalam Prayer in Luke-Acts, perincian Doa Tujuh Kali dalam sehari meliputi:
- Shalat al-Masa: Doa senja (setelah pukul 18.00)
- Shalat al-Naum: Doa malam (waktu mau tidur)
- Shalat Nishfu al-Lail: Doa tengah malam (pukul 24.00)
- Shalat Subuh: Doa menjelang pagi (pukul 05.00-06.00)
- Shalat Sa’at ats-Tsalitsah: Doa jam ketiga (pukul 09.00)
- Shalat Sa’at as-Sadisah: Doa jam keenam (pukul 12.00)
- Shalat Sa’at At-Tasi’ah:Doa jam kesembilan (pukul 15.00)
Tentunya doa tujuh kali dalam sehari tidak berarti umat Israel pergi ke Sinagoge atau umat gereja Orthodoks Syria dan Koptik pergi ke gereja. Tetapi mereka menyempatkan waktu secara khusus walau singkat untuk berdoa sesuai dengan jam doa yang sudah menjadi tradisi iman mereka. Mereka berdoa di tempat di mana mereka berada, dan karena itu semua aktivitas dan pekerjaan tidak terbengkalai. Dalam konteks ini terjadi keseimbangan antara waktu berdoa dan bekerja (ora et labora). Waktu jam doa yang teratur menjadi pengingat mereka untuk memuliakan Allah Sang Khalik dan Pemelihara serta Penebus mereka. Karena itu jumlah waktu tujuh kali dalam sehari bukan dihayati sebagai rutinitas tetapi sebagai kekuatan rohani yang menggerakan kehidupan iman dan spiritualitas mereka.
Tradisi Doa Tujuh Kali dalam sehari tersebut kemudian diadopsi oleh gereja Orthodoks Syria dan gereja-gereja Koptik dalam tradisi dan kehidupan spiritualitasnya. Tentunya makna tujuh kali dalam doa harian dalam konteks dan tradisi Yudaisme tersebut diberi makna secara teologis dalam perspektif iman Kristen. Misalnya makna doa senja setelah pukul 18.00 dikaitkan dengan peristiwa peristiwa penurunan tubuh Kristus dari atas kayu salib untuk dikafani, diberi wewangian dan dimasukkan ke dalam kubur. Doa Subuh sekitar pukul 05.00-06.00 diberi makna pengucapan syukur kepada Allah yang berkenan mengaruniakan hari yang baru khususnya mengingat karya penyelamatan Allah dengan kebangkitan Kristus. Doa pada jam ketiga sekitar pukul 09.00 dikaitkan dengan penderitaan Kristus saat diadili di depan Pontius Pilatus. Doa pada jam keenam sekitar pukul 12.00 siang dikaitkan dengan peristiwa penyaliban Yesus. Doa pukul jam kesembilan sekitar pukul 15.00 dikaitkan dengan kematian Kristus yang menyerahkan nyawa-Nya untuk menjadi tebusan bagi umat manusia.
Kesaksian Injil Lukas yang menyatakan Yesus berdoa semalam-malaman merupakan ritme doa yang melampaui tradisi Doa Tujuh Kali dalam sehari. Sebab waktu tidur dipakai oleh Yesus sebagai waktu berdoa. Tepatnya tidak ada batasan kapan Yesus berdoa dan kapan Ia tidur. Bagi Yesus tidur adalah waktu berelasi secara intim dengan Allah. Demikian pula saat Ia melayani dan melakukan berbagai macam karya keselamatan adalah waktu berelasi secara intim dengan Bapa-Nya. Bagi Yesus, doa adalah bekerja (ora est labora). Kehidupan Yesus sepenuhnya merupakan kehidupan doa, yaitu relasi intim yang tiada taranya dengan Allah. Berbeda dengan makna ora et labora (berdoa dan bekerja) yang menempatkan berdoa dan bekerja sebagai dua bidang yang terpisah. Pemahamannya adalah saat berdoa adalah berdoa, dan saat bekerja adalah bekerja. Sebaliknya dalam ora est labora menghayati doa dan bekerja sebagai dua bidang yang saling meresapi dan menjiwai dalam satu kesatuan yang utuh. Berdoa adalah bekerja, dan bekerja adalah doa. Karena itu setiap pekerjaan adalah kudus, sehingga harus dilakukan dengan sikap iman dan tanggungjawab etis.
Injil Lukas juga mempersaksikan Yesus berdoa untuk peristiwa-peristiwa yang bersifat khusus. Dalam tulisan ini hanya mengulas Yesus berdoa saat Ia memilih para murid-Nya dan saat Yesus akan disalibkan. Walaupun harus diingat bahwa Injil Lukas juga mengisahkan Yesus berdoa secara khusus, misalnya: sebelum pengakuan Petrus bahwa Ia Mesias (Luk. 9:18), saat transfigurasi-Nya (Luk. 9:28-29), mendoakan Petrus (Luk. 22:32), pergumulan di taman Getsemani (Luk. 22:41), berdoa untuk orang-orang yang menyalibkan Dia (Luk. 23:34), dan menjelang Ia wafat (Luk. 23:46). Kedua contoh kisah Yesus berdoa yaitu saat Ia memilih kedua belas murid-Nya (Luk. 6:12) dan Yesus berdoa saat Ia berada di taman Getsemani (Luk. 22:41-44) merupakan doa yang tidak dikabulkan oleh Allah. Bukankah janggal bagi kita bahwa ternyata terdapat dua doa Yesus yang tidak dikabulkan oleh Allah?
Di Lukas 6:12-13 mempersaksikan: “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul.” Dalam kesaksian kitab Injil-injil kita mengetahui bahwa kedua belas murid Yesus tersebut ternyata orang-orang yang “bermasalah.” Simon Petrus yang menyangkal Yesus sampai tiga kali (Luk. 22:33-34), Simon Petrus juga yang menghalangi Yesus menuju salib sehingga Yesus menegur dia dengan sebutan “Iblis” (Mat. 16:23). Yakobus dan Yohanes (anak-anak Zebedeus) yang memiliki ambisi untuk memiliki tempat yang istimewa dalam Kerajaan Allah (Mat. 20:21-24), Tomas yang ragu dan tidak percaya akan kebangkitan Kristus sebelum membuktikan secara fisik (Yoh. 20:24-25), dan Yudas Iskariot yang mengkhianati dan menjual Yesus dengan harga 30 keping perak (Mat. 26:14-16). Apakah Yesus tidak tahu bahwa para murid yang dipilih-Nya nanti akan menimbulkan problem dalam kehidupan dan pelayanan-Nya? Apakah kedua belas murid tersebut merupakan jawaban doa yang telah dipanjatkan oleh Yesus semalam-malaman kepada Allah Bapa-Nya?
Dalam buku yang berjudul The Gospel According to Judas, Ray Anderson merenungkan pemilihan Yesus atas Yudas Iskariot sebagai salah satu dari kedua belas murid. Apakah Yesus tahu bahwa Ia akan dikhianati oleh Yudas Iskariot? Jikalau Yesus tahu, mengapa Ia memilih Yudas Iskariot? Bukankah lebih baik jikalau Yesus memilih orang yang lebih baik karakternya daripada Yudas Iskariot? Ataukah Yesus tidak tahu bahwa Ia akan dikhianati oleh Yudas Iskariot? Kalau Yesus tidak tahu berarti Ia tidak memiliki kuasa ilahi yang mahatahu akan apa yang terjadi khususnya yang akan menimpa diri-Nya.
Beberapa kemungkinan dalam mengartikan makna doa Yesus pada saat Ia akan memilih kedua belas murid-Nya, yaitu:
- Doa permohonan Yesus agar Allah berkenan menyediakan orang-orang yang berkualitas tinggi, tanpa cela, dan mampu hidup kudus. Jikalau makna doa Yesus yang semalam-malaman menjelang Ia memilih para murid-Nya diartikan sebagai doa permohonan dengan kriteria tersebut, maka jawabannya adalah Allah tidak mengabulkan, sebab kedua belas murid Yesus tersebut gagal. Dalam konteks ini doa Yesus tidak dikabulkan Allah.
- Sikap ketidaktahuan Yesus sehingga Ia salah memilih orang-orang yang tepat.
- Yesus tahu dengan sempurna apa yang akan menimpa Dia namun Ia menempatkan kedua belas orang murid-Nya yang memiliki berbagai kelemahan tersebut ke dalam anugerah dan kedaulatan kasih Allah.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, saya lebih cenderung memilih alternatif ketiga yaitu Yesus tahu dengan sempurna namun Ia menempatkan kedua belas orang murid-Nya yang memiliki berbagai kelemahan tersebut ke dalam anugerah dan kedaulatan kasih Allah. Kedua belas murid yang akan dipilih adalah orang-orang yang telah dipilih Allah di dalam kedaulatan kasih dan anugerah-Nya. Sebab Allah tidak memilih umat berdasarkan karakter dan perbuatan baik manusia. Di hadapan Allah tidak ada seorang pun yang baik dan sempurna. Yesaya 64:6 menyatakan: “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin.” Demikian pula pernyataan Roma 3:9-10 menegaskan ketidaklayakan dan keberdosaan kita, yaitu: “Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”
Kesaksian kitab Injil-injil menyatakan dengan jelas bahwa Yesus tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan-Nya, yaitu Ia harus menanggung banyak penderitaan, ditolak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga (Luk. 9:22). Ray Anderson membuat suatu kesimpulan tentang doa Yesus menjelang Ia memilih kedua belas murid-Nya, yaitu: “Doa bukanlah cara menghilangkan unsur-unsur yang tidak diketahui dan tak terduga dalam kehidupan ini, melainkan suatu cara bagaimana yang tidak diketahui dan tak terduga tersebut ke dalam anugerah Allah yang terjadi dalam hidup kita.” Dalam konteks ini Ray Anderson tidak mau membuat spekulasi tentang kemungkinan Yesus tahu atau tidak tahu tentang apa yang akan dilakukan oleh para murid-Nya, namun tekanan utamanya pada sikap Yesus yang menempatkan segala sesuatu di bawah anugerah dan kedaulatan kasih Allah.
Bercermin dengan spiritualitas doa Yesus adalah apakah doa-doa yang kita panjatkan merupakan doa yang rendah-hati sehingga kita bersedia menempatkan berbagai hal dan orang-orang di sekitar kita yang kurang sempurna, penuh kekurangan, dan keterbatasan ke dalam anugerah dan kedaulatan Allah? Apakah dalam doa-doa kita lebih banyak menuntut Allah untuk menempatkan kehadiran orang-orang yang “sempurna” menurut persepsi dan harapan kita? Ataukah doa mengajar kita kekayaan hikmat dan kasih Allah untuk belajar menerima kehadiran orang-orang yang masing-masing memiliki berbagai kekurangan, sehingga kita belajar mempraktikkan kasih Kristus. Spiritualitas doa yang diajarkan oleh Yesus adalah esensi sikap iman yang tidak dimaksudkan sebagai permohonan kepada Allah untuk menyingkirkan dan meniadakan orang-orang yang menyebalkan, tetapi bagaimana mengubah cara pandang kita untuk mengasihi setiap orang dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Doa yang berkenan di hadapan Allah adalah memampukan spiritualitas kita semakin bertumbuh mengasihi dan menerima orang-orang di sekitar kita yang kurang sempurna sebagaimana kita juga tidak sempurna sehingga kita dipenuhi oleh anugerah pengampunan dan kasih Allah yang semakin melimpah.
Timbul pertanyaan yang lain adalah: “Jikalau demikian mengapa Yesus di taman Getsemani memanjatkan doa permohonan kepada Allah agar cawan penderitaan dan kematian dapat menyingkir dalam kehidupan-Nya (Luk. 22:41-42)?”
Isi doa Yesus di taman Getsemani adalah: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendakMu-lah yang terjadi” (Luk. 22:42). Doa Yesus tersebut bukan untuk menyingkirkan dan meniadakan para musuh yang akan menganiaya diri-Nya, tetapi permohonan kepada Allah agar Dia tidak mengalami penderitaan dan kematian di atas kayu salib. Namun permohonan Yesus tersebut ditempatkan dalam kedaulatan kasih dan anugerah Allah. Karena itu pernyataan isi doa Yesus yang mendasar di taman Getsemani adalah bukan tuntutan, tetapi penyerahan diri yang total. Dengan spiritualitas penyerahan diri yang total kepada Allah, Yesus menempatkan kehendak Allah di atas seluruh harapan dan permohonan-Nya. Yesus menempatkan rencana dan kehendak Allah melalui apa yang akan terjadi atas diri-Nya yaitu penderitaan dan kematian di atas kayu salib dalam anugerah dan kedaulatan kasih Allah.
Saat Yesus berdoa disebutkan: “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk. 22:43). Namun setelah Yesus berdoa, Ia sama sekali tidak gentar. Hasil doa Yesus di taman Getsemani adalah kekuatan rohani yang membuat Ia tegar menghadapi dakwaan, penghinaan, caci-maki, penderitaan fisik dan kematian di atas kayu salib. Sikap berbeda dengan para murid Yesus yang tidak berdoa dan memilih untuk tidur nyenyak di taman Getsemani. Kedua belas murid Yesus tidak menempatkan pergumulan, kegelisahan dan ketakutan mereka dalam sikap doa. Secara fisik mereka merasa lebih segar karena tidur nyenyak, tetapi pada saat penderitaan dan para musuh datang, para murid Yesus lari terbirit-birit. Injil Markus mempersaksikan sikap para murid Yesus saat Yesus ditangkap, yaitu: “Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri” (Mark. 14:50).
Dalam konteks tertentu Allah memakai doa untuk mengubah situasi yang buruk menjadi media keselamatan, para musuh diubah menjadi sahabat, orang-orang yang jahat diubah menjadi para pribadi yang bertobat, dan orang yang sakit tanpa harapan dapat disembuhkan. Namun dalam konteks tertentu Allah tidak selalu memakai doa-doa yang dipanjatkan untuk mengubah situasi yang buruk, tetapi melalui doa kita dimampukan mengubah rohani kita untuk menyikapi dengan bijaksana dan tabah. Doa adalah ekspresi iman yang berserah penuh kepada anugerah dan kedaulatan kasih Allah yang memampukan kita menerima apapun yang terjadi, sehingga dalam situasi apapun yang terjadi kita senantiasa mempermuliakan Allah dan mengasihi sesama, bahkan para musuh.
Kita perlu memerhatikan dan belajar bagaimana ritme doa umat Israel yang teratur berdoa tujuh kali dalam sehari, tetapi yang lebih utama lagi adalah apakah kita bersedia menjadikan setiap tarikan nafas dalam aktivitas apapun dan pekerjaan sebagai sikap doa? Doa dan kegiatan atau pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari bukan dua bidang yang terpisah namun saling terkait, meresapi dan menjiwai sehingga menjadi kehidupan yang mempermuliakan Allah dan manifestasi kasih kepada sesama di sekitar kita.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono