Pengharapan Iman yang Transformatif
Tiga pilar spiritualitas iman Kristen dinyatakan oleh Rasul Paulus, yaitu: iman, pengharapan dan kasih (1Kor. 13:13). Di antara ketiga pilar tersebut yang sering dibahas adalah iman dan kasih, namun jarang umat memberi perhatian akan dimensi pengharapan. Pembahasan tentang pengharapan umumnya dilakukan secara khusus bila kita berbicara tentang penghiburan saat mengalami kegagalan, kedukaan, dan akhir zaman (eskatologi). Karena itu dimensi harapan kurang dibahas sebab dianggap sebagai sesuatu yang bersifat akan datang. Dalam bukunya yang berjudul Theology of Hope: On the Ground and Implications of a Christian, Jurgen Molmann memberi perspektif baru, bahwa pengharapan justru adalah esensial dalam kehidupan iman. Seluruh kehidupan iman umat ditentukan oleh sejauh mana mereka hidup dalam pengharapan kepada Allah yang berada di depan.
Sejauh ini Allah sering dipahami sebagai pribadi ilahi berada di tempat mahatinggi (transenden), dan di kedalaman (in depth). Tentunya Allah berada di Mahatinggi dan kedalaman hidup, tetapi juga Ia berada di depan. Menurut Moltmann, Yahweh adalah Allah yang berada di depan yang mendahului kita. Yahweh adalah Allah yang eskatologis. Karena Allah berada di depan kita, maka Ia menarik kita menuju masa depan yang disediakan-Nya. Bukti Yahweh adalah Allah yang masa depan dan eskatologis terlihat dari preambule Sepuluh Firman: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Yahweh membawa umat Israel keluar dari perbudakan di Mesir menuju tempat yang Ia sediakan. Untuk itu Yahweh berjalan mendahului di depan dan menarik umat Israel ke arah Diri-Nya. Dengan demikian Yahweh adalah Allah masa depan yang memberi harapan dengan karya-Nya yang membebaskan dan menyelamatkan. Iman yang menaruh harapan kepada Allah bersifat revolusioner dan transformatif. Moltmann berkata: “Christianity is eschatology, is hope, forward looking and forward moving, and therefore also revolutionizing and transforming present.”
Yahweh yang berjalan mendahului dan menarik umat Israel ke arah Diri-Nya adalah Allah yang berkarya dalam sejarah umat-Nya. Untuk itu Allah menyatakan janji-Nya berupa nubuat akan kedatangan Kristus. Janji-janji Allah yang disampaikan sebagai nubuat dari para nabi tentang Mesias bersifat eskatologis. Nubuat-nubuat para nabi tersebut akhirnya terwujud dalam kehidupan dan karya Kristus (bdk. Ibr. 1:1). Karena itu Kristus adalah manifestasi Allah yang eskatologis dalam sejarah umat manusia. Melalui Kristus, eskatologi (akhir zaman) telah masuk menjadi bagian yang utuh dengan realitas masa kini. Karena itu dalam iman Kristen, akhir zaman bukan hanya apa yang akan datang tetapi juga telah terjadi di dalam kehidupan dan karya Kristus. Akhir zaman telah dimulai di dalam Kristus dan akan berakhir di dalam kedatangan Kristus yang kedua.
Saat Kristus datang Ia selalu memberitakan tentang Kerajaan Sorga dalam berbagai cara melalui pengajaran maupun tindakan membuat mukjizat. Di Markus 1:15 pada awal pemberitaan-Nya, Yesus berkata: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” Akhir zaman telah tiba dan kini Kerajaan Allah yang sifatnya eskatologis itu sudah hadir di dalam diri-Nya. Di dalam Kristus, Kerajaan Allah yang dijanjikan di akhir zaman telah berada dalam realitas kehidupan masa kini. Karena itu tidak mengherankan bilamana realitas Kerajaan Allah yang eskatologis itu hadir secara nyata dalam tindakan dan karya mukjizat Yesus. Di Lukas 11:20, Yesus berkata: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” Melalui dan di dalam Kristus Kerajaan Allah telah hadir, karena itu umat manusia mendapat jaminan keselamatan di akhir zaman yang telah dialami pada masa kini.
Allah yang eskatologis di dalam Kristus telah hadir dalam sejarah manusia, karena itu sejarah manusia mendapat kepastian untuk diperbarui menjadi ciptaan baru. Sebab realitas ciptaan baru tidak mungkin berasal dari yang “tidak ada” (kosong), tetapi berpijak pada realitas kehidupan dan karya Kristus. Karena itu umat percaya berada di antara dua kedatangan Kristus, yaitu kedatangan-Nya yang pertama dan kedatangan-Nya yang kedua. Di antara dua kedatangan Kristus, umat percaya dipanggil untuk berperan dan berproses dalam pengharapan, yaitu pengharapan iman kepada Kristus. Pusat pengharapan iman kita adalah salib dan kebangkitan Kristus.
Menurut Moltmann, sikap percaya kepada kebangkitan Kristus berarti mengakui tindakan Allah di masa depan untuk membarui dan mengubah dunia. Moltmann berkata: “Hence to recognize the resurrection of Christ means to recognize in this event the future of God for the world and the future which man finds in this God and his acts.” Dengan demikian salib dan kebangkitan Kristus adalah intisari iman Kristen yang mendasari seluruh pengharapan umat. Iman Kristen hidup dari kuasa kebangkitan Kristus dan mendambakan masa depan yang telah disediakan Allah melalui penderitaan dan wafat-Nya. Masa depan dalam realitas ciptaan yang baru akan terpenuhi dalam kedatangan Kristus yang kedua, sehingga kelak terjadilah langit dan bumi yang baru (Why. 21:1).
Salib Kristus merupakan simbol penghakiman Allah yang eskatologis, namun pada sisi lain salib Kristus juga menegaskan bahwa penghakiman Allah sudah terjadi sehingga hutang dosa umat manusia telah dibayar lunas. Dengan demikian kebangkitan Kristus merupakan jaminan Allah kepada umat untuk memeroleh anugerah sebagai ciptaan baru. Di dalam Kristus yang bangkit, kuasa maut telah dikalahkan sehingga umat dapat hidup dalam pengharapan yang pasti. Di Surat 1 Korintus 15:27, Rasul Paulus berkata: “Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kaki-Nya. Tetapi kalau dikatakan, bahwa segala sesuatu telah ditaklukkan, maka teranglah, bahwa Ia sendiri yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus itu tidak termasuk di dalamnya.”
Melalui salib dan kebangkitan Kristus, umat Kristen membangun pengharapan yang kokoh. Surat Ibrani 6:19-20 berkata: “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya.” Jika pengharapan yang didasarkan pada salib dan kebangkitan Kristus merupakan sauh yang kuat, maka tidaklah tepat menjadikan pengharapan sekadar pelengkap. Pengharapan dalam iman kepada Kristus bukan saja tertuju kepada aspek eskatologis di depan, sebaliknya meresapi dan mentransformasi kehidupan di masa kini.
Melalui pengharapan iman, umat percaya dipanggil untuk melakukan transformasi dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Moltmann, panggilan untuk melakukan transformasi terdapat dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu gereja perlu memerhatikan tiga dimensi, yaitu: a). Gereja yang dihadapkan dengan Allah, b). Manusia, dan c). Masa depan. Makna gereja yang dihadapkan dengan Allah adalah agar menjadi gereja yang sesuai dengan Allah maksudkan dan rencanakan. Makna gereja yang dihadapkan dengan manusia adalah agar gereja berani memikirkan secara radikal keberadaan dirinya untuk menjadi gereja yang mampu menjawab berbagai persoalan dan pergumulan manusia yang aktual. Makna gereja yang dihadapkan dengan masa depan adalah agar gereja yang terus diperbarui oleh Roh Kudus, sehingga mewujudkan masa depan yang telah dikuduskan. Bilamana gereja memerhatikan dan melaksanakan ketiga dimensi tersebut, maka akan menjadi “gereja yang benar.”
Makna menjadi gereja yang benar adalah gereja yang berada di tempat Kristus berada. Dalam hal ini Kristus berada dan hadir dalam karya apostolat (pemberitaan Injil), saudara-saudara yang lemah dan tertindas, dan para parousia (kedatangan-Nya). Pengharapan iman setiap umat percaya dinyatakan dalam tugas pemberitaan Injil, kasih kepada sesama, dan bersikap proaktif menyambut kedatangan-Nya yang mulia. Dengan demikian makna pengharapan bukan sekadar penantian yang pasif, namun suatu aksi kasih yang proaktif untuk mewujudkan suatu harapan yang telah dilakukan oleh Allah di dalam karya penebusan Kristus.
Di Surat 1 Korintus 13:13, Rasul Paulus berkata: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Kasih adalah mahkota iman dan pengharapan sebab Allah adalah Kasih, sehingga kasih merupakan manifestasi konkret keluhuran dan martabat manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Walaupun demikian, kasih hanya dapat terwujud apabila tersedia pengharapan. Kita tidak dapat membayangkan kasih dapat menjadi suatu realitas bilamana kita sedang tanpa pengharapan. Demikian pula sikap iman hanya akan terjadi apabila tersedia pengharapan. Sebab dapatkah kita beriman kepada Allah ketika kita sedang kehilangan harapan? Pengharapan adalah anugerah ilahi yang menjiwai, memberi daya hidup, semangat, dan menyediakan ruang bagi realitas iman kepada Allah serta kasih kepada Allah dan sesama. Karena itu pengharapan adalah daya hidup yang dianugerahkan Allah sehingga memberi ruang bagi iman dan kasih mengejawantah dalam realitas kehidupan bersama sesama. Tanpa pengharapan hanya akan terjadi kematian fisik dan rohaniah baik secara personal maupun komunal.
Dengan perspektif pengharapan inilah kita semakin menyadari bahwa setiap firman Allah yang diwahyukan senantiasa mengandung janji dan harapan. Abraham dan Sara mampu bertahan karena percaya akan janji Allah untuk menyertai dan mengaruniakan keturunan walau mereka sudah lanjut usia. Umat Israel mampu bertahan dalam perjalanan di padang gurun dari Mesir ke tanah Kanaan selama 40 tahun karena mereka memiliki pengharapan akan janji Allah. Umat Israel juga mampu bertahan dalam pembuangan di Babel selama 70 tahun karena percaya akan Allah yang akan mengaruniakan hari depan yang penuh harapan (bdk. Yer. 29:11). Pengharapan yang menggerakkan iman dan kasih kepada Allah serta sesama. Karena itu hidup yang tanpa pengharapan berarti hidup yang terpisah dari keselamatan dan damai-sejahtera Allah.
Apabila pengharapan merupakan sumber kekuatan spiritualitas yang menjadi sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, maka tugas setiap umat percaya adalah menghadirkan pengharapan dalam ruang-ruang kehidupan. Pengharapan yang transformatif dihadirkan dalam tiga bentuk, yaitu: pengampunan, memberi kesempatan untuk bertumbuh, dan sikap inklusif terhadap keberagaman.
Pengampunan adalah spiritualitas yang menyediakan ruang yang luas untuk memahami dan menerima keberadaan sesama yang sedang bersalah, sehingga ia mengalami anugerah pengampunan Allah yang memulihkan. Karena itu tidak terbuka bagi kita ruang untuk menyimpan kebencian dan dendam, sehingga kita dikuasai oleh sukacita yang membebaskan.
Memberi kesempatan untuk bertumbuh adalah spiritualitas yang memberi ruang bagi orang lain untuk mengalami pertumbuhan diri yang optimal sehingga ia mampu mengeksplorasi seluruh talenta dan penemuan jati-dirinya. Karena itu terbuka ruang untuk kaderisasi dan regenerasi yang baik. Setiap orang bertumbuh dengan perasaan aman dan dihargai sebagai seorang individu.
Sikap inklusif terhadap keberagaman adalah spiritualitas yang memberi ruang bagi orang lain yang berbeda suku, budaya, adat-istiadat, keyakinan dan agama untuk hadir secara utuh sehingga tidak terjadi sikap yang saling memojokkan, menghakimi, dan diskriminatif. Karena itu harapan untuk hidup bersama dalam kepelbagaian menjadi suatu keniscayaan.
Ketiga sikap rohaniah tersebut merupakan manifestasi dari teologi pengharapan yang bersumber pada karya penebusan Kristus yang menghadirkan realitas Kerajaan Allah yang kekal dalam realitas kehidupan di masa kini. Teologi pengharapan tersebut memungkinkan terbukanya ruang spiritualitas yang lebih luas sehingga memberi daya hidup dan harapan bagi semua orang, sebab Allah berada di depan mendahului dan menarik kita datang kepada Kerajaan Syalom-Nya. Jika demikian, marilah kita membuka ruang spiritualitas yang lebih luas agar memberi daya hidup dan harapan bagi setiap orang, sebab di dalam Kristus Allah telah menganugerahkan keselamatan dan damai-sejahtera bagi kita. Di dalam Kristus, Allah menyediakan pengharapan baru, karena Ia adalah dasar pengharapan kita (1Tim. 1:1).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono