Ditangkap oleh Yesus yang Bangkit
(Kis. 9:1-20; Mzm. 30; Why. 5:11-14; Yoh. 21:1-19)
Makna kebangkitan Yesus dalam Minggu Paskah III dinyatakan di tengah-tengah kehidupan para murid yang mengalami kesulitan menangkap ikan. Kristus yang bangkit hadir dalam pergumulan di tengah-tengah profesi mereka. Setelah kematian Yesus, para murid berkumpul bersama-sama melanjutkan pekerjaan mereka sebagai seorang nelayan. Yohanes 21:3a menyatakan: “Kata Simon Petrus kepada mereka: Aku pergi menangkap ikan. Kata mereka kepadanya: Kami pergi juga dengan engkau.” Para murid sebenarnya telah menerima tugas pengutusan dari Yesus yang bangkit dan menampakkan diri. Di kisah sebelumnya yaitu di Yohanes 20:21 Yesus yang bangkit berkata: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Tetapi mereka belum memahami bagaimana pengutusan Yesus tersebut dilaksanakan. Tugas pengutusan dari Tuhan membutuhkan proses pemahaman dan kesediaan untuk mempersembahkan diri. Proses tersebut tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan dan profesi mereka yang sudah berurat-akar sebagai seorang nelayan.
Tugas pengutusan menjadi para saksi Kristus ditempatkan dalam konteks kehidupan dan profesi para murid menangkap dan menjala ikan. Sebab bukankah menjadi para saksi Kristus berarti para murid dipanggil untuk “menjala” manusia dalam jala kasih dan rahmat Allah yang dinyatakan di dalam karya penebusan Kristus? Di Lukas 5:10 Yesus berkata kepada Simon: “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” Tentu makna menjala manusia dan ikan sangat berbeda secara esensial dan praktik. Namun di dalam tugas menjala manusia dan ikan membutuhkan spiritualitas iman yang sama, yaitu Allah sebagai Sang Pemilik yang menyediakan dan manusia sebagai penangkap yang menerima. Ikan-ikan di laut adalah ciptaan yang dimiliki Allah dan Ia sediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Demikian pula umat manusia di dunia adalah ciptaan yang dikasihi Allah sehingga Ia peduli untuk menyelamatkan. Melalui karya kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus, Allah mencurahkan rahmat keselamatan kepada umat manusia. Namun rahmat keselamatan Allah tersebut haruslah diberitakan oleh para saksi-Nya. Para saksi Kristus seharusnya hanaya mengandalkan sepenuhnya anugerah dan kuasa Allah untuk membawa sesama yang belum percaya kepada Allah di dalam Yesus, bukan pada kekuatan dan kemampuannya sendiri.
Para murid pada malam itu telah berusaha sekuat tenaga menangkap ikan, tetapi usaha mereka gagal total. Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa” (Yoh. 21:3). Profesi sebagai nelayan telah mereka geluti sejak masih muda. Naluri dan keterampilan mereka menangkap ikan telah terlatih melalui berbagai macam pengalaman di laut. Namun ternyata naluri, keterampilan dan pengalaman menangkap ikan tersebut tidak membawa hasil yang memuaskan. Bahkan mereka disebutkan sama sekali tidak berhasil menangkap apa-apa! Sampai menjelang siang, para murid tetap tidak berhasil menangkap ikan. Di tengah-tengah perasaan putus-asa tersebut mereka mendengar suara dari arah pantai, yaitu: “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh” (Yoh. 21:6a). Ketika mereka melaksanakan perintah dari suara itu, maka terjadi sesuatu yang tidak dapat mereka bayangkan sebelumnya, yaitu: “Lalu mereka menebarkannya dan mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan” (Yoh. 21:6b). Sepanjang malam dan siang, para murid gagal menangkap ikan tetapi kini saat mereka mengikuti instruksi suara dari pantai, mereka menangkap ikan dalam jumlah yang besar sehingga tidak dapat menarik jala.
Suara yang memberi instruksi kepada para murid adalah Yesus yang bangkit. Mereka mengenali bahwa suara tersebut adalah Yesus setelah mereka berhasil mengikuti instruksi-Nya untuk menebarkan di sebelah kanan perahu. Maka murid yang dikasihi Yesus itu berkata kepada Petrus: Itu Tuhan” (Yoh. 21:7). Padahal para murid sebelumnya telah menebarkan jala ke arah kanan, kiri, muka dan belakang perahu mereka. Tetapi mereka tidak berhasil menangkap seekor ikan pun. Karena itu kegagalan para murid menangkap ikan bukan karena ketidaktahuan dan kebodohan mereka sebagai para nelayan. Kegagalan mereka menangkap ikan adalah karena mereka mengandalkan kepada kemampuan dan keyakinan diri, sehingga Allah belum menyediakan berkat-Nya. Namun saat mereka taat pada perintah Yesus, maka terjadilah tuaian ikan dalam jumlah yang besar. Perintah atau instruksi Yesus saat ditaati oleh para murid mengandung kuasa kreatif, sehingga para murid dapat menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Mewartakan karya keselamatan dalam penebusan Kristus kepada umat manusia juga tidak dapat mengandalkan kepada keahlian, keterampilan, dan kemampuan diri sebagai insan manusia. Tugas pengutusan akan gagal bila para murid dan umat tidak peka dan taat pada perintah Kristus.
Bacaan I di Kisah Para Rasul 9 mengisahkan Saulus sebagai seorang Ahli Taurat berkobar-kobar menangkap dan membunuh para murid Yesus. Saulus meminta surat kuasa kepada Sanhedrin agar dapat disampaikan kepada para Majelis Agama Yahudi di Damsyik sehingga ia memiliki wewenang untuk menangkap orang-orang yang mengikut dan percaya kepada Yesus. Saulus yakin bahwa dengan mendapat surat kuasa, ia memiliki kuasa untuk meniadakan eksistensi persekutuan umat yang percaya kepada Yesus. Tetapi upaya dan wewenang yang diterima oleh Saulus tersebut tidak dapat meniadakan keberadaan dan perkembangan jemaat. Sebaliknya Saulus ditangkap oleh Yesus dalam perjalanannya ke Damsyik. Cahaya ilahi memancar dari langit seraya berkata: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kis. 9:4). Saulus rebah ke tanah dan matanya menjadi buta. Melalui Ananias, Allah menyembuhkan mata Saulus yang tiba-tiba buta lalu ia dibaptis (Kis. 9:18). Di Kisah Para Rasul 9:15 Yesus berkata: “Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel.” Saulus yang ingin menangkap umat Kristen justru sekarang ditangkap oleh Yesus yang bangkit. Justru Yesus menjadikan Saulus sebagai penjala manusia dengan memberitakan karya penebusan bagi bangsa-bangsa di luar umat Israel.
Dalam konteks ini terdapat benang merah teologis antara bacaan Yohanes 21:1-7 dengan bacaan kitab Kisah Para Rasul 9:1-15. Benang merah teologis tersebut adalah para murid Yesus dan Saulus memiliki profesi yang masing-masing telah digeluti sebagai keahlian. Para murid Yesus adalah nelayan, dan Saulus adalah Ahli Taurat. Mereka menguasai dengan baik wilayah kerja dan sistem operasional dari profesi masing-masing. Namun semua keahlian dan kemampuan mereka tersebut ternyata tidak mampu menangkap ikan atau orang sebagaimana yang diharapkan. Faktor keahlian atau kompetensi tentu dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang profesional dan berhasil. Tetapi keahlian tanpa ketaatan kepada Kristus hanya menghasilkan kesia-siaan. Sebab Kristus adalah Kyrios (Tuhan) yang memiliki kuasa baik di sorga maupun di bumi. Baik para murid dan Saulus pada akhirnya adalah orang-orang yang ditangkap oleh kasih Kristus sehingga mereka dipilih dan dimampukan untuk menjadi penjala manusia.
Yesus yang semula asing dan tidak mereka kenal, ternyata menjamu mereka saat tiba di pantai. Yesus yang asing (stranger) menjadi tuan rumah (host) yang melimpahi mereka dengan keramahan dan kepedulian. Para murid yang kelelahan karena sepanjang malam sampai siang mencari ikan namun gagal mendapat jamuan makan pagi. Ucapan pertama yang Yesus nyatakan adalah: “Marilah dan sarapanlah” (Yoh. 21:12a). Undangan makan dari Yesus yang bangkit merupakan sentuhan kasih Yesus yang memahami sepenuhnya kondisi fisik dan mental para murid. Para murid diingatkan kembali saat-saat mereka bersama Yesus makan bersama khususnya Perjamuan Malam Terakhir.
Keramahan dan kepedulian Yesus juga terlihat dalam kisah Saulus yang terjatuh dan buta setelah ia melihat terang ilahi di dalam Kristus. Yesus menyuruh murid-Nya yang bernama Ananias untuk menjumpai Saulus dan mendoakan dia. Di kitab Kisah Para Rasul 9:17 menyatakan: “Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya: Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus.” Saulus yang buta dan tidak berdaya disambut oleh Yesus dengan rangkulan kasih-Nya. Melalui Ananias, Yesus memulihkan kembali mata Saulus yang buta sehingga ia dapat melihat kembali. Selain itu Saulus diterima sebagai bagian dari persekutuan umat percaya. Saulus yang semula berniat menganiaya dan membinasakan umat percaya, kini dia menjadi bagian dari umat percaya, bahkan ia mulai memberi kesaksian bahwa Yesus adalah Anak Allah (Kis. 9:20).
Berita Paskah adalah tindakan Allah yang Mahakuasa berkenan berlaku ramah kepada setiap orang untuk menyambut peristiwa kemenangan-Nya atas maut melalui kebangkitan Kristus. Karena itu berita Paskah di dalam kebangkitan Kristus adalah bertujuan menyingkirkan sekat-sekat yang menyebabkan seseorang terasing atau teralienasi sehingga ia dapat masuk ke dalam kehangatan persekutuan umat percaya. Kristus yang bangkit menjadi tuan rumah (host) bagi setiap orang yang mengalami kegagalan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk gagal dalam profesi/pekerjaan dan gagal dalam menempuh jalan spiritualitas/keagamaan. Sebagai tuan rumah, Kristus yang bangkit melayani dan menyediakan keramahan serta hidangan bagi para murid dan orang percaya yang datang kepada-Nya. Ia juga mengaruniakan pemulihan dan hidup yang penuh dengan anugerah Allah, sehingga setiap orang yang dijumpai-Nya mengalami pembaruan hidup.
Di Yohanes 21:15a menyatakan bahwa setelah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus, yaitu: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Pertanyaan Yesus tersebut diajukan sebanyak tiga kali kepada Simon Petrus dengan pola yang sama, yaitu: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku” (Yoh. 21:15-17). Jawaban Petrus juga dengan pola yang sama, yaitu: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Respons Yesus terhadap jawaban Simon Petrus adalah: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Pertanyaan Yesus tersebut diajukan secara personal kepada Petrus untuk memeroleh konfirmasi yaitu sejauh manakah Petrus mengasihi Yesus lebih dari siapapun. Tiga kali pertanyaan Yesus jelas berkaitan dengan teguran Yesus yang secara halus mengingatkan Petrus akan sikap penyangkalannya bahwa dia pernah berkata bahwa ia tidak mengenal Yesus. Petrus menyangkal bahwa ia adalah murid Yesus di hadapan hamba perempuan penjaga pintu istana Imam Besar (Yoh. 18:17, 25-27). Di tengah-tengah realitas penyangkalan Petrus, Yesus bertanya apakah Petrus mengasihi Dia melebihi kasihnya kepada saudara-saudaranya. Karena itu makna tiga kali pertanyaan yang diajukan oleh Yesus bukan merupakan pertanyaan yang menyudutkan atau menghakimi Petrus. Sebaliknya tiga kali pertanyaan Yesus tersebut merupakan proses pemulihan yang dilakukan Yesus terhadap perasaan bersalah Petrus. Tiga kali pertanyaan yang diajukan Yesus merupakan pertanyaan yang dilandasi oleh sikap kasih dan pengampunan yang begitu besar walau selama ini Petrus belum pernah menyatakan penyesalannya terhadap diri Yesus.
Pertanyaan pertama yang diajukan oleh Yesus yaitu: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” (Yoh. 21:15) memakai kata “agape.” Petrus ternyata tidak membalas dengan jawaban “agape” tetapi ia memberi jawaban dengan menggunakan kata “philia” saat ia berkata: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Pertanyaan kedua yang diajukan Yesus juga menggunakan kata “agape” saat Ia bertanya kepada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku” (Yoh. 21:16). Tetapi Petrus kembali menjawab dengan menggunakan kata “philia” saat ia berkata: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Secara esensial seharusnya suatu respons akan memberi jawaban yang sama dengan pertanyaan yang diajukan. Bila Yesus bertanya dengan menggunakan kata “agape” seharusnya Petrus juga menjawab dengan jawaban “agape” juga. Namun tidaklah demikian, pertanyaan Yesus yang memakai kata “agape” selalu dijawab dengan kata “philia.” Umumnya kita memahami bahwa makna kata “agape” dimaknai sebagai kasih Allah yang tanpa syarat dan bersedia berkurban. Sedangkan kasih “philia” dimaknai sebagai kasih seorang sahabat yang mampu menerima secara utuh. Dalam konteks ini Petrus menyadari bahwa ia tidak mampu untuk mengasihi Yesus dengan kasih “agape” yaitu kasih Allah yang tanpa syarat dan bersedia berkurban. Petrus menyadari kegagalannnya untuk bersedia berkurban. Ia ternyata lebih memilih mencari jalan yang aman untuk keselamatannya sendiri, sehingga ia menyangkal sebagai murid Yesus.
Di Yohanes 21:17 terjadi perubahan esensial pada pertanyaan Yesus. Sebab Yesus tidak lagi menggunakan kata “agape” saat Ia berkata: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Tetapi Yesus memakai kata “philia.” Petrus juga tetap menggunakan jawaban yang sama, yaitu kata “philia” saat ia berkata: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Perubahan makna “mengasihi” dari kata “agape” menjadi kata “philia” yang Yesus lakukan bukan dimaksudkan terjadi penurunan standar dan kualitas kasih. Kata “agape” memang adalah kasih ilahi yang bersedia berkurban. Namun tidak berarti kasih “philia” yang dimaknai sebagai kasih seorang sahabat menjadi lebih berkurang kualitasnya. Karena kasih persahabatan dalam kenyataan hidup juga dinyatakan dengan kesediaan berkurban. Yesus menggunakan kata “philia” justru untuk menyatakan bahwa Ia yang bangkit dan mengalahkan kuasa maut berperan sebagai seorang sahabat yang tetap mengasihi Petrus walau ia telah menyangkal-Nya. Dengan penggunaan kata “philia” Yesus menyatakan belarasa-Nya yang terdalam terhadap situasi dan keberadaan Petrus. Dalam konteks ini Petrus “ditangkap” oleh pengertian, empati dan belarasa Yesus yang bangkit. Petrus diterima dan diampuni tanpa syarat oleh Yesus sebelum ia sempat menyatakan pengakuan dosanya.
Penerimaan Yesus dalam kasih-Nya akan memampukan Petrus mengalami pembaruan dalam spiritualitasnya, yaitu kecenderungan dia yang semula untuk berjalan mengikuti kehendaknya sendiri menjadi seorang pribadi yang lebih rendah-hati. Di Yohanes 21:18 Yesus berkata: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Spiritualitas “Petrus masih muda” adalah sosok pribadi yang begitu yakin dengan kemampuannya sendiri dan berjalan ke mana yang ia suka. Dia sangat percaya diri dengan kemampuannya. Tetapi dengan dengan spiritualitas “Petrus yang sudah tua” adalah sosok pribadi yang telah belajar dari kesalahannya, menerima makna pengampunan Kristus dan telah didewasakan oleh kuasa kebangkitan Kristus sehingga ia sekarang bersedia dipimpin oleh orang lain. Spiritualitas “Petrus yang sudah tua” adalah sikap rohani yang rendah-hati dan berjiwa seorang gembala sehingga ia bersedia berkurban untuk keselamatan domba-dombanya. Pengalaman ditangkap oleh kasih Kristus akan memampukan seseorang untuk menangkap jiwa sesamanya dengan penuh kasih.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono