Topik “Bersedia Dipilih dan Diutus” yang biasa dipakai dalam tema-tema khotbah gereja sesungguhnya bukanlah tema yang khas Iman Kristen. Tema tersebut adalah tema pengajaran gereja pada umumnya, khususnya tema agama-agama monoteistik. Kita tahu salah satu ciri agama monoteistik yaitu Agama Yudaisme, Kristen dan Islam bersifat ekspansionistik. Sebagai pewaris kebenaran dan keselamatan Allah, ketiga agama monotiestik tersebut memiliki semangat, pemahaman teologis dan aksi untuk menyebarkan firman Tuhan kepada semua orang (umat manusia). Dalam agama Yudaisme mereka melakukan proselitisme, dalam agama Islam mereka melakukan syiar atau dakwah, dan dalam agama Kristen melakukan penginjilan. Karena itu tidak mengherankan jikalau ketiga agama monotistis tersebut sering terlibat konflik horisontal saat mereka bertemu dalam aksi penyebaran agamanya. Pengertian topik “bersedia dipilih dan diutus” bisa diisi oleh berbagai muatan teologis, ideologis, persepsi, dorongan semangat dan tujuan tertentu tergantung bagaimana agama tersebut mengajarkan. Sejujurnya para teroris juga memakai doktrin tentang siapakah orang-orang yang bersedia dipilih dan diutus untuk menghayati suatu doktrin dan misi serta tujuan aksi mereka.
Tentu tindakan penyebaran agama adalah tindakan yang mulia. Kebenaran dan keselamatan Allah yang dialami oleh sekelompok orang mendorong mereka untuk membagikan dan menyebarkan kepada sesama agar semakin banyak orang mengalami pencerahan akan kebenaran dan keselamatan ilahi. Kebenaran dan keselamatan Allah tersebut disampaikan melalui pengajaran (teaching) dan pemberitaan (preaching). Kedua metode tersebut yaitu pengajaran dan pemberitaan diakui memiliki daya efektivitas yang tinggi. Bagi umat Kristen, saat mereka mendengar tema “Bersedia Dipilih dan Diutus” yang dipahami adalah mereka dipilih oleh Kristus untuk diutus sebagai pemberita firman. Penginjilan selalu didominasi metode pengajaran dan pemberitaan Injil secara verbal. Dalam agama Islam, syiar dan dakwah tidak terlepas dari pengajaran dan pemberitaan secara verbal pula. Tetapi kita tahu juga bahwa dunia pada masa kini menghadapi masalah yang krusial yaitu terorisme global, kekerasan, fundamentalisme dan radikalisme disebabkan oleh pengajaran dan pemberitaan yang verbalistik. Agar metode pengajaran dan pemberitaan tersebut menjadi efektif, maka dikemas dalam bentuk doktrin-doktrin.
Di abad XXI pendidikan tinggi semakin banyak dikenyam oleh berbagai kalangan. Tetapi tingkat pendidikan tinggi ternyata tidak secara otomatis menghasilkan manusia yang wawasan kemanusiaan yang lebih utuh. Kompetensi dan keahlian bisa dicapai pada level pendidikan pasca-sarjana tetapi wawasan kemanusiaannya sering berada di level Sekolah Dasar. Kelompok fundamentalisme dan radikalisme dari sudut tingkat pendidikan minimal adalah para sarjana, tetapi wawasan dunia (world-view) mereka berada di level dunia primitif dan barbar. Jika demikian apa yang salah dengan pola dan isi pendidikan kita yang begitu panjang mulai play-grup, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi dalam mengajar dan membimbing generasi kita? Tentunya letak kesalahan atau masalah bukan karena orang-tua dan para pendidik kita menggunakan pola pendidikan melalui metode pengajaran dan pemberitaan.
Tetapi pola pengajaran dan pemberitaan akan kebenaran dan keselamatan menjadi salah dan menimbulkan malapetaka bagi kemanusiaan apabila diisi dengan pemutalakkan terhadap kebenaran tertentu. Isi pengajaran dan pemberitaan doktriner yang menyebabkan banyak orang menjadi bodoh alias tidak mampu berpikir jernih, kritis dan berwawasan luas. Sikap doktriner memang membuat seseorang menjadi berpikir sempit, sektarian, merasa diri superior dan memiliki legalitas atau otoritas melakukan suatu tindakan tertentu termasuk kekerasan. Tentu agama-agama membutuhkan doktrin agar ajarannya dapat mudah dipahami oleh para pemeluknya. Melalui rumusan doktrin kita menemukan pengajaran dan pemikiran yang agung dan disusun secara sistematis serta bersifat mengikat. Tetapi ketika rumusan doktrin tersebut menjadi doktriner, maka pemikiran yang agung tersebut kehilangan esensinya sebab dimutlakkan. Suatu doktrin yang diajarkan dan diberitakan sebagai kemutlakan akan menjadi penyempitan wawasan dan pendangkalan spiritualitas. Seharusnya suatu doktrin diajarkan dan diberitakan sebagai nilai-nilai yang mengandung kedalaman, wawasan yang utuh dan luas sehingga menghasilkan pola pikir yang semakin jernih, rasional, kritis dan etis. Pola pikir yang jernih, rasional, kritis dan etis tersebut bukan hanya berkaitan dengan kualifikasi akademis belaka tetapi juga kualifikasi moral terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.
Di Injil Matius 9:35 menyatakan: “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa. Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan.” Kehidupan dan karya Kristus pada satu pihak mengajar (teaching) dan memberitakan (preaching), tetapi juga Ia melakukan penyembuhan (healing). Umat manusia bukan hanya membutuhkan konten atau substansi gagasan yang mampu membangun peradaban dan meningkatkan harkat manusia tetapi juga membutuhkan gagasan dan tindakan yang menyembuhkan. Kegagalan ketiga agama monoteistik yang fundamentalitik dan radikalistik adalah pengajaran dan pemberitaan yang tidak memiliki muatan harkat dan martabat manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi juga karena gagasan dan tindakan yang ekspansionistik (misioner) tersebut tidak dijiwai oleh daya penyembuh Allah. Kristus datang bukan hanya sebagai pengajar dan pemberita, tetapi utamanya sebagai seorang Penyelamat yang menyembuhkan. Karena itu tidak mengherankan jikalau dalam Matius 9 mengisahkan karya Yesus yang menyembuhkan, yaitu: penyembuhan orang lumpuh, pemulihan hidup Matius si Pemungut-cukai, penyembuhan perempuan yang sakit pendarahan, anak kepala rumah ibadat yang dibangkitkan dari kematian, penyembuhan mata dua orang buta, dan penyembuhan kepada orang bisu.
Jikalau demikian pengertian topik “Bersedia Dipilih dan Diutus” seharusnya dimaknai sebagai orang-orang yang dipilih dan diutus oleh Kristus sebagai penyembuh. Tugas pengajaran dan pemberitaan yang khas iman Kristen adalah memiliki daya penyembuh yang bersumber pada karya penebusan Kristus. Kita tidak cukup hanya memiliki isi pengajaran dan pemberitaan yang konstruktif dan berwawasan luas dalam membangun harkat-martabat manusia tetapi juga membutuhkan daya penyembuh dalam berbagai aspek kehidupan. Panggilan sebagai penyembuh bukan hanya tugas para tenaga medis dan psikiater. Tugas mereka memang khusus dilaksanakan secara profesional untuk membantu proses penyembuhan bagi para pasien yang sakit secara fisik atau jiwa. Tetapi sesungguhnya tugas panggilan sebagai penyembuh berlaku bagi setiap umat yang beriman kepada Allah yang Esa. Panggilan sebagai penyembuh berarti setiap pemikiran, gagasan, perkataan dan tindakan kita menghasilkan daya penyembuh kepada setiap orang yang mendengar. Kerusakan mental dan spiritualitas dalam keluarga disebabkan karena orang-tua mengeluarkan kata-kata yang beracun sehingga melumpuhkan daya kreativitas, harga diri dan kepercayaan anak-anak mereka. Para siswa yang gagal dalam studi salah satunya disebabkan oleh para guru atau pendidik yang mengungkapkan perkataan yang tidak mendidik, jauh dari sikap bijaksana, melemahkan, dan menghakimi. Umat beragama sering menjadi sekelompok orang-orang yang fanatik dan mengagung-agungkan orang-orang yang dianggap mati syahid sebagai teroris karena pengajaran yang menyesatkan dan memberi janji kenikmatan seksualitas di sorga. Sekelompok umat menjadi anti Pancasila karena mereka dijanjikan suatu negara yang ideal tetapi menyesatkan.
Panggilan bagi setiap umat agar mereka bersedia dipilih dan diutus sebagai penyembuh yang bersumber pada karya penebusan Kristus adalah panggilan hidup yang paling mendesak di abad XXI. Makna panggilan menjadi penyembuh akan terwujud apabila setiap umat bersedia membebaskan diri pola berpikir yang doktriner/dogmatis, perasaan diri sebagai pribadi dan komunitas yang superior, pengalaman traumatis dan akar pahit. Mereka membutuhkan Juruselamat yaitu Yesus Kristus agar dipulihkan dan disembuhkan. Karena hanya Kristus yang mampu mengaruniakan penyembuhan ilahi dan pengampunan dosa yang selama ini membelenggu manusia dalam kuasa dosa dan kematian. Karena itu kesalahan besar umat Kristen adalah membatasi lingkup karya Kristus hanya pada lingkup hidup gerejawi. Padahal karya Kristus melampaui batas-batas keagamaan, komunitas umat Kristen dan organisasi serta denominasi gereja. Karya penebusan Kristus bersifat universal. Hidup dan karya Kristus adalah wujud dari rahmat Allah bagi semesta. Apa dasarnya Kristus adalah Rahmat Allah bagi semesta? Di Matius 28:18 Yesus berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Yesus adalah Pemililk dan Penguasa realitas sorga dan bumi.
Sebagai Pemilik dan Penguasa Sorga dan Bumi Yesus tidak hanya mengajar (teaching), memberitakan (preaching) dan menyembuhkan (healing) tetapi menghadirkan (presenting) Kerajaan Allah di dalam diri-Nya. Di Matius 10:7 Yesus berkata: “Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.” Yesus tidak hanya mengajar dan memberitakan serta menyembuhkan dengan kuasa Kerajaan Sorga, tetapi Dia sendiri adalah manifestasi Kerajaan Sorga. Di Lukas 11:20 Yesus menyatakan: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” Melalui pengajaran, pemberitaan dan penyembuhan-Nya Yesus sesungguhnya menghadirkan realitas Kerajaan Allah dalam kehidupan umat manusia. Karena itu tugas yang paling utama bagi setiap umat percaya adalah panggilan bersedia dipilih dan diutus untuk menghadirkan pemerintahan Allah sebagaimana yang telah dinyatakan dalam kehidupan dan karya Kristus. Realitas Kerajaan Allah adalah: pemerintahan Allah dalam setiap aspek kehidupan sehingga hanya Dia yang dimuliakan, keselamatan bagi setiap umat tanpa diskriminasi suku, etnis, agama dan tingkat sosial-ekonomi, perdamaian yang menyeluruh, dan keadilan dalam setiap aspek, serta keutuhan ciptaan sehingga tercipta suatu ekologi yang layak bagi kesehatan dan keberlangsungan setiap mahluk hidup. Setiap umat percaya dipanggil untuk menanggapi panggilan Allah, yaitu apakah mereka bersedia dipilih dan diutus Kristus untuk mengajar, memberitakan, menyembuhkan dan menghadirkan realitas Kerajaan Allah yang telah dinyatakan dalam kehidupan dan karya Kristus?
Keempat dimensi panggilan Allah tersebut merupakan satu-kesatuan yang utuh. Kita dipanggil untuk mengajar dan memberitakan untuk menyembuhkan dan menghadirkan realitas Kerajaan Allah yang menyelamatkan sebagaimana dinyatakan dalam kehidupan dan karya Kristus. Tetapi pada saat yang sama kita dipanggil untuk menyembuhkan dalam setiap pengajaran dan pemberitaan kita sehingga menghadirkan realitas Kerajaan Allah yang menyelamatkan. Lebih utama lagi di dalam kehidupan dan karya Kristus kita menghadirkan realitas Kerajaan yang menyembuhkan melalui pengajaran dan pemberitaan kita. Karena itu keempat dimensi panggilan Allah di dalam Kristus yaitu pengajaran (teaching), pemberitaan (preaching), penyembuhan (healing) dan penghadiran (presenting) Kerajaan Allah merupakan prinsip dasar dan tolok-ukur dari seluruh kebenaran. Apabila salah satu dari keempat dimensi tersebut diabaikan, maka pastilah kebenaran tersebut bukanlah berasal dari Allah. Kebenaran tersebut tidak membawa pencerahan, pembebasan dan penyelamatan. Sebaliknya menjadi kebenaran yang membelenggu, memperbudak, dan memperbodoh serta menghancurkan keselamatan umat manusia sehingga mereka hidup dalam kebencian dan kecurigaan, permusuhan dan dorongan untuk saling membinasakan.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, M.Th.