Focus on the Positives and be Grateful
(Fililpi 4:4-9)
Realitas dan nilai kebahagiaan (happiness) ditentukan oleh pola pikir yang positif. Filsuf Plato menjelaskan pemikirannya dengan ilustrasi 2 ekor kuda terbang yang memiliki 2 orientasi yang berbeda. Kuda putih lambang pemikiran yang terus terarah kepada yang positif, ilahi dan kebenaran. Sedangkan kuda hitam lambang pemikiran yang berorientasi kepada hal-hal yang negatif, duniawi dan nafsu. Kedua ekor kuda tersebut saling tarik-menarik di angkasa. Akhirnya kuda hitam berhasil menarik kuda putih ke bawah, sehingga manusia cenderung berorientasi pada hal-hal yang negatif, duniawi dan hawa-nafsu. Karena itu ketika pikiran kita dikuasai oleh “kuda hitam” sejauh level apa pun kita mencapai prestasi, kedudukan sosial, kekayaan, dan kehormatan menjadi sia-sia belaka. Sebab dengan pikiran “kuda hitam” kita akan terus bersungut-sungut, berkeluh-kesah, merasa diri sebagai korban, mengalami nasib yang malang, dan tidak memiliki harapan apa pun.
Lebih jauh lagi pikiran “kuda hitam” menjadi pikiran yang sakit. Di Jepang kini dikenal kasus “hikikomori” yaitu kecenderungan menarik diri dari pergaulan sosial dengan memilih terus tinggal di dalam rumah atau menutup diri dalam kamar. Orang-orang yang mengidap “hikikomori” merasa nyaman tanpa komunikasi dan relasi dengan orang lain selama berbulan-bulan, sebab mereka menganggap realitas di luar adalah mengancam, dan tidak mampu memahami mereka. Mereka membangun dunianya sendiri. Dunia imaginer. Di balik kondisi “hikikomori” tersebut sesungguhnya mereka mengalami pikiran yang sakit.
Pola pikir yang sakit mempengaruhi cara pandang atau perspektif terhadap realitas diri sendiri dan memperlakukan tubuh secara tidak sehat. Misalnya orang-orang yang menderita sakit anokreksia menganggap diri memiliki tubuh yang gemuk, padahal realitasnya mereka sangat kurus. Mereka kuatir memiliki tubuh yang “gemuk” sehingga diet makan secara ekstrem. Mereka lebih suka tidak makan apa pun dan kelaparan daripada berat badan mengalami kenaikan. Demikian pula orang-orang yang mengidap bulimia. Berbeda dengan anoreksia, bulimia memiliki tubuh yang normal, bahkan cenderung gemuk. Tetapi mereka memandang diri sebagai orang yang kurus. Karena itu orang-orang yang sakit bulimia cenderung makan yang berlebihan, tetapi mereka segera memuntahkan kembali agar makanan tersebut keluar dari tubuhnya. Orang-orang Bulimia makan sebanyak-banyaknya namun segera mencari cara agar makanan tersebut keluar dari tubuh, misalnya memakai obat pencahar. Sumber penyakit anoreksia dan bulimia adalah pikiran yang sakit. Karena itu orang-orang yang kena anoreksia dan bulimia terjebak oleh perasaan tidak bahagia. Mereka tidak mampu bersukacita dengan keberadaan dirinya.
Di tengah-tengah realitas masa kini yang kompleks, kita sering terjebak oleh pola pikir “kuda hitam” yang berkembang sedemikian rupa menjadi pikiran yang sakit. Tidaklah mudah kita hidup di tengah-tengah zaman dengan pola komunikasi yang impersonal, bullying, intimidatif dan diskriminatif. Lingkungan yang berazaskan nilai-nilai iman Kristen juga tidak bebas dari kecenderungan untuk bullying, intimidatif dan diskriminatif. Solusinya adalah bagaimana kita mampu memanage diri sendiri dengan spiritualitas yang tegar dalam menghadapi semua pengaruh dan kecenderungan sosial yang tidak sehat itu. Di Filipi 4:7 Rasul Paulus menempatkan pikiran yang sehat dengan konteks damai-sejahtera Allah. Ia berkata: “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” Pikiran yang sakit jauh dari damai-sejahtera Allah. Karena itu damai-sejahtera Allah adalah sumber dan esensi utama dalam kehidupan ini.
Viktor Frankl, seorang Yahudi dengan profesi sebagai neurologi dan psikiater dari Austria mengembangkan konsep Logotherapy. Dia menulis buku yang berjudul Man’s Search for Meaning tahun 1946. Konsep Logotherapy lahir dari pengalamannya saat ia mengalami siksaan, kehilangan orang-orang yang ia kasihi (istri, kedua orang-tua dan kakaknya) yang dibunuh oleh tentara Hitler. Gagasan Logotherapy berasal dari ayat Alkitab yang ia temukan dalam jenasah temannya. Ayat Alkitab tersebut adalah dari Ulangan 6:4-5, yaitu: “Dengarlah hari orang Israel, Tuha itu Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Viktor Frankl tergugah hatinya untuk mengasihi Tuhan secara total dalam kondisi dirinya yang menderita dan terluka. Di saat ia disiksa, dihina dan diperlakukan tidak manusiawi, Viktor Frankl memegang satu azas yaitu “freedom of will” (kebebasan kehendak). Ia memilih bebas untuk “the will to meaning” yaitu hasrat untuk mengalami hidup yang bermakna. Dari prinsip “the will to meaning” Viktor Frankl dapat memilih dengan bebas “the meaning of life.” Ia mengalami apa artinya hidup yang bermakna, yaitu hidup yang sungguh-sungguh otentik, tetap mampu bahagia di tengah penderitaan, dan menjadi pribadi yang bebas menentukan sikap secara positif.
Di Filipi 4:8 Rasul Paulus melanjutkan pemikirannya dengan berkata: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Semua nilai tersebut hanya dapat dipahami dan dipikirkan apabila dalam bentuk kata-kata (pemikiran), yaitu “logos.” Karena itu bagaimana hidup kita dikuasai oleh “logos” yaitu Firman Allah yang tertulis dan bersumber pada Firman Allah yang hidup, yaitu Yesus Kristus.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono