Berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: Berapa lama lagi engkau berdukacita karena Saul? Bukankah ia telah Kutolak sebagai raja atas Israel? Isilah tabung tandukmu dengan minyak dan pergilah. Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih
seorang raja bagi-Ku (1Sam. 16:1).
Sistem pemerintahan Indonesia adalah demokrasi. Di samping model pemerintahan demokrasi dan monarkhi, dunia juga mengenal sistem pemerintahan yang teokratis. Model pemerintahan teokratis (pemerintahan Allah) menempatkan jabatan seorang raja sebagai wakil Allah. Konsekuensinya setiap ucapan, titah, atau perintah raja diidentikkan dengan sabda Allah. Kedudukan raja bersifat absolut. Ucapan dan keputusan raja tidak dapat salah. Tetapi bagaimana apabila dalam praktiknya raja melakukan kesalahan yang membawa akibat pada kekacauan yang membahayakan keselamatan dan keutuhan kerajaannya?
Belajar dari kesalahan dan kelemahan dari sistem teokrasi para pemikir akhirnya memberikan alternatif bahwa rakyat juga berhak untuk memberi masukan dan mengambil keputusan. Dalam konteks inilah sistem demokrasi dipraktikkan.
Melalui ulasan teks kitab 1 Samuel 16:1-13 kita akan belajar bahwa sistem teokrasi umat Israel ternyata tidak senantiasa menempatkan kedudukan raja secara absolut. Sebaliknya kedudukan raja sangat bergantung kepada kehendak Allah. Teokrasi dalam kehidupan umat Israel ternyata berbeda dengan sistem teokrasi yang diberlakukan oleh bangsa-bangsa lain. Di dalam kesaksian Alkitab kesalahan seorang raja disingkapkan. Lebih daripada itu setiap raja yang tidak taat dihukum oleh Allah.
Di kitab 1 Samuel 16:1 mempersaksikan Allah memerintahkan Samuel untuk mengurapi salah satu dari anak Isai untuk menjadi raja umat Israel. Padahal saat itu Saul masih menjabat secara resmi sebagai raja. Bukankah dalam konteks ini Allah melalui Samuel melakukan tindakan kudeta? Kata “kudeta” dari bahasa Perancis, yaitu coup d’État yang artinya: pengambilalihan atau penggulingan kekuasaan pemerintah secara tiba-tiba dan ilegal yang kadang-kadang dilakukan dengan kekerasan. Apakah dalam konteks 1 Samuel 16:1-13 telah terjadi kudeta? Apakah kekuasaan dan pemerintahan Saul saat itu telah beralih kepada anak Isai?
Apabila kita cermati ternyata kudeta dalam pengertian penggulingan dan pergantian kekuasaan raja saat itu belum terjadi. Faktualnya Saul masih menjadi raja umat Israel. Secara konstitusional kekuasaan Saul sebagai raja tetap berjalan. Secara spiritual proses ke arah pergantian kekuasaan telah terjadi. Namun legitimasi kekuasaan Daud sebagai raja proses tersebut tidak otomatis. Proses yang ditempuh cukup panjang. Kelak Daud harus melalui berbagai pengujian waktu dan peristiwa.
Satu hal yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa Allah memerintahkan Samuel untuk mengurapi salah seorang anak Isai? Apa kesalahan raja Saul? Apakah kesalahan raja Saul tersebut harus dibayar atau layak dengan penggulingan kekuasaannya sebagai raja?
Penolakan Allah terhadap Saul sebagai raja sebenarnya telah dimulai dari 2 peristiwa, yaitu di kitab 1 Samuel 13:6-14, dan 1 Samuel 15:1-20. Bagaimana konteks penolakan Allah terhadap kedua peristiwa yang dikisahkan dalam 1 Samuel 13:6-14 dan 1 Samuel 15:1-23?
- Konteks peristiwa di 1 Samuel 13:6-14 adalah peperangan umat Israel dengan bangsa Filistin. Dalam peperangan itu umat Israel terjepit oleh serangan bangsa Filistin yang dilengkapi dengan 3000 kereta, 6000 pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki. Akibatnya tentara Israel melarikan diri. Di tengah kondisi terjepit itu Saul diminta menunggu oleh Samuel selama tujuh hari. Tetapi Samuel tidak datang pada waktu yang telah disepakati. Pasukan Israel mulai gelisah dan meninggalkan Saul. Keputusan yang diambil Saul adalah menyuruh membawa korban bakaran dan korban keselamatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang imam. Setelah Saul mempersembahkan korban bakaran, Samuel datang. Saul ditegur oleh Samuel seraya berkata: “Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu” (1Sam. 13:14).
- Konteks peristiwa di 1 Samuel 15:1-23 adalah Allah memerintahkan Saul untuk membalas kejahatan orang Amalek, sebab bangsa Amalek pernah menghalang-halangi umat Israel saat mereka keluar dari Mesir. Waktu itu bangsa Amalek memerangi umat Israel di Rafidim (Kel. 17:8-14, Ul. 25:17-19). Saul berhasil memukul bangsa Amalek mulai dari Hawila sampai ke Syur. Raja bangsa Amalek yaitu Agag berhasil ditangkap. Namun Saul memilih untuk membiarkan raja Agag hidup seraya mengambil kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik. Samuel menegur perilaku Saul dengan berkata: “Mengapa engkau tidak mendengarkan suara TUHAN? Mengapa engkau mengambil jarahan dan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN?” (1Sam. 15:19). Sikap Allah terhadap Saul adalah: “Aku menyesal, karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firman-Ku. Maka sakit hatilah Samuel dan ia berseru-seru kepada TUHAN semalam-malaman” (1Sam. 15:11).
Apabila kita cermati dasar penolakan Allah terhadap Saul adalah kecenderungan dan keputusan Saul yang tidak taat terhadap perintah Allah. Dalam kasus 1 Samuel 13:6-14 Saul berlaku tidak taat saat ia dan pasukannya dalam kondisi terjepit. Saul mengambil alih peran dan fungsi imam untuk melakukan persembahan korban bakaran. Dalam konteks ini Saul sebagai raja mengambil alih tugas dan wewenang seorang imam. Saul berharap dengan mempersembahkan korban YHWH berkenan menolong dan menyelamatkan pasukan Israel yang sedang terjepit. Tetapi tindakan Saul justru menyebabkan Allah menolaknya. Di kitab 1 Samuel 15:23 Samuel menyatakan kepada Saul: “Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.”
Penolakan Allah terhadap Saul di kitab 1 Samuel 15:1-23 juga disebabkan karena ketidaktaatan Saul. Ia melindung raja Agag dan mengambil keuntungan dengan menjarah kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik. Allah menolak Saul sebagai raja karena ia abai terhadap firman-Nya. Ucapan Samuel di kitab 1 Samuel 15:22-23 dapat menjadi ringkasan seluruh sikap Saul yang menyebabkan ia kelak akan kehilangan jabatan seorang raja, yaitu: “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.” Dua kali kata “mendengarkan” dan satu kata “memperhatikan” ditegaskan. Dalam teks Ibrani sebenarnya makna yang dimaksud tidak sekadar masalah “mendengarkan.”
Dalam narasi di 1 Samuel 15:22 pada kalimat “sama seperti kepada mendengarkan suara Tuhan” dari terjemahan kismoa (mentaati). Lalu frasa “memperhatikan lebih baik” dari terjemahan dari kata samoa (mentaati). Setelah itu frasa “memperhatikan lebih baik daripada lemak domba-domba jantan” dari terjemahan kata lahaqsib yang artinya memberi perhatian. Dasar penolakan Allah kepada Saul sebagai raja adalah karena ia tidak taat dan mengabaikan dengan tidak memberi perhatian sehingga ia mengambil jalan sendiri. Padahal hakikat jabatan raja dalam konteks theokrasi umat Israel menempatkan YHWH sebagai raja semesta, sehingga para raja yang diangkat dan dipilih sesungguhnya hanya berperan untuk melaksanakan kehendak-Nya. Dalam sistem pemerintahan yang teokratis kekuasaan seorang raja atau penguasa sepenuhnya didasarkan pada prinsip-prinsip ilahi, yaitu firman-Nya.
Sistem teokrasi umat Israel tidak sama dengan sistem teokrasi bangsa-bangsa lain. Pemahaman teokrasi bangsa-bangsa di dunia umumnya menempatkan kekuasaan raja atau kaisar identik dengan kehendak Tuhan. Bangsa-bangsa lain di luar Israel menghayati perintah dan ketentuan raja disamakan dengan firman Tuhan. Bahkan sosok seorang raja sering diidentikkan dengan manifestasi dari Tuhan. Para raja yang berkuasa adalah wakil langsung dari Allah. Karena itu ucapan seorang raja bersifat absolut benar. Perintah raja identik dengan kebenaran yang tidak boleh dibantah. Namun dalam teokrasi umat Israel tidaklah demikian! Ucapan atau perintah seorang raja tidak identik dengan sabda Allah. Sebab sabda Allah adalah firman yang berdaulat dan kuasa-Nya melampaui kekuasaan seorang raja. Dalam teokrasi Israel, ucapan dan perilaku seorang raja dapat bersalah. Bahkan setiap raja yang melakukan kesalahan dengan melanggar firman Tuhan akan dihukum.
Walaupun wibawa dan wewenang seorang raja dalam kehidupan umat Israel tidak pernah absolut tidak berarti ia tidak bisa menggunakan kekuasaan politisnya. Samuel menyadari apabila Saul mengetahui bahwa ia akan mengurapi salah seorang anak Isai, ia akan dibunuh. Itu sebabnya Allah memerintahkan Samuel menyampaikan upacara korban di Betlehem kepada Saul. Cara yang ditempuh Samuel tersebut mengandung siasat dalam pengertian bukan dusta. Sebab pelantikan salah seorang anak Isai dilakukan juga dalam upacara korban. Saul mengizinkan Samuel pergi ke Betlehem. Melalui upacara korban itulah Samuel mengundang Isai agar memperlihatkan anak-anaknya.
Saat Samuel melihat anak-anak Isai yang dimulai dari Eliab, ia terkesan akan penampilan fisiknya. Samuel menduga bahwa Eliab adalah orang yang pantas diurapi untuk menjadi raja bagi umat Israel. Tetapi Allah berfirman: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1Sam. 16:7). Demikian pula anak-anak Isai yang lain seperti Abinadab, Syama dan berikutnya ditolak oleh Allah. Ternyata masih ada anak Isai yang lain yaitu Daud yang saat itu sedang menggembalakan kambing domba. Anak yang sama sekali tidak diperhitungkan itu bernama Daud. Saat Daud dipanggil dan dihadapkan kepada Samuel, sosoknya disebut: “kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok.” Allah berfirman: “Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia” (1Sam. 16:12). Akhirnya Daud diurapi sebagai raja umat Israel oleh Samuel.
Pemilihan dan penetapan seorang raja umat Israel sehingga ia diurapi sepenuhnya ditentukan oleh penyataan Allah. Teokrasi umat Israel ditentukan oleh kedaulatan Allah, bukan didasarkan pada kewibawaan dan kekuasaan seorang raja. Ukuran yang dipakai sama sekali tidak dipengaruhi penilaian dan harapan manusia. Walau Eliab memiliki perawakan yang lebih tinggi dan tampan sehingga mengesankan Samuel, tetapi Allah lebih memilih Daud. Walau sosok Daud disebut “kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok” sebenarnya ukuran pemilihan Allah sama sekali bukan pada fisiknya. Kata kunci untuk memahami dasar pemilihan Allah adalah: “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Lebih daripada itu penentuan Allah didasarkan pada kedaulatan kehendak dan rencana-Nya.
Proses yang ditempuh Allah dalam menegakkan teokrasi-Nya dalam kehidupan umat Israel juga tidak dilakukan secara frontal. Walau Daud telah diurapi menjadi raja bagi umat Israel tidak berarti ia menggulingkan kekuasaan Saul. Apabila saat itu muncul 2 raja, maka pasti akan terjadi pertumpahan darah. Secara teologis Daud telah menjadi raja karena diurapi oleh Allah. Tetapi Daud masih harus melalui proses yang sangat panjang dan berliku untuk menuju takhta kerajaan Israel. Daud harus membuktikan bahwa dia seorang yang berkenan kepada Allah. Daud akhirnya mampu membuktikan bahwa ia seorang raja yang bijaksana. Saat Daud mengalami perlakuan buruk dan jahat dari Saul ternyata dibalas dengan kemurahan dan pengampunan.
Faktor pembeda antara Saul dan Daud yang saat itu keduanya menjadi raja bagi umat Israel dilukiskan dengan tajam oleh kitab 1 Samuel 16:13-14, yaitu: “Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud….. Tetapi Roh TUHAN telah mundur dari pada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang dari pada TUHAN.” Secara faktual Saul yang memerintah sebagai raja, tetapi dari sudut rohani sesungguhnya Saul telah kehilangan wibawa dan kekuasaannya. Sebaliknya mulai saat itu kehidupan dan batin Saul tidak pernah tenang. Ia gelisah sebab diganggu roh jahat yang daripada Tuhan.
Relevansi:
Setiap umat percaya di dalam Kristus adalah umat yang hidup di bawah pemerintahan Allah. Setiap umat percaya hidup dalam teokrasi (pemerintahan Allah). Konsekuensinya setiap umat dipanggil untuk taat secara total kepada kehendak dan firman-Nya. Ketaatan kepada Allah dinyatakan dengan mendengarkan dan memperhatikan kehendak Allah walau menyebabkan kita kehilangan rasa aman. Ketaatan kepada kehendak Allah sering menyebabkan kita menghadapi kondisi yang sulit dan tidak senantiasa sesuai dengan harapan-harapan insani.
Melalui baptisan dan pengakuan percaya setiap umat telah diurapi dengan meterai nama Allah. Namun pengurapan tersebut harus dibuktikan melalui proses ziarah iman. Apakah dalam proses ziarah iman itu kita tetap taat dan setia kepada Tuhan? Karena itu pengurapan dalam sakramen baptisan-sidi bukan menjadi ukuran keselamatan kita. Anugerah keselamatan dari Tuhan itu perlu diperjuangkan di dalam realitas kehidupan. Apabila kita setia dan taat maka Allah akan mengaruniakan roh-Nya sehingga memampukan kita mengalami dama-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Sebaliknya ketika kita tidak setia dan taat, maka kehidupan kita akan mengalami kegelisahan sebab diganggu oleh roh jahat yang dari Tuhan sebagaimana yang dialami oleh Saul.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono