Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan
bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (Mat. 15:26).
Pondasi utama yang bermakna adalah komunikasi dan relasi. Kita akan menjembatani dengan setiap sesama yang beragam apabila mampu berempati dan peduli. Sebaliknya kata-kata yang tajam dan bernada merendahkan akan menghalangi kita. Kerusakan relasi di antara anggota keluarga, kolega, rekan, tetangga, dan sesama sering disebabkan gagalnya kita mengucapkan kata-kata yang bijak. Kita sering tidak mampu mengendalikan diri sehingga ucapan yang keluar melukai begitu dalam saudara dan sesama yang sebenarnya mengasihi kita. Beberapa kasus pembunuhan mutilasi karena pelaku merasa direndahkan dan dihina oleh korban. Suami-isteri bercerai karena salah seorang melakukan kekerasan secara verbal. Amsal 12:13 berkata, “Orang jahat terjerat oleh pelanggaran bibirnya, tetapi orang benar dapat keluar dari kesukaran.” Lebih lanjut Amsal 12:16 menegaskan, yaitu: “Bodohlah yang menyatakan sakit hatinya seketika itu juga, tetapi bijak, yang mengabaikan cemooh.” Kata-kata yang beracun lahir dari ungkapan hati yang impulsif dan tanpa pertimbangan nurani.
Apakah teks Matius 15:21-28 dapat digunakan untuk membangun tema: “Menjadi jembatan bagi Sesama?” Bagaimana kita harus menafsirkan teks Matius 15:21-28 dalam konteks realitas hidup sehari-hari yang majemuk? Bagaimana sikap kita kepada sesama yang tidak seiman, atau berbeda suku? Bagaimana sikap kita kepada umat yang berbeda denominasi dan kepercayaan? Bagaimana sikap kita kepada sesama yang berbeda tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, dan jabatan? Apakah kita juga bersikap merendahkan, menistakan, dan mengkafirkan mereka dengan sebutan yang menghina?
Apabila jembatan yang dimaksud didasarkan pada komunikasi dan relasi, apakah ucapan Tuhan Yesus dalam teks Matius 15:21-28 mendukung? Bukankah ucapan Tuhan Yesus di Matius 15:26 justru dianggap merendahkan harkat seorang perempuan Kanaan? Di Matius 15:26 Tuhan Yesus berkata kepada perempuan Kanaan, yaitu: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Kata “anjing” sampai saat ini bernada negatif.
Apabila kita cermati kata “anjing” yang digunakan oleh Matius 15:26 bukan “kuon.” Matius 15:26 menggunakan kata “kunarion” (small dog, a puppy). Makna kata “kuon” (anjing) dipakai secara negatif, yaitu menunjuk orang jahat (Flp. 3:2). Wahyu 22:15 menggunakan kata “kuon” (anjing) untuk tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta. Dalam konteks ini Tuhan Yesus tidak menggunakan kata “kuon” (anjing) kepada perempuan Kanaan itu. Tetapi Kristus menggunakan kata yang khusus yaitu “kunarion” (anjing kecil).
Dalam kehidupan sehari-hari kata “kunarion” (anjing kecil) dianggap sebagai bagian keluarga. Ia akrab dengan anggota keluarga. Hampir tidak ada seorang anak atau orang-orang pada umumnya menyukai anjing kecil. Karena itu seekor anak anjing selalu diajak makan bersama. Karena itu tepat respons perempuan Kanaan yang menyatakan: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya” (Mat. 15:27). Penggunaan kata “anjing” (kuon), dan secara khusus Yesus menggunakan kata “anjing kecil” (kunarion) karena konteks pada zaman itu orang-orang asing di luar Israel dianggap najis. Mereka tidak memperoleh janji dan keselamatan Allah. Jembatan karya keselamatan dilakukan Allah melalui inkarnasi Kristus. Ia lebih dahulu berkarya bagi umat Israel, barulah Kristus merengkuh bangsa-bangsa lain. Perjumpaan dengan perempuan Kanaan terjadi karena Tuhan Yesus pergi ke daerah Tirus dan Sidon (Mat. 15:21). Di pihak lain sangat mengherankan perempuan Kanaan itu menyapa Tuhan Yesus sebagai “Anak Daud.” Perempuan Kanaan itu telah memiliki benih iman kepada Kristus.
Jembatan komunikasi antara Yesus dan perempuan Kanaan terbangun karena Ia sengaja pergi wilayah bangsa lain, dan di pihak lain perempuan Kanaan menyapa-Nya dengan “Anak Daud.” Dinamika perjumpaan teruji saat Tuhan Yesus menyatakan bahwa Ia harus memberi roti kepada umat Israel dan tidak kepada “kunarion” (anjing kecil) yang menunjuk pada status perempuan Kanaan. Ternyata perempuan Kanaan itu menunjukkan sikap iman yang luar-biasa. Ia tidak tersinggung. Sebaliknya ia menempatkan diri dengan rendah hati kepada kemurahan hati Yesus. Itu sebabnya Tuhan Yesus memuji perempuan Kanaan itu, dan anaknya sembuh seketika itu juga (Mat. 15:28).
Bangsa dan negara Indonesia juga membutuhkan Kristus. Karena itu tugas utama umat percaya adalah bersaksi tentang anugerah dan kuasa Kristus yang menyelamatkan. Di dalam batin sesama kita telah ditanamkan oleh Allah anugerah untuk percaya bahwa Yesus adalah Anak Daud. Makna gelar Yesus sebagai “Anak Daud” menyatakan otoritas ke-Mesias-an Yesus selaku Tuhan dan Juru-selamat. Karena itu gereja yang sehat adalah gereja yang tidak hanya memberi makan kepada “anak-anak” (umat), tetapi juga kepada setiap sesama yang berbeda dalam keragamannya. Gereja yang sehat apabila ia bergerak secara sentrifugal (gerak yang melebar dan menjauhi pusat), yaitu bersaksi kepada sesama yang belum percaya, sehingga mereka juga menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono