Latest Article
Review Buku: “Melampaui Waktu”

Review Buku: “Melampaui Waktu”

Judul: Melampaui Waktu (Refleksi seorang Gembala di Ujung Musim)
Penulis: Yohanes Bambang Mulyono
Tebal: 414 halaman
Penerbit: INDIE Publishing, Tangerang-Banten
ISBN: 978-634-04-2888-9

Membaca Melampaui Waktu terasa seperti menyusuri sebuah peziarahan iman. Setiap bab bukan sekadar kumpulan gagasan akademis, melainkan percikan pengalaman spiritual seorang gembala yang menatap ke belakang dengan penuh syukur dan ke depan dengan harapan. Judulnya sendiri sudah mengisyaratkan sebuah ketegangan: waktu yang berjalan dan melampaui waktu yang fana, menuju kesetiaan Allah yang kekal.

Pada bagian awal, In Christ, to Christ, penulis menegaskan bahwa seluruh perjalanan iman bermula dan berakhir dalam Kristus. Ini bukan sekadar pengakuan teologis, tetapi sebuah kesaksian eksistensial. Pdt. Mulyono menulis bukan dari kejauhan, melainkan dari kedalaman pengalaman seorang hamba yang telah mengabdikan hidupnya dalam pelayanan. Refleksi ini memberi nuansa afektif yang kuat—pembaca diajak bukan hanya memahami, tetapi juga ikut merasakan.

Salah satu bagian yang paling menonjol adalah Spiritualitas Delta sebagai Jalan Theosis. Di sini, penulis mengintegrasikan neurosains, teologi mistis, dan praktik kontemplatif. Upaya ini berani, karena mencoba menjembatani tradisi spiritual kuno dengan pengetahuan modern. Namun justru di situlah daya tariknya: iman tidak dilihat sebagai warisan statis, melainkan sebagai dinamika yang terus berinteraksi dengan penemuan-penemuan baru, tanpa kehilangan orientasi Kristosentris-Trinitaris.

Refleksi liturgis yang hadir dalam bab-bab tentang ibadah Rabu Abu, musik liturgis, dan leksionari, memperlihatkan kepekaan penulis terhadap kehidupan gereja sehari-hari. Ia mengajak pembaca untuk melihat liturgi bukan sebagai rutinitas kaku, tetapi sebagai ruang perjumpaan dengan Allah dan sesama. Musik, misalnya, dipahami bukan sekadar seni, melainkan medium kasih persaudaraan sebagaimana dinyatakan dalam Mazmur 133: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.”

Yang menarik, buku yang ke-25 ini tidak berhenti di lingkup liturgi dan teologi murni. Penulis memperluas cakrawala dengan membicarakan peran chaplain di perguruan tinggi, integrasi service-learning, hingga isu pengelolaan sumber daya alam. Semua ini menunjukkan bahwa spiritualitas Kristen sejati selalu merembes keluar: dari altar menuju ruang kuliah, dari ruang doa menuju hutan dan sungai, dari refleksi menuju aksi.

Gaya tulisan Pdt. Yohanes Bambang Mulyono (YBM) tetap akademis, dengan kerangka teologis yang jelas, kutipan Alkitab yang mendalam, dan keterhubungan dengan tradisi gereja. Namun, di balik kerangka akademis itu berdenyut kehangatan hati seorang gembala. Ia tidak menulis untuk membangun menara gading teologi, melainkan untuk menyalakan api iman agar menyala di hati pembaca.

Pada akhirnya, Melampaui Waktu menegaskan bahwa spiritualitas Kristen adalah perjalanan dari kesetiaan menuju transformasi. Kesetiaan Allah yang setia mendampingi setiap musim kehidupan menjadi dasar pengharapan. Transformasi pribadi dan komunitas menjadi buah yang nyata. Di sinilah buku ini menemukan kekuatan utamanya: ia bukan sekadar analisis, melainkan undangan untuk ikut berjalan dalam peziarahan iman.

Dengan demikian, karya ini memberi kontribusi yang berharga, baik bagi kajian akademis teologi maupun bagi kehidupan iman jemaat. Ia menunjukkan bahwa teologi tidak terpisah dari kehidupan, melainkan berakar dalam keseharian, menyentuh jiwa, dan menggerakkan tindakan.

Buku ini memiliki muatan yang sangat kaya sebagai sebuah tulisan reflektif peziarahan panggilan sebagai seorang pendeta. Kekayaan tulisan ini tercermin dari orsinalitas pemikiran teologis dan refleksi spiritual penulis. Penulis mengolah orisinalitas pemikirannya dengan merujuk pada ragam referensi. Ini semakin menegaskan kekayaan dalam setiap topik yang dibahas mengandung pencerahan. Namun untuk mendapatkan percikan-percikan pencerahan, buku ini tidak bisa dibaca sekilas atau terburu-buru, melainkan membutuhkan keheningan batin dan ketenangan pikiran sehingga pembaca mengalami transformasi spiritual.”  Pdt. Stefanus Christian Haryono, MACF., Ph.D., Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta).