Latest Article
Merawat Pengharapan kepada Allah

Merawat Pengharapan kepada Allah

Inti dari iman Kristen sebenarnya adalah tentang pengharapan. Tapi jangan salah paham dulu, pengharapan di sini bukan sekadar berpikir positif atau berandai-andai keadaan akan membaik dengan sendirinya. Bagi orang percaya, pengharapan adalah sesuatu yang melekat dalam hidupnya. Rasul Paulus pernah mengingatkan, “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?” (Roma 8:24). Artinya, pengharapan sejati justru hidup dalam ketegangan: kita sudah merasakan sentuhan kasih Allah, namun puncaknya belum sepenuhnya kita raih. Justru di ruang antara “sudah merasakan” dan “belum sepenuhnya” itulah pengharapan kita bertumbuh.

Sebagaimana yang dijelaskan Jürgen Moltmann, pengharapan bukanlah hiasan tambahan bagi iman. Ia ibarat nafas yang membuat iman hidup dan bergerak. Tanpanya, iman bisa kehilangan arah dan merosot jadi rutinitas agama yang kering. Kita hanya datang ke gereja secara rutin, berdoa dengan kata-kata hafalan, tapi kehilangan api yang seharusnya menyala. Pengharapan Kristen justru mendorong kita untuk aktif. Kita tidak cuma duduk pasif menunggu, tapi diajak untuk menjalani hari ini dengan segala pergumulannya, sambil mata kita tetap tertuju pada janji Allah yang tak pernah gagal.

Kalau kita selami lebih dalam, iman Kristen itu adalah iman yang mengarah ke masa depan. Iya, kita percaya pada Allah yang sudah berbuat hal-hal besar di masa lampau: membebaskan Israel, menjadi manusia dalam Yesus, dan membangkitkan-Nya dari kematian. Tapi iman kita tidak berhenti pada kenangan indah masa lalu seolah itu semua sudah selesai. Kita percaya pada Allah yang terus berkarya. Seperti dalam Kitab Wahyu, Allah berfirman, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (Wahyu 21:5). Perhatikan, kata-Nya bukan “telah menjadikan”, tapi “menjadikan” sebuah tindakan yang terus berlangsung. Inilah poin pentingnya: Allah kita bukan hanya Allah sejarah, tetapi juga Allah masa depan yang sedang menarik segala sesuatu menuju tujuan-Nya.

Karena itulah, pengharapan Kristen ini berbeda dari optimisme duniawi biasa. Optimisme dunia sering bergantung pada hal-hal yang rapuh, hanya berdasarkan pada grafik ekonomi naik, situasi politik stabil, atau kemajuan teknologi. Saat itu semua goyah, optimisme itu pun runtuh. Sebaliknya, pengharapan kita berpijak pada sesuatu yang jauh lebih dalam dan kokoh, yaitu kesetiaan Allah sendiri. Seperti yang diyakini Nabi Yeremia di tengah situasi suram sekalipun, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).

Jadi, dalam sudut pandang iman, masa depan bukanlah kegelapan yang menakutkan untuk kita masuki dengan cemas. Bukan pula sepenuhnya proyek yang kita bangun sendiri. Masa depan adalah ruang yang sudah dijamah oleh janji Allah dan sedang digerakkan oleh rencana-Nya yang baik.

Cara pandang seperti ini bukan cuma teori, tapi punya dampak yang sangat nyata bagi hidup kita sehari-hari sebagai orang percaya. Seringkali, pembicaraan tentang “hal-hal akhir” atau eskatologi cuma dipersempit jadi soal “nanti di surga” atau apa yang terjadi setelah kematian. Tapi, seperti yang ditekankan Moltmann, pemahaman tentang akhir zaman justru seharusnya menjadi penggerak hidup Kristen kita di sini dan sekarang, di tengah kenyataan hidup yang kita jalani.

Alkitab sendiri mengaitkan erat antara harapan akan masa depan dengan tanggung jawab kita hari ini. Rasul Petrus menulis tentang “menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah” (2 Petrus 3:12). Itu kata kuncinya, yaitu bukan cuma menunggu, tapi ikut aktif mempercepat. Pengharapan kita akan langit dan bumi baru bukan alasan untuk lari dari dunia, malah sebaliknya. Itu yang mendorong kita untuk hadir lebih serius dan bertanggung jawab di tengah dunia yang rusak ini. Seperti yang rasul Paulus tegaskan, “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Korintus 15:58). Keyakinan ini lahir dari iman akan kebangkitan karena masa depan di tangan Allah itu pasti, maka segala usaha dan kebaikan kita hari ini punya makna yang abadi.

Tentu, kita tidak sedang membangun Kerajaan Allah dengan tangan kita sendiri, seolah-olah segalanya tergantung pada kita. Kita justru diajak untuk ambil bagian dalam karya pemulihan besar yang Allah sendiri kerjakan. Seluruh ciptaan, seperti yang dikatakan rasul Paulus, “dengan sangat rindu menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan… karena seluruh makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin sampai sekarang” (Roma 8:19, 22). Jadi, harapan akan masa depanlah yang memberi bobot dan arah pada setiap langkah kesetiaan kita di masa kini.

Semua pengharapan ini berpuncak pada satu peristiwa sentral: kebangkitan Yesus Kristus. Bagi Moltmann, kebangkitan bukan cuma soal jaminan hidup setelah mati untuk diri kita pribadi. Kebangkitan itu adalah awal mula dari ciptaan yang sama sekali baru. Kristus adalah “yang sulung” (1 Korintus 15:20), artinya yang pertama bangkit dari antara banyak orang yang akan menyusul. Dalam kebangkitan-Nya, masa depan Allah itu bukan lagi sekadar janji yang jauh, sebaliknya ia sudah menerobos masuk ke dalam sejarah kita. Masa depan itu sudah dimulai.

Di sinilah kita hidup dalam ketegangan yang khas sebagai orang Kristen. Di satu sisi, dunia ini jelas belum pulih sepenuhnya. Penderitaan, penyakit, dan kematian masih nyata adanya. Tapi di sisi lain, kita sudah menerima Roh Kudus sebagai “uang muka” atau jaminan dari masa depan Allah itu sendiri (2 Korintus 1:22). Roh itu adalah tanda bahwa janji-Nya pasti akan digenapi. Kita hidup di antara yang “sudah” dimulai dan yang “belum” tuntas. Dan justru di ruang ketegangan inilah kita dipanggil untuk bertahan, terus berharap, dan setia menjalani panggilan kita hari ini.

Inilah salah satu kekuatan teologi Jürgen Moltmann yang paling mengena: keberaniannya menempatkan pengharapan justru di bawah bayang-bayang salib. Di tempat penderitaan dan kematian itu, harapan manusiawi biasanya padam. Tapi Moltmann mengajarkan bahwa pengharapan Kristen tidak lahir dari melarikan diri dari kenyataan pahit, melainkan dari keyakinan bahwa Allah sendiri telah masuk ke dalam kenyataan itu. Di dalam Kristus yang tersalib, Allah tidak menjauhi penderitaan kita, tetapi justru hadir sepenuhnya di dalamnya. Salib membuktikan bahwa Allah kita bukan Tuhan yang jauh dan acuh, melainkan Tuhan yang berjalan bersama ciptaan-Nya hingga ke dalam kegelapan dan kematian yang paling dalam.

Karena itu, pengharapan Kristen bukanlah penghiburan palsu yang menutup mata. Pengharapan ini berani dan jujur. Ia memberi ruang bagi tangisan dan keluhan, seperti yang kita lihat dalam Mazmur. Pemazmur bisa berteriak, “Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” (Mazmur 13:2), namun di ujung keluhnya, ia tetap mengarahkan hati pada Allah. Di balik salib, selalu ada janji kebangkitan. Dan di dalam solidaritas Allah yang menyertai penderitaan kita, tersimpan benih masa depan yang baru.

Kalau kita jujur melihat dunia sekarang, banyak sekali alasan untuk putus asa, yaitu krisis iklim, ketidakadilan sosial, perang yang tak kunjung usai, dan kelelahan rohani yang melanda banyak orang. Dunia ini, seperti kata rasul Paulus, sedang mengeluh dan merasa sakit bersalin. Kita semua ikut merasakan keluh kesah itu. Namun justru di tengah kenyataan yang terluka inilah, pengharapan Kristen menemukan maknanya yang terdalam. Moltmann menolak dua sikap ekstrem: pesimisme yang menyerah total, dan optimisme naif yang mengandalkan kemampuan manusia semata. Pengharapan Kristen berdiri tegap di antara keduanya. Ia tidak menyangkal kenyataan pahit tentang dosa dan kerusakan, tetapi akarnya tertanam kuat pada janji Allah yang tidak pernah ingkar. “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Roma 5:5).

Pengharapan ini bukan teori abstrak. Ia nyata dan praktis. Bagi yang hidup dalam tekanan ekonomi, pengharapan ini menegaskan bahwa nilai hidupmu tidak ditentukan oleh gaji atau tabunganmu. Bagi yang terluka oleh ketidakadilan, ia memberikan kekuatan untuk terus berjuang, karena Tuhan adalah Allah yang mencintai keadilan. Lalu bagi yang lelah secara rohani, yang merasa doanya kering dan imannya layu, pengharapan adalah undangan lembut untuk datang kepada Yesus, yang berjanji, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28). Begitulah cara pengharapan Kristen, menurut Moltmann, hadir di dunia yang retak ini: bukan untuk menutupi luka, tetapi untuk memberi kekuatan agar kita tidak menyerah. Sebab, di balik segala sesuatu, Allah tetap setia, dan masa depan, yaitu masa depan yang penuh berada di tangan-Nya.

Inilah panggilan gereja yang sesungguhnya, yaitu bukan sekadar mengajarkan atau berkhotbah tentang pengharapan, tetapi menghidupinya. Gereja dipanggil untuk menjadi komunitas yang benar-benar hidup dari sumber pengharapan itu, menjadi tanda nyata dan awal dari ciptaan baru yang Tuhan janjikan. Di tengah dunia yang terluka, gereja, yaitu sebagai “tubuh Kristus” yang hadir bukan untuk menjauh, tetapi untuk menyentuh penderitaan itu dengan tangan yang sama yang pernah tertancap paku.

Merawat pengharapan itu adalah kerja sehari-hari yang konkret. Itu berarti berdoa tanpa lelah, bahkan ketika kata-kata terasa kering. Itu berarti tetap setia berbuat baik, meski hasilnya tak kunjung terlihat, percaya bahwa setiap benih kebaikan akan bertunas pada waktunya. Dan yang terutama, itu berarti mengasihi tanpa batas dan tanpa syarat, karena “kasih tidak berkesudahan” (1 Korintus 13:8). Itulah nafas hidup sebuah komunitas pengharapan.

Dari sinilah kita memahami bahwa eskatologi atau pembicaraan tentang akhir zaman bukanlah teori abstrak atau skenario masa depan yang jauh. Seperti ditekankan Moltmann, eskatologi adalah sumber kekuatan yang nyata untuk hari ini. Ialah yang memampukan kita untuk berdiri tegak di tengah badai ketidakpastian, tanpa kehilangan arah atau makna.

Di tengah dunia yang gampang putus asa, kehidupan umat Allah yang penuh harapan menjadi kesaksian yang tenang namun teguh. Sebuah kesaksian bisu yang berseru. Allah belum selesai dengan dunia ini. Penderitaan bukanlah akhir cerita. Masa depan, seberapa pun kaburnya hari ini, tetap dipegang erat oleh tangan Allah yang setia. Karena itu, di tengah segala krisis dan kecemasan zaman ini, kita dipanggil untuk terus merawat pengharapan itu dengan setia. Bukan sebagai ilusi penenang, bukan pula sebagai pelarian. Merawat pengharapan adalah tindakan iman yang paling berani, yaitu sebuah pilihan untuk berakar pada janji Allah yang hidup, pada Dia yang telah berjanji dan yang tak pernah ingkar pada ciptaan yang dikasihi-Nya.

Pertanyaan untuk Diskusi

  1. Apa perbedaan mendasar antara pengharapan Kristen dan optimisme duniawi?
  2. Mengapa pengharapan Kristen justru bisa bertumbuh di tengah penderitaan dan salib?
  3. Bagaimana kebangkitan Kristus mengubah cara kita memandang masa depan dan tanggung jawab kita hari ini?
  4. Apa artinya hidup di antara “sudah” dan “belum” dalam konteks pengharapan Kristen?
  5. Mengapa eskatologi (ajaran tentang akhir zaman) seharusnya mendorong keterlibatan kita di dunia, bukan membuat kita lari dari dunia?
  6. Bagaimana kita bisa merawat pengharapan ketika doa terasa kering dan iman terasa lemah?
  7. Apa yang membedakan pengharapan Kristen dari “penghiburan murah” yang menutup mata terhadap penderitaan?
  8. Dalam situasi krisis yang bertumpuk saat ini, bagaimana gereja bisa menjadi komunitas yang mempraktikkan pengharapan, bukan hanya mengajarkannya?
  9. Mengapa Moltmann menolak baik pesimisme yang menyerah maupun optimisme naif tentang kemampuan manusia?
  10. Apa artinya secara praktis bahwa “masa depan ada di tangan Allah yang setia” dalam kehidupan kita sehari-hari?

Pdt. Em. Yohanes Bambang Mulyono