Konteks Kehidupan Masa Kini
Konteks permasalahan kehidupan umat pada masa kini sangat sulit dirumuskan dalam tulisan yang singkat ini karena memiliki persoalan yang begitu kompleks. Karena itu penulis hanya membatasi satu saja, yaitu berkembangnya ateisme. Kamus Merriam-webster mendefinisikan dengan: “disbelief in the existence of deity, the doctrine that there is no deity” (http://www.merriam-webster.com/dictionary/atheism). Definisi ini memahami ateisme secara ideologis. Ateisme ideologis merupakan paham ketidakpercayaan akan keberadaan yang ilahi, atau suatu doktrin bahwa tidak ada realitas yang ilahi.
Namun perlu dipahami pula bahwa ateisme bukan hanya suatu kelompok umat tertentu saja yang mempraktikkan hidup tanpa iman kepada Allah. Kita dapat melihat bahwa agama-agama juga mempraktikkan hidup tanpa Allah. Dalam bukunya yang ditulis tahun 2004 berjudul The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason, Sam Harris menyatakan bahwa agama-agama dalam perjalanan sejarah umat manusia sering menghadirkan kekerasan, kekejaman, dan kematian. Karena itu agama dipandang oleh Sam Harris sebagai akar seluruh kejahatan (the root of evil). Dengan kata lain, para pelaku yang ateistis juga dilakukan oleh umat yang menyebut dirinya sebagai umat beragama atau umat percaya. Agama-agama mempraktikkan “ateisme” secara praktik, sehingga menghadirkan kematian dan ancaman bagi kemanusiaan. Bahkan tidak jarang agama-agama menjadi teror dan kekejaman yang mengerikan. Di 2Timotius 3:4, Rasul Paulus mempersaksikan tentang kehidupan manusia pada hari-hari terakhir, yaitu: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” Dengan kata lain, ateisme praktik sering dilakukan oleh umat beragama dalam relasinya dengan umat lain, termasuk pula dengan sesama di lingkungan mereka sendiri.
Psikologi Ateisme
Dalam bukunya yang berjudul Faith of the Fatherless: The Psychology of Atheism (1999), Paul Vitz mengajukan pemikiran yang bertolak-belakang dari Sigmund Freud tentang teori proyeksi sebagai dasar penolakan kepada Allah. Dalam teori proyeksi, Freud menyatakan: “wish-fulfillment derived from childish needs for protection and security” (pemenuhan keinginan berasal dari kebutuhan-kebutuhan masa kanak-kanak untuk mendapat perlindungan dan rasa aman) sebagai dasar bagi manusia untuk percaya kepada Allah. Jadi karena sejak masa kanak-kanak manusia membutuhkan perlindungan dan rasa aman, maka ia kemudian membutuhkan Allah.
Dalam konteks ini Vitz mengajukan pemikiran yang melawan pandangan Freud setelah dia meneliti 19 kasus dari para tokoh Ateis, yaitu: dari Voltaire, Thomas Hobbes, David Hume, sampai Nietzsche, Bertrand Russell, Jean-Paul Sartre, Joseph Stalin, dan Sigmund Freud. Kesimpulan Vitz adalah sikap ketidakpercayaan para tokoh Ateis tersebut umumnya disebabkan karena mereka tidak mendapat gambaran yang positif tentang ayah mereka. Vitz menyebutnya sebagai defective father hypothesis (hipotesis gambaran ayah yang rusak). Gambaran ayah yang rusak bisa disebabkan karena mereka ditinggal ayah yang wafat pada usia dini, pelecehan seksual, diabaikan, ditinggalkan, atau kecewa dengan watak ayah yang lemah. Karena itu Vitz menyatakan bahwa kurangnya kualitas kasih dari seorang ayah tersebut meninggalkan kekosongan yang tidak dapat diisi oleh kepercayaan kepada Allah sehingga mereka menolak keberadaan yang Ilahi. Dengan pemikiran Paul Vitz tersebut di atas kita juga dapat terapkan dalam memahami beberapa kasus tingkah-laku orang-orang beragama yang sering melakukan kekerasan, kekejaman, dan ketidakadilan walau secara ritual mereka sangat saleh. Mereka kehilangan gambaran seorang ayah yang ideal, sehingga batin mereka tidak dapat diisi oleh sistem kepercayaan yang ditawarkan oleh agama atau gambaran tentang diri Allah sebagaimana dipersaksikan oleh agama-agama.
Kedatangan Parakletos
Spiritualitas umat sebagaimana disinyalir oleh Paul Vitz berada dalam kekosongan batin, sehingga tidak dapat diisi oleh gambaran tentang Allah. Karena itu mereka beranggapan bahwa Allah itu mati sebagaimana dikemukakan oleh Nietzsche. Nietzshe menyatakan: “God is dead. God remain dead and we have killed him. How shall we comfort ourselves, the murderers of all murderer? What was holiest and mightiest of all that the world has yet owned has bled to death under our knives: who will wipe this blodd off us?” (http://www.philosophy-index.com/nietzsche/god-is-dead/). Dalam peristiwa salib, manusia telah membunuh Kristus, yaitu Sang Firman Allah yang menjadi manusia. Padahal di dalam inkarnasi Kristus, Allah hadir untuk menjadi bagian dalam pergumulan dan penderitaan manusia. Di dalam Kristus, Allah menjadi Sang Imanuel, yaitu Allah-beserta-kita. Tetapi dengan membunuh Kristus, manusia memilih hidup tanpa Allah. Manusia lebih menyukai gambaran Allah yang diproyeksikan menurut keinginannya sendiri daripada menerima penyataan diri Allah dalam inkarnasi Kristus. Kekosongan batin di dalam diri manusia mendorong manusia untuk meniadakan tawaran anugerah keselamatan Allah.
Di tengah-tengah penolakan manusia dengan membunuh Kristus, ternyata anugerah keselamatan Allah tidak dapat dipatahkan. Allah tetap hadir di tengah-tengah umat-Nya. Ia tidak meninggalkan mereka sebagai yatim-piatu. Menjelang kematian-Nya, Yesus berkata: “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yoh. 14:18). Untuk itu Tuhan Yesus berjanji akan mengutus Roh Kebenaran: “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (Yoh.14:16). Pertanyaan yang muncul adalah apakah Roh Kebenaran yang disebut “Penolong yang lain” adalah oknum ilahi di luar diri Yesus?
Istilah “penolong yang lain” (allos parakletos) sering disalahpahami untuk menunjuk kedatangan nabi Muhammad (http://islam.vishwas.org/mohammad-and-parakletos-or-paraclete.html). Bila umat Islam konsisten menggunakan kutipan Yohanes 14:16 sebagai rujukan nubuat yang valid untuk nabi Muhammad, maka seharusnya mereka juga konsisten dengan keseluruhan teologi Injil Yohanes. Di Yohanes 16:8-9, Parakletos tersebut akan menginsafkan akan dosa. Makna “dosa” di sini secara khusus berkaitan dengan penolakan terhadap diri Yesus: “Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada-Ku.” Lalu tugas lain dari Parakletos tersebut adalah: “Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku” (Yoh. 16:14). Jadi Parakletos tersebut memiliki misi mempermuliakan Yesus selaku Anak Allah dan Juru-selamat dunia. Sangat menarik bahwa di Surat 1Yohanes 2:1, Yesus disebut sebagai Parakletos, yaitu: “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil.” Kata “pengantara” di sini terjemahan dari kata parakletos. Konteks pemikiran Surat 1Yohanes 2:1 adalah Yesus yang telah naik ke surga sebagai seorang pengantara (parakletos) dalam persidangan ilahi di surga. Karena itu Yesus sebagai Parakletos membela umat di hadapan Allah. Dengan demikian, makna Parakletos di Yohanes 14:16, dan 16:7-14 menunjuk kepada diri Kristus sendiri, yaitu Kristus yang telah bangkit dan naik ke surga. Karena itu Goerge R. Beasley-Murray dalam Word Biblical Commentary John berkata: “Here the ascended Lord is viewed as a Paraclete in the court of heaven, pleading the cause of his own; the Holy Spirit is then understood as the Paraclete from heaven, supporting and representing the disciples in the face of a hostile world” (Beasley-Murray 1987, 256).
Karya Roh dalam Kehidupan Umat
Janji Tuhan Yesus kepada para murid dan umat percaya bilamana Ia wafat dan naik ke surga adalah akan mengutus Parakletos, yaitu Roh Kudus. Di Yohanes 14:17-26, dan Yohanes 16: 13-14 Roh Kudus yang diutus oleh Kristus akan berkarya:
- Ia akan menyertai mereka senantiasa (Yoh. 14:16)
- Ia akan tinggal di dalam diri mereka (Yoh. 14:17).
- Kehadiran-Nya tidak dapat dilihat oleh dunia (Yoh. 14:17).
- Ia akan mengajar mereka segala sesuatu (Yoh. 14:26).
- Ia akan membantu mereka untuk mengingat semua hal yang telah diajarkan Yesus (Yoh. 14:26).
- Ia akan memimpin mereka dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13).
- Ia akan memuliakan Kristus (Yoh. 16:14).
Menurut Henry W. Hastings III dalam The Role of the Holy Spirit in the Life of the Believer menyatakan bahwa Roh Kudus yang tidak kelihatan berkarya dalam hati umat percaya. Hastings berkata: “Therefore, the Lord prepared the disciples to depend upon One who they could not see, the One who would enable them from within to do what they could not do without the Spirit mentoring them” (Hastings 2006, 7). Dengan demikian karya Roh Kudus bukan hanya sebagai Penolong, Penghibur, dan Pembela tetapi juga sebagai Mentor (Hastings 2006, 6).
Peran Parakletos (Roh Kudus) sebagai “mentor” oleh Hasting dijabarkan sebagai: “He guided them, He taught them and helped them to understand spiritual things. He led them because they were willing to follow. He encouraged them, exhorted them, corrected them, rebuked, and reproved them when necessary. He was their coach, their teacher, their guide, their counselor” (Hastings 2006, 6). Tujuan utama Roh Kudus sebagai “mentor” adalah menguduskan hidup umat beriman. Karena itu Rasul Paulus berkata: “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging–karena keduanya bertentangan–sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki” (Gal. 5:16-17). Hidup menurut Roh akan terwujud jikalau mereka tidak bersandar pada kemampuan dan pengertian diri sendiri, tetapi mengizinkan Allah berperan dan menguasai hidup mereka. Dalam konteks ini Hastings menegaskan:
“The key to the intrinsic dynamics of the spiritual life of the Church Age believer is realized when the life is viewed as one that is not about what the believer can do for God, but about what the believer allows God to do for him, through him, and with him as he walks in dependence upon his parakletos” (Hastings 2006, 5).
Roh Kudus sebagai Sang Pemulih
Kita semua lahir dalam belenggu dosa, sehingga setiap orang memiliki cacat dalam kepribadian dan spiritualitasnya. Karena itu pula kita mengalami defective father hypothesis (hipotesis gambaran ayah yang rusak) sebagaimana disinyalir oleh Paul Vitz. Dalam hal ini penulis lebih setuju dengan istilah defective parents hypothesis, sebab bukan hanya gambaran ayah yang rusak, namun juga gambaran ibu. Kekosongan batin tersebut bukan hanya karena faktor gambaran diri terhadap orang-tua, namun juga situasi keberdosaan juga menyebabkan kita membuat “retakan-retakan” dalam kepribadian dan kerohanian kita yang semakin lebar. Dosa membuat kita terasing dengan Allah dan sesama, namun juga dengan diri sendiri (bdk. Yes. 59:2-3). Retakan kepribadian dan kerohanian tersebut membuat kita menolak anugerah keselamatan Allah, dan mendorong kita untuk melukai atau melakukan kekerasan kepada orang-orang di sekitar. Karena itu manusia menolak keberadaan Allah (ateisme ideologis), dan/atau menolak memberlakukan kasih dan pengampunan Allah kepada sesamanya (ateisme praktis).
Retakan kepribadian dan kerohanian karena belenggu dosa tersebut hanya dapat dipulihkan melalui sikap iman dalam karya penebusan Kristus. Sebab di dalam Kristus, kita didamaikan dengan Allah. Pendamaian dengan Allah tersebut memungkinkan kita mengalami pembaruan oleh Roh Kudus. Karena itu hidup umat Kristen mengalami tiga pemulihan yang fundamental, yaitu keselamatan dari Allah, penebusan oleh Yesus Kristus, dan pengudusan oleh Roh Kudus. Ketiga aspek pemulihan yang “trinitaris” tersebut memampukan kita mengalami pemulihan relasional dengan Allah, sesama, dan diri sendiri, serta dengan alam (ekologi). Jika demikian, iman harus dipahami sebagai media pemulihan yang relasional karena umat telah menyambut anugerah keselamatan Allah di dalam Kristus dan pembaruan oleh Roh Kudus. Penolakan atau pengabaian terhadap pemulihan secara relasional dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan alam akan menyebabkan kita kehilangan makna kemanusiaan kita. Sebaliknya penebusan oleh Kristus dan pengudusan oleh Roh Kudus akan memampukan kita untuk menghasilkan buah Roh: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal. 5:22-23).
Daftar Acuan
Beasley-Murray, George R. 1987. Word Biblical Commentary John. Waco, Texas: Word Books Publisher.
Harris, Sam. 2004. The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. New
York: W.W. Norton and Company, Inc.
Hastings III, Henry W.. 2006. The Role of the Holy Spirit in the Life of the Believer. Chafer Theological Seminary Pastor’s Conference 2006.
Vitz, Paul. 2009. Faith of the Fatherless: The Psychology of Atheism. Dallas, Spence Publishing Company.
Situs:
Merriam-webster: http://www.merriam-webster.com/dictionary/atheism (diakses 2 Mei 2013).
Mohamad and Parakletos /Paraclete:
http://islam.vishwas.org/mohammad-and-parakletos-or-paraclete.html (diakses 2 Mei 2013).
Philosophy Index: http://www.philosophy-index.com/nietzsche/god-is-dead/ (diakses 3 Mei 2013).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono