1Raja-raja 8:22-23, 41-43; Lukas 7:1-10
Kehidupan masyarakat umumnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu masyarakat yang guyub (gemeinschaft), dan masyarakat yang diorganisasikan untuk kepentingan tertentu (gesellschaft). Masyarakat yang guyub sering dikaitkan dengan masyarakat desa yang menekankan pada kebersamaan dan sikap gotong-royong. Begitu kuatnya hubungan antar masyarakat, sehingga masyarakat yang guyub nyaris kurang memperhatikan pentingnya sikap rasional. Sedang masyarakat kota umumnya diorganisasikan untuk kepentingan tertentu sehingga cenderung sangat rasionalitis dan individualistis, sehingga terlalu memperhitungkan untung-rugi, peningkatan karir, dan prestasi. Karena tekanannya pada kepentingan tertentu, maka masyarakat kota cenderung kehilangan keakraban dan kebersamaan. Masyarakat guyub cenderung menenggelamkan para anggotanya pada komunitas, sehingga jati-diri anggotanya kurang dihargai. Sebaliknya masyarakat kota yang diorganisasikan untuk kepentingan tertentu cenderung mengabaikan nilai-nilai kebersamaan. Kedua jenis masyarakat tersebut sebenarnya menciptakan “orang asing.” Masyarakat yang guyub menciptakan “orang asing” sebab segi individualistis para anggotanya diabaikan, dan masyarakat yang diorganisasikan untuk kepentingan tertentu menciptakan “orang asing” sebab manusia dihargai berdasarkan kedudukan sosial, dan prestasinya.
Kedudukan orang asing sering dianggap “anonim” sebab jati-diri dan kehadiran mereka diabaikan. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau setiap orang asing sering mendapat perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang. Dalam hukum Taurat, Allah melindungi setiap orang asing: “Janganlah kautindas atau kautekan seorang orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir (Kel. 22:21). Di Ulangan 10:19, Allah berfirman: “Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.” Namun firman dalam hukum Taurat tersebut sifatnya yuridis (hukum) yang tidak senantiasa mencerminkan isi hati umat yang terdalam. Motif umat melaksanakan hukum Taurat dapat didasarkan pada sikap yang legalistis, sehingga tidak senantiasa dilakukan dengan hati yang tulus dan penuh kasih. Di kitab 1Raja-raja 8:41, 43 mengisahkan Salomo yang menaikkan doa syafaat agar Allah berkenan mendengar doa orang-orang asing. Salomo berdoa: “Juga apabila seorang asing, yang tidak termasuk umat-Mu Israel, datang dari negeri jauh oleh karena nama-Mu, maka Engkaupun kiranya mendengarkannya di sorga, tempat kediaman-Mu yang tetap, dan Engkau kiranya bertindak sesuai dengan segala yang diserukan kepada-Mu oleh orang asing itu, supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu.” Isi doa Salomo yang peduli kepada orang asing mencerminkan kepeduliannya yang lahir dari ketulusan hatinya, dan bukan karena ketaatan pada hukum.
Kita sering gagal memperlakukan orang asing dengan layak karena hati kita belum diubahkan untuk mengasihi mereka. Karena itu doa-doa kita belum tergerak mendoakan pergumulan setiap orang asing yang ada di sekitar kita. Padahal “orang asing” tersebut adalah para anggota keluarga yang tidak merasakan makna kehadiran dan peran kita, para anggota jemaat yang sering bertemu tetapi kita tidak pernah menyapa dan berbicara dari hati ke hati, dan para tetangga yang berelasi sebatas kita memerlukan mereka. Jati-diri dan keberadaan mereka dapat kita tenggelamkan ke dalam komunitas (persekutuan), sehingga kita tidak dapat mendengar jeritan isi hati yang terdalam. Kita juga dapat menenggelamkan jati-diri dan keberadaan mereka karena yang kita utamakan adalah ukuran prestasi, status sosial, dan kemampuan finansial. Padahal Allah berpihak kepada setiap orang asing. Sebab Allah mengasihi setiap orang yang tertindas, dan melawan setiap orang yang menjadi penindas. Karena itu Allah mengaruniakan hikmat dan kekuasaan kepada Salomo karena doanya tidak tertuju kepada kepentingan diri sendiri dan umat Israel, namun juga peduli pada orang-orang asing. Melalui doa syafaatnya, Salomo mengungkapkan kasihnya yang tak berbatas.
Di Lukas 7:1-10 mengisahkan seorang perwira Romawi yang begitu peduli dengan hamba yang sangat dihargainya. Perwira Romawi bukan termasuk umat Allah, namun mampu memperlihatkan kasih yang begitu besar dengan mengupayakan kesembuhan bagi hambanya. Ia mengutus tua-tua Yahudi agar memohon kepada Yesus menyembuhkan hambanya yang sedang sakit dan hampir mati. Saat Yesus dekat rumahnya, perwira Romawi tersebut mengutus sahabat-sahabatnya untuk menyatakan bahwa ia tidak layak menerima kedatangan Yesus di rumahnya. Perwira Romawi tersebut selain memperlihatkan sikap yang peduli kepada hambanya, juga sikapnya yang rendah-hati di hadapan Yesus. Padahal dari sudut agama Yahudi, perwira Romawi tersebut termasuk golongan kafir. Tetapi ternyata ia memiliki kasih yang tak berbatas walau hambanya bukan seorang Romawi. Karena itu Tuhan Yesus memuji sikap perwira Romawi: “Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!” (Luk. 7:9).
Kesimpulannya: Salomo melalui doa syafaatnya menaikkan doa untuk kehidupan orang-orang kafir agar Allah berkenan mendengar doa-doa mereka. Pada pihak lain dari Lukas 7:1-10 mengisahkan sikap orang asing dalam diri perwira Romawi yang memperlihatkan belas-kasihan dan kepedulian kepada orang hambanya yang bukan orang Romawi. Pertanyaan reflektif adalah apakah dalam doa-doa kita dengan tulus memperhatikan setiap orang asing di sekitar kita? Bagaimana spiritualitas kita saat dicelikkan oleh kenyataan saat kita menjumpai orang asing yang justru memiliki cinta-kasih dan kepeduliaan yang begitu besar dibandingkan dengan cinta-kasih dan kepedulian kita? Saat ini kita dipanggil oleh Allah untuk memiliki kasih yang tak berbatas, sebagaimana Allah mengasihi kita dengan mengaruniakan Tuhan Yesus.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono