Pengantar
Saya selaku wakil jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Perniagaan Jakarta bergabung dengan Jaringan Gereja Sahabat Kota di Wilayah Tambora (dahulu dikenal dengan nama Bless Bandengan) dimulai pada 2010. Pertemuan saya dengan wakil Bless Bandengan secara tidak bersengaja, yaitu saat saya melayani kedukaan di Rumah Duka Jelambar. Saya berjumpa dengan Pdt. David Teja Sasmita dari GBI Jembatan Dua. Keramahan dan kehangatan Pdt. David Teja mendorong saya untuk hadir dalam persekutuan Bless Bandengan. Kehadiran tersebut berlanjut sampai saya dapat mengenal para hamba Tuhan dalam persekutuan Bless Bandengan. Walau kami berbeda denominasi dan teologi, namun saya dapat merasakan kasih Kristus yang tulus. Kasih Kristus itulah yang menjadi sumber spiritualitas persekutuan Jaringan Gereja Sahabat Kota Wilayah Tambora (Jakarta Utara). Demikian pula dengan pertemuan dengan para hamba Tuhan dalam lingkup yang lebih luas di Jaringan Gereja Sahabat Kota di Wilayah Jakarta Barat. Saya merasakan kehangatan, ketulusan, kebaikan, dan kesetiakawanan yang mengharukan. Dalam konteks inilah saya merenungkan firman Tuhan di Filipi 2:1-11. Saya terkesan dengan kedalaman makna refleksi teologis Rasul Paulus tentang ke-Diri-an Kristus selaku Anak Allah yang bersedia mengosongkan diri-Nya. Jika demikian seharusnya kehangatan, keramahan, persahabatan, dan realitas penyatuan gereja-gereja berkaitan erat dengan spiritualitas pengosongan diri Kristus. Untuk itu saya akan mengulas dan menafsir pemikiran Rasul Paulus, sehingga melalui ulasan tersebut kita diperkaya dengan spiritualitas pengosongan diri dari Kristus untuk membangun keesaan gereja di wilayah Jakarta, dan tentunya bagi seluruh umat di Indonesia.
Spiritualitas Pengosongan Kristus
Di Filipi 2:6-7 rasul Paulus mempersaksikan Kristus yang mengosongkan diri-Nya, yaitu: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Hakikat diri Kristus dinyatakan sebagai frasa “dalam rupa Allah” (ἐν μορφῇ θεοῦ) dan “setara dengan Allah” (εἶναι ἴσα θεῷ). Di depan kata einai menggunakan definite article “to.” Kata “to” + infinite bertujuan untuk mengaitkan frasa ini dengan sesuatu yang lebih dulu disebutkan, yaitu “di dalam rupa Allah.”
Makna dari kesaksian ini hendak menyatakan bahwa dalam rupa Allah, Kristus setara dengan Allah. Artinya rupa dan kesetaraan dengan Allah telah dimiliki Kristus sejak kekal. Namun kedudukan Kristus yang mulia itu ternyata tidak menghalangi Dia untuk melepaskan hak dan milik-Nya.
Dalam spiritualitas pengosongan Kristus tersebut, kita menjumpai dua aspek spiritualitas yang termanifestasikan dalam diri Kristus, yaitu: spiritualitas yang tidak mencari kemuliaan bagi diri-Nya, dan spiritualitas membagi ruang.
Spiritualitas yang Tidak Mencari Kemuliaan bagi Diri-Nya
Dalam tulisannya yang berjudul Reconstructing Honor in Roman Philippi – Carmen Christi as Cursus Pudorum, Joseph H. Hellerman menginterpretasikan Surat Filipi 2:7 sebagai cursus pudorum. Maksud dari cursus pudorum adalah: Pertama, Yesus turun dari kesetaraan dengan Allah. Kedua, Kristus berinkarnasi menjadi manusia dengan berstatus sebagai doulos (hamba). Ketiga, Kristus bersedia mati di kayu salib. Dengan pola ini rasul Paulus menunjukkan sikap yang berbeda antara Kristus dan pemerintah Romawi. Pemerintah Romawi senantiasa lebih cenderung memperoleh kehormatan dan kemuliaan dengan meningkatkan kedudukan dan status seseorang (cursus honorum). Sebaliknya Kristus bersikap sebaliknya. Ia turun dari kedudukan dan statusnya sampai ke titik terendah bahkan sampai pada status yang paling hina dengan mati di kayu salib, dengan tujuan berkurban memberikan nyawa-Nya bagi umat manusia (cursus pudorum) (Hellerman 2005, 130). Kesediaan Kristus mengosongkan diri adalah agar Ia dapat memberikan hidup-Nya sehingga umat memperoleh hidup yang berlimpah. Prinsip teologis ini dikemukakan oleh Injil Yohanes tentang tujuan utama kedatangan Tuhan Yesus, yaitu: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b).
Sikap Kristus yang memilih mengosongkan diri (cursus pudorum) tidak berarti Ia kehilangan hakikat ke-Ilahian-Nya. Kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah tidak tanggal saat Ia menjadi manusia. Karena itulah saat Yesus dibaptis, Allah menyatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat. 3:17). Demikian pula dalam peristiwa transfigurasi, Allah menyatakan Yesus selaku Anak Allah (Luk. 9:36). Gelar Anak Allah dinyatakan Allah untuk mengungkapkan keilahian Yesus. Itu sebabnya pernyataan Allah kepada para murid tentang status Yesus selaku Anak Allah ditempatkan dalam konteks peristiwa transfigurasi.
J.B. Bernadin dalam The Transfiguration menafsirkan bahwa peristiwa tersebut menunjuk pada pre-eksistensi kemuliaan Yesus yang dinyatakan dalam tubuh-Nya sebagai manusia. Peristiwa transfigurasi menjadi suatu momen penyingkapan jati diri Yesus yang sesungguhnya. Karena itu, melalui peristiwa transfigurasi, misteri Yesus yang selama ini tertutup lapisan manusiawi-Nya menjadi tersingkap (Bernardin 1933, 181-182). Penafsiran ini membuka mata rohani umat bahwa cursus pudorum yang ditempuh oleh Kristus melalui penderitaan, dan kematian-Nya tidak menghalangi Dia memperoleh cursus honorum dari Allah, yaitu kemuliaan yang telah dimiliki Kristus sejak kekal. Contoh yang nyata dapat kita lihat dalam kisah presiden Nelson Mandela. Penderitaan dan siksaan di penjara selama 27 tahun tidak membuat Mandela menjadi pribadi yang kehilangan integritas dan sikap iman. Ia melawan politik apartheid dengan sikap tanpa kekerasan. Sikapnya yang menghadirkan perdamaian sehingga Mandela dianugerahi nobel perdamaian pada 1993, lalu dilantik menjadi presiden pada 10 Mei 1994 – 1999.
Spiritualitas Berbagi Ruang
Selain itu sikap Kristus yang bersedia mengosongkan diri berarti Ia membuka ruang bagi kehidupan manusia. Frasa “mengosongkan dirinya” (ἑαυτὸν ἐκένωσεν), khususnya kata ἐκένωσεν merupakan bentuk aoris pertama-indikatif aktif-orang ketiga tunggal. Karena itu kata ἐκένωσεν berasal dari kata kerja κενόω yang berarti: “dia dulu mengosongkan” sebab kata κενόω berarti: mengosongkan, meniadakan, dan mencurahkan. Kata kerja κενόω umumnya dipahami sebagai tindakan memindahkan sesuatu dari satu tempat atau mencurahkannya ke tempat lain sehingga tidak tersisa.
Menurut pendapat penulis, makna kenoo (κενόω) tidak berarti Kristus kehilangan jati-diri dan kuasa-Nya saat Ia mengosongkan diri-Nya. Pada saat Kristus mengosongkan diri-Nya, dimensi “ke-Aku-an” Yesus tidak hilang. Jikalau dimensi “ke-Aku-an” Kristus hilang, maka Ia tidak dapat menyatakan ketaatan-Nya yang radikal. Ketaatan yang radikal membutuhkan “ke-aku-an” yang kokoh dan integritas yang tinggi. Lebih tepat pada saat Kristus mengosongkan diri-Nya, Ia memilih dan memutuskan untuk “mengecilkan” atau menciutkan “ke-Aku-an-Nya” sehingga mengefektifkan karya keselamatan Allah. Tindakan Kristus yang menciutkan “ke-Aku-an-Nya” tersebut membuka ruang kehidupan bagi “ke-aku-an” orang lain, bahkan “ke-aku-an” umat manusia.[1] Dengan sikap Kristus yang demikian, “ke-aku-an” orang lain, yaitu wajah setiap orang dapat tampil secara penuh. Pengosongan Kristus mengangkat, memberdayakan dan menguduskan kemanusiaan yang rapuh oleh kuasa dosa.
Pemikiran Rasul Paulus tersebut di atas dapat kita bandingkan dengan pemikiran filsuf Emmanuel Levinas. Dalam bukunya yang berjudul Totality and Infinity (1979), Levinas menggunakan istilah “wajah” (visage). Makna “wajah” yang dimaksud oleh Levinas bukanlah secara harafiah seperti seseorang yang memiliki kepala yang terdiri dari mata, hidung, mulut, dagu, pipi, dan sebagainya. Makna “wajah” dalam filsafat Levinas dipakai untuk menunjuk pada situasi orang lain muncul di hadapan kita. Kita berhadapan muka dengan muka dengan orang lain. Orang lain dengan wajahnya itu menyapa kita baik dengan ataupun tanpa kata. Wajah orang lain tersebut dipahami Levinas sebagai suatu “epifani” (penampakan), yaitu peristiwa penampakan wajah melalui peristiwa munculnya ‘orang lain’ di hadapan ‘aku’ (fenomena), serta penglihatan sebagai sarana untuk menangkap ‘orang lain’ yang muncul di hadapan ‘aku’ (Levinas 1979, 194-195). Karena itu tanggungjawab setiap orang adalah menghormati dan saling membagi ruang. Tujuannya adalah agar terjalin suatu kehidupan bersama yang harmonis dan dilandasi oleh kasih yang tanpa syarat. Dengan kesediaan saling memberi dan membagi ruang, maka setiap orang akan semakin peka dalam menerima sapaan wajah sesama yang tampil di hadapannya. Wajah sesama dihayati sebagai peristiwa epifani, yaitu penampakan diri yang menyeluruh dan penuh makna. Untuk itu kita dipanggil untuk memberi respons secara etis-iman, sehingga kita menemukan wajah Kristus dalam setiap wajah sesama di sekitar kita.
Menjadi Gereja yang Tidak Mencari Kemuliaan bagi Dirinya Sendiri
Para perintis pendirian gereja tentunya tidak pernah membayangkan bahwa jemaat yang dirintisnya adalah untuk kemuliaan diri mereka. Namun yang sering terjadi adalah motivasi yang luhur tersebut tidak senantiasa bertahan lama. Insani diri yang telah jatuh di bawah kuasa dosa mendorong mereka untuk menjadikan diri atau gerejanya sebagai tujuan. Karena itu timbullah kecenderungan untuk mengkultusindividukan dirinya selaku hamba Tuhan, dan/atau gerejanya sebagai gereja yang paling benar. Gereja hanya dipanggil untuk memberitakan kebenaran Allah dalam karya penebusan Kristus, namun bukan memanipulasi kebenaran Allah untuk kebenaran diri sendiri. Dengan sikap yang duniawi itu kita dapat memprediksi hasilnya, yaitu kultus-individu. Para hamba Tuhan yang mengkultusindividukan dirinya telah menggeser kedudukan Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat. Umat didorong untuk menghormati, mengagumi, dan mempermuliakan dirinya. Demikian pula bilamana seorang pendeta berupaya menjadikan gerejanya sebagai gereja Yesus Kristus yang paling benar dan alkitabiah, maka dia akan menafikkan keberadaan dari gereja-gereja lain. Dalam konteks ini dia telah meniadakan hakikat gereja selaku Tubuh Kristus yang esa. Hasilnya adalah kita menciptakan kompartementalisme, yaitu kehidupan sebagai umat Tuhan yang terkotak-kotak dalam kekakuan denominasi dan teologi. Padahal misi Tuhan Yesus yang utama datang ke dalam dunia adalah mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah. Fungsi gereja yang sesungguhnya hanyalah sebagai alat untuk menghadirkan realitas Kerajaan Allah di atas muka bumi ini.
Untuk menghadirkan realitas Kerajaan Allah, gereja dipanggil Allah untuk hidup secara konsisten dengan memberlakukan spiritualitas Kristus yang mengosongkan diri-Nya. Dalam konteks ini gereja tidak dapat mengosongkan diri-Nya, karena gereja bukanlah Kristus. Gereja pada dirinya bukanlah yang ilahi seperti Kristus, namun gereja adalah persekutuan umat yang telah ditebus dengan darah Kristus. Gereja dipanggil untuk hidup seperti Kristus yang bersedia mengosongkan diri-Nya. Karena itu gereja dipanggil untuk hidup di dalam Kristus, maka Kristus yang akan membebaskan gereja dari berbagai kecenderungan manusiawi yang jahat. Setiap hamba Tuhan dan gereja-gereja yang hidup di dalam Kristus seharusnya menyikapi secara kritis setiap kecenderungan untuk mengkultusindividukan seorang hamba Tuhan dan pengagungan gereja selaku gereja Tuhan yang paling benar (“paling injili, paling penuh roh”). Dengan demikian kita semua akan menjadi gereja yang sungguh-sungguh mempermuliakan Kristus. Semakin kita mempermuliakan Kristus, realitas Kerajaan Allah yang transformatif akan hadir semakin luas dan efektif dalam kehidupan umat manusia. Realitas Kerajaan Allah yang hadir dipersaksikan oleh Kitab Wahyu, yaitu: “Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi” (Why. 21:1).
Menjadi Gereja yang Saling Berbagi Ruang
Saat Kristus mengosongkan diri-Nya, Ia memilih dan memutuskan untuk “mengecilkan” atau menciutkan “ke-Aku-an-Nya” sehingga mengefektifkan karya keselamatan Allah. Tindakan Kristus yang menciutkan “ke-Aku-an-Nya” tersebut membuka ruang kehidupan bagi “ke-aku-an” orang lain, bahkan “ke-aku-an” umat manusia. Namun apakah kehidupan gereja-gereja Tuhan memiliki spiritualitas yang menciutkan ke-aku-an-nya? Ataukah sebaliknya gereja-gereja Tuhan justru ditandai oleh spiritualitas duniawi yang membesarkan ego-nya, sehingga mengembangkan sikap superioritas rohaniah yang berakibat memandang gereja-gereja lain yang tidak satu denominasi atau satu teologi sebagai persekutuan yang inferior (rendah dan lemah)? Dengan spiritualitas duniawi tersebut gereja-gereja dalam membangun jemaat sering tidak memperhatikan konteks hidup dalam hidup bersama dengan gereja-gereja lain. Mereka tidak peduli apakah gereja yang hendak didirikan di tempat itu telah hadir beberapa gereja yang lain. Kemudian saat berhasil membangun gereja di tempat itu mereka mengabaikan panggilan hidup bersama untuk saling menghormati, mengasihi dan memberdayakan. Lebih menyedihkan lagi bilamana kita menganggap kehadiran gereja-gereja lain sebagai lawan bersaing.
Konteks doksologi yang dinyatakan Rasul Paulus di Surat Filipi 2:5-8 tentang sikap pengosongan diri Kristus adalah panggilan dan nasihat untuk mengutamakan kasih, persekutuan Roh, kasih mesra, dan belas-kasihan (Fil. 2:1). Lalu di Surat Filipi 2:2-3 Rasul Paulus kemudian berkata secara gamblang, yaitu: “karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.” Dengan demikian doksologi Surat Filipi 2:5-8 tentang spiritualitas pengosongan diri Kristus adalah bertujuan umat percaya mampu sehati sepikir, satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Dengan demikian, hakikat pelayanan gerejawi tidak boleh dibelokkan untuk tujuan mempermuliakan diri sendiri, dan mencari keuntungan apapun.
Daftar Acuan
Bernardin, J.B. The Transfiguration. JBL 52 (1933), 181-189
Hellerman, Joseph H. 2005. Reconstructing honor in Roman Philippi – Carmen Christi as Cursus Pudorum. Cambridge: Cambrige University Press.
Levinas, Emmanuel. 1979. Totality and infinity. Terj. Alphonso Lingis. Boston: Martinus Nijhoff Publishers.
[1] Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya, yaitu pengosongan diri Kristus tidak berarti Ia meniadakan keilahian-Nya. Keilahian Kristus tidak dapat ditiadakan dengan inkarnasi diri-Nya menjadi manusia. Sebaliknya dengan mengosongkan diri-Nya, Kristus selaku Anak Allah yang mulia dan ilahi mendapat tambahan natur, yaitu natur kemanusiaan. Makna pengosongan diri Kristus bukan pengurangan, justru sebaliknya, yaitu penambahan natur yang memungkinkan kehidupan manusia terhisab dalam persekutuan dengan Allah. Dengan perkataan lain pengosongan diri Kristus justru membuka ruang bagi kemanusiaan untuk diintegrasikan ke dalam realitas ilahi. Ruang kemanusiaan tersebut menjadi ruang yang tidak lagi dibatasi oleh kompartementalisme, yaitu sekat-sekat etnis, kepercayaan, agama, ideologi, tingkat sosial, dan sebagainya.
Yohanes Bambang Mulyono