Iman adalah respons personal seseorang kepada Allah, sehingga secara pribadi seseorang berjumpa dengan Sang Khalik yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Namun di dalam Alkitab respons iman secara personal senantiasa dikaitkan dengan seisi anggota keluarga. Abram menjawab panggilan Tuhan dengan membawa anggota keluarganya, yaitu Sarai dan Lot (Kej. 12:5). Musa menerima panggilan dan utusan Tuhan dengan membawa istri dan anak-anaknya (Kel. 4:20). Demikian pula sikap Yosua dalam bacaan kita. Dia menegaskan: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan” (Yos. 24:15b). Pernyataan sikap Yosua tersebut dinyatakan di hadapan umat Israel dalam perjanjian di Sikhem. Yosua menegaskan terlebih dahulu sikap iman dan anggota keluarganya, lalu mempersilakan umat Israel mengambil pilihan, yaitu: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada Tuhan, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos. 24:15). Sikap Yosua tersebut dinyatakan tanpa menunggu sikap umat Israel.
Tentu sikap iman individu yang mandiri dihargai oleh Tuhan. Tetapi lebih sempurna lagi bila sikap iman seseorang didukung oleh anggota keluarga, sehingga seluruh anggota keluarga juga percaya kepada Tuhan Yesus. Karena itu apabila kita seorang diri yang baru percaya kepada Kristus, seharusnya yang paling banyak kita doakan adalah anggota keluarga kita. Selaku orang yang percaya kepada Kristus, seharusnya kita menjadi teladan dalam kata dan tindakan sehingga anggota keluarga kita semakin terbuka dan tersentuh hatinya untuk mengikuti jejak iman kita. Namun sayang sekali dalam praktik kehidupan, anggota keluarganya semakin bersikap antipati terhadap iman Kristen karena setelah menjadi orang Kristen kehidupannya semakin tidak beres. Menjadi orang Kristen relatif mudah asal dia mau ikut katekesasi selama 9-12 bulan, tetapi menjadi pengikut Kristus yang sejati tidaklah mudah, sebab dituntut perubahan dan pembaruan hidup yang radikal, yaitu pola kehidupan yang sesuai dengan karakter Kristus. Keteladanan adalah sikap hidup yang konsisten dan yang terus-menerus dibarui oleh Roh Kudus, sehingga karakter Kristus menjadi nyata.
Karena itu firman Tuhan senantiasa mengingatkan agar setiap anggota jemaat tidak menempuh rencana pernikahan yang berisiko, yaitu pernikahan beda agama. Di Surat 2 Korintus 6:14 menyatakan: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” Bilamana sejak awal calon (pacar) kita tersebut menolak Kristus, seharusnya saat itu juga kita memutuskan hubungan agar tidak semakin dalam dan sulit berpisah. Sebab apabila hubungan cinta tersebut dipaksakan dalam lembaga pernikahan, anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga tersebut mengalami kebingungan di samping relasi suami-istri yang tidak pernah harmonis. Akibatnya dia yang semula percaya kepada Kristus tidak dapat dengan bebas beribah dan melayani. Kehidupan rumah-tangga tersebut senantiasa dipenuhi oleh pertengkaran karena perbedaan sikap iman dan nilai-nilai agama yang hendak diterapkan dalam keluarga. Dalam situasi demikian rumah-tangga beda agama tidak dapat beribadah dan melayani Kristus secara optimal. Apalagi kita tahu bahwa dalam beberapa kasus ada upaya memaksa seorang wanita Kristen meninggalkan Kristus dengan cara dinodai sehingga dia tidak punya pilihan untuk pindah agama.
Apabila sekarang kita menyadari bahwa beberapa anggota keluarga belum percaya kepada Kristus, apakah yang akan Saudara lakukan? Bawalah mereka dalam doa yang tulus dan perlakukan mereka dengan cinta-kasih Kristus. Lebih daripada itu adalah jadilah teladan dalam perkataan dan tindakan. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono