Allah Pemelihara (Yesaya 51:1-3)
Pemeliharaan Allah adalah karakter Allah yang mencipta dan merawat karya ciptaan dengan anugerah kasih-Nya. Bila Allah adalah Pencipta, namun tidak memelihara maka Ia adalah Allah yang pensiun (deus otiosus). Makna deus otiosus adalah manusia mengakui Allah sebagai Sang Pencipta, tetapi Dia adalah juga Allah yang absen (deus absconditus) dalam menjaga karya ciptaan-Nya. Karena itu pemahaman deus otiosus dan deus absconditus melahirkan sikap Deisme. Makna “deisme” adalah Allah Sang Pencipta tidak campur-tangan lagi dalam pemeliharaan-Nya terhadap alam semesta, bumi dan segala mahluk termasuk manusia. Konsep Allah yang “deistis” dapat diilustrasikan seperti seorang ahli yang membuat arloji. Setelah arloji tersebut selesai ia buat, maka arloji itu akan bergerak menurut hukumnya sendiri. Yohanes Calvin dalam buku Institutio menegaskan bahwa “pemeliharaan Allah sebagaimana diajarkan di dalam Alkitab harus dianggap sebagai bertentangan dengan nasib dan kejadian-kejadian yang kebetulan.” Sebab nasib merupakan peristiwa yang ditakdirkan Allah secara mekanis sehingga kehendak manusia diabaikan, dan peristiwa-peristiwa yang kebetulan tidak memiliki peran Allah dalam kehidupan umat manusia.
Di Yohanes 5:17, Yesus berkata: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” Ucapan Yesus di Yohanes 5:17 menegaskan bahwa Allah yang mencipta adalah Allah yang terus bekerja secara kontinyu, terus-menerus dan tidak terputus sehingga seluruh ciptaan-Nya tetap terpelihara dan berlangsung secara tertib. Pemeliharaan Allah merupakan penyelenggaraan ilahi yang aktif dengan kasih-setia-Nya sehingga tidak ada yang lepas dari perhatian dan kehendak-Nya. Di Matius 10:29-30, Yesus berkata: “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya.” Dengan demikian, pemeliharaan Allah dinyatakan dalam hukum-hukum alam yang teratur, tertib dan serba pasti. Melalui hukum-hukum alam, kita dapat melihat penyelenggaraan ilahi (providential Dei) yang begitu cermat, teliti, tidak relatif dan sempurna.
Problem teologis tentang pemeliharaan Allah adalah mengapa dalam kehidupan yang telah diciptakan Allah dipenuhi dengan berbagai kejahatan dan penderitaan? Jikalau Allah Mahakuasa dan Pemelihara, seharusnya Dia akan menjaga orang-orang yang hidup benar dan saleh. Mengapa Allah tidak bertindak dengan mencegah atau menghancurkan kejahatan? Pertanyaan-pertanyaan teologis yang tidak terjawab ini melahirkan sikap Deisme, yaitu mereka percaya kepada Allah Sang Pencipta namun Allah tidak lagi memelihara segala ciptaan-Nya.
Pemeliharaan Allah dinyatakan dalam penyelenggaraan-Nya melalui hukum-hukum Allah yang sinambung, terukur dan serba pasti. Tetapi pemeliharaan Allah menjadi suatu pertanyaan yang sulit dijawab saat umat percaya menghadapi realitas kejahatan dan penderitaan yang sewenang-wenang serta ketidakadilan merajalela. Dalam praktiknya di tengah-tengah realitas yang jahat tersebut Allah berdiam diri. Allah absen (deus absconditus). Padahal pada sisi lain firman Tuhan menyatakan: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28). Melalui surat Rasul Paulus tersebut menegaskan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Tetapi dalam praktiknya mengapa Allah berdiam diri segala orang-orang jahat membunuh atau membantai orang-orang yang hidupnya saleh? Konteks pemeliharaan Allah melalui hukum-hukum alam berbeda secara esensial dengan masalah etis-moral yang dilakukan sesama kepada sesamanya yang lain. Hukum-hukum alam bekerja melalui prinsip yang serba pasti, terukur, tertib, dan sinambung. Tetapi realitas kejahatan dan dosa bekerja melalui kehendak bebas (free will) manusia. Allah tidak mencegah terjadinya pembunuhan yang dilakukan Kain terhadap Habel, adiknya (Kej. 4). Kejahatan dan kebaikan adalah pilihan etis-moral setiap orang. Demikian pula tindakan seseorang yang mengasihi atau membenci, mengampuni atau mendendam, memelihara atau merusak adalah pilihan etis-moral yang lahir dari kebebasan kehendak manusia.
Jika demikian sejauh mana pemeliharaan Allah terhadap pilihan etis-moral manusia agar sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm. 8:28)?
Di tengah-tengah realitas dosa dan kejahatan, Allah tetap bekerja dan hadir untuk menyatakan kemuliaan, kebenaran dan keadilan-Nya. Namun pola kerja Allah yang Mahakuasa tetap memberi ruang kebebasan bagi manusia untuk memilih dan mengambil keputusan. Allah memengaruhi dan memotivasi umat dengan panggilan kasih-Nya untuk mengikuti jalan dan kehendak-Nya yang kudus. Karena itu Yesaya 51:1 diawali dengan pernyataan: “dengarkanlah Aku.” Kata “dengarkanlah” dari kata syema yang juga dipakai sebagai Kredo dalam iman umat Israel di Ulangan 6:4, yaitu: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Makna syema berarti: Allah memanggil setiap umat untuk memerhatikan, mendengarkan dengan saksama, memahami dengan seluruh akal budi dan hati akan firman-Nya sehingga melahirkan sikap percaya. Realitas kejahatan dan penderitaan terjadi karena manusia mengabaikan panggilan Allah untuk “mendengarkan Dia.” Dalam kasus Kain yang marah dan ingin membunuh Habel adiknya, Allah telah terlebih dahulu berfirman: “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya” (Kej. 4:7). Firman Allah yang mengingatkan Kain adalah bukti pemeliharaan Allah agar ia mampu mengambil keputusan yang benar. Allah juga memelihara kehidupan manusia dengan mengaruniakan hati-nurani, akal sehat, dan firman-Nya yang dimeteraikan di dalam hati manusia agar umat mampu memilih dan mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah.
Panggilan Allah agar umat mendengarkan suara dan firman-Nya ditujukan kepada mereka yang mengejar apa yang benar dan yang mencari Tuhan. Karena itu Yesaya 51:1 menyatakan: “Dengarkanlah Aku, hai kamu yang mengejar apa yang benar, hai kamu yang mencari TUHAN! Pandanglah gunung batu yang dari padanya kamu terpahat, dan kepada lobang penggalian batu yang dari padanya kamu tergali.” Jikalau demikian, mengapa Allah tidak menyampaikan firman kepada orang-orang yang jahat dan menindas kebenaran serta memutarbalikkan keadilan sehingga mereka selamat dan bertobat? Rasul Paulus di Roma 1:18 menyatakan: “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” Orang-orang fasik telah mendengar dan menerima kebenaran, tetapi mereka memilih untuk menindas kebenaran tersebut dengan kelaliman. Lebih lanjut Rasul Paulus menegaskan: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Rm. 1:21). Firman Allah yang penuh kuasa untuk menyelamatkan telah tertutup di dalam hati mereka sehingga pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati untuk melakukan kecemaran dan kejahatan (Rm. 1:24). Jika demikian Allah tetap memelihara dengan setia namun manusia lebih memilih mengabaikan dan menolak firman-Nya.
Pemeliharaan Allah kepada umat-Nya dinyatakan melalui peringatan akan karya Allah yang telah terjadi pada leluhur mereka yaitu Abraham dan Sara. Sebab melalui Abraham dan Sara, Allah menetapkan sebagai leluhur yang melahirkan keturunan bernama umat Israel. Padahal Abraham dan Sara pada waktu itu mustahil dapat memiliki seorang anak. Di usia senja mereka, Abraham dan Sara sama sekali belum memiliki tanda-tanda dapat melahirkan seorang anak. Tetapi apa yang tidak mungkin bagi manusia menjadi suatu kemungkinan. Sara akhirnya dapat mengandung dan melahirkan Ishak. Yesaya 51:2 menyatakan: “Pandanglah Abraham, bapa leluhurmu, dan Sara yang melahirkan kamu; ketika Abraham seorang diri, Aku memanggil dia, lalu Aku memberkati dan memperbanyak dia.” Karena itu karya keselamatan Allah kepada Abraham dan Sara merupakan tonggak pengingat bahwa Allah tidak ingkar akan janji-Nya. Abraham dan Sara menjadi media anamnesis yang mengingatkan mereka bahwa Allah yang sama tidak pernah berubah dan akan tetap menjaga serta memelihara mereka. Umat akan beriman dan percaya kepada pemeliharaan Allah dengan mengingat (anamnesis) karya keselamatan-Nya yang pernah Ia nyatakan kepada bapa dan ibu leluhur mereka.
Kenangan atau ingatan akan Abraham dan Sara juga menyadarkan umat Israel akan perjanjian Allah. Melalui Abraham, Allah berfirman: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2). Lalu di Kejadian 15:18 menyatakan: “Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat.” Perjanjian dengan Allah tersebut bersifat abadi yang meneguhkan iman umat Israel di saat mereka mengalami penderitaan dan bencana. Ikatan perjanjian dengan Allah juga menegaskan bahwa mereka adalah milik Allah. Karena itu sebagai milik Allah yang dipilih karena anugerah-Nya, mereka percaya bahwa Allah akan senantiasa memelihara dan menjaga kehidupan mereka dalam situasi apapun.
Iman kepada Allah dan perjanjian-Nya tidak berarti membebaskan mereka dari berbagai bencana dan malapetaka. Berulangkali sejarah kehidupan mereka mengalami peristiwa-peristiwa tragis misalnya kekalahan mereka pada tahun 586 sM sehingga dibuang di Babel oleh Raja Nebukadnezar, Roma berhasil menaklukkan Israel pada tahun 63 sM, dan peristiwa Holocaust yang dilakukan Hitler dengan korban 6 juta orang Yahudi dalam Perang Dunia II. Semua peristiwa penuh penderitaan dan tragedi tersebut tidak meniadakan makna kehadiran dan pemeliharaan Allah dalam kehidupan umat Israel. Providentia Dei tetap mereka alami di tengah-tengah kehancuran dan keterpurukan yang terjadi. Karena itu di Yesaya 51:3 menyatakan: “Sebab TUHAN menghibur Sion, menghibur segala reruntuhannya; Ia membuat padang gurunnya seperti taman Eden dan padang belantaranya seperti taman TUHAN. Di situ terdapat kegirangan dan sukacita, nyanyian syukur dan lagu yang nyaring.”
Konteks Yesaya 51:3 adalah umat Israel yang telah mengalami kekalahan dan pembuangan di Babel. Peristiwa pembuangan di Babel sangatlah pahit. Ekspresi kesedihan yang mendalam dapat kita lihat di Mazmur 137:1, yaitu: “Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.” Umat Israel saat itu tidak memiliki harapan dan masa depan apapun. Bait Allah telah dihancurkan, seluruh pemuka, orang-orang terpelajar, dan orang-orang yang memiliki keahlian ditawan dan dibawa ke Babel. Mereka di pembuangan hampir 70 tahun lamanya, dan terpisah dari tanah perjanjian yang telah dikaruniakan Allah sebab harus tinggal di Babel, negeri asing. Tetapi pemeliharaan Allah tetap nyata dalam kehidupan dan sejarah umat Israel. Karena melalui pembuangan di Babel tersebut mereka mulai menuliskan setiap firman yang pernah diwahyukan Allah kepada para nabi. Tanpa peristiwa pembuangan di Babel, mungkin kita tidak pernah memiliki Alkitab Perjanjian Lama secara tertulis. Mereka memiliki gagasan untuk mendirikan Sinagoge sebagai tempat berkumpul untuk mempelajari Taurat dan beribadah kepada Yahweh. Di Babel umat Israel diperintahkan Allah untuk mendatangkan berkat dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya (Yer. 29:7).
Makna pemeliharaan Allah tidak berarti meniadakan realitas penderitaan, sakit, kematian, kekalahan, dan malapetaka. Namun di tengah-tengah realitas yang penuh kepahitan dan kesedihan yang menimpa umat-Nya Allah tetap bekerja dengan kesetiaan-Nya. Allah menjaga mereka seperti biji mata-Nya. Ulangan 32:10-11 menyatakan: “Didapati-Nya dia di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang belantara. Dikelilingi-Nya dia dan diawasi-Nya, dijaga-Nya sebagai biji mata-Nya.”
Di dalam Kristus, setiap umat percaya dijadikan milik Allah. Rasul Paulus dalam Galatia 3:29 menyatakan: “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.” Sebagai milik Kristus, kita akan senantiasa dipelihara Allah dengan kuasa kasih-Nya. Namun status sebagai milik Allah tersebut tidak berarti meniadakan kita untuk mengalami penderitaan, sakit, kegagalan, dan malapetaka. Bahkan mengikut Kristus berarti kita harus menyangkal diri dan memikul salib-Nya setiap hari (Mat. 16:24). Kita dipanggil untuk setia dan tidak menyangkal Kristus walau konsekuensinya kita akan menderita dan menjadi martir (Mat. 10:28).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono