Minggu Palem-Sengsara
“Lalu ia membebaskan Barabas bagi mereka, tetapi Yesus disesahnya
lalu diserahkannya untuk disalibkan” (Mat. 27:26).
Kebetulan keduanya memiliki nama yang sama, yaitu “Yesus.” Bedanya sangat jauh. Yesus yang difitnah dan divonis mati adalah Yesus Kristus dari Nazaret, sedangkan Yesus Barabas berprofesi sebagai penjahat. Hari itu Yesus Barabas mengalami keberuntungan. Ia justru dipilih oleh orang banyak bebas dari hukuman salib. Sedangkan Yesus Kristus yang hidup benar dan memiliki kuasa ilahi harus mengalami ketidakadilan dan kematian yang mengerikan. Dari sudut Yesus Barabas, keluarga dan teman-temannya peristiwa pembebasannya mendatangkan sukacita. Tetapi dari sudut Yesus Kristus, keluarga dan para sahabat-Nya berita vonis kematian-Nya mendatangkan dukacita. Kedua perspektif tersebut merupakan fenomena yang konkret dalam kehidupan masyarakat. Para pelaku kejahatan sering merayakan sukacita kemenangan, sebaliknya orang-orang yang hidup benar mengalami penderitaan dan ketidakadilan.
Motto bahwa orang benar akan hidup dalam kebahagiaan dan keadilan, sedangkan orang-orang jahat akan hidup dalam penderitaan ternyata tidaklah tepat. Sebaliknya kita menjumpai fakta bahwa orang benar sering hidup dalam penderitaan dan dukacita, dan orang-orang yang hidup jahat justru dalam kemewahan dan kebahagiaan. Pemazmur sebagai orang yang hidup saleh dan benar justru mengalami ketidakadilan dan penindasan. Mazmur 31:10-11, ia berdoa: “Kasihanilah aku, ya TUHAN, sebab aku merasa sesak, mataku kabur dan jiwa ragaku merana karena sakit hati. Hidupku dihabiskan dalam duka dan tahun-tahunku dalam keluh kesah; kekuatanku merosot karena sengsaraku, dan tulang-tulangku menjadi rapuh.”
Minggu Prapaskah VI disebut sebagai Minggu Palem-Sengsara. Kedua gabungan kata tersebut sebenarnya tidak cocok untuk disandingkan. Minggu Palem umat merayakan sukacita, pujian dan pengakuan bahwa Yesus adalah Mesias saat Ia masuk ke kota Yerusalem. Penduduk Yerusalem menyambut Yesus dengan berseru: “Hosanna.” Hosanna artinya: “Selamatkanlah kami!” Saat itu Yesus dipuji dan dimuliakan sebagai Mesias Penyelamat. Tetapi pada waktu yang tidak terlalu lama, orang-orang yang semula berseru dengan pujian “Hosanna” berubah menjadi “Ia harus disalibkan.” Minggu Prapaskah VI merangkai sukacita dan dukacita dalam jalinan yang utuh, tetapi sesungguhnya mengandung paradoks. Minggu Prapaskah VI adalah perayaan yang paradoksal. Sebab seruan pujian “Hosanna” dirangkai dengan seruan kebencian “Salibkanlah Dia!” Namun bukankah dimensi rohani dari Minggu Prapaskah VI merupakan realitas yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari? Para sahabat yang semula memberi puji-pujian dapat segera berubah menjadi para pengkhianat yang menusuk dari belakang, bahkan dari depan dan samping. Para teman, sahabat, dan orang terdekat justru menjadi musuh yang menjatuhkan dan menghancurkan kehidupan kita.
Beberapa kejadian dalam masyarakat yang begitu memilukan. Kita menjumpai seorang suami meracuni isterinya hingga tewas karena ia berselingkuh dengan adik iparnya. Berita menghebohkan tentang seorang anak yang membunuh ayahnya dengan sadis hanya karena ayahnya mengalami rabun mata. Beberapa kejahatan mutilasi dilakukan oleh orang-orang yang semula menjadi kekasihnya. Kita hidup dalam dunia yang paradoksal. Dalam realitas paradoksal tersebut justru ketidakadilan, kekerasan, dan kekejaman dipamerkan. Merayakan Minggu Prapaskah VI hendak menyadarkan kita bagaimana kita harus memaknai realitas paradoksal tanpa harus kehilangan integritas. Bagaimana kita menyikapi berbagai kenyataan yang saling kontradiktif dan penuh kepalsuan atau kemunafikan, namun tetap mampu menjadi pribadi yang utuh dalam kebenaran. Apa yang harus dilakukan saat kita menghadapi kemunafikan, namun tetap jujur di hadapan Allah?
Beberapa orang sering kehilangan iman kepada Tuhan saat ia menjumpai kemunafikan, kepalsuan dan kejahatan dari orang-orang yang semula dihormati. Salah satu alasan orang-orang menjadi atheis dan agnostis adalah karena mereka kecewa dengan kehidupan para pemuka agama yang dihormati. Mereka melihat bahwa orang-orang yang semula dikagumi ternyata adalah pribadi yang dipenuhi oleh kepalsuan dan kejahatan. Kekecewaan mereka tersebut dilampiaskan kepada Tuhan, sehingga mereka memutuskan untuk menjadi atheistis dan agnostis.
Perayaan Minggu Prapaskah VI justru mengajak setiap umat percaya untuk mampu memiliki pola berpikir yang jernih dan objektif. Kesalahan terbesar dari pola pikir orang-orang atheistis dan agnostis adalah mereka terlalu mudah mengidentikkan kehidupan para tokoh atau pemuka agama dengan keberadaan atau eksistensi Allah. Tanpa mereka sadari pola dan perilaku dari para pemuka agama dianggap representasi dari Allah. Mereka memandang realitas secara subjektif. Karena itu timbul kerancuan dalam menafsirkan realitas hidup. Mereka lupa bahwa Allah di dalam Kristus adalah Tuhan yang menentang setiap orang jahat, dan melawan semua bentuk kepalsuan. Mazmur 34:17 berkata: “Wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.” Sebaliknya mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong (Mzm. 34:16).
Bagaimanakah agar kita tetap mampu bersikap objektif sehingga mampu berpikir jernih dalam setiap situasi? Kita dapat belajar dari sikap Tuhan Yesus saat Ia masuk ke kota Yerusalem dengan sambutan yang begitu meriah bagaikan seorang pahlawan yang menang perang. Walau pun orang banyak menyambut Tuhan Yesus dengan meriah dan pujian seraya berseru “Hosanna” ternyata Tuhan Yesus tidak pernah digambarkan sebagai pribadi yang larut dengan pujian orang banyak. Ia menyikapi dengan tenang dan ramah. Demikian pula saat Tuhan Yesus diadili oleh Pontius Pilatus selaku Gubernur di Yerusalem. Dua kali disebutkan oleh Matius 27:12, 14 bahwa Tuhan Yesus tidak memberi jawaban apa pun saat mengalami tuduhan dan fitnahan yang bertubi-tubi. Kristus sama sekali tidak menunjukkan sikap mekanisme mempertahankan diri (defence of mechanism). Ia sama sekali tidak terpancing untuk membela diri-Nya. Matius 27:12-14 menyatakan: “Ketika tuduhan terhadap Dia diajukan oleh imam-imam kepala dan tua-tua, Ia tidak menjawab sepatah kata pun. Lalu kata Pilatus kepada-Nya, tidakkah Engkau dengar betapa banyaknya tuduhan saksi-saksi ini terhadap Engkau? Namun, Ia tidak menjawab sepatah kata pun, sehingga gubernur itu sangat heran.”
Kondisi yang berbeda yang sering kita alami saat kita menerima pujian atau cacian. Saat kita mengalami pujian kita larut di dalamnya. Namun saat kita mengalami fitnahan dan penolakan kita mengalami kesedihan dan depresi. Makna, nilai, dan kebahagiaan hidup kita sering ditentukan oleh faktor dari luar (eksternal). Hati kita akan melambung tinggi dalam kebahagiaan saat dipuji atau disanjung, tetapi segera berubah saat kita dikhianati, difitnah dan ditolak. Langit kehidupan kita tiba-tiba runtuh. Sebagai insan manusia kita dipengaruhi oleh respons dan reaksi dari luar (eksternal), tetapi sebagai orang percaya seharusnya faktor luar tidak boleh menentukan. Minggu Prapaskah VI mengajarkan kepada kita bahwa makna dan nilai hidup kita seharusnya tidak dtentukan oleh faktor-faktor eksternal apakah disanjung ataukah difitnah. Kita harus menemukan makna dan nilai hidup kita hanya di dalam kebenaran Allah dan kasih-Nya. Tepatnya daripada kita mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar, seharusnya hidup kita ditentukan oleh sikap iman kepada Tuhan.
Generasi muda masa kini sering disebut dengan generasi strawberry. Disebut “generasi strawberry” karena mereka umumnya kaya dengan gagasan kreatif, tetapi sangat rapuh dan mudah menyerah. Mereka terampil dengan teknologi informasi tetapi mudah sakit hati, pesimistis dan cenderung egoistis. Namun sebenarnya sebutan generasi strawberry dalam kenyataan bukan hanya untuk para pemuda. Hampir kebanyakan setiap orang saat ini, baik orang muda mau pun orang dewasa dan tua seperti “strawberry” yang mudah sakit hati, pesimistis dan egoistis. Akibatnya kita sering tidak tahan dengan tekanan atau permasalahan yang terjadi. Kita mudah kecil hati, putus-asa, dan mudah menyerah. Kita begitu butuh perhatian, dukungan, dan penghargaan dari orang-orang di sekitar. Itu sebabnya kita segera kecil hati saat foto atau komentar yang kita upload di media sosial ternyata hanya sedikit yang memberi “likes.” Kita sibuk mencari perhatian dengan foto-foto kegiatan yang dilakukan. Karena itu saat begitu banyak yang memberi tanda “likes” dan komentar pujian hati kita segera melambung tinggi. Makna, nilai dan kebahagiaan hidup telah kita letakkan secara penuh kepada respons orang-orang di sekitar.
Pertanyaannya adalah apabila makna, nilai dan kebahagiaan hidup kita letakkan secara penuh kepada respons orang lain, di manakah kita mampu menghidupi iman kepada Tuhan? Sesungguhnya tanpa disadari kita telah menjadi orang-orang yang hidup tanpa iman, alias “atheistis.” Dari luar kita adalah orang-orang yang saleh tetapi sesungguhnya batin kita kosong dan hampa. Tampaknya hidup kita beribadah dengan khusuk kepada Tuhan, tetapi sesungguhnya Allah sangat jauh dan asing. Sebab seluruh harapan, energi yang dikerahkan, dan pemaknaan hidup kita tempatkan pada penilaian orang-orang di sekitar. Respons orang-orang di sekitar telah menjadi berhala. Idolatry! Melalui Minggu Prapaskah VI Allah memanggil kita untuk kembali kepada Dia. Di dalam dan melalui Kristus yang telah menebus kita dipanggil untuk menempatkan seluruh harapan, energi rohani dan pemaknaan hidup kepada-Nya.
Semakin matang kerohanian seseorang, ia tidak lagi terpengaruh oleh respons dan penilaian orang-orang sekitar khususnya yang memuji atau membenci tanpa alasan. Pernyataan tersebut bukan menjadi dasar pembenaran bagi kita untuk bersikap “keras kepala” dan suka melakukan mekanisme mempertahankan diri terhadap teguran dan kritik dari orang-orang lain. Orang-orang yang keras kepala dan tegar-tengkuk adalah para pribadi yang jauh dari kebenaran. Mereka semua akan binasa. Sebaliknya semakin kita mengasihi dan beriman kepada Tuhan Yesus kita dimampukan menjadi pribadi yang terbuka dan siap berubah. Di dalam iman kepada Kristus, kita diperbarui menjadi pribadi yang rendah hati saat menerima teguran dan kritik! Pada saat yang sama seluruh nilai, makna dan kebahagiaan kita tidak lagi ditentukan oleh pujian atau hasutan kebencian orang lain. Sebab sumber kebahagiaan, makna dan nilai hidup kita ditentukan oleh relasi personal dengan Allah. Dalam konteks ini hidup kita diubah, dan diperbarui oleh Allah. Lidah atau ucapan kita menjadi pemacu semangat, sebab telinga kita terus dipertajam. Yesaya 50:4 menyatakan: “TUHAN Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat kepada orang yang letih lesu. Pagi demi pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.”
Yesus Barabas dapat bebas dari hukuman salib. Ia pulang dengan kegembiraan dan kemenangan. Tetapi kehidupannya tidak menginspirasi. Kebahagiaan yang dialami bersifat sementara. Tetapi Yesus Kristus yang dihukum salib dengan sikap tegar tanpa mekanisme membela diri sepanjang zaman menjadi satu-satunya pribadi ilahi yang sangat berkuasa dalam seluruh aspek kehidupan. Sampai saat ini tidak ada satu aspek dalam kehidupan yang tidak terkait dengan karya Kristus. Melalui Kristus, kita dapat mengenal Allah yang menghadirkan kerendahan dan kelembutan hati. Di dalam “keberdiaman” dan “ketenangan” Tuhan Yesus menghadapi pujian dan cacian, kita menemukan Allah yang penuh dengan anugerah. Ia mengasihi kita tanpa syarat. Karena itu kita pun dipanggil mengasihi sesama dan lawan tanpa syarat, tanpa mempedulikan respons pujian atau cacian yang diberikan. Sungguh tepat firman Tuhan tentang Yesus Kristus, yaitu: “melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:7-8).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono