Pendahuluan
Istilah “jemaat” berasal dari kata “ekklesia” yang terdiri dari 2 kata, yaitu kata “ek” (keluar), dan “kalein” (memanggil). Karena itu makna kata “jemaat” menunjuk pada: “Umat yang telah dipanggil keluar dari kuasa dosa melalui karya penebusan Kristus untuk menjadi umat Allah dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, sehingga mereka menjadi persekutuan (komunitas) yang transformatif untuk menghadirkan realitas keselamatan dalam kasih, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.”
Secara esensial keberadaan jemaat terjadi karena tindakan Allah yang telah memanggil umat keluar dari kuasa dosa kepada terang-Nya yang ajaib. Firman Tuhan di surat 1 Petrus 2:9 menyatakan, “Namun, kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri,supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Umat yang dipanggil keluar dianugerahkan 4 jabatan utama, yaitu: a). Bangsa yang terpilih, b). Imamat yang rajani, c). Bangsa yang kudus, d). Umat Allah sendiri.
Namun, apakah dengan pengertian jemaat sebagai ekklesia, yaitu umat yang telah dipanggil keluar tersebut secara otomatis telah mewujudkan budaya organisasi gerejawi? Gereja sebagai persekutuan tidak mungkin lepas dari budaya organisasi. Sebab setiap jemaat merupakan lembaga (institusi). Gereja sebagai lembaga memiliki latar-belakang sejarah, budaya, adat-istiadat, nilai-nilai yang dihidupi oleh sebagian besar umat, orientasi teologis, tujuan dan harapan, serta dinamika interaksi relasi/komunikasi mereka. Selain itu sistem organisasi yang dipilih suatu gereja akan mempengaruhi esensi budaya organisasi dari tiap-tiap jemaat. Sistem organisasi gereja dari tiap-tiap jemaat berbeda-beda. Secara garis besar terdapat 4 model organisasi gereja: episkopal, sinodal-presbiterial, prebiterial-sinodal, dan kongregasional.
Semula gereja menerapkan model kepemimpinan episkopal, dan papal (dalam gereja Roma-Katolik). Namun pada abad 16 dengan reformasi gereja yang dipelopori oleh Martin Luther dan Johannes Calvin sebagian gereja kemudian mengikuti sistem pemerintahan gereja secara presbiterial. Para presbiter secara kolektif-kolegial yang disebut “Majelis Jemaat” terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken (syamas) selaku hamba-hamba Kristus yang melayani umat. Jemaat-jemaat dengan pemerintahan gereja secara presbiterial disebut sebagai gereja Lutheran, atau gereja Calvinis. Model gereja secara kongregasional dimulai akhir tahun 1557 di Skotlandia. Model gereja Kongregasional muncul sebagai reaksi penolakan terhadap sistem hirarkhis dalam gereja Anglikan yang menempatkan Raja/Ratu Inggris sebagai Kepala Gereja. Sebaliknya pemahaman teologis model kepemimpinan jemaat secara presbiterial, dan kongregasional menempatkan Kristus selaku Raja Gereja yang sesungguhnya.
Perbedaan esensial gereja episkopal dan papal dengan gereja presbiterial dan kongregasional, terlihat dari struktur kepemimpinan jemaat. Sistem gereja yang episkopal dan papal senantiasa dimulai dari atas ke bawah (model piramida). Sebaliknya dalam kepemimpinan presbiterial (penatua) dan kongregasional struktur kepemimpinan dimulai dari bawah ke atas (model piramida terbalik).
Apabila organisasi-organisasi sekuler membutuhkan budaya organisasi, gereja sebagai Tubuh Kristus dengan keempat model kepemimpinan tersebut di atas juga membutuhkan budaya organisasi dalam melaksanakan Tritugas, yaitu kesaksian (koinonia), pelayanan (diakonia), dan kesaksian (marturia) lebih efektif dan transformatif. Jemaat selaku umat yang telah ditebus oleh darah Kristus, dipanggil melaksanakan misi Allah (missio Dei) di dunia.
Budaya organisasi
Gereja sebagai persekutuan umat membutuhkan organisasi dan budaya organisasi. Kehidupan suatu persekutuan senantiasa membutuhkan organisasi, yaitu sistem organisasi yang terstruktur sehingga setiap anggota dapat berperan secara efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Organisasi gereja diilustrasikan oleh rasul Paulus sebagai anggota-anggota tubuh yang saling terkait, saling melengkapi, dan menghidupi. Dalam surat 1 Korintus 12:14 menyatakan, “Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota.” Anggota-anggota tubuh manusia sangat beragam dan kompleks. Minimal tubuh manusia memiliki 9 sistem utama, yaitu: Sistem organ yakni sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem peredaran darah, sistem ekskresi, sistem motorik atau gerak, sistem reproduksi, sistem saraf, sistem integumen dan sistem endokrin. Setiap sistem dalam tubuh manusia memiliki sel, jaringan, organ, dan sistem organ. Apabila salah satu bagian dari sistem dalam tubuh terganggu akan menyebabkan penderitaan atau kematian. Karena itu dalam 1 Korintus 12:26 menyatakan, “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.”
Lembaga gereja juga membutuhkan budaya organisasi. Tanpa budaya organisasi, sistem organisasi yang paling canggih sekalipun tidak akan dapat bekerja secara efektif. Makna “budaya organisasi” merupakan spirit, sistem nilai, pola hidup dan filosofi yang dihayati oleh anggota organisasi suatu institusi menyelesaikan setiap masalah dan menemukan peluang mengaktualisasikan diri, sehingga secara transformatif memberdayakan dan melengkapi setiap anggota mencapai cita-cita luhur, yaitu visi-misinya. Esensi utama dari budaya organisasi adalah spirit yang digerakkan oleh nilai-nilai sehingga dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Budaya organisasi gereja juga didasarkan pada spirit yang digerakkan oleh nilai-nilai yang diajarkan dan diteladankan oleh Kristus. Nilai-nilai Kristus disebut juga nilai-nilai Kerajaan Allah yang terangkum dalam seluruh firman Tuhan, khususnya Khotbah Yesus di Bukit (Mat. 5-7), dan karya penebusan-Nya (wafat dan kebangkitan Kristus).
Model-model Kepemimpinan Jemaat
Umumnya model-model kepemimpinan jemaat dapat dibagi menjadi 2 pola, yaitu: a). Pola kepemimpinan yang hirarkhis, b). Pola kepemimpinan yang mendatar (flat). Pola kepemimpinan yang hirarkhis menunjuk pada tingkatan dalam kepemimpinan dalam suatu sistem yang berpusat secara “sentralistis” dari atas ke bawah. Dalam pola kepemimpinan yang hirarkhis menerima dan mengakui otoritas tertinggi untuk mengatur tingkatan kepemimpinan di bawahnya. Sebaliknya dalam pola kepemimpinan yang mendatar (flat) menunjuk pada sistem kepemimpinan yang “desentralistis,” sehingga setiap bagian memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sistem kepemimpinan yang mendatar menekankan aspek kolegialitas yang sinergis, sehingga setiap pihak bertanggungjawab sesuai fungsinya masing-masing.
Dari dua pola kepemimpinan yang hirarkhis dan mendatar, di berbagai jemaat pada dasarnya memiliki 4 model, yaitu: episkopal, sinodal-presbiterial, prebiterial-sinodal, dan kongregasional.
- Sistem kepemimpinan episkopal merupakan pola kepemimpinan yang mengakui dan menerima otoritas tertinggi berada di tangan seorang episkopos (penilik). Jabatan “episkopos” kemudian dikenal sebagai Bishop (Uskup). Dalam Alkitab Perjanjian Baru, gelar “episkopos” menunjuk pada pengawas yang diangkat oleh jemaat dengan otoritas khusus (1Tim. 3:1). Seorang “episkopos” diangkat sebagai pemelihara jiwa kawanan domba umat Allah (bdk. 1Petr. 2:25). Dalam Kisah Para Rasul 20:28 menyatakan peran seorang “episkopos” (penilik jemaat), “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.” Dalam kehidupan gereja masa kini, model kepemimpinan “episkopal” terlihat hirarkhi gereja Roma-Katolik yang secara khusus menempatkan jabatan Paus sebagai jabatan tertinggi. Bentuk kepemimpinan Gereja Roma-Katolik tersebut sering disebut sistem Papal. Model kepemimpinan “episkopal” juga terlihat dalam sistem gereja Orthodoks, Anglikan dan Metodis.
- Sistem kepemimpinan sinodal-presbiterial merupakan model kepemimpinan hirarkhis yang menempatkan para presbiter (penatua) tertentu sebagai jabatan tertinggi dalam organisasi gereja tersebut. Para pejabat gereja dalam sistem presbiterial disebut “Majelis Sinode” yang terdiri dari Pendeta, Penatua, dan Diaken (syamas). Dengan sistem kepemimpinan sinodal-presbiterial berarti para presbiter berkedudukan sebagai Pimpinan Majelis Sinode. Perbedaan dengan kepemimpinan yang episkopal dan papal adalah dalam pola kepemimpinan sinodal-presibiterial, otoritas tidak diberikan kepada 1 orang pemimpin, tetapi kepada sejumlah orang untuk memimpin, mengatur, dan mengelola seluruh roda organisasi jemaat. Setiap jemaat yang dipimpin oleh para presbiter (penatua) memerintah gereja secara kolektif-kolegial. Dalam jenjang yang lebih tinggi sebagian dari mereka diangkat menjadi Pimpinan Majelis Sinode (Pendeta, Penatua, Diaken). Para presbiter (penatua) dalam Majelis Sinode tersebut diberi wewenang dan otoritas untuk mengatur seluruh kehidupan jemaat-jemaat di lingkungan sinodenya.
- Sistem kepemimpinan presbiterial-sinodal merupakan model kepemimpinan umat yang direpresentasikan dalam jabatan penatua. Karena itu para penatua berasal dari anggota jemaat yang memenuhi persyaratan karakter, etika-moral, spiritualitas, dan kemampuan yang memadai. Umumnya seorang yang diangkat sebagai penatua mengemban jabatan gerejawi dalam suatu periode waktu. Apabila evaluasi di periode pertama dinilai baik, ia dapat diangkat kembali ke periode kedua. Setelah itu ia harus berhenti minimal 1 tahun lamanya. Apabila dianggap layak dan dipilih oleh jemaat, ia dapat kembali menjabat sebagai seorang penatua. Dalam surat 1 Timotius 5:17 menjelaskan peran seorang penatua, “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.” Tugas utama seorang penatua adalah berkhotbah, mengajar dan mengembalakan umat. Dalam surat 1 Petrus 5:2, rasul Petrus memberi nasihat kepada para penatua, “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.” Karena itu dalam model kepemimpinan presbiterial-sinodal, kepemimpinan ditentukan oleh para penatua secara kolektif-kolegial. Dengan model kepemimpinan tersebut setiap penatua memiliki peran dan fungsi yang berbeda namun saling memperkarya dan melengkapi.
Dalam konteks kepemimpinan presbiterial-sinodal, peran sinode merupakan perluasan dari para penatua yang hadir dalam persidangan sinode secara berkala. Karena itu pimpinan sinode bukanlah pimpinan dengan otoritas tertinggi. Mereka adalah para penatua yang dipilih khusus untuk melaksanakan tugas dan peran penatua di lingkup yang lebih luas. Masa jabatan para pimpinan sinode dibatasi secara periodik untuk dievaluasi. Umumnya masa jabatan pimpinan sinode juga ditentukan oleh masa pelayanan sebagai penatua di jemaat. Dengan kepemimpinan presbiterial-sinodal, model yang dipilih bukan hirarkhis, tetapi mendatar (flat) sehingga setiap pihak menghayati tugasnya secara kolegial dan sinergis.
- Sistem kepemimpinan kongregasional adalah pola kepemimpinan yang didasarkan pada persetujuan para anggota jemaat. Dengan pola kepemimpinan yang melibatkan keseluruhan anggota jemaat, sistem kepemimpinan kongregasional memberi ruang yang lebih terbuka dan partisipatif kepada umat. Dalam pola kepemimpinan yang kongregasional tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Semuanya setara dan memiliki hak-kewajiban yang sama. Karena itu dalam sistem kongregasional menganggap tidak perlu dibuat sistem hirarkhis sebagaimana yang dilakukan dalam sistem episkopal atau prebisterial. Lingkup utama dari sistem kongregasional adalah jemaat lokal. Keberadaan dan kedudukan jemaat lokal bukan merupakan bagian dari gereja lain baik secara regional atau nasional. Apabila mereka memiliki jalinan yang lebih luas dan mengadakan persidangan, otoritas bukan ditentukan oleh persidangan gerejawi tersebut. Keputusan final tetap berada di lingkup jemaat lokal.
Dengan pola kepemimpinan yang menempatkan jemaat lokal sebagai pijakannya, sistem kongregasional mampu menggerakkan, mendorong, dan memobilisasi umat secara efektif. Setiap anggota umat saling melayani, melengkapi, menguatkan, dan memberdayakan. Jemaat-jemaat lokal secara mandiri dapat mengangkat seseorang sebagai Gembala Sidang (Pendeta). Jemaat dengan model kongregasional menghidupi makna “Imamat Am” umat percaya. Model kepemimpinan kongregasional diinspirasi pola kehidupan jemaat perdana. Dalam Kisah Para Rasul 2:42 menyatakan menghidupi komunitas yang saling peduli dan mengasihi, sehingga segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Dengan dasar pola hidup jemaat perdana itu mereka menolak setiap bentuk kekuasaan, dan mengutamakan sikap saling melayani. Kelemahan dalam sistem kongregasional mengabaikan kesaksian Alkitab tentang wibawa rasuli. Dalam kitab Kisah Para Rasul 15 menyatakan bagaimana para rasul mengadakan persidangan untuk mengambil keputusan yang mengikat. Karena itu dalam praktik tidaklah mudah melaksanakan sistem kongregasional yang menempatkan setiap orang dalam posisi yang sama khususnya saat mengambil keputusan yang sulit. Siapakah yang berhak mengatur dan memiliki wewenang dalam memberi pertimbangan, dan mengambil keputusan? Sebagai suatu komunitas, setiap lembaga senantiasa membutuhkan Peraturan agar seluruh proses berjalan dengan tertib. Sebab tidak setiap orang memiliki kemampuan, pemahaman, karakter, dan spiritualitas yang sama. Tanpa pedoman dan otoritas yang jelas setiap orang akan cenderung menilai berdasarkan persepsinya yang subjektif. Dalam konteks tersebut membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki wewenang untuk memberi arah, inspirasi, dan wawasan, serta hak mengatur.
Budaya Organisasi dalam 4 Model Kepemimpinan
Bentuk dan esensi budaya organisasi seharusnya mengikuti model-model kepemimpinan. Budaya organisasi dengan model kepemimpinan episkopal, berbeda dengan model kepemimpinan sinodal-presbiterial, atau presbiterial-sinodal, dan kongregasional. Budaya organisasi dalam kepemimpinan episkopal diinspirasi, digagas, dan dibangun oleh pemimpin tunggal yang telah diberi otoritas penuh khususnya dalam sistem papal (Paus). Di gereja Orthodoks dipimpin oleh seorang Patriakh. Dalam gereja Anglikan dipimpin oleh seorang Raja atau Ratu Inggris. Konsekuensinya budaya organisasi dipengaruhi oleh kemampuan, karakter, otoritas, dan karisma seorang pemimpin. Para anggota atau tingkat di bawah akan mengembangkan budaya organisasi dengan sikap ketaatan atau kepatuhan.
Budaya organisasi dalam kepemimpinan sinodal-presbiterial cenderung mengembangkan sikap eksklusif dan elit di antara anggota pemimpin. Dalam perannya sebagai pimpinan Majelis Sinode, mereka sangat dihormati sehingga senantiasa didengar dan diperhatikan oleh struktur di bawahnya. Kewenangan mengambil keputusan dalam kepemimpinan sinodal-presbiterial bersifat mengikat. Mereka memiliki wewenang memindahkan tugas pelayanan seorang pendeta ke tempat lain berdasarkan pertimbangan dan kebutuhan tertentu. Jabatan sebagai pimpinan tertinggi dalam sistem pemerintahan sinodal-presbiterial disebut sebagai Bishop yang juga sering disebut sebagai Primus inter pares. Arti dari “primus inter pares” adalah yang pertama di antara yang sederajat. Kedudukan “ketua sinode” dalam konteks ini merupakan jabatan tertinggi dan memiliki wewenang, walau dalam pengambilan keputusan akan dilaksanakan bersama dengan para pimpinan sinode lain. Karena itu budaya organisasi dalam sistem kepemimpinan sinodal-presbiterial dinyatakan dengan berbagai ketetapan, ketentuan, perencanaan, dan kebijakan yang diberlakukan ke tiap-tiap jemaat untuk dilaksanakan. Di pihak lain setiap jemaat (gereja) di bawah sinode wajib melaksanakan, melanjutkan, dan mengembangkan sesuai kondisi.
Budaya organisasi dalam kepemimpinan presbiterial-sinodal mengembangkan strategi dan program pengembangan jemaat lokal dengan memperhatikan ketentuan dan arah kebijaksanaan klasis-sinodal. Majelis Jemaat memiliki tanggungjawab melaksanakan Pembangunan Jemaat untuk mengembalakan dan memberdayakan umat. Dalam konteks kepemimpinan presbiterial-sinodal, para penatua secara mandiri melaksanakan kepemimpinan melalui persidangan Majelis Jemaat secara rutin. Mereka mengambil keputusan, kebijakan, dan strategi. Di pihak lain mereka juga memperhatikan agar setiap keputusan Majelis Jemaat sesuai dengan Tata Gereja dan kebijakan klasis-sinodal. Proses pemanggilan pendeta adalah hasil keputusan Majelis Jemaat dengan melibatkan pimpinan di tingkat klasis, dan sinodal.
Budaya organisasi dalam kepemimpinan kongregasional mengembangkan sikap kemandirian yang partisipatif sehingga tidak tunduk pada lembaga gerejawi di atasnya. Jemaat dengan sistem kepemimpinan kongregasional secara cermat, peka, dan empati mendengarkan setiap aspirasi atau masukan setiap anggota jemaat. Karena itu pola kepemimpinan kongregasional menekankan aspek kesetaraan, partisipatif, koperatif, dan sikap proaktif para anggota jemaat sehingga setiap orang dapat berperan melaksanakan tugas yang dipercayakan Tuhan kepadanya.
Dari keempat model kepemimpinan jemaat (episkopal-papal, sinodal-presbiterial, presbiterial-sinodal, dan kongregasional) memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Manakah yang paling efektif dan benar sangat tergantung pada konteks umat, pemikiran teologis, spiritualitas umat, dan sejarah yang membentuknya. Pola kepemimpinan dengan empat model tersebut akan efektif apabila dalam praktik terbuka untuk saling melengkapi dan memperkaya. Pola kepemimpinan yang episkopal-papal perlu lebih terbuka untuk memberi tempat atau ruang kepada anggota-anggota jemaat sesuai dengan kemampuan dan kapasitas rohaninya sebagaimana yang dilakukan oleh gereja-gereja dengan sistem presbiterial. Sebaliknya gereja-gereja dengan sistem kepemimpinan yang prebiterial (penatua) perlu menghormati otoritas seorang pendeta yang ditahbiskan. Lalu, baik jemaat dengan pola kepemimpinan episkopal-papal dan prebiterial perlu membuka ruang yang memberdayakan umat untuk proaktif dan partisipatif sebagaimana yang dilakukan gereja dalam sistem kongregasional. Di pihak lain gereja-gereja dengan pola kepemimpinan yang kongregasional perlu memperhatikan sistem hirarkhis yang dilaksanakan oleh gereja dengan sistem episkopal dan presbiterial. Struktur organisasi setiap jemaat perlu mengikuti fungsinya untuk memuliakan Allah melalui pemberdayaan umat dalam melaksanakan panggilannya.
Namun bagaimana keempat model kepemimpinan jemaat tersebut mampu menghidupi nilai-nilai budaya organisasi gereja yang lebih cair, terbuka, adaptif, dan transformatif? Keempat model kepemimpinan jemaat tersebut akan menjadi semakin efektif apabila dilandasi oleh kepemimpinan yang andal, yaitu kepemimpinan yang visioner dan transformational.
Kepemimpinan Gembala (shepherd-leadership)
Apapun model kepemimpinan gereja seharusnya senantiasa menempatkan Kristus selaku role-model dalam melaksanakan sistem atau model pemerintahan gereja yang utama dan pertama. Keempat model yang beragam dengan keunikannya masing-masing pada hakikatnya didasarkan pada pengakuan Kristus selaku Tuhan dan Raja Gereja yang sesungguhnya. Walau dalam model episkopal dan papal yang menempatkan Uskup/Bishop dan Paus sebagai pemimpin tertinggi, mereka tetaplah seorang hamba Allah yang harus tunduk secara penuh kepada Kristus. Model kepemimpinan sinodal-presbiterial yang menempatkan Majelis Sinode, dan secara khusus “Bishop” selaku Primus Inter pares bukanlah penguasa gereja. Dalam gereja dengan sistem presbiterial-sinodal, Majelis Jemaat yang terdiri pendeta, penatua, dan diaken adalah hamba-hamba Kristus. Mereka bukanlah pejabat gerejawi yang absolut. Demikian pula gereja dengan sistem kongregasional, para anggota jemaat bukanlah penentu utama, tetapi Kristus. Para anggota umat hanyalah wujud dari Tubuh Kristus, tetapi kepala jemaat adalah Kristus.
Setiap pemimpin dalam 4 model gereja tersebut merupakan para gembala yang dipercayakan oleh Kristus untuk menggembalakan umat tebusan-Nya. Dalam surat 1 Petrus 5:2-3 menyatakan, “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Karena itu struktur organisasi kepemimpinan gerejawi dengan 4 model berperan sebagai gembala. Pola kepemimpinan gerejawi yang sejati adalah kepemimpinan gembala (shepherd-leadership).
Model kepemimpinan gembala adalah kepemimpinan teladan yang dilandasi oleh totalitas mengabdikan diri dengan integritas dan kesetiaan untuk memberdayakan dan mengembangkan kualitas hidup orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu kekhasan kepemimpinan gembala pada hakikatnya didasarkan pada: a). Karunia/kompetensi, b). Relasi kasih, c). Sikap visioner yang berdampak, d). Kaderisasi dan regenerasi, e). setia sampai akhir secara excellence.
Pola kepemimpinan gembala yang pertama adalah didasarkan pada karunia atau kompetensinya. Kepemimpinan gembala tidak dapat berperan secara efektif apabila menganggap makna kepemimpinan sebagai “hak” (right). Dalam hal ini “sang gembala” menganggap memiliki “hak istimewa” misalnya suksesi rasuli, tahbisan sebagai pendeta, kedudukan dan wewenang sebagai pemimpin. Sikap orang-orang yang dipimpin terhadap para pemimpin yang merasa memiliki “hak” tersebut bukan didasari oleh kesetiaan dan komitmen yang tinggi tetapi hanya perasaan segan atau takut. Kepemimpinan gembala bukan didasarkan pada “hak” atau kedudukan khusus, tetapi utamanya adalah karunia dan kharisma. Orang-orang yang dipimpin melihat bahwa “sang gembala” sebagai orang-orang yang dihormati dengan kompetensi tinggi sesuai kapasitasnya. Mereka menaruh hormat dan kepercayaan kepada “sang gembala” karena dengan kompetensi yang dimilikinya. Kristus bukan hanya memiliki kedudukan yang istimewa sebagai Anak Allah dan Sang Firman Allah, tetapi utamanya Ia mampu membuktikan kuasa-Nya atas seluruh bumi dan sorga melalui kuasa mukjizat-mukjizat-Nya serta kebangkitan-Nya atas maut (bdk. Mat. 28:19).
Pola kepemimpinan gembala yang kedua adalah relasi kasih. Kekuatan yang sangat menonjol dalam pola kepemimpinan gembala adalah hati yang diliputi oleh kasih yang berempati dengan pergumulan, kebutuhan dan harapan dari orang-orang yang dipimpinnya. Ia memiliki inisiatif untuk membuka komunikasi, mendengarkan isi hati, aspirasi dan harapan-harapan orang-orang yang dipimpinnya.
Kepemimpinan gembala mampu menjadikan orang-orang yang dipimpinnya sebagai para sahabat. Mereka merasakan kehangatan, keramahtamahan, empati dan ketulusan dari sang gembala. Karena itu kepemimpinan gembala memahami bahwa sang gembala mengasihi setiap umat dengan tulus, dan mereka juga mengasihi sang gembala. Sikap saling mengasihi mendatangkan rasa hormat (respect). Kepemimpinan gembala tidak menekankan aspek hirarkhis, tetapi bagaimana setiap aspek mampu berperan sesuai fungsinya dan sinergis. Selaku gembala yang baik, Yesus mengasihi para murid-Nya dengan kasih yang tanpa syarat sehingga Ia membasuh kaki para murid-Nya, menjadikan para murid sebagai sahabat-sahabat-Nya (bdk. Yoh. 13:1-5; 15:14-15).
Pola kepemimpinan gembala yang ketiga adalah visi yang berdampak. Orang-orang bersedia mengikuti sang gembala karena ia memiliki visi yang penting, dan membuktikan visi itu dalam realitas kehidupannya. Visi sang gembala begitu jelas, inspiratif dan memotivasi mereka untuk melakukannya sehingga menghasilkan dampak yang signifikan. Sikap visioner yang tidak berdampak tidak akan mampu membawa perubahan terhadap kualitas hidup orang-orang yang dipimpin. Melalui visi sang gembala, orang-orang yang dipimpinnya menemukan makna dan tujuan hidup mereka sehingga mendukung dan memperjuangkan visi pemimpinnya. Visi sang gembala menghasilkan dampak yang sinergis bagi orang-orang yang dipimpinnya. Melalui visi sang gembala tersebut, orang-orang yang dipimpin mengalami perkembangan, kemajuan dan prestasi yang membanggakan. Mereka mengalami kehidupan menjadi otentik dan berkualitas. Selaku sang gembala, Yesus menjadikan orang-orang yang percaya dan mengikuti-Nya dengan makna hidup yang berlimpah (Yoh. 10:10b).
Pola kepemimpinan gembala yang keempat adalah kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan yang efektif. Sang gembala sebagai pemimpin memberi pelatihan dan kesempatan bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk melakukan tugas-tugas kepemimpinan. Proses kaderisasi dan regenerasi disiapkan secara matang, sehingga sumber daya manusia mengalami peningkatan secara kualitatif. Kepemimpinan gembala tidak berfokus kepada dirinya, tetapi peningkatan dan pengembangan kepemimpinan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin gembala yang “palsu” akan menjadikan orang-orang yang dipimpinnya kehilangan kepercayaan diri, tidak mampu mengembangkan talenta yang dimiliki, tidak terlatih, tergantung kepada dirinya dan kultus-individu. Sebaliknya pemimpin gembala yang otentik menjadikan hidupnya sebagai media yang mentransformasi orang-orang yang dipimpinnya menjadi pribadi yang seutuhnya dan pemimpin yang andal.
Selaku gembala, Yesus melatih para murid-Nya sebagai pemimpin dengan belajar dari Dia secara langsung. Karena itu Yesus membentuk formasi murid-murid-Nya menjadi 3 lingkup, yaitu: 3 orang murid yang khusus, 12 orang murid, dan 70 orang murid. Tanpa kemampuan dan pelatihan leadership yang andal dari Kristus, mustahil kekristenan mampu bertahan 2000 tahun lebih sampai sekarang.
Pola kepemimpinan gembala yang kelima adalah setia sampai akhir secara excellence. Seluruh pola kepemimpinan pertama sampai keempat tidak akan memiliki arti jikalau sang gembala kelak mengakhiri hidup dengan cara yang tidak pantas dan disintegratif. Apa artinya sang gembala selaku pemimpin memiliki berbagai karunia/kompetensi, relasi kasih, sikap visioner yang berdampak, mampu membuat kaderisasi/regenerasi jika akhir hidupnya justru menyimpang dan menyangkal Kristus. Makna “mengakhiri dengan excellence” merupakan buah kesetiaan kepada Kristus sampai pada akhirnya sehingga menghasilkan legacy (warisan) iman yang tidak lekang oleh waktu.
Sang gembala selaku pemimpin sampai akhir hidupnya berhasil finishing well. Yesus Kristus selaku Gembala berhasil finishing well, sehingga surat Filipi 2:8-9 berkata, “Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.” Nilai legacy yang paling berharga dari seorang pemimpin adalah kesetiaan dan ketaatan sampai pada akhirnya walau ia harus mengalami penderitaan, penolakan dan kematian.
Kepemimpinan Gembala yang Visioner dan Transformasional
Spiritualitas kepemimpinan gembala (shepherd-leadership) akan efektif diwujudkan apabila para pimpinan umat dalam berbagai model struktur organisasi membangun nilai-nilai budaya organisisasi gerejawi secara visioner dan transformasional. Nilai-nilai budaya organisasi gerejawi secara esensial bersumber pada nilai-nilai Kerajaan Allah yang terangkum dalam seluruh firman Tuhan, khususnya Khotbah Yesus di Bukit (Mat. 5-7), dan karya penebusan-Nya (wafat dan kebangkitan Kristus). Namun nilai-nilai tersebut terlalu luas dan abstrak. Karena itu para gembala dalam berbagai denominasi dan sistem kepemimpinan perlu menerjemahkan lebih konkret, terukur, dan jelas sesuai konteks riil kehidupan umat.
Karakteristik nilai-nilai budaya organisasi gerejawi dibangun berdasarkan pengajaran dan keteladanan Kristus sekaligus sesuai kondisi dan harapan umat. Karena itu esensi dari nilai-nilai budaya organisasi mengandung 2 aspek yang saling terkait, yaitu firman Tuhan (teks) dan kehidupan umat yang riil (konteks). Kepemimpinan gembala mampu menciptakan sinergi yang dinamis dan progresif antara teks dan konteks sehingga menghasilkan iklim (climate) pelayanan yang kondusif. Jan Hendriks dalam bukunya yang berjudul “Jemaat yang Vital dan Menarik” (2006) menyampaikan 6 prinsip (karakteristik) untuk membangun kehidupan umat, yaitu: iklim positif, kepemimpinan yang menggairahkan, relasi antar individu, relasi antar kelompok, tujuan yang menggairahkan, konsepsi identitas yang menggairahkan.
- Iklim positif: pemimpin dan umat saling berpartisipasi, jujur, dan terbuka.
- Kepemimpinan yang menggairahkan: melayani bukan memerintah, mendelegasikan tugas, menghargai kebenaran, tidak menghukum, terbuka, dan koperatif.
- Relasi antar individu: terbuka, bersedia berkurban, mudah dikontak, saling memberi ruang, berhak membela kepentingan diri asal sesuai aturan.
- Relasi antar kelompok: struktur sederhana, desentralisasi, kadar komunikasi yang tinggi, tanpa tembok, jarak pimpinan-anggota relatif pendek.
- Tujuan yang menggairahkan dan tugas yang menarik: pengambilan keputusan bersama (konsesus), tanggungjawab bersama, pengakuan akan nilai manusia, pengurangan jarak sosial, tujuan bersama, penghargaan akan tugas orang lain, relevan, jelas, dan dapat dijangkau.
- Konsepsi identitas yang menggairahkan: jati-diri yang otentik, khas, kesadaran yang mendorong dan memotivasi umat untuk berpartisipasi, perasaan bangga saat ditugaskan, kerinduan untuk berbagi (sharing).
Dengan kelima aspek yang vital dalam membangun jemaat, para gembala dalam berbagai denominasi dan struktur organisasi mampu menghasilkan nilai-nilai budaya organisasi yang visioner dan transformasional. Makna “visioner” adalah perspektif iman yang melampaui batasan ruang dan waktu ke depan sebagai harapan dan impian sehingga senantiasa diperjuangkan secara total sehingga diwujudkan ke dalam realita. Dalam kitab nabi Yesaya mempersaksikan impian ilahi, “Mereka akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad, dan akan mendirikan kembali tempat-tempat yang sejak dahulu menjadi sunyi; mereka akan membaharui kota-kota yang runtuh, tempat-tempat yang telah turun-temurun menjadi sunyi” (Yes. 61:4). Makna “transformasional” adalah spiritualitas yang dilandasi oleh panggilan Allah untuk mengerjakan pembaruan dengan nilai-nilai kasih, kebenaran, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Dalam Wahyu 21:5 menyatakan: Ia yang duduk di atas takhta itu berkata, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Firman-Nya, “Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar.”
Dalam menetapkan core-business dari nilai budaya organisasi gereja minimal mengandung 3 prinsip utama, yaitu: esensi, visioner, dan transformasional. Nilai “esensi” menunjuk DNA (spirit) prinsip utama jemaat. Nilai “visioner” menunjuk pada cita-cita ke depan (visi, dream, harapan). Nilai “transformasional” menunjuk pada proses pembaruan yang akan dan sedang dilakukan tahap demi tahap. Melalui nilai-nilai budaya organisasi gereja tersebut setiap jemaat melaksanakan tugas panggilannya dengan membangun teologi kontekstual yang operatif (operatif-teologia), sehingga mampu mewujudkan Tritugas gereja, yaitu persekutuan (koinonia), pelayanan (diakonia), dan kesaksian (marturia).
Kesimpulan
Jemaat adalah umat yang telah ditebus oleh Kristus dengan darah-Nya, sehingga dipanggil keluar dari dunia untuk diutus ke dalam dunia. Dalam melaksanakan tugas pengutusan Kristus, gereja hidup berdasarkan nilai-nilai Kerajaan Allah sebagaimana yang diajarkan dan diteladankan oleh Kristus. Implementasi nilai-nilai Kerajaan Allah berada dalam konteks sejarah dan realitas hidup umat, karena itu setiap gereja memiliki sistem pemerintahan yang beragam. Secara garis besar gereja-gereja Tuhan menerapkan 4 sistem organisasi, yaitu: episkopal/papal, sinodal-presbiterial, presbiterial-sinodal, kongregasional. Keempat sistem organisasi kepemimpinan tersebut merupakan pola kerja gereja-gereja Tuhan melaksanakan tugas panggilannya selaku hamba-hamba Kristus. Karena itu keempat sistem organisasi kepemimpinan gereja tersebut perlu senantiasa fleksibel-adaptif dan terus-diperbarui semakin efektif melaksanakan misi Allah di tengah-tengah dunia.
Keempat sistem organisasi kepemimpinan gereja secara esensial meneladani pola kepemimpinan Kristus, yaitu kepemimpinan gembala (shepherd-leadership). Kepemimpinan gembala memiliki 5 karakteristik, yaitu: a). Karunia/kompetensi, b). Relasi kasih, c). Sikap visioner yang berdampak, d). Kaderisasi dan regenerasi, e). setia sampai akhir secara excellence. Dengan spiritualitas kepemimpinan gembala mampu menciptakan sinergi yang dinamis dan progresif antara teks dan konteks sehingga menghasilkan iklim (climate) pelayanan yang kondusif, kepemimpinan yang menggairahkan, relasi antar individu, relasi antar kelompok, tujuan yang menggairahkan, konsepsi identitas yang menggairahkan. Dengan kelima aspek yang vital dalam membangun jemaat, para gembala dalam berbagai denominasi dan struktur organisasi mampu menghasilkan nilai-nilai budaya organisasi yang visioner dan transformasional.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono