Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 kebutuhan, yaitu: fisiologis (physiological needs), rasa aman (security needs), kasih-sayang (social needs), penghargaan (esteem needs), dan aktualisasi-diri (self actualization needs). Sifat dari kebutuhan tersebut saling terkait dan bersifat hirarkhis ke atas. Kita tidak mungkin mampu mencapai tahap aktualisasi diri, apabila kebutuhan kita masih di tingkat fisiologis, dan selanjutnya. Latarbelakang peristiwa di Kitab Bilangan 21:4-9 menggambarkan umat Israel yang masih berada di padang-gurun. Mereka bersungut-sungut kepada Musa karena tidak tersedia roti dan air. Saat menghadapi kesulitan atau krisis tersingkaplah jati-diri manusia yang sebenarnya. Semua watak asli seseorang terbuka dengan jelas, apakah integritasnya ataukah disintegritasnya. Kemampuannya untuk menahan diri ataukah sikap serakahnya.
Apabila kita cermati sikap umat Israel yang bersungut-sungut karena mengeluh tidak tersedia air dan manna tampaknya tidak tepat. Sebab dari sudut struktur narasi Kitab Bilangan umat Israel telah memperoleh air yang melimpah di Bilangan 20:10-11. Sebelumnya di Bilangan 11:7 Tuhan menyediakan manna sebagai makanan, dan di Bilangan 11:31-32 Tuhan menyediakan burung puyuh sebagai daging. Allah menyediakan semua kebutuhan umat Israel dengan lengkap, tetapi mereka tetap bersungut-sungut. Jadi dosa mereka di dalam sikap bersungut-sungut adalah didasari oleh motif keserakahan dan kenikmatan nafsu. Akibatnya Allah menghukum umat Israel dengan pagutan ular-ular tedung yang berbisa. Sangat menarik pengampunan Allah dinyatakan dengan cara memerintahkan kepada Musa untuk membuat Ular Tembaga yang diletakkan pada sebuah tiang. Bagi mereka yang telah dipagut ular dan membutuhkan penyembuhan, maka diperintahkan untuk melihat ke arah Ular Tembaga supaya sembuh.
Di Yohanes 3:14-15 Tuhan Yesus memakai peristiwa penyembuhan melalui Ular Tembaga di Bilangan 21:4-9 untuk menunjuk kepada peristiwa penebusan dari dosa melalui kematian-Nya di kayu salib. Pertanyaan yang mendasar agar manusia disembuhkan dari kuasa dosa dengan bercermin pada Bilangan 21:4-9 dan kesaksian Yohanes 3:14-21 adalah:
- Umat terlebih dahulu hidup dalam berbagai dosa dan keinginan daging. Karena itu mereka datang kepada Kristus setelah menuai semua yang pernah ditabur yaitu hukuman dan kebinasaan. Sikap inilah yang dilakukan oleh umat Israel selama di padang-gurun sehingga generasi pertama dari umat yang keluar dari Mesir dibinasakan Allah di padang-gurun, dan hanya beberapa saja yang diperkenankan untuk memasuki tanah Kanaan.
- Manusia dengan insaf karena menyadari keberadaan dan keberdosaannya setelah memandang pengorbanan Kristus di atas kayu salib. Salib Kristus menjadi cermin yang menyingkapkan sehingga mereka menyadari ketidaklayakan diri sekaligus anugerah Allah yang melimpah.
Setiap orang yang membiarkan diri dibelenggu oleh hawa-nafsu dan keserakahan dalam berbagai bentuk harus waspada. Sebab pintu pertobatan dan kesempatan untuk membarui diri seringkali terlambat. Kita tidak mengetahui kapankah waktu yang tersedia. Selain itu lebih penting lagi adalah pertobatan yang berkenan di hadapan Allah apabila lahir dari hati yang hancur, dan bukan karena kesusahan dan penderitaan yang diakibatkan oleh dosa yang telah diperbuatnya.
Tipologi yang dikenakan penulis Injil Yohanes kepada Yesus di Yohanes 3:14-15 tidaklah lazim. Sebab gambaran Yesus yang disalib dalam konteks ini dikaitkan dengan tipologi ular. Di Yohanes 3:14-15 berkata: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Tipologi yang diucapkan oleh Yesus di Yohanes 3:14-15 berlatarbelakang peristiwa hukuman Allah kepada umat Israel yang bersungut-sungut sebab dibawa keluar dari Mesir sehingga kini mereka mengalami kesulitan akan makanan dan air. Sikap Allah menghukum umat Israel yang bersungut-sungut tersebut dengan menyuruh ular-ular tedung untuk memagut mereka. Saat itulah mereka mohon agar dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan dapat diampuni Tuhan. Allah kemudian menyuruh Musa untuk membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang. Bilangan 21:9 menyatakan: “Lalu Musa membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang; maka jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup.”
Tipologi dari Injil Yohanes tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan:
- Bukankah tipologi ular umumnya dikaitkan dengan Iblis? Kejadian 3:1 menyatakan: “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Kesaksian di Kejadian 3:1 dideskripsikan Wahyu 12:9 dengan Iblis, yaitu: “Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya” (bdk. 20:2). Dengan pemikiran tersebut umat bertanya masakan gambaran sosok ular dikaitkan dengan diri Yesus? Gambaran Iblis dengan Kristus Sang Anak Allah.
- Keselamatan berupa pemulihan dari racun dan gigitan ular tedung akan dialami oleh umat Israel apabila mereka memandang kepada ular tembaga yang dipancangkan pada sebuah tiang. Bukankah cara ini bertentangan dengan perintah atau firman Tuhan agar tidak manusia tidak membuat patung yang menyerupai apa pun? Keluaran 20:4-5 berkata: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.” Apakah perintah Allah untuk membuat ular tembaga dan meletakkannya pada sebuah tiang agar umat Israel yang terkena gigitan ular tedung justru tidak membuka peluang terjadinya penyembahan kepada patung berhala dalam bentuk ular?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, kita perlu cermat memahami gambaran ular yang dipakai dan makna berhala patung yang dilarang oleh Allah.
- Apakah tipologi ular yang diambil dari kisah Bilangan 21:4-9 menunjuk pada gambaran Iblis yang disebut oleh Wahyu 12:9 sebagai Ular Tua? Dalam Alkitab, gambaran ular tidak senantiasa untuk menunjuk Iblis. Di Keluaran 4:2-5 untuk membuktikan bahwa Musa diutus oleh YHWH, maka Allah menyuruh Musa untuk melemparkan tongkatnya ke tanah dan tongkat itu berubah menjadi ular. Tujuan mukjizat yang diperlihatkan Allah kepada Musa melalui tongkat yang dapat berubah menjadi ular adalah: “Supaya mereka percaya, bahwa TUHAN, Allah nenek moyang mereka, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub telah menampakkan diri kepadamu.” Lalu di Keluaran 7:8-12 mengisahkan bagaimana Musa melemparkan tongkatnya di depan Firaun dan berubah menjadi ular. Firaun kemudian menyuruh orang-orang berilmu dan ahli sihir untuk melakukan hal yang sama dengan mantera. Tetapi ular dari tongkat Musa menelan semua ular yang dibuat oleh para ahli sihir Firaun. Maknanya adalah ular dari tongkat Musa dan Harun yang diperintahkan YHWH lebih berkuasa dengan semua ular yang dibuat oleh dewa-dewa Mesir. Di Perjanjian Baru kita menjumpai perkataan Tuhan Yesus di Matius 10:16, yaitu: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Para murid Yesus harus seperti ular yang cerdik, dan tidak cukup hanya tulus saja seperti merpati. Tipologi ular dalam konteks ini dipakai untuk menggambarkan sosok yang cerdik (phronimoi), yaitu seorang yang cerdas, bijaksana, bertindak secara hati-hati dengan pertimbangan.
- Sepuluh Firman di Keluaran 20 khususnya Keluaran 20:4-5 menegaskan agar umat Israel tidak membuat patung untuk disembah, yaitu: “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu.” YHWH adalah Allah yang tidak dapat disamakan dengan hasil ciptaan-Nya, sehingga hormat dan sembah hanyalah milik-Nya. Tetapi dalam kasus Bilangan 21:4-9 tidak ada perintah bagi umat yang digigit ular tedung untuk menyembah Ular Tembaga yang dipasang di atas tiang. Allah memerintahkan Musa, yaitu: “Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup” (Bil. 21:8). Perintah Allah kepada orang-orang yang dipagut ular tedung adalah jika mereka memandang (melihat) ke arah Ular Tembaga tersebut, maka mereka akan sembuh. Kata kerja yang dipakai untuk “memandang” (melihat) adalah waraah, bukan tistahweh yang artinya menundukkan diri, menyembah, mempermuliakan. Ular Tembaga yang dibuat oleh Musa tersebut tampaknya tetap disimpan, lalu umat Israel jatuh dalam penyembahan berhala kepada patung ular tersebut. Di Kitab 2 Raja-raja 18:4 raja Hizkia disebut melakukan yang benar di hadapan Tuhan sebab dialah yang menyingkirkan ular tembaga yang dijadikan objek penyembahan, yaitu: “Dialah yang menjauhkan bukit-bukit pengorbanan dan yang meremukkan tugu-tugu berhala dan yang menebang tiang-tiang berhala dan yang menghancurkan ular tembaga yang dibuat Musa, sebab sampai pada masa itu orang Israel memang masih membakar korban bagi ular itu yang namanya disebut Nehustan.” Dari perintah Allah yang menyuruh umat Israel untuk “melihat” berubah menjadi “menyembah” sehingga Allah memakai raja Hizkia untuk menghancurkan Ular Tembaga yang diberi nama “Nehustan.”
Wayne Jackson dalam A Study of Biblical Typology menawarkan empat prinsip yang perlu diperhatikan dalam penafsiran tipologis
- Para tokoh, tempat, dan peristiwa riil yang dipakai sebagai tipologi secara sengaja dinyatakan untuk melihat gambaran yang lebih luhur. Dalam konteks ini, Perjanjian Lama dipahami sebagai media untuk memancarkan sinar atas hal bagaimana kita seharusnya memandang Yesus, dan pada saat yang sama Yesus juga memperjelas maksud dan tujuan Taurat dan kitab para nabi (bdk. Yoh. 1:17, 45).
- Penafsiran tipologis perlu cermat dan kritis untuk memastikan bahwa hal-hal yang dianggap layak sebagai tipologi telah sesuai dengan prinsip-prinsip penafsiran (eksegese) Alkitab.
- Bentuk-bentuk tipologi digunakan untuk menunjuk suatu tipe yang “biasa” ke tingkat yang lebih tinggi, dari bentuk material ke bentuk rohani.
- Seorang penafsir harus membedakan apakah tipologi yang ditafsirkan sebagai sesuatu yang esensial ataukah hanya insidental belaka. Misalnya kisah Yunus yang tinggal dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam dapat dikenakan kepada Kristus yang akan terkubur selama tiga hari tiga malam dalam rahim bumi (Mat. 12:40). Namun harus diingat bahwa terdapat perbedaan motif. Yunus berada dalam perut ikan karena ketidaktaatannya kepada Allah. Sebaliknya Yesus wafat dan dimakamkan dalam perut bumi justru karena ketaatan-Nya yang total.
Berdasarkan catatan dari Wayne Jackson tersebut di atas, maka makna tipologi yang dipakai oleh Injil Yohanes yang mengaitkan ucapan Yesus tentang nubuat-Nya kelak Ia akan ditinggikan di atas tiang salib dengan peristiwa peninggian Ular Tembaga adalah:
- Umat manusia pada hakikatnya seperti umat Israel yang bersungut-sungut melawan Allah walau pun mereka telah dipelihara di padang gurun melalui pemberian manna dan burung puyuh setiap hari. Manusia berada dalam kuasa dosa sehingga tidak dapat menghindar dari hukuman Allah.
- Akibat dosa dan pemberontakannya, setiap orang terkena hukuman Allah dengan secara metafor dipagut oleh kuasa dosa seperti umat Israel yang dipagut oleh ular-ular tedung.
- Ular-ular tedung tersebut menyerang dan memagut orang-orang Israel sebab diperintahkan oleh Allah. Jadi mereka dihukum oleh firman Tuhan melalui pagutan ular-ular tedung. Firman Tuhan dalam konteks ini adalah sebagai subjek yang menghukum karena dosa dan kesalahan umat Israel. Bandingkan dengan Wahyu 19:15, yaitu: “Dan dari mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Allah, Yang Mahakuasa.” Dari mulut-Nya keluar pedang untuk menghukum segala bangsa.
- Kristus secara metafor menggambarkan diri-Nya seperti Ular Tembaga yang digantung di atas tiang. Jika demikian, Kristus yang adalah Sang Firman. Ia berasal dari sorga. Yohanes 3:13 menyatakan: “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia.” Sebagai Sang Firman yang benar dan kudus, Kristus adalah pemagut dosa-dosa umat manusia (Firman yang seperti pedang). Tetapi kini demi keselamatan umat manusia Ia berkenan menjadi pihak yang dihukum Allah. Melalui peristiwa salib, Ia yang adalah Sang Firman Allah menjadi pihak yang menggantikan dosa umat manusia.
- Umat Israel diperintahkan Allah untuk melihat (waraah) kepada Ular Tembaga di atas tiang agar sembuh dan tetap hidup dengan tujuan mereka tidak lagi berorientasi pada keinginan dan keserakahannya (bersungut-sungut), tetapi keluar dari dirinya dengan memandang Ular Tembaga yang disediakan Allah. Pemulihan dan penyembuhan terjadi ketika umat Israel tidak lagi hidup dalam mental perbudakan dosa sehingga tidak mampu mengucap syukur atas pemeliharaan Allah selama di padang gurun.
- Apabila umat Israel di Bilangan 21:4-9 diperintahkan Allah untuk melihat (waraah) kepada Ular Tembaga di atas tiang, maka di Yohanes 3:14-15 umat manusia dipanggil untuk memandang pengurbanan Kristus dengan sikap percaya (pisteuon), maka mereka akan mengalami hidup yang kekal (Yoh. 3:16).
- Kematian Kristus selaku Sang Firman dan Anak Allah yang Tunggal akan menggantikan dosa umat yang percaya. Karena itu Kristus merelakan diri-Nya dipagut oleh kematian agar umat percaya mengalami keselamatan dan hidup yang kekal.
Tujuan pesan Yohanes 3:14-21 dan Bilangan 21:4-9 memiliki benang-merah teologis, yaitu:
- Situasi keberdosaan manusia sehingga tidak mungkin seorang pun luput dari murka dan hukuman Allah. Percakapan dengan Nikodemus yang berlatarbelakang Yudaisme dengan keyakinan bahwa manusia diselamatkan melalui ketaatan hukum Taurat diajak masuk oleh Yesus ke wawasan rohani yang lebih mendalam, yaitu tanpa anugerah Allah di dalam pengorbanan-Nya mustahil manusia dapat menyelamatkan dirinya.
- Kebutuhan manusia akan pemulihan dan keselamatan seperti orang-orang yang digigit oleh ular. Mereka hanya sembuh apabila memperoleh pengobatan yang tepat dan vaksin untuk pemulihannya itu berada di luar dirinya. Umat Israel membutuhkan Ular Tembaga di atas tiang, dan umat manusia membutuhkan kurban Kristus di atas kayu salib.
- Kesadaran akan dosa sering terhalang oleh anggapan subjektif bahwa mereka tidak berdosa. Karena itu banyak orang tidak membutuhkan anugerah pengampunan Allah melalui penebusan Kristus. Padahal tanpa penebusan Kristus, tidak seorang pun akan selamat sama seperti orang Israel tanpa melihat Ular Tembaga yang disediakan YHWH akan mati.
- Kesadaran akan dosa dapat ditempuh dengan 2 cara, yaitu:
- Mereka terlebih dahulu mengalami bagaimana pedih dan sakitnya dosa yang selama ini telah membelenggu diri mereka. Karena itu mereka datang kepada Kristus setelah lelah, tidak berdaya dan sakit karena dosa agar memperoleh pengampunan dan pemulihan. Kondisi inilah yang menjadi motif dan latarbelakang umat Israel di Bilangan 21:4-9. Luka-luka yang mematikan karena pagutan ular tedung yang mendorong mereka mohon kemurahan dan belas-kasihan Allah.
- Saat mereka memandang dengan sikap percaya akan pengorbanan Kristus, di situlah mereka melihat dengan jelas seluruh kedirian dan keberdosaan mereka di hadapan Allah. Kematian Kristus menyingkapkan dosa-dosa yang tersembunyi dengan rapi yang ditutupi oleh kesalehan-kesalehan yang palsu. Karena itu mereka mengalami pembaruan dari kuasa dosa. Hidup mereka dikuduskan oleh darah Kristus.
Dari kedua model motif manusia datang kepada salib Kristus, tentunya yang terbaik adalah apabila setiap kita memandang dengan sikap percaya, sehingga dengan jelas kita dapat melihat seluruh kedirian dan keberdosaan di hadapan Allah. Kematian Kristus di atas kayu salib menyebabkan hati kita remuk-redam sebab menyadari betapa tidak layak dan berdosanya kita di hadapan anugerah Allah. Penulis yakin bahwa lagu Isaac Watts yang berjudul When I Survey the Wondrous Cross lahir dari kesadaran sebagai orang berdosa di hadapan salib Kristus. Syair lagu Isaac Watts tahun 1707 ini kemudian diterjemahkan menjadi nyanyian Kidung Jemaat 169 dengan judul: Memandang Salib Rajaku. Sedangkan model motif seseorang yang datang kepada salib Kristus setelah mengalami penderitaan dan kehancuran karena dosa bukanlah model yang dianjurkan. Seperti Nikodemus yang datang kepada Kristus sebelum ia dipagut dan menderita oleh kuasa dosa. Rasul Paulus memberi nasihat, yaitu: “Dan janganlah kita mencobai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga mereka mati dipagut ular. Dan janganlah bersungut-sungut, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga mereka dibinasakan oleh malaikat maut: (1Kor. 10:9-10).
Di hadapan salib Kristus, seluruh keberadaan dan keberdosaan kita disingkapkan seraya pada saat yang sama menerima anugerah pengampunan-Nya. Kita diselamatkan oleh kasih-karunia Allah dan bukan hasil usaha dan perbuatan baik kita. Pernyataan dari Efesus 2:1-10 ini menggema begitu kuat dalam ucapan Yesus di Yohanes 3:14-21 dan Bilangan 21:4-9. Sebab di Efesus 2:1-2 menyatakan: “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” Frasa ini menyatakan situasi kita yang pertama kali sebagai orang-orang yang dipagut oleh kuasa dosa sehingga mengikuti jalan dunia (orang-orang durhaka). Lalu frasa kedua dari Efesus 2:8-9 yang menyatakan bahwa anugerah Allah di dalam Kristus melimpah, sehingga kita diselamatkan berdasarkan rahmat-Nya (Ef. 2:8-9).
Implementasi dalam kehidupan umat percaya adalah di hadapan salib Kristus, kita merefleksikan seluruh kehidupan setiap hari agar semakin dimurnikan dan dikuduskan. Dengan demikian kita datang kepada Kristus utamanya adalah karena didasari oleh spiritualitas dengan hati yang remuk-redam dan membutuhkan pemulihan serta pengampunan Allah. Tetapi bagi umat yang telah hidup dalam hawa-nafsu dosa, sebaiknya mereka segera datang untuk dipulihkan diselamatkan sebelum hukuman dan murka Allah datang menimpa mereka. Sebab yang mungkin terjadi kita seperti umat Israel yang mati dipagut ular sebelum kita sempat bertobat.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono