Trinitarianisme bukan sekadar teori yang dipaksakan ke dalam iman, melainkan pengakuan gereja bahwa Allah yang esa menyatakan diri-Nya dalam tiga Pribadi, yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Bukan tiga Allah (Tritheis), bukan satu Allah dengan tiga topeng (modalitas Sabelius), tetapi satu Allah yang hidup dalam persekutuan ilahi yang kekal. Kesatuan esensi dan keunikan Pribadi terjaga sepenuhnyase, sehingga buah misteri yang tidak kita ciptakan, tetapi kita terima karena Alkitab menyingkapkannya.
Perjanjian Baru memberi dasar sangat kokoh bagi keyakinan ini. Amanat Agung berbicara tentang baptisan dalam Allah yang esa dengan tiga Pribadi yaitu “Bapa, Anak, dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Rasul Paulus menutup suratnya dengan berkat yang menata tiga Pribadi dalam harmoni kasih (2 Kor. 13:14). Alkitab tidak pernah memakai istilah “Trinitas,” tetapi struktur kesaksian-Nya bergerak menuju pengakuan bahwa Allah menyatakan diri secara majemuk dalam kesatuan ilahi.
Kesaksian Injil Yohanes menyatakan, “Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah,” lalu Firman itu menjadi manusia (Yoh. 1:1–14). Dalam Kisah Para Rasul, sikap berdusta kepada Roh Kudus disebut kebohongan kepada Allah sendiri (Kis. 5:3–4). Yesus menyatakan, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30). Ayat-ayat ini menyalakan pondasi alkitabiah bagi iman Trinitaris yang dipegang gereja sepanjang zaman.
Untuk memahami hubungan internal ketiga Pribadi, gereja memakai istilah perikhoresis, yaitu sebuah istilah yang menggambarkan saling-hadir, saling-mengindahkan, dan saling-meninggikan antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Yesus menyingkapkan dinamika ini, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:10–11). Dalam doa-Nya, Ia memperluas undangan itu kepada kita, “Supaya mereka di dalam Kita” (Yoh. 17:21). Di sinilah kita menangkap denyut kehidupan Allah yang penuh gerak kasih satu terhadap yang lain. Di dalam diri Allah, tidak ada kompetisi, yang ada hanyalah arus kasih yang terus-menerus secara kekal. Bapa mengasihi Putra, Putra menaati Bapa dalam kasih, dan Roh Kudus mengikat dan menghadirkan kasih itu. Karena itu Ia disebut Roh Allah sekaligus Roh Kristus. Relasi ilahi inilah pola paling asli bagi relasi manusia.
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang berelasi. Kejadian 1:26 memakai bentuk jamak untuk diri Allah, yaitu “Baiklah Kita menjadikan manusia.” Sejak awal, hakikat manusia adalah hidup dalam persekutuan, bukan terkurung dalam kesendirian yang menutup diri. Relasi menjadi panggilan kodrati, bukan sekadar pilihan sosial. Karya keselamatan pun bergerak dalam irama Trinitaris. Surat Efesus 1 menggambarkan Bapa yang memilih, Putra yang menebus, dan Roh Kudus yang memeteraikan. Roma 8 menyaksikan Roh yang membangkitkan Kristus kini menghidupkan manusia percaya. Galatia 4 menunjukkan bagaimana Anak diutus supaya kita menjadi anak-anak Allah, dan Roh Anak diutus ke dalam hati kita sehingga kita dapat berseru, “Abba, Bapa.” Keselamatan bukan kerja satu Pribadi, melainkan karya bersama Allah Trinitas.
Tradisi gereja-gereja Reformasi tidak pernah menempatkan doktrin Trinitas sebagai pelengkap, tetapi sebagai dasar seluruh iman dan ibadah. Pengakuan-pengakuan gereja, misalnya Nicea-Konstantinopel, Rasuli, Katekismus Heidelberg, hingga Pengakuan Westminster konsisten menopang keyakinan ini. Johanes Calvin menegaskan bahwa kita hanya mengenal Allah dengan benar ketika kita mengenal-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tanpa itu, pengenalan kita akan Allah kehilangan wajah dan denyut hidupnya.
Yang menakjubkan dalam pewahyuan Alkitab adalah bahwa Allah Trinitas tidak sekadar memperlihatkan diri dari kejauhan. Ia membuka kehidupan-Nya sendiri dan mengundang kita masuk. Yohanes 17:3 mendefinisikan hidup kekal bukan terutama sebagai “tujuan akhir,” melainkan sebagai relasi yang dipulihkan, yaitu mengenal Bapa dan mengenal Yesus Kristus yang diutus-Nya. Begitu pula surat 2 Petrus 1:4 menegaskan bahwa kita diangkat menjadi “peserta dalam kodrat ilahi.” Kita tidak berubah menjadi Allah, tetapi kita dijadikan bagian dalam persekutuan kasih Allah yang kekal. Itulah puncak keselamatan, bukan hanya bebas dari dosa atau hidup yang lebih tenteram, tetapi masuk ke dalam hidup Allah Trinitas. Pada titik ini, liturgi gereja menemukan maknanya. Liturgi bukan sekadar rangkaian gerak dan kata, tetapi ruang di mana gereja dibukakan untuk mengalami irama kasih Trinitas.
Surat Ibrani 12:22–24 melukiskan realitas rohani ketika umat berkumpul untuk beribadah, yaitu kita dibawa ke hadapan Allah yang hidup, bersama jemaat surgawi dan Kristus sebagai Pengantara. Ibadah bukan aktivitas horizontal manusia belaka; sebaliknya perjumpaan dengan Allah Trinitas yang memanggil dan menyambut umat-Nya. Setiap hari Minggu, kita bersekutu bukan karena agenda gereja, tetapi karena Allah sudah lebih dulu mengundang. Hari itu ditandai kebangkitan Kristus, dan di situlah Ia berjanji hadir di tengah umat-Nya (Mat. 18:20). Kehadiran Kristus bukan sekadar simbol, tetapi nyata dalam karya Roh Kudus yang menghidupkan gereja. Karena itu liturgi selalu dimulai bukan dari kita, tetapi dari panggilan Allah. Bapa memanggil, melalui Putra, oleh Roh Kudus, lalu kita sebagai gereja menjawab.
Tradisi Reformed menata liturginya dengan sadar akan realitas itu. Votum atau salam pembukaan bukanlah formalitas, tetapi pengakuan bahwa ibadah berlangsung di hadapan dan di dalam nama Allah Trinitas. Demikian pula pada Salam, yaitu “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus…” (2 Kor. 13:14). Dalam beberapa jemaat, doa invokasi mengungkapkan kesadaran bahwa tanpa pertolongan Roh Kudus, kita bahkan tidak mampu menyembah seperti seharusnya.
Pengakuan dosa dalam liturgi juga memiliki dimensi Trinitaris yang sangat dalam. Dosa bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi penyimpangan dari natur relasional yang Allah taruh dalam diri manusia. Kita diciptakan menurut gambar Allah Trinitas, dan ketika kita terperosok dalam individualisme atau penutupan diri, kita semakin menjauh dari tujuan penciptaan kita. Surat Roma 3:23 menyatakan bahwa dalam dosa, manusia kehilangan kemuliaan Allah yakni gambar ilahi yang rusak (total depravity). Namun surat 1 Yohanes 1:8–9 memberikan janji yang teguh, yaitu ketika kita datang dan mengaku, Allah akan mengampuni dan menyucikan dosa.
Pengampunan itu bukan hasil dari pengakuan yang fasih, melainkan karya Kristus di salib. Kolose 2:13–14 menjelaskan bagaimana Kristus meniadakan seluruh tuntutan hukum dengan memakukannya pada kayu salib. Roh Kudus kemudian bekerja membentuk kita kembali menurut rupa Kristus (2 Kor. 3:18). Karena itu, ketika seorang pendeta menyampaikan proklamasi pengampunan dosa, itu adalah tindakan Allah Trinitas, yaitu Bapa mengampuni, melalui karya Putra, yang dihadirkan dalam hidup kita oleh Roh Kudus.
Puncak ibadah Reformed terletak pada pembacaan dan pemberitaan Firman. Prinsip sola Scriptura bukanlah penyembahan terhadap teks, tetapi pengakuan bahwa Allah berbicara melalui Firman-Nya. Yesus sendiri menegur mereka yang rajin mempelajari Kitab Suci tetapi tidak datang kepada-Nya (Yoh. 5:39–40). Firman tertulis (Alkitab) membawa kita kepada Firman yang hidup (Kristus) sehingga kita datang untuk mendengar Kristus berbicara, bukan hanya menelusuri teks untuk pengetahuan.
Dalam Yohanes 1:1 kita melihat bahwa Kristus adalah Logos, atau Firman yang kekal. Maka ketika Alkitab dibacakan dalam ibadah, bukan sekadar teks yang bersuara, sebaliknya Kristus sendiri berbicara kepada umat. Itulah sebabnya rasul Paulus memuji jemaat Tesalonika karena menerima pemberitaan itu bukan sebagai kata manusia, tetapi sebagai Firman Allah yang bekerja di dalam diri mereka (1Tes. 2:13). Ibrani 4:12 menggambarkan Firman itu sebagai sesuatu yang hidup, menggores sampai ke kedalaman jiwa dan roh, menyingkapkan segala pertimbangan tersembunyi. Firman tidak hanya mengajar; tetapi membedah, memurnikan, dan menciptakan ulang.
Roh Kudus yang sama, yang menggerakkan para nabi dan rasul untuk menuliskan Kitab Suci (2Pet. 1:21; 2Tim. 3:16), kini bekerja menerangi hati kita agar dapat memahami dan menaati Firman itu. Janji Yesus dalam Yohanes 16:13–14 adalah pondasi bagi setiap ibadah, yaitu Roh Kebenaran memimpin umat ke dalam seluruh kebenaran dan memuliakan Kristus. Di sinilah perikhoresis terlihat dalam gerak yang indah, yakni Bapa berbicara, Putra menyatakan diri, Roh Kudus menghidupkan pemahaman. Semua bergerak dalam satu kesatuan kasih. Karena itu, ketika khotbah disampaikan, bukan sekadar suatu ceramah moral atau motivasi spiritual. Pemberitaan firman adalah pembukaan misteri Kristus dari Alkitab. Roma 10:14–17 menekankan bahwa iman itu lahir dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus. Pengkhotbah berdiri bukan atas nama kepandaiannya, tetapi sebagai duta Allah yang membawa suara Allah. Ini adalah momen Trinitaris: Bapa berbicara, melalui Putra, dalam kuasa Roh.
Respons jemaat terhadap pemberitaan tidak berbentuk penilaian estetis (keindahan), melainkan kerendahan murid yang duduk untuk mendengar Sang Guru bersabda. Kisah Maria dan Marta (Luk. 10:38–42) menjadi gambaran indah, yaitu bahwa bagian terbaik adalah duduk dekat Kristus dan mendengarkan. Yakobus 1:22 mengingatkan bahwa mendengar tanpa melakukan hanya menghasilkan ilusi rohani. Firman yang direspons dengan iman membawa transformasi; sehingga dapat menata ulang isi hati, cara pikir, dan arah hidup. Di titik ini kita dapat merasakan sifat perikhoretik Firman. Firman Allah tidak hanya menembus kita (Ibr. 4:12), tetapi menarik kita masuk ke dalam kisah keselamatan. Kita tidak lagi sekadar pembaca kisah Abraham atau Musa, tetapi pewaris janji yang sama. Narasi Kristus yang dimulai dari kelahiran hingga kebangkitan akan menjadi pola baru yang membentuk identitas jemaat. Liturgi menjadi ruang di mana kisah itu ditanamkan, dirayakan, dan dihidupi.
Sebagai respons terhadap Firman, jemaat biasanya mengucapkan Pengakuan Iman baik Pengakuan Rasuli maupun Pengakuan Nicea. Ini bukan sekadar pengulangan formula kuno, tetapi sebagai deklarasi identitas dan kesetiaan. Surat Roma 10:9–10 menegaskan bahwa pengakuan dengan mulut dan iman di hati adalah ekspresi dari keselamatan yang kita terima. Ketika jemaat berkata, “Aku percaya kepada Allah Bapa… kepada Yesus Kristus… kepada Roh Kudus,” jemaat sedang meneguhkan kesatuan iman yang menghubungkan mereka dengan Gereja sepanjang abad.
Kita berdiri bersama para martir, para bapa gereja, para reformator, dan para saksi Injil di seluruh dunia. Efesus 4:4–6 menempatkan kita dalam harmoni ini, yaitu satu tubuh, satu Roh, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Di dalam pengakuan bersama itu, kita tidak hanya menyuarakan doktrin, tetapi menyatakan komuni iman yang hidup—komuni yang ditopang oleh karya Allah Trinitas.
Doa syafaat adalah bagian liturgi yang sering luput diperhatikan, tetapi justru di sanalah gereja terlibat dalam karya imamat Kristus. Ketika gereja berdoa bagi dunia, bangsa, pemerintah, gereja, orang sakit, dan mereka yang menderita, kita sedang masuk ke dalam dinamika pelayanan Kristus yang “senantiasa hidup untuk menjadi Pengantara” (Ibr. 7:25). Roh Kudus sendiri menginsyafi kelemahan kita dan menaikkan doa-doa kita dengan keluhan yang tidak terucapkan (Rm. 8:26-27). Makna doa syafaat bukan tindakan individual, melainkan partisipasi umat dalam persekutuan Trinitaris sebab kita berdoa di dalam Kristus, oleh Roh Kudus, kepada Bapa. Karena itu Paulus menegaskan, segala permohonan dinaikkan dengan ucapan syukur (Flp. 4:6), sebab doa bukan usaha menggerakkan Allah, tetapi respons syukur kepada karya anugerah-Nya.
Dalam tradisi Reformed, sakramen-sakramen gereja dipahami sebagai tanda dan meterai anugerah Allah yang bekerja nyata melalui Roh. Baptisan dan Perjamuan Kudus bukan sekadar simbol, tetapi sarana di mana Kristus mengomunikasikan diri-Nya kepada umat. Dalam sakramen, gereja tidak menciptakan kehadiran Kristus, melainkan menerima kehadiran-Nya yang dinyatakan melalui Roh.
Sakramen Baptisan adalah pintu masuk ke dalam komunitas umat Allah. Amanat Agung menggunakan “nama” dalam bentuk tunggal untuk tiga Pribadi (Mat. 28:19), menegaskan bahwa baptisan adalah karya Allah Tritunggal. Melalui baptisan kita “mengenakan Kristus” (Gal. 3:27) dan ditanamkan ke dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rm. 6:3-5). Baptisan bukan sekadar pernyataan manusia, tetapi tindakan Allah yang menyelamatkan, membenarkan, dan membarui melalui Roh Kudus (Tit. 3:5-7).
Sakramen Perjamuan Kudus adalah puncak persekutuan gereja. Ketika Kristus berkata, “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,” Ia memakai konsep anamnesis (mengingat, mengenang), yaitu menghadirkan kembali karya salib yang telah selesai, bukan mengulanginya (Ibr. 9:28). Dalam roti dan cawan, kita tidak hanya mengingat, tetapi masuk dalam persekutuan nyata dengan tubuh dan darah Kristus (1Kor. 10:16-17). Dari roti yang satu itu, terbentuklah tubuh Kristus yang satu. Dalam sakramen Perjamuan Kudus, gereja tidak berhenti pada tindakan mengingat Kristus. Yang terjadi adalah persekutuan nyata dengan Kristus dan dengan tubuh-Nya, yaitu Gereja. Paulus menegaskan dimensi ini ketika ia berkata bahwa setiap kali gereja makan roti dan minum cawan, kita “memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1Kor. 11:26). Dengan demikian Perjamuan Kudus membawa gereja pada horizon eskatologis yaitu suatu antisipasi atas perjamuan Anak Domba di dalam Kerajaan Allah (Luk. 22:16; Why. 19:9).
Ucapan Tuhan Yesus dalam Yohanes 6:53–56 menegaskan kualitas relasi itu. Ketika Ia berbicara tentang makan daging-Nya dan minum darah-Nya, Ia sedang menyatakan kesatuan hidup antara Dia dan umat-Nya. Relasi itu bersifat saling-mendiami, yaitu Kristus tinggal dalam umat-Nya dan umat-Nya tinggal dalam Dia. Inilah bahasa persekutuan yang saling menembus, yang hanya mungkin terjadi melalui karya Roh Kudus. Tradisi Reformed menegaskan bahwa kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus adalah kehadiran spiritual yang sungguh-sungguh. Roti dan anggur tetap roti dan anggur; tidak terjadi perubahan substansi. Namun melalui karya Roh Kudus, kedua elemen itu menjadi sarana di mana Kristus mengomunikasikan hidup-Nya kepada umat. Karena itu, yang menerima dengan iman bukan hanya menerima simbol, tetapi sungguh menerima Kristus secara rohani. Paulus menyatakan bahwa Kristus diam dalam hati melalui iman (Ef. 3:17). Inilah makna Perjamuan Kudus dalam kerangka Reformed: kehadiran Kristus yang nyata, tetapi melalui Roh.
Doa syukur sebelum Perjamuan Kudus adalah gerakan liturgis yang bersifat Trinitaris. Gereja mengucapkan syukur kepada Bapa atas karunia-Nya, terutama atas pemberian Sang Putra (2Kor. 9:15). Kemudian gereja mengingat seluruh rangkaian karya penebusan Kristus, yaitu inkarnasi, kehidupan, penderitaan, salib, kebangkitan, kenaikan, dan janji kedatangan-Nya kembali. Lalu kepada Roh Kudus gereja memohon agar Ia bekerja melalui elemen-elemen sakramen, mempersatukan umat dengan Kristus serta membentuk kesatuan tubuh Kristus.
Penerimaan roti dan anggur adalah momen terdalam dalam liturgi. Di sana gereja mengalami perjumpaan pribadi dengan Kristus di dalam persekutuan umat. Kehadiran Allah yang memberi diri itu membuat undangan Mazmur 34:9 menjadi pengalaman nyata, yaitu “Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu.” Inilah pengalaman umat percaya mencicipi kebaikan Allah sebagaimana disebutkan dalam Ibrani 6:4–5.
Sesudah menerima Perjamuan, gereja menjawab anugerah Allah dengan pujian. Semangat Mazmur 103:1–5 menjiwai nyanyian gereja, yaitu pujian yang lahir dari ingatan akan pengampunan, pemulihan, dan belas kasih Allah. Liturgi kemudian ditutup dengan berkat. Berkat Trinitaris, baik yang berasal dari Bilangan 6:24–26 maupun dari 2 Korintus 13:14, bukan sekadar penutup formal, tetapi pernyataan bahwa hidup umat dibawa kembali ke dalam jangkauan kasih dan damai Allah.
Pengutusan menjadi kelanjutan alami dari liturgi. Makna kata-kata “Pergilah dalam damai untuk melayani Tuhan dan sesama” mengingatkan gereja bahwa ibadah tidak berhenti di ruang ibadah. Surat Yakobus 1:22 menegaskan bahwa firman harus dilakukan, dan Matius 5:16 mengarahkan supaya terang Kristus memancar melalui perbuatan nyata dalam kehidupan.
Sepanjang tahun gerejawi, gereja merayakan misteri karya keselamatan Trinitas. Advent membuka tahun liturgi dengan seruan agar umat berjaga dan menata hati dalam kerinduan akan kedatangan Tuhan (Yes. 40:3–5; Rm. 13:11–12). Natal menyatakan misteri Inkarnasi yaitu Firman menjadi manusia dan tinggal di antara kita (Yoh. 1:14), Anak Allah yang merendahkan diri sampai mati di kayu salib (Flp. 2:5–8). Dalam peristiwa ini, manusia diangkat ke dalam persekutuan dengan Allah (Gal. 4:4–5).
Epifani menegaskan bahwa Kristus dinyatakan kepada segala bangsa (Mat. 2:1–12; Yes. 60:1–3). Apa yang tersembunyi kini dinyatakan: bangsa-bangsa ikut ambil bagian dalam janji Allah di dalam Kristus (Ef. 3:6).
Prapaskah adalah masa pertobatan dan penataan ulang hidup di hadapan Tuhan. Seruan Yoel 2:12–13 mengingatkan bahwa pertobatan sejati terjadi di dalam hati, bukan sekadar tindakan lahiriah. Inilah masa di mana gereja kembali pada realitas hari keselamatan yang kini hadir (2Kor. 6:2).
Minggu Palma membuka jalan menuju misteri salib. Sorak-sorai “Hosana” hanyalah permulaan dari jalan penderitaan yang Kristus tempuh. Zakaria 9:9 telah menubuatkan kedatangan Raja yang lemah lembut, dan Filipi 2:9–11 menunjukkan pemuliaan-Nya. Jalan salib ini mengantar gereja menuju perayaan kemenangan Paskah.
Jumat Agung selalu membawa kita pada keheningan yang paling pekam dalam sejarah keselamatan. Hari itu begitu gelap, namun justru di sanalah kemuliaan Allah bersinar paling terang. Anak Allah menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib, memikul dosa dunia. Yesaya 53:4–6 sudah melukiskan semuanya jauh sebelum terjadi yaitu Mesias menanggung luka dan pemberontakan kita, sementara kita justru mengira Ia dihukum Allah. Namun dengan bilur-bilur-Nya ada kesembuhan dan keselamatan. Kita semua tersesat, tetapi Tuhan menimpakan seluruh dosa itu kepada Dia. Di Kalvari, kata terakhir Yesus, yaitu “Sudah selesai” (Yoh. 19:30) bukanlah seruan menyerah, melainkan pengumuman bahwa karya penebusan telah genap. Kolose 2:13–15 menegaskan bahwa seluruh catatan pelanggaran dihapuskan dan dipakukan di salib, sementara kuasa-kuasa gelap dilucuti dan ditundukkan di bawah kemenangan Kristus. Ibrani 9:11–14 membuka kedalaman teologisnya, sebab Kristus datang sebagai Imam Besar yang sejati, masuk sekali untuk selamanya ke hadirat Allah, bukan dengan darah binatang, tetapi dengan darah-Nya sendiri. Dalam pengorbanan itu, hati nurani kita disucikan, supaya kita dapat hidup dan beribadah di hadapan Allah yang hidup.
Paskah kemudian menjadi denyut nadi iman Kristen. Tanpa kebangkitan, pemberitaan kita kosong dan iman kita hampa (1Kor. 15:14–20). Namun Kristus telah bangkit, menjadi yang sulung dari mereka yang telah meninggal. Roma 6:9–11 menyatakan dengan jernih, yaitu maut tidak lagi berkuasa atas Dia. Kematian-Nya menutup segala hutang dosa, dan hidup-Nya kini menjadi dasar hidup baru kita di hadapan Allah. Alkitab membaca peristiwa kebangkitan sebagai karya Allah Trinitas, yaitu Kristus diserahkan kepada kematian dalam kemanusiaan-Nya, tetapi dihidupkan oleh Roh (1Ptr. 3:18). Roh yang membangkitkan Yesus itulah yang akan menghidupkan tubuh kita yang fana (Rm. 8:11). Karena itu kebangkitan Kristus bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan janji masa depan bagi seluruh umat-Nya (1Kor. 15:22–23).
Empat puluh hari kemudian, kenaikan Kristus mengungkapkan pemuliaan natur manusia. Kisah Para Rasul 1:9–11 mencatat bagaimana Ia terangkat dan dijanjikan akan datang kembali dengan cara yang sama. Efesus 1:20–23 menggambarkan Dia kini duduk di sebelah kanan Allah, jauh di atas segala kuasa, dan diberikan sebagai Kepala Gereja, yaitu Tubuh-Nya sendiri. Ibrani 4:14–16 mengundang kita menghampiri takhta kasih karunia dengan keberanian, karena Imam Besar kita itu mengenal kelemahan-kelemahan kita, dan berbelas kasih kepada mereka yang datang kepada-Nya.
Pentakosta lalu membuka babak baru. Roh Kudus dicurahkan atas Gereja (Kis. 2:1–4), persis seperti yang dinubuatkan dalam Yoel 2:28–29. Lidah api itu bukan sekadar tanda, melainkan penyataan bahwa Allah kini berdiam dan berkarya di tengah umat-Nya. Yesus sendiri telah menjanjikan Penolong yang akan menyertai selama-lamanya, Roh Kebenaran yang tinggal dalam hati para percaya (Yoh. 14:16–17).
Karena itu Pentakosta bukan hanya “hari lahir” Gereja. Lebih dari itu, Pentakosta meneguhkan hakikat Gereja sebagai karya Roh Kudus. Gereja bukan organisasi bentukan manusia, melainkan komunitas yang dihidupkan dan digerakkan oleh Roh Allah sendiri. Kata Yesus dalam Kisah 1:8 menjadi garis misi Gereja sepanjang zaman, yaitu Roh Kudus memberi kuasa, dan dari kuasa itu mengalir kesaksian sampai ke ujung bumi. Roh yang sama yang menghidupkan persekutuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus kini bekerja dalam dan melalui Gereja-Nya.
Menghayati liturgi berarti umat belajar berpindah dari sikap penonton menjadi umat yang benar-benar hadir dan terlibat. Gereja adalah tubuh Kristus, dan setiap anggota dipanggil untuk mengambil bagian. Itulah yang ditegaskan Paulus: dalam satu Roh kita dibaptis menjadi satu tubuh, dan semua diberi minum dari satu Roh (1Kor. 12:12–13). Tidak ada ruang bagi kehadiran pasif; setiap orang membawa karunia yang memperkaya persekutuan. Liturgi yang hidup dimulai sebelum ibadah dimulai. Mazmur mengundang kita memasuki hadirat Allah dengan syukur dan pujian (Mzm. 100:4), dan memanggil kita bersujud di hadapan Pencipta yang memelihara umat-Nya (Mzm. 95:6–7). Karena itu tiba lebih awal, diam sejenak, dan membuka hati dengan doa sunyi merupakan bagian dari persiapan iman. Kita datang bukan ke ruang kosong, tetapi ke hadirat Raja semesta alam.
Saat liturgi berlangsung, kita diundang untuk menghadirkan seluruh diri. Jiwa memuji, suara bersyukur, dan tubuh ikut merespons anugerah. Pemazmur berkata, “Pujilah Tuhan, hai jiwaku… hai segenap batinku!” (Mzm. 103:1). Nyanyian menjadi wujud kesaksian tentang keselamatan Allah (Mzm. 96:1–2). Karena itu, bernyanyilah dengan hati yang terbuka; biarkan Roh menata dan memurnikan pusat perhatian kita.
Ketika Firman dibacakan dan diberitakan, sikap hati kita adalah kesiapsediaan Samuel, yaitu “Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu mendengar” (1Sam. 3:9). Firman itu perlu diterima dengan kelembutan hati, disimpan, dan dikerjakan dalam ketekunan (Luk. 8:15; Yak. 1:21). Firman bukan sekadar informasi, tetapi benih kehidupan yang membentuk karakter umat Allah.
Dalam doa, kita datang dengan keyakinan. Ibrani mengundang kita menghadap Allah dengan hati yang tulus dan iman yang teguh (Ibr. 10:22). Keyakinan ini bukan keberanian diri, melainkan kepercayaan bahwa Allah mendengar permohonan yang selaras dengan kehendak-Nya (1Yoh. 5:14–15). Doa menjadi nafas iman yang terhubung dengan karya Kristus.
Dalam Perjamuan Kudus, kita datang dengan kerendahan hati. Respons perwira yang berkata, “Tuhan, aku tidak layak…” (Mat. 8:8) mengajarkan sikap batin yang benar. Rasul Paulus mengingatkan bahwa kita harus menguji diri sebelum makan dan minum (1Kor. 11:28–29). Ini bukan ajakan menjauh, melainkan panggilan mendekat dengan hormat kepada kehadiran Kristus yang meneguhkan umat-Nya.
Setelah berkat dibagikan, liturgi tidak berhenti. Paulus berkata: persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup sebab itulah ibadah yang sejati (Rm. 12:1). Apa pun yang kita lakukan hendaknya dilakukan dalam nama Tuhan Yesus (Kol. 3:17). Hiduplah dalam kasih seperti Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya (Ef. 5:1–2). Liturgi di gedung gereja mengalir menjadi liturgi kehidupan sehari-hari.
Di rumah, keluarga kita dipanggil hidup dalam kesalingan yang mencerminkan kasih Allah. Rendahkanlah diri seorang terhadap yang lain (Ef. 5:21). Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, dan pengampunan (Kol. 3:12–14). Kasih menjadi ikatan yang menyempurnakan relasi.
Di tempat kerja, kita bekerja untuk Tuhan (Kol. 3:23–24). Kerja yang jujur, tekun, dan memberi ruang untuk berbagi merupakan kesaksian tentang Kristus (Ef. 4:28).
Di tengah masyarakat, kita selaku gereja diutus menjadi garam dan terang (Mat. 5:13–16). Kita adalah umat kepunyaan Allah yang dipanggil untuk menyatakan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar (1Ptr. 2:9). Kesaksian hidup menjadi wujud nyata dari identitas itu.
Pada akhirnya, seluruh liturgi kita mengarah kepada liturgi surgawi. Wahyu memperlihatkan perhimpunan besar dari segala bangsa yang memuji Anak Domba (Why. 7:9–10). Di sana Allah menghapus air mata, dan segala yang lama berlalu (Why. 21:3–4). Harapan dan iman kita diteguhkan. Kita akan menjadi seperti Kristus dan melihat Dia muka dengan muka (1Yoh. 3:2; 1Kor. 13:12). Karena itu mari kita datang dengan hati yang menyala-nyala, yakni “biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan” (Rm. 12:11). Biarkan kasih Allah menarik kita masuk ke dalam dinamika hidup-Nya. Dan pulanglah sebagai surat Kristus yang dapat dibaca semua orang (2Kor. 3:2–3), menghadirkan keharuman Injil di mana pun Tuhan menempatkan kita.
Kemuliaan bagi Bapa dan Putra dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad. Amin.
Pdt. Em. Yohanes Bambang Mulyono
Yohanes BM Berteologi Yohanes BM Berteologi