Allah dalam pemahaman iman Israel dan kekristenan sering digambarkan sebagai sosok maskulin, misalnya dengan sebutan “Bapa” (Abba). Tentunya gambaran yang dimaksud dipahami sebagai arti yang metaforis atau figuratif, yaitu majas yang mengungkapkan sesuatu secara langsung berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata, misalnya: layaknya, bagaikan, dan lain-lain. Ungkapan metaforis sebagai “Bapa” memperjelas bahwa peran Allah bagaikan seorang bapa yang begitu mengasihi anak-anaknya. Kasih seorang Bapa digambarkan oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 15:20 yang memeluk dan menerima anak bungsunya walaupun telah melukai dan menghabiskan harta yang sudah diwariskan. Karena itu Tuhan Yesus juga mengajar doa “Bapa Kami” karena Allah di dalam Dia hadir dan berperan sebagai seorang Bapa.
Namun sebenarnya gambaran Allah tidak senantiasa bersifat maskulin. Firman Tuhan di Yesaya 63:15 menyatakan: “Pandanglah dari sorga dan lihatlah dari kediaman-Mu yang kudus dan agung! Di manakah kecemburuan-Mu dan keperkasaan-Mu, hati-Mu yang tergerak dan kasih sayang-Mu? Janganlah kiranya Engkau menahan diri!” Dalam teks ini Allah digambarkan secara feminim. Sayangnya dalam terjemahan LAI tersebut tidak terlihat secara jelas gambaran Allah yang bersifat feminim. Tetapi apabila kita perhatikan dengan saksama frasa “hati-Mu yang tergerak dan kasih-sayang-Mu” maka kita dapat melihat gambaran Allah yang bersifat feminim. Sebab kata “kasih-sayang-Mu” berasal dari kata “rahameka.” Kata “rahameka” berasal dari kata Ibrani, yaitu kata “rahum” atau rahim yang menunjuk pada organ reproduksi perempuan atau ibu. Hakikat diri Allah melampaui kategorisasi gender baik maskulin maupun feminim. YHWH adalah pribadi ilahi bagaikan seorang bapa dan ibu bagi seluruh mahluk ciptaan-Nya.
Tanpa bermaksud mengurangi arti dan peran seorang “bapa” tentunya kita menyetujui bahwa peran seorang ibu terhadap buah rahimnya bersifat khusus dan istimewa. Sebab kodrat seorang bapa/ayah tidak pernah dapat melahirkan anak. Seorang ibu yang baik akan senantiasa menyayangi buah rahim, yaitu anaknya walaupun lahir dalam kondisi yang tidak sesuai harapan, misalnya: cacat, atau buruk rupa. Karena itu Allah disebut “maharahim” yang diterjemahkan: “Allah yang pengasih dan penyayang” yaitu menunjukkan kekayaan kasih seorang ibu yang bersedia berkurban dan pengampun bagi buah rahimnya, yaitu anak-anaknya. Di dalam Kristus, kita menemukan kerahiman Allah yang memberikan nyawa bagi keselamatan setiap umat manusia. Karena itu di dalam Kristus, Allah senantiasa mengampuni setiap umat yang mengaku dosanya dengan hati yang hancur dan jiwa yang remuk. Sebaliknya Allah akan menentang setiap orang yang congkak, berkanjang dalam dosa, dan menindas sesama yang lemah.
Beberapa waktu yang lalu kita mendengar kekejaman yang dilakukan seorang anak kepada ibu dan ayahnya di Depok. Kita dapat membaca secara lengkap di berita Detik News tanggal 12 Agustus 2023. Pemuda bernama Rifki membunuh ibunya karena sehari sebelumnya ditegur dan dimarahi. Ia merasa tersinggung sebab ia merasa sakit hati karena sering diomeli oleh kedua orang-tuanya. Setelah membunuh ibunya, ia menyerang ayahnya yang baru saja datang dengan parang. Peristiwa kejam dan sadis itu menunjukkan bahwa beberapa anggota masyarakat kita sakit secara mental dan spiritual. Mereka tidak dapat melihat secara lebih luas dan mendalam teguran orang-tua. Lebih daripada itu mereka tidak dapat melihat teguran orang tua sebagai bentuk kasih-sayang yang peduli agar anak-anak mereka dapat bertumbuh dan menjadi pribadi yang lebih dewasa. Karakter seorang anak yang jahat akan buta melihat peran ibu yang pernah mengandung dalam rahim dan mengasuh sampai ia dewasa. Ia menganggap musuh kepada setiap orang yang menegur kesalahannya.
Konteks kitab nabi Yesaya pasal 63 mengisahkan bagaimana hukuman Allah yang menimpa umat dan bangsa-bangsa yang melakukan kejahatan. Di Yesaya 63:6 Allah berfirman: “Aku memijak-mijak bangsa-bangsa dalam murka-Ku, menghancurkan mereka dalam kehangatan amarah-Ku dan membuat semburan darah mereka mengalir ke tanah.” Murka Allah begitu dahsyat sehingga Ia membinasakan umat-Nya tanpa belas-kasihan. Hukuman Allah tersebut terjadi karena Ia adalah Tuhan yang kudus. Ia tidak membiarkan dosa merajalela tanpa keadilan.
Makna “berharap pada kerahiman Allah” berarti setiap umat bersedia mengintegrasikan penghargaan yang tinggi pada “kasih-sayang” Allah dengan kualitas hidup yang suci. Karena itu saat kita hidup dalam dosa dan kejahatan, sesungguhnya kita sedang menista dan merendahkan “kerahiman” Allah. Sebagaimana pemuda di Depok yang tidak bisa mempertanggungjawabkan keuangan perusahaan keluarga, sehingga ia ditegur oleh kedua orang-tuanya. Namun ia lebih memilih untuk menjadi pembunuh ibu yang pernah mengandung dan melukai ayah yang pernah mengasuhnya daripada berbalik dan membarui diri. Firman Tuhan di kitab Amsal berkata: “Janganlah mengecam seorang pencemooh, supaya engkau jangan dibencinya, kecamlah orang bijak, maka engkau akan dikasihinya, berilah orang bijak nasihat, maka ia akan menjadi lebih bijak, ajarilah orang benar, maka pengetahuannya akan bertambah” (Ams. 9:8-9).
Seorang filsuf Jerman bernama Frederick Nietzsche pernah mengungkapkan bahwa Allah sudah mati (God is dead). Nietzsche pernah berkata: “Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimana kita menghibur diri kita sendiri, pembunuh dari segala pembunuh? Apa yang paling suci dan paling kuat dari semua yang dimiliki dunia telah mati berdarah di bawah pisau kami: siapa yang akan menghapus darah ini dari kami? Air apakah yang tersedia bagi kita untuk membersihkan diri kita? Perayaan penebusan dosa apa, permainan suci apa yang harus kita ciptakan? Bukankah kebesaran perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Haruskah kita sendiri tidak menjadi dewa hanya untuk terlihat layak untuk itu?” Tidak mudah memahami maksud dari ungkapan Nietzsche tersebut. Tetapi kata-kata yang sarkastik dari Nietzsche tersebut pada intinya mau menyatakan bahwa seorang yang memiliki jiwa dewasa, seharusnya ia tidak perlu bergantung penuh lagi kepada Allah.
Dalam kepribadian yang matang, manusia harus membebaskan diri dari ketergantungan pada pertolongan Allah. Sikap bergantung kepada Allah sering menyebabkan manusia memiliki mental yang lemah. Mental seorang budak (herden moral). Menurut Nietzsche, setiap orang yang dewasa haruslah memiliki mental seorang tuan (herren moral). Karena itu agar manusia tidak boleh bergantung pada kuasa Allah, manusia harus membunuh Allah. Itu sebabnya kini Allah sudah mati.
Secara negatif, perkataan dan pemikiran NIetzsche tersebut hendak menyingkirkan Allah agar Ia tidak lagi berperan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Sebab kini manusia dianggap sudah dewasa sehingga mampu mengambil keputusan sendiri. Pengaruh perkataan Nietzsche tersebut melahirkan sekulerisme sehingga membuahkan sikap atheisme dan agnostisme. Dalam terang pemikiran Nietzsche, pemuda di Depok tersebut juga terdorong membunuh ibu dan melukai ayahnya karena ia merasa sudah dewasa sehingga tak perlu ditegur atau diomeli lagi. Dalam kelemahan, kegagalan dan ketidakberdayaannya ia tidak menaruh harapan pada kerahiman ibu yang pernah mengandung dan ayah yang mengasuhnya. Mengimplementasikan harapan pada kerahiman ibu berarti seharusnya ia percaya bahwa ibu atau ayahnya bermaksud menyayangi dan menyelamatkan kehidupannya. Teguran keras dari orang-tua sama sekali bukan bertujuan untuk mencelakakan atau merusak masa depan pemuda tersebut.
Era manusia di abad 21 sering disebut sebagai pasca modernitas (post-modernism). Ciri pemikiran pada era pascamodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Namun segi negatifnya adalah post-modernisme merelatifkan setiap hal termasuk keberadaan Allah dan nilai-nilai iman. Setiap orang menganggap dirinya sudah dewasa dan memiliki hak berbicara apa saja. Karena itu tidak mengherankan post-modernisme melahirkan sikap individualitas yang dominan. Manusia sulit menerima masukan dan teguran dari sesamanya. Hasilnya dapat kita lihat dalam situasi hidup sehari-hari. Manusia tidak terlalu peduli dengan Allah, kebenaran bersifat relatif dan tergantung perspektif masing-masing individu, dan mengabaikan otoritas. Mereka akan semakin mengeraskan hati saat ditegur, dan berbalik memusuhi.
Bentuk hukuman Allah di masa kini adalah umat manusia cenderung mengalami kekosongan dan kekeringan secara spiritual. Kita tidak mudah mengalami relasi yang intim dengan Tuhan. Akibatnya kita semua sangat rentan dengan perasaan tidak berharga, mudah frustrasi, kecil-hati, gelisah, dan menyakiti diri sendiri. Kita dapat melihat bahwa manusia di masa kini mudah beringas, bengis, liar, abai kepada kebenaran, dan tidak menghormati otoritas orang-tua. Dari sudut pengetahuan, manusia dengan mudah mengakses berbagai sumber namun kehilangan nurani dan kebijaksanaan. Tetapi situasi terputusnya dari kerahiman Allah akan menyebabkan manusia dikuasai oleh kebencian, dan dendam. Manusia sering kehilangan nilai yang paling berharga yaitu humanitas (kemanusiaannya). Dalam kondisi hilangnya kemanusiaan, apakah kita dapat menyebut setiap orang sebagai sosok manusia apabila ia berdarah dingin, tidak lagi mengenal kebenaran, buta akan nurani, dan dangkal dalam mengambil keputusan?
Di tengah-tengah kekosongan atau kehampaan spiritual, umat percaya berseru kepada Allah sebagaimana Yesaya 63:17 berkata: “Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalan-Mu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepada-Mu? Kembalilah oleh karena hamba-hamba-Mu, oleh karena suku-suku milik kepunyaan-Mu!” Kebutuhan manusia yang terdalam dan paling fundamental adalah apabila Allah berkenan kembali menyayangi umat-Nya yang tersesat. Manusia membutuhkan rahmat, yaitu kerahiman Allah agar kita tidak semakin tersesat dan akhirnya binasa. Karena itu marilah kita bertobat dari setiap kesesatan yang telah menjadi kebiasaan hidup kita, yaitu sesat berpikir, dalam kehendak, dalam perasaan, dan perilaku. Karena Allah yang maharahim itu ternyata adalah Allah yang kudus. Ia tidak segan untuk menyerahkan kita dalam api murka-Nya. Tetapi dalam hukuman dan murka-Nya Ia sangat menyayangi kita bagaikan seorang bapa dan ibu yang tidak membiarkan kita binasa.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono