Lalu kata orang itu: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab
engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang” (Kej. 32:28).
Beberapa tokoh di Alkitab mengalami perubahan nama. Hakikat perubahan nama dalam konteks zaman Alkitab bukan sekadar administratif, tetapi peran dan identitas yang baru. Nama “Abram” yang artinya: “Bapa yang mulia” diganti menjadi “Abraham” yang artinya: Bapa orang banyak. Nama “Yusuf” diganti oleh Firaun dengan nama “Zafnat-Paaneah.” Menurut para ahli tafsir Alkitab arti dari “Zafnat-Paaneah” berarti orang yang menyingkapkan hal-hal yang tersembunyi/misteri. Dalam pembacaan Alkitab di Kejadian 32:28 nama Yakub diganti menjadi Israel. Arti nama “Yakub” adalah “penangkap tumit.” Sebab saat lahir, Yakub memegang tumit Esau kakaknya. Kejadian 25:26 menyatakan: “Sesudah itu keluarlah adiknya; tangannya memegang tumit Esau, sebab itu ia dinamai Yakub. Ishak berumur enam puluh tahun pada waktu mereka lahir.” Tampaknya kondisi lahir Yakub yang memegang tumit kakaknya menunjukkan bahwa kelak ia menjadi pribadi yang cerdik namun licik.
Kecerdikan dan kelicikan Yakub terlihat dalam Kejadian 25:29-34. Yakub menyuruh kakaknya menjual hak kesulungannya sebagai pengganti bubur kacang merah yang dimasaknya. Dengan serta-merta Esau tanpa pikir panjang bersumpah menjual hak kesulungannya agar ia dapat memperoleh bubur kacang merah tersebut. Lebih jauh tindakan kelicikan Yakub untuk memperoleh hak kesulungan dari berkat ayahnya ditempuh dengan cara menyamarkan diri seakan-akan dia adalah Esau. Yakub memakai pakaian Esau dan kedua tangannya ditutupi dengan kulit anak kambing seraya memberikan makanan kesukaan Ishak ayahnya. Ishak tertipu sebab kedua matanya telah rabun. Itu sebabnya Ishak memberikan berkat kesulungan kepada Yakub anaknya yang bungsu. Sikap Yakub yang cerdik dan licik juga ia lakukan kepada Laban, pamannya. Di Kejadian 30:42 mengisahkan bagaimana Yakub dengan cerdik ia memberikan hewan yang lemah untuk Laban tetapi yang hewan yang kuat untuk dirinya. Lalu di Kejadian 33:20 menyatakan: “Dan Yakub mengakali Laban, orang Aram itu, dengan tidak memberitahukan kepadanya, bahwa ia mau lari.”
Kecerdikan dibutuhkan dalam kehidupan sebab seorang yang cerdik senantiasa memiliki banyak akal. Ia sangat kreatif. Tetapi manakala kecerdikan didasarkan pada kelicikan akan merugikan orang lain. Dalam konteks pembacaan Alkitab, kecerdikan dan kelicikan Yakub telah melukai perasaan hati ayah dan Esau, kakaknya. Yakub secara paksa merebuk hak kesulungan kakaknya dengan memanfaatkan kondisi mata Ishak ayahnya yang rabun. Dengan menyamar menjadi sosok Esau, Yakub berhasil merebut berkat Allah dan hak kesulungan kakaknya. Dalam tradisi Israel kuna, kedudukan dan hak kesulungan adalah seorang pemimpin suku. Menurut hukum Taurat, seorang anak sulung berhak memperoleh ⅔ dari seluruh kekayaan orang-tuanya. Ulangan 21:17 menyatakan: “Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan.” Secara rohani, berkat Allah dalam kesulungan berkaitan dengan karunia ilahi yang diberikan secara istimewa untuk memenuhi seluruh janji-janji Allah.
Tindakan merebut dan mengambil paksa hak kesulungan selain tidak dibenarkan, juga akan berakibat fatal. Anak sulung tersebut sebenarnya berhak membunuh. Sikap itulah yang dilakukan oleh Esau. Kejadian 27:41-42 menyatakan sikap Esau yang membalas dendam dan merencanakan untuk membunuh Yakub. Dalam penghayatan banyak orang Kristen kita sering terlalu cepat bersimpati dengan tindakan Yakub yang telah menipu Esau kakaknya. Seakan-akan tindakan Yakub menipu atau memperdaya ayah dan kakaknya itu merupakan pemenuhan rencana Allah. Jikalau perspektif teologis tersebut benar, ini berarti YHWH dipahami sebagai Allah yang menyetujui perbuatan licik dan menipu orang yang lemah. Padahal Alkitab senantiasa menyatakan bahwa YHWH adalah Allah yang kudus dan adil. Mazmur 5:5 menyatakan: “Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat takkan menumpang pada-Mu.”
YHWH adalah Allah yang kudus dan adil, karena itu Ia tidak membiarkan perilaku Yakub yang licik dan menipu. Pola kerja Allah memproses pembaruan diri Yakub sangat menarik. Melalui Malaikat-Nya Allah menghadirkan diri-Nya sebagai seorang laki-laki yang menyerang Yakub saat ia telah menyeberang sungai Yabok. Laki-laki misterius tersebut bergumul dengan Yakub sampai fajar menyingsing (Kej. 32:24). Betapa seru pertarungan kedua laki-laki tersebut! Akhirnya laki-laki misterius tersebut berhasil memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga ia berjalan pincang. Selama ini Yakub selalu berlari karena akibat kelicikannya. Ia harus berlari meninggalkan rumah ayahnya. Yakub lari dari kejaran Esau yang ingin membunuhnya. Lalu ia harus berlari meninggalkan rumah Laban sebab pamannya marah atas perilaku Yakub yang telah merugikan dirinya. Kini Yakub tidak dapat lari lagi setelah ia dipukul oleh laki-laki misterius itu. Yakub sekarang harus berjalan pincang. Dengan kondisi cacat itulah Yakub memperoleh identitas yang baru. Secara fisik Yakub lemah, tetapi secara rohani ia kini menjadi lebih kuat. Laki-laki misterius itu yaitu Malaikat Allah berkata: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.”
Yakub kini menyandang identitas yang baru. Ia bukan lagi Yakub yang licik dan menipu, tetapi Israel yang artinya: “Seorang yang telah melihat Allah dan yang melawan kelicikannya.” Yakub kini tidak dapat melakukan kebiasaannya yang gemar lari akibat kelicikannya, sebab ia harus berjalan pincang. Pembaruan diri Yakub terlihat saat ia akan bertemu dengan Esau, kakaknya. Yakub sadar bahwa akibat kejahatannya, ia layak dibunuh oleh Esau. Tetapi dengan identitasnya yang baru, Yakub memilih untuk merendahkan diri di hadapan kakaknya. Dengan sikap ksatria (gentleman), Yakub memilih berada di posisi terdepan. Ia berperan sebagai pelindung yang menjaga keselamatan para istri dan anak-anaknya. Lalu di depan Esau kakaknya Yakub bersujud sampai ke tanah tujuh kali. Kejadian 33:3 menyatakan: “Dan ia sendiri berjalan di depan mereka dan ia sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai ke dekat kakaknya itu.” Identitas baru yang diemban oleh Yakub dinyatakan dengan perubahan sikapnya yang mendasar. Dari seorang yang sombong dengan kecerdikannya, kini ia berubah menjadi pribadi yang rendah hati dan mengakui kesalahan serta kejahatannya.
Sikap kerendahan hati Yakub tersebut telah mengubah situasi “siklus balas-dendam” (cycle of revenge) dari Esau menjadi “siklus rekonsiliasi” (cycle of reconciliation). Dengan kerendahan hatinya Yakub sujud tujuh kali di hadapan Esau kakaknya. Sikap Yakub tersebut telah memberi ruang kepada Esau untuk mengidentifikasi perasaannya yang pernah terluka sangat dalam. Karena itu Esau mengalami transformasi dari perasaan dendam akibat luka batin menjadi perasaan yang bisa memaafkan dan mengampuni kesalahan Yakub, adiknya. Itu sebabnya di Kejadian 33:4 Esau menunjukkan reaksi yang mengejutkan, yaitu: “Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.” Esau justru yang berlari dan memeluk Yakub dengan kasih sayang. Kondisi akan berbeda apabila di saat bertemu dengan Esau, ternyata Yakub menganggap perbuatannya di masa lalu sebagai hal yang biasa. Seandainya Yakub tidak mau merendahkan diri, maka pertemuan itu akan membawa akibat yang buruk dan fatal. Esau akan membunuh Yakub dan seluruh keluarganya.
Konflik sering tidak dapat dicegah dalam relasi sosial. Suami-istri pernah mengalami konflik. Anak-anak dan orang-tua juga pernah mengalami konflik. Kita bisa mengalami konflik di tempat kerja dan relasi dengan tetangga. Demikian pula dalam kehidupan jemaat. Konflik bisa terjadi karena kita sering bertemu dan bersinggungan karena kepentingan atau sikap tertentu yang melukai hati. Tetapi konflik bisa sulit dimaafkan apabila kita sengaja mengkhianati pasangan atau sahabat. Apabila kita melakukan kelicikan dan menipu orang-orang yang mempercayai dan mengasihi, maka kita akan kehilangan mereka. Tindakan kita tersebut telah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang mengasihi dengan tulus. Lebih buruk lagi apabila kita melakukan tanpa penyesalan. Kita anggap bahwa perbuatan kita biasa saja. Apabila hal tersebut terjadi sesungguhnya hidup kita sama sekali belum mengalami pembaruan dari Kristus. Kita adalah manusia duniawi. Gelar atau predikat kekristenan kita hanyalah topeng kemunafikan. Kita adalah orang-orang fasik yang kelak akan menanggung hukuman dan murka Allah.
Sebaliknya saat hidup kita telah dibarui oleh Kristus, jati-diri kita akan diubahkan. Seluruh kesombongan, kelicikan, kejahatan, dan kefasikan kita diubah oleh Allah menjadi kebenaran. Di dalam Roh Kudus, seharusnya karakter kita diubah menjadi lebih rendah-hati. Kita mau bersikap seperti Yakub yang merendahkan diri dan mengakui kesalahan. Kita juga bukan sekadar minta maaf tetapi bersedia bertanggungjawab atas kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lampau. Kita tidak lagi lari dari tanggungjawab! Karena kita menyadari bahwa orang-orang yang pernah kita rugikan dan lukai pernah mengalami penderitaan yang begitu dalam akibat kesalahan dan kejahatan kita. Wajar apabila di hadapan mereka kita merendahkan diri dan minta maaf. Kita juga bersedia membayar harga untuk semua kesalahan kita. Sikap pembaruan kita tersebut akan memberi daya pemulihan bagi setiap orang yang menjadi korban.
Peran identitas yang baru adalah apabila kita bersedia bertransformasi menjadi para pribadi yang memberi pemulihan kepada setiap orang yang pernah dilukai. Kita mau membalut luka-luka mereka dengan kasih yang lahir dari pertobatan. Sebab oleh bilur-bilur atau luka-luka Kristus, kita telah disembuhkan. Firman Tuhan di surat 1 Petrus 2:24 berkata: “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.”
Jika demikian, apakah identitas yang baru di dalam Kristus telah kita buktikan dengan kemampuan rohani untuk mengubah siklus balas dendam diubah menjadi siklus pendamaian atau rekonsiliasi?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono