Kesaksian tentang pengalaman yang menakutkan di lautan dialami oleh rasul Paulus saat ia berlayar ke Italia. Kapal yang ditumpangi terombang-ambing karena badai “Timur Laut.” Karena badai begitu besar, para penumpang terpaksa membuang semua barang yang mereka miliki agar mengurangi beban kapal. Mereka juga tidak bisa makan selama beberapa hari. Dalam kondisi putus-asa itu rasul Paulus memberi penghiburan dan peneguhan kepada para awak kapal. Sebab rasul Paulus memperoleh penglihatan bahwa semalam seorang malaikat Tuhan menyampaikan bahwa mereka semua akan selamat. Lebih daripada itu keselamatan para penumpang karena Allah mengutus rasul Paulus agar ia dapat menghadap kaisar di Roma. Rasul Paulus diutus untuk memberitakan Injil kepada kaisar dan para pejabat serta rakyat Roma.
Kisah selamat dari badai di laut yang dialami oleh rasul Paulus agar ia dapat menghadap kaisar Roma memiliki kemiripan dengan pengalaman nabi Yunus. Nabi Yunus juga pada akhirnya menyampaikan berita hukuman kepada raja dan penduduk kota Niniwe. Di Yunus 3:6 menyatakan bahwa raja kota Niniwe turun dari singgasananya, ditanggalkan jubahnya, diselubungkan kain kabung, lalu ia duduk di atas abu sebagai tanda pertobatan. Tetapi dalam kedua kisah tersebut terdapat perbedaan yang esensial. Memang mereka sama-sama mengalami badai di laut. Kapal hampir karam dan semuanya akan binasa. Tetapi faktor yang membedakan adalah badai dalam kisah nabi Yunus terjadi karena ketidaksetiaannya. Nabi Yunus melarikan diri dari hadapan Tuhan. Karena itu Allah menghukum dengan badai di laut sehingga seluruh penumpang di dalam kapal itu hampir binasa. Sebaliknya rasul Paulus di kitab Kisah Para Rasul pasal 27 tidak melarikan diri dari tugas panggilannya. Badai yang dialami oleh kapal di mana rasul Paulus menumpang, bukan karena hukuman Allah, tetapi karena faktor alam. Rasul Paulus saat itu sedang melaksanakan tugas panggilannya sebagai seorang rasul Kristus. Ia bersikap setia dan percaya bahwa Allah akan melindungi dan menyelamatkan dia dari bahaya.
Penyertaan dan perlindungan Tuhan saat menghadapi badai laut juga dialami oleh para murid Yesus. Saat mereka menyeberangi danau Genesaret, angin taufan yang dahsyat mengamuk dan ombak yang besar menghantam perahu yang ditumpangi oleh para murid Yesus. Di tengah bahaya itu Tuhan Yesus tertidur lelap. Tetapi saat Ia bangun segera menghardik angin badai itu dengan berkata, “Diam! Tenanglah!” Dengan perkataan Yesus tersebut angin itu reda dan danau menjadi teduh kembali (Mark. 4:39). Ucapan Tuhan Yesus sangat berkuasa sehingga angin dan badai tunduk pada perintah-Nya. Para murid Yesus akhirnya dapat selamat dari badai yang terjadi.
Dari ketiga kisah atau pengalaman selamat dari badai laut baik karena ketidaksetiaan maupun kesetiaan kepada Tuhan, ataupun disebabkan oleh faktor alam maupun bentuk hukuman dari Tuhan, semuanya berujung pada bagaimana sikap iman manusia. Bagaimana sikap iman manusia di tengah situasi kritis? Iman tidak akan teruji saat kita sedang menghadapi kondisi aman dan sejahtera. Sebab dalam situasi aman dan sejahtera, setiap orang tidak menghadapi situasi batas akhir. Mereka berada dalam comfort-zone (zona nyaman). Namun tidaklah demikian saat kita menghadapi “situasi batas akhir.” Sebab saat kita sedang menghadapi “situasi batas akhir” manusia akan menyadari sedang berada dalam bahaya yang bisa mengakhiri seluruh eksistensi. Arti dari “situasi batas akhir” adalah kesadaran eksistensial bahwa kita sedang berada di ujung akhir kehidupan ini. Dalam “situasi batas akhir” manusia menyadari bahwa kekuatan dan kemampuan insaninya tidak dapat diandalkan. Karena itu dalam “situasi batas akhir” manusia hanya berharap pertolongan dari kekuatan yang supranatural, yaitu Allah. Bukankah dalam realitas kehidupan kadang-kadang kita menghadapi dan mengalami “situasi batas akhir”? Saat seluruh upaya yang terbaik sudah dilakukan, tetapi kita menghadapi kondisi yang tanpa harapan. Misalnya dokter sudah menyatakan bahwa usia kita tinggal 3 bulan lagi, padahal seluruh upaya medis sudah dilakukan secara optimal. Apakah masih ada harapan?
Makna dari “iman” adalah sikap berpegang teguh kepada Allah, walau ia tidak dapat melihat dan memastikan secara inderawi. Kata “iman” berasal dari “emunah” dalam bahasa Ibrani. Kata “emunah” merupakan turunan dari kata aman (אמן ) yang artinya “berpegang teguh.” Iman adalah sikap berpegang teguh kepada janji dan firman Allah walau manusia belum melihat secara jelas. Karena itu seorang yang beriman atau percaya mengamini janji dan firman Allah tanpa syarat. Wujud dari sikap percaya terhadap janji dan firman Tuhan tersebut dinyatakan dengan setia. Itu sebabnya makna “emunah” senantiasa mengandung 2 bagian yang saling terjalin, yaitu iman dan kesetiaan (faith-faithful). Kita tidak mungkin beriman, tetapi tidak setia kepada Allah. Sebaliknya kita tidak mungkin setia kepada Allah, tanpa beriman. Iman harus dihidupi dengan kesetiaan kepada Tuhan tanpa syarat saat kita menghadapi penderitaan, kegagalan, dan bahaya maut.
Bagaimana kita dapat beriman kepada Allah dengan setia ketika kondisi riil yang kita alami sedang berada dalam “situasi batas akhir” atau titik nadir? Saat kita berada di titik nadir atau “situasi batas akhir” secara eksistensial kita sedang mengalami realitas “ketiadaan” (non-being). Dalam situasi “ketiadaan” tersebut hanya tersedia 2 pilihan yang dapat kita lakukan, yaitu: a). Rendah-hati mohon rahmat Allah, ataukah b). Kita memberi perlawanan. Apabila kita bersedia memilih bersikap rendah-hati dan mohon rahmat Allah, maka Allah akan mengaruniakan iman. Sebaliknya saat kita memberi perlawanan dengan sikap marah dan bersungut-sungut, maka kita akan terputus relasi atau persekutuan dengan Allah.
Di Lukas 23:39-43 mengisahkan sikap 2 orang penjahat yang tergantung di atas kayu salib bersama Yesus. Seorang penjahat di sebelah kiri Yesus berkata: “Bukankah Engkau Mesias? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” Tetapi penjahat di sebelah kanan Yesus berkata, “Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu.” Yesus memberi jawaban, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Sikap penjahat di sebelah kiri Yesus menunjukkan sikap perlawanan dengan menyerang dan menantang Yesus. Ia menyatakan apabila Yesus benar-benar adalah Mesias, ia minta bukti bahwa Yesus dapat membebaskan dia dari hukuman salib dan juga Yesus dapat melepaskan dari salib. Karena penjahat tersebut melakukan perlawanan, akhirnya ia mati dengan kondisi tanpa iman. Tetapi penjahat di sebelah kanan Yesus memilih bersikap rendah hati mohon agar Yesus mau mengingat dia apabila telah berada dalam kerajaan Allah. Kepada penjahat itu Yesus menjanjikan keselamatan. Akhirnya penjahat itu mati bersama dengan Kristus dan dapat memasuki Firdaus, yaitu kerajaan surga.
Iman merupakan anugerah Allah, namun pada saat yang sama iman hanya dikaruniakan kepada orang-orang yang rendah hati. Iman tidak mungkin dimiliki oleh orang-orang yang sombong dan membanggakan dirinya. Karena itu seorang yang diberi karunia iman juga diberi karunia untuk menderita. Filipi 1:29 berkata, “Sebab, kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita bagi Dia.” Penderitaan yang dialami oleh orang percaya bukanlah bencana, sebaliknya suatu anugerah yang ia terima dengan tulus dan ikhlas. Bagi orang yang tidak percaya kepada Allah, setiap penderitaan yang dialami akan dianggap sebagai suatu malapetaka. Karena itu orang-orang yang tidak percaya itu umumnya merasa tidak sanggup bertahan menghadapi kesulitan, tekanan, sakit, kegagalan, kehilangan, dan kedukaan. Sikap tanpa iman inilah yang juga dilakukan oleh umat Israel di padang gurun. Mereka sering bersungut-sungut kepada Allah. Karena sepanjang perjalanan dari Mesir ke Tanah Terjanji dikisahkan berulangkali umat Israel bersungut-sungut kepada Allah melalui Musa dan Harun. Di Bilangan 11:1 mempersaksikan, “Suatu ketika bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang kemalangan mereka. Mendengar itu menyalalah murka TUHAN. Lalu api TUHAN menyala di antara mereka dan melahap tepi perkemahan.” Tempat di mana api TUHAN itu menyala disebut “Tabera” yang artinya: api TUHAN telah menyala di antara mereka (Bil. 11:3).
Dalam kehidupan sehari-hari betapa sering kita menghadirkan “Tabera” yaitu api TUHAN karena sikap bersungut-sungut. Kita sering menganggap bahwa diri kita bernasib sial, penuh kemalangan, miskin, dan diperlakukan tidak adil. Dengan iri hati kita membandingkan kondisi atau nasib kita dengan orang-orang di sekitar yang dianggap lebih beruntung. Karena itu kita tidak mampu bersyukur atas segala kemurahan, berkat, dan pemeliharaan TUHAN. Namun tidaklah demikian sikap iman yang otentik. Sikap iman yang otentik dinyatakan apabila kita mampu menghitung setiap berkat yang telah TUHAN karuniakan. Semakin kuat landasan iman kita, maka kita semakin menghitung dengan cermat setiap berkat dan anugerah dari TUHAN. Mereka tidak lagi menghitung kerugian atau kehilangan yang pernah dialami. Dalam “situasi batas akhir,” para penumpang kapal tidak lagi merisaukan barang-barang yang harus dibuang ke laut untuk meringankan beban kapal menghadapi badai di lautan. Mereka ikhlas kehilangan semua barang berharga yang mereka miliki. Sebaliknya mereka bersyukur kepada TUHAN bahwa akhirnya mereka dapat selamat, walau semua barang berharga telah lenyap atau hilang. Dengan demikian, karakteristik iman yang utama adalah spiritualitas yang tidak melekat dengan semua harta yang dimilikinya. Mereka tahu kapan saat harus mempertahankan harta miliknya, dan juga tahu kapan harus melepaskannya.
Ciri-ciri iman adalah:
- Teruji dalam situasi kritis atau bahaya. Mereka siap menghadapi situasi ketidakpastian dan kesulitan yang terjadi.
- Berpegang teguh kepada Allah walaupun secara inderawi mereka tidak dapat melihat dengan jelas.
- Mereka tetap setia walaupun dalam kondisi yang sulit: sakit, gagal, menghadapi penderitaan, pengkhianatan sebab iman senantiasa dinyatakan dalam sikap setia (faith-faithful).
- Dalam situasi batas akhir, mereka dengan rendah-hati mohon anugerah Allah untuk mampu menanggung perkara itu dengan setia. Doa kita bukan agar Allah membebaskan kita dari tanggungjawab dan persoalan yang terjadi, tetapi kita mohon agar TUHAN memberi kekuatan dan karunia-Nya untuk mengatasi setiap persoalan dan menyelesaikan dengan excellent.
- Mereka mampu mengucap syukur, dan tidak pernah bersungut-sungut, sebab senantiasa menghitung setiap berkat yang TUHAN curahkan. Berpikir secara optimis, walau sedang menderita dan gagal.
- Mereka ikhlas menerima setiap penderitaan yang terjadi sebagai anugerah Allah, sehingga tetap mampu bersukacita walau sedang terluka dan dikhianati.
- Mereka tidak melekat dengan apa yang dimiliki. Sebaliknya mereka ikhlas untuk melepaskan dan kehilangan. Mereka hanya melekat kepada Allah. Karena itu mereka tidak pernah larut dalam kesedihan dan kedukaan. Mereka mudah bangkit (move on) dari situasi tersebut.
Selaku umat Kristen kita sering menghadapi situasi yang tidak diharapkan. Di Indonesia kita belum sepenuhnya diperlakukan secara adil karena perbedaan agama dan kepercayaan. Di negara yang menganut Pancasila ini kita sering dianggap sebagai orang kafir. Berbagai peristiwa diskriminatif sering menyebabkan umat Kristen kehilangan kepercayaan diri dan imannya kepada TUHAN. Karena itu sering timbul perasaan “inferior” bahkan sindrom “minority complex” yaitu perasaan diri yang tidak aman dan kecil hati di tengah-tengah masyarakat. Semua bentuk perasaan “inferior” (rendah diri) dan perasaan diri yang “insecure” akan melumpuhkan semua kemampuan yang dikaruniakan TUHAN. Sebaliknya sikap iman akan memampukan kita untuk menyikapi setiap bentuk diskriminasi dan tekanan sosial secara kreatif dan transformatif. Melalui iman kepada TUHAN kita mampu mengubah kondisi yang menekan, menindas dan diskriminatif dengan semangat untuk mengembangkan diri secara unggul (excellent). Dengan sikap iman, kita tidak mau bersungut-sungut, sebaliknya mampu mengucap syukur dalam setiap situasi, sehingga memperoleh energi ilahi, yaitu rahmat TUHAN. Karena itu kita dijadikan orang-orang yang menang. Walau sebagai minoritas, kita menjadi manusia yang unggul dan berkarakter mulia sehingga dapat diandalkan dalam berbagai bidang. Iman senantiasa memimpin setiap umat percaya ke dalam kemenangan, yaitu keberhasilan secara ekonomis, finansial, kompetensi, dan karakter.
Pada akhirnya sikap iman kita diuji apakah kita mempersaksikan iman kepada Kristus di depan publik. Apakah kita tidak malu mengakui Kristus selaku Tuhan dan Juruselamat di depan banyak orang dan masyarakat sekitar? Apakah kita dengan tulus memberitakan firman sesuai bidang profesi dan keahlian? Tuhan Yesus berkata di Matius 10:32-33, yaitu: “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga. Namun, siapa saja yang menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di surga.” Mungkin kita karena iman berhasil menjadi pemenang dalam bidang ekonomis, finansial, kompetensi, dan karakter. Tetapi dari seluruh keberhasilan itu apakah kita mengakui Kristus di depan publik? Apakah kita mempermuliakan Kristus kepada banyak orang? Apabila kita menolak Kristus di depan publik, maka seluruh keberhasilan tersebut bukanlah kemenangan. Kita menjadi orang-orang yang kalah dan binasa sebab telah menyangkal Kristus selaku Tuhan dan Juruselamat. Firman Tuhan di Matius 16:26 berkata, “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya? Apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Jadi muliakanlah Kristus di setiap langkah dan bidang yang dipercayakan Tuhan, maka segala sesuatu akan ditambahkan kepada kita. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya akan ditambahkan kepada kamu (Mat. 6:33).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono