Refleksi Pdt. Yohanes Bambang Mulyono menjelang memasuki emeritasi sebagai pendeta GKI pada tanggal 27 Oktober 2025 di GKI Sudirman, Bandung
“Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji-Nya yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu beroleh bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.” (2 Petrus 1:4)
Ada saat dalam hidup di mana kita berhenti sejenak—bukan karena ingin berhenti, tetapi karena sudah waktunya menengok ke belakang dengan syukur yang mendalam, dan memandang ke depan dengan pengharapan yang baru.
Setelah tiga puluh lima tahun melangkah di ladang Tuhan, langkah ini terasa berbeda. Bukan karena lebih ringan, melainkan karena lebih hening. Situasi hening bukan karena kosong, tetapi karena penuh: penuh makna, penuh jejak kasih, penuh kehadiran-Nya yang tak pernah absen.
In Christ: Fondasi Persekutuan yang Mentransformasi
Segala sesuatu bermula di dalam Kristus. Formula rasul Paulus yang berulang kali muncul, yaitu kata ἐν Χριστῷ (en Christō). Makna kata “en Christo” (di dalam Kristus) bukan sekadar frasa teologis, melainkan realitas eksistensial yang mendasari seluruh perjalanan iman.
Di dalam panggilan pertama yang masih murni dan polos, ketika aku masih muda dengan mata yang berbinar dan keberanian yang tak tahu seberapa jauh harus melangkah. Semangat yang dibangun oleh 3 tokoh iman yang inspiratif, yaitu Sadhu Sundar Singh (India), dan John Sung (China), serta Toyohiko Kagawa (Jepang). Lalu, di dalam pelayanan yang dibentuk oleh pengalaman suka dan duka, kesalahan dan penyesalan, kegagalan dan keberhasilan, canda dan air mata—semuanya menjadi tanah yang subur bagi pertumbuhan iman.
In Christ adalah tempat di mana aku menemukan identitas sejati. Bukan karena gelar yang melekat, bukan karena jabatan yang disandang, bukan karena jumlah pelayanan atau panjangnya khotbah yang pernah disampaikan. Tetapi karena dalam Kristus, sebagaimana Paulus tegaskan, “Jika ada orang dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).
Union with Christ: Dasar Teologis Transformasi
Melangkah di dalam Kristus ternyata bukan berarti berjalan tanpa luka, tanpa kecewa, tanpa letih. Ada saat di mana aku kecil hati dan hampir putus-asa. Beberapa kali berada di titik nadir. Justru di sanalah kuasa Kristus menjadi nyata—di tengah kelemahan yang menyakitkan. Firmannya, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Korintus 12:9). Pelayanan bukan tentang menaklukkan, melainkan tentang mencintai. Bukan tentang berapa banyak orang yang datang, tapi seberapa dalam hati kita terbuka untuk mereka yang hadir, mengalami dengan empati kepada umat yang datang tanpa harapan.
Dalam tradisi teologi Reformed, konsep unio cum Christo (persekutuan dengan Kristus) telah lama diakui sebagai pusat soteriologi. Calvin menyebutnya sebagai “ikatan suci” dimana Kristus menjadikan kita partisipan dalam semua berkat-Nya. John Murray, teolog Reformed kontemporer, menegaskan bahwa persekutuan dengan Kristus adalah “pusat keseluruhan doktrin keselamatan.”
Namun, tradisi Kristen Timur memberikan dimensi yang lebih kaya melalui konsep theosis. Makna kata theosis merupakan pemahaman yang tidak bertentangan dengan prinsip teologi Reformed, melainkan memperdalam implikasinya. Jika justifikasi adalah deklarasi legal tentang status kita, dan sanctifikasi adalah proses moral, maka theosis adalah transformasi ontologis yang memungkinkan kedua realitas tersebut.
Langkah-Langkah Kecil dalam Anugerah Transformatif
Sebagaimana Tuhan Yesus mengajarkan tentang kerajaan Allah melalui perumpamaan biji sesawi dan ragi (Matius 13:31-33) yang tumbuh dari benih yang paling kecil atau tak berarti. Demikian pula makna transformasi ilahi dalam peristiwa theosis terjadi dalam langkah-langkah kecil yang tampak sederhana namun berpotensi luar biasa:
- Langkah mengunjungi mereka yang ditinggalkan, membawa secercah cahaya ke dalam kegelapan kesepian mereka
- Langkah mendengar tanpa menghakimi, memberikan ruang bagi jiwa yang terluka untuk bernapas
- Langkah menangis diam-diam di ruang doa, mempersembahkan air mata sebagai “dupa yang naik ke hadirat-Nya” (Wahyu 8:4)
- Langkah mempercayakan semuanya pada kasih Tuhan, dengan iman yang terus diperbarui setiap pagi (Ratapan 3:23)
Dalam setiap langkah kecil itu, tanpa disadari, sedang terjadi misteri transformasi—bukan sekadar menjadi lebih baik secara moral, melainkan partisipasi dalam kehidupan ilahi itu sendiri. Setiap tindakan kasih, setiap doa yang tulus, setiap pelayanan yang rendah hati, menjadi ruang di mana anugerah Allah bekerja dalam kodrat manusiawi—menyatukan, menguduskan, dan mentransformasi.
To Christ: Tujuan Akhir Segala Ziarah Jiwa
Kini, setelah melewati musim panjang selama 35 tahun pelayanan, arah langkah semakin jernih: bukan lagi ke mana, tetapi kepada siapa. Tertuju kepada Sang Kristus. “To Christ.” Kepada Kristus, “Sumber awal dan tujuan akhir dari segala ziarah jiwa.”
Emeritasi pendeta bukanlah akhir pelayanan, melainkan bentuk baru dari pelayanan yang lebih kontemplatif, lebih dalam, dan lebih intim dengan Sang Gembala yang setia.
Emeritasi sebagai Panggilan Kontemplatif
Dalam perspektif teologi Kristen, masa emeritasi pendeta bukan masa pensiun dari kasih, melainkan peneguhan bahwa kasih Kristus tetap bekerja melalui modalitas yang berbeda. Doa yang terucap di ruang sunyi, pelukan yang tulus kepada para cucu, sapaan hangat kepada tetangga—semua menjadi liturgia setelah liturgia (liturgy after the liturgy), sebuah konsep yang dikembangkan oleh teolog Ortodoks Ion Bria untuk menggambarkan bagaimana ibadah gerejawi seharusnya berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.
To Christ adalah ziarah rohani yang terus berlanjut—dari iman kepada “Visi Allah” (visio Dei), dari pelayanan aktif kepada perjumpaan yang sejati. Sebagaimana janji dalam surat 2 Petrus 1:4, kita tidak hanya berjalan menuju keselamatan, tetapi sedang dibentuk untuk “beroleh bagian dalam kodrat ilahi”—menjadi semakin “serupa dengan Kristus” (imitatio Christi) yang kita kasihi dan layani seumur hidup (Roma 8:29).
Theosis dalam Konteks Reformed: Dialog Ekumenis
Perlu saya klarifikasi bahwa adopsi konsep theosis dalam konteks gereja dan tradisi Reformed bukanlah sinkretisme teologis, melainkan ressourcement. Makna ressourcement adalah kembali kepada sumber-sumber patristik yang menjadi warisan bersama seluruh kekristenan.
Titik Konvergensi:
- John Calvin dalam Institute of Christian Religion (III.1.1 dan III.11.10) menyatakan:
“As long as Christ remains outside of us, and we are separated from him, all that he has suffered and done for the salvation of the human race remains useless and of no value for us.”
Calvin menekankan bahwa keselamatan hanya efektif jika kita bersatu dengan Kristus melalui iman. Ia menggunakan istilah participatio in Christo (partisipasi dalam Kristus) dan bahkan secara eksplisit menyebut participatio divinae naturae (partisipasi dalam kodrat ilahi), mengacu pada 2 Petrus 1:4.
Meskipun Calvin menolak segala bentuk pembauran ontologis antara Allah dan manusia, ia tetap mengajarkan bahwa melalui karya Roh Kudus, kita mengambil bagian dalam hidup Kristus, yaitu hidup yang ilahi. Ini adalah bentuk “theosis” dalam kerangka Reformed—partisipasi, bukan peleburan.
2. Westminster Confession of Faith (1647), pasal 26.1 menyatakan:
“All saints, that are united to Jesus Christ their Head, by His Spirit and by faith, have fellowship
with Him in His graces, sufferings, death, resurrection, and glory.”
Ini menegaskan bahwa orang percaya dipersatukan dengan Kristus—tidak hanya secara hukum, tetapi secara eksistensial dan spiritual. Persatuan ini memungkinkan partisipasi dalam seluruh aspek karya keselamatan Kristus, termasuk transformasi moral dan spiritual.
3. Herman Bavinck dan Abraham Kuyper dalam Reformed Dogmatics, menyatakan:
“The believer does not become God, but does become godlike, conformed to the image of Christ, sharing in the divine nature (2 Peter 1:4), not in essence but in power, holiness, and glory.”
Bavinck mengadopsi bahasa theosis secara hati-hati: menekankan bahwa yang dimaksud bukan peleburan esensi, melainkan transformasi menurut gambar Allah. Ia melihat partisipasi dalam kodrat ilahi sebagai puncak dari anugerah, yaitu refleksi kemuliaan Allah dalam diri orang percaya.
Abraham Kuyper, dalam karya-karyanya tentang Roh Kudus dan kehidupan Kristen, sering menekankan regenerasi sebagai awal dari kehidupan ilahi di dalam manusia. Baginya, orang percaya “dibangkitkan ke dalam hidup baru” yang merupakan bentuk hidup yang berasal dari Allah sendiri.
Perbedaan Metodologis:
- Tradisi teologi Reformed menekankan aspek declaratif dan forensic dari justifikasi sebagai fondasi
- Tradisi teologi Orthodoks Timur menekankan aspek participatif dan transformatif sebagai tujuan
- Keduanya tidak bertentangan bila dipahami sebagai aspek komplementer dari satu realitas soteriologis
Inilah misteri theosis yang sesungguhnya, yaitu bukan pencapaian manusia yang berusaha menjadi ilahi, melainkan anugerah Allah yang mengundang manusia untuk berpartisipasi dalam kehidupan Allah Trinitas. Dalam persekutuan dengan Kristus (in Christ) kita tidak kehilangan kemanusiaan kita, tetapi kemanusiaan kita justru diperbarui, dimuliakan, dan dimampukan untuk mencerminkan kemuliaan Allah.
Theosis: Misteri Persekutuan dalam Perspektif Alkitabiah
Pada intinya makna surat 2 Petrus 1:4 menunjuk pada partisipasi manusia dalam kodrat ilahi (theia physis). Ayat kunci ini perlu dipahami dalam konteks literatur Petrine yang lebih luas. Dalam 2 Petrus 1:1-11, rasul Petrus mengembangkan teologi pertumbuhan rohani yang dimulai dari iman (pistis) dan mencapai puncaknya dalam kasih (agape). “Kodrat ilahi” (theia physis) dalam ayat 4 bukanlah esensi Allah yang tidak dapat dikomunikasikan, melainkan sifat-sifat moral dan spiritual Allah yang dapat dipartisipasi oleh manusia melalui anugerah-Nya.
- Paralel Johannine: Yohanes 17:21-23 memberikan fondasi teologis yang lebih eksplisit untuk konsep persekutuan transformatif, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita.” Doa Yesus ini mengungkapkan dimensi perichoretic dari persekutuan antara Allah Trinitas dan manusia yang ditebus.
- Teologi Paulus: Konsep rasul Paulus tentang “dalam Kristus” (en Christō) yang muncul 164 kali dalam corpus Pauline menggambarkan realitas yang sama. Khususnya dalam surat 2 Korintus 3:18, “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”
Dimensi Praktis: Spiritualitas Transformatif
Tiga puluh lima tahun pelayanan telah mengajarkan satu kebenaran yang mendalam: Spiritualitas Kristen bukanlah tentang menjadi lebih religius, melainkan tentang menjadi lebih manusiawi dalam cara yang mencerminkan karakter Allah.
Setiap kali kita mengasihi mereka yang tidak layak dikasihi, kita berpartisipasi dalam kasih Allah yang tidak bersyarat (agape). Setiap kali kita mengampuni mereka yang menyakiti kita, kita mencicipi pengampunan ilahi yang tak terbatas. Setiap kali kita melayani dengan rendah hati, kita dijadikan sebagai kepanjangan tangan dan kaki Kristus di dunia ini.
Theosis bukanlah tujuan akhir yang akan dicapai di surga kelak, melainkan proses transformasi yang sedang berlangsung sekarang—already but not yet. Dalam persekutuan dengan Kristus (in Christ) setiap detik kehidupan menjadi kesempatan untuk semakin dikuduskan, semakin diubah, dan semakin mencerminkan kemuliaan-Nya.
Langkah-langkah Kecil Menuju Kekekalan
Hari ini aku tidak berdiri sebagai orang yang telah selesai dengan segala pencapaiannya. Tetapi sebagai seseorang yang masih berjalan dengan kesadaran yang lebih tajam, dengan ucapan syukur yang lebih mendalam, dan dengan pengharapan yang lebih matang.
In Christ, to Christ—itulah peta perjalanan ini. Sebab hidup bukan tentang seberapa cepat kita sampai di tujuan, melainkan tentang kepada siapa kita menyerahkan setiap langkah yang kita ambil.
Kini aku tahu dengan penuh keyakinan, “Aku tidak perlu tahu seluruh peta perjalanan, cukup percaya pada Pribadi yang memegang tangan ini dengan lembut. Aku tidak perlu jawaban atas semua pertanyaan yang menggantung, cukup percaya pada kasih yang telah memanggilku sejak awal dan akan tetap setia hingga akhir.”
Emeritasi sebagai Intensifikasi Theosis
Emeritasi seorang pendeta dalam perspektif theosis bukanlah masa pensiun, melainkan masa pemurnian yang lebih intensif. Seperti emas yang dimurnikan dalam api, semakin lama semakin jernih, semakin dekat dengan kesempurnaan aslinya.
Dalam keheningan yang lebih panjang, dalam doa yang lebih dalam, dalam pelayanan yang lebih sederhana, proses transformasi justru semakin intens—karena semakin sedikit gangguan eksternal, semakin jelas suara Allah yang memanggil untuk “menjadi kudus.” Seperti tertulis, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1 Petrus 1:16).
Kekekalan yang Sudah Dimulai
Dalam perspektif theosis, setiap langkah kecil itu adalah langkah menuju kekekalan yang tidak hanya temporal, melainkan kualitas hidup yang sudah dimulai di sini dan sekarang. Kekekalan (aionios) dalam pemahaman rasul Yohanes bukanlah sekadar durasi waktu yang tak terbatas, melainkan partisipasi dalam kehidupan Allah yang melampaui waktu (Yohanes 17:3).
Setiap momen persekutuan dengan Kristus adalah secercah “kekekalan” yang menerobos ke dalam waktu yang fana. Seperti Maria yang memilih “bagian yang terbaik—duduk di kaki Yesus (Lukas 10:39)—masa emeritasi adalah undangan untuk lebih banyak menjadi (being) daripada melakukan (doing). Menjadi kasih yang hidup, menjadi doa yang bernapas, dan menjadi saksi-Nya yang diam namun bercahaya.
Panggilan Kontinyu dalam Anugerah
Kini, setelah tiga setengah dekade melayani, saatnya berpijak kembali—lebih dalam di dalam Kristus, dan lebih dekat kepada-Nya, Sang Tujuan Sejati yang telah menunggu dengan sabar.
Sebab pada akhirnya, baik dalam tradisi teologi Reformed maupun dalam pemahaman theosis, yang terpenting bukanlah apa yang telah kita capai, melainkan siapa yang telah kita jadi di dalam kasih-Nya yang transformatif—siapa yang kita jadi in Christ dan ke mana kita menuju to Christ.
Tiga puluh lima tahun melayani bukanlah mahkota untuk dibanggakan, melainkan bukti sederhana bahwa kasih-Nya cukup untuk mengisi setiap celah kehidupan. Langkah hari ini, seperti langkah-langkah kecil kemarin, tetap sebagai langkah iman—yang mengarahkan seluruh hidupku kepada Kristus, dalam Kristus, dan menuju kepada Kristus.
Soli Deo Gloria.
Referensi
Sumber Primer
- Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Edited by John T. McNeill. Philadelphia: Westminster Press, 1960.
- Westminster Confession of Faith. 1647.
Teologi Patristik & Ortodoks
- Athanasius. On the Incarnation. Translated by John Behr. Yonkers, NY: St. Vladimir’s Seminary Press, 2011.
- Lossky, Vladimir. The Mystical Theology of the Eastern Church. Crestwood, NY: St. Vladimir’s Seminary Press, 1997.
- Maximus the Confessor. On the Cosmic Mystery of Jesus Christ. Translated by Paul M. Blowers and Robert Louis Wilken. Crestwood, NY: St. Vladimir’s Seminary Press, 2003.
Teologi Reformed Kontemporer
- Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics, Volume 4: Holy Spirit, Church, and New Creation. Grand Rapids: Baker Academic, 2008.
- Murray, John. Redemption Accomplished and Applied. Grand Rapids: Eerdmans, 1955.
- Van Driel, Edwin Chr. Incarnation Anyway: Arguments for Supralapsarian Christology. New York: Oxford University Press, 2008.
Dialog Ekumenis
- Bilaniuk, Petro B. T. The Mystery of Theosis or Divinization. In The Heritage of the Early Church, edited by David Neiman and Margaret Schatkin. Rome: Pontificium Institutum Orientale, 1973.
- Rakestraw, Robert V. “Becoming Like God: An Evangelical Doctrine of Theosis.” Journal of the Evangelical Theological Society 40, no. 2 (1997): 257-269.
Publikasi Penulis
- Mulyono, Yohanes Bambang. Transformation in Theosis: Embracing the Divine Nature. Eugene, OR: Wipf & Stock Publishers, 2025.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono