Abstrak:
Inkarnasi Kristus sebagai “Jen” memberi kekuatan bagi orang Cina Kristen Indonesia menghadapi dehumanisasi
Pengantar
Inkarnasi Kristus menjadi manusia dipersaksikan oleh Yohanes 1:14 pada hakikatnya terjadi dalam konteks kehidupan dan sejarah manusia. Karena itu makna inkarnasi Kristus tersebut juga terjadi dalam kehidupan orang Cina di manapun mereka berada. Inkarnasi Kristus dan karya-Nya menawarkan keselamatan, kekayaan spiritualitas, arti dan tujuan hidup khususnya bagi orang Cina Kristen Indonesia yang sering mengalami situasi dehumanisasi. Orang Cina Kristen Indonesia menghadapi situasi situasi “double-minority” (minoritas ganda), yaitu minoritas sebagai orang Kristen dan orang Cina yang tertindas dan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Khususnya di masa orde Baru, orang Cina Kristen Indonesia seringkali mengalami berbagai bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasinya, misalnya: kesulitan membangun gedung gereja, diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan, sikap curiga dan bermusuhan dari orang-orang di sekelilingnya. Karena itu melalui inkarnasi Kristus menjadi manusia, orang Cina Kristen Indonesia diharapkan mampu untuk mengubah situasi dehumanisasi menjadi situasi yang manusiawi, yaitu sesuai dengan prinsip “Jen” (仁).
Untuk tujuan tersebut di atas, tulisan ini terlebih dahulu akan membahas sekilas konteks orang Cina (Kristen) Indonesia khususnya di era Orde Baru yang mengalami dehumanisasi. Situasi dehumanisasi dialami orang Cina Indonesia dalam bentuk penindasan, diskriminasi, dan teror. Nilai-nilai spiritual apakah yang ditumbuhkan orang Cina Indonesia agar mereka mampu menyikapi situasi dehumanisasi? Tentunya orang Cina Indonesia akan menyikapi situasi dehumanisasi dengan menerapkan nilai-nilai pengajaran yang telah mereka warisi dari leluhur mereka. Salah satu nilai pengajaran tersebut berasal dari Konfusiusnisme.
Pada bagian selanjutnya saya akan membahas makna “Jen” (仁) sebagai karakter dasar filsafat Cina, dan bagaimanakah prinsip hidup menurut jalan “Jen”. Pada prinsipnya jalan “Jen” (仁) berkaitan dengan prinsip etis-moral untuk memperlakukan sesama secara bermartabat dan rasa hormat yang tinggi. Sejalan dengan prinsip “Jen”, iman Kristen sebagaimana diajarkan Kristus mengajarkan kasih “agape”. Dengan kasih ilahi tersebut, orang Cina Kristen Indonesia dipanggil untuk mengasihi sesamanya sebagaimana Kristus mengasihi umat-Nya, yaitu kesediaan untuk berkurban. Di bagian selanjutnya kita akan membahas korelasi: Jen dan Agape, Jen dan Inkarnasi Kristus, Jen dan Karya Penebusan Kristus. Akhirnya di bagian penutup kita akan membahas inkarnasi Kristus sebagai sumber kekuatan bagi orang Cina Kristen Indonesia dalam menghadapi dehumanisasi.
Ketertindasan Orang Cina (Kristen) Indonesia di Era Orde Baru
Pengaruh pemikiran filsafat Konfusiusnisme tidaklah terbatas pada daratan Cina yang kini disebut dengan Republik Rakyat Cina, tetapi meluas di berbagai belahan dunia seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, Macau, di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.[1] Jumlah populasi orang Cina di Indonesia tidak tersedia disebabkan banyak orang Cina enggan menyebut secara formal identitas mereka sebagai orang Cina atau orang Cina keturunan. Sikap enggan yang didominasi oleh rasa takut untuk menyatakan identitas diri sebagai orang Cina terlihat saat mereka berada di era Orde Baru, yaitu masa pemerintahan Presiden Suharto (1968 – 1998). Orang Cina di Indonesia saat itu mengalami ketertindasan secara politis, etnis, budaya, dan agama. Diskriminasi dan penindasan terhadap orang Cina di Indonesia tersebut dinyatakan dalam beberapa keputusan pemerintah. Beberapa bentuk ketertindasan orang Cina oleh pemerintah untuk mengaburkan identitas orang Cina, misalnya dengan cara melakukan penggantian nama[2], pelarangan penggunaan bahasa Mandarin di depan umum[3], menolak agama Khong Hu Chu sebagai agama resmi di Indonesia, dan adat-isitiadatnya[4], pelarangan menggunakan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau merenovasi bangunan Klenteng[5]. Wang Gung-wu[6], seorang sarjana ahli Asia Tenggara menyatakan bahwa tidak ada etnis Cina perantauan di dunia pasca-Perang Dunia II atau sesudah berakhirnya kolonialisme Barat di Asia, yang begitu banyak mengalami guncangan seperti di Indonesia (Suryadinata1984, ix). Kebenaran pernyataan Wang Gung-wu tersebut terlihat dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang menimbulkan korban pemerkosaan, pelecehan seksual, penjarahan, pembakaran rumah (Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta 13-15 Mei 1998). Namun setelah kerusuhan Mei tersebut, terjadi suatu perubahan kebijakan yang melegakan etnis Cina (Tionghoa). [7]
Walaupun orang Cina enggan menyebut secara formal latar belakang mereka sebagai orang Cina, namun faktualnya orang Cina tidak pernah kehilangan kesadaran identitas dirinya. Erin Kite dalam penelitiannya di Malang bulan September sampai Desember 2004 menyatakan bahwa pengekangan dan pelarangan yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap orang Cina ternyata tidak pernah berhasil menghapus identitas diri orang Cina sebagai orang “Tionghoa”.[8] Karena itu walaupun orang-orang Cina dan keturunan Cina berpindah agama, nilai-nilai kepercayaan dari leluhur khususnya ajaran Konfusiusnisme tetap meresapi dan memengaruhi kehidupan mereka.
Prinsip “Hao” sebagai Media Pewarisan Nilai dan Budaya
Kung Fu Tse hidup antara 551–479 s.M. Menurut Nio Joe Lan dalam tulisannya berjudul Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, pada tahun 1900, orang-orang Cina Indonesia mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan yang pertama di Jakarta dengan tujuan “memajukan peradaban Tionghoa menurut pengajaran Guru Besar Kung Tse”.[9] Pengajaran Kung Fu Tse[10] (Konfusiusnisme) menempatkan keluarga sebagai media yang paling utama. Sebab itu dalam pengajaran Konfusiusnisme, keluarga menempati posisi dan peran yang sangat penting. Keluarga bukan hanya dianggap ikatan hubungan darah di antara para anggotanya, tetapi juga dilandasi oleh ikatan etis-moril dan nilai religius. Kualitas hubungan keluarga menentukan kehidupan masyarakat dan negara. [11] Karena itu di dalam keluarga orang Cina, seorang anak diajar makna dari “Hao” (Hokkian selatan) = Hsiao (Mandarin).
Arti harafiah dari “Hao” (Hsiao) adalah bakti anak kepada orangtua. Makna “Hao” (Hsiao) bukan semata-mata memberi perhatian lahiriah terhadap orangtua seseorang, melainkan juga melengkapi mereka dengan kekayaan spiritual, etis, dan emosional. Karena itu, seorang anak yang tidak taat, bersikap tidak pantas, dan memalukan nama orangtua disebut “put-hao”, artinya anak yang durhaka. Dengan prinsip “Hao” (Hsiao), seorang anak akan selalu berupaya mendengar dan menaati nilai-nilai yang diajarkan orangtua mereka.
Makna “Jen” sebagai Karakter Dasar Filsafat Cina
Karakter dasar filsafat Cina sebagaimana yang diajarkan oleh Konfusiusnisme adalah transformasi diri. Tujuan dari transformasi diri itu adalah untuk mewujudkan kesempurnaan potensial umat manusia. Pengajaran Konfusiusnisme tentang transformasi kemanusiaan merupakan tema yang sentral. Bagi Kung Fu Tse, humanisme menjadi mungkin ketika kemanusiaan (humanitas) dipandang sebagai sumber tertinggi nilai-nilai ketimbang alam dan dunia adikodrati (Koller. 2010, 537). Humanitas dalam pemikiran Konfusiusnisme dinyatakan dengan pemahaman “Jen” (仁). Jen adalah kriteria utama yang menjadikan manusia itu khas manusiawi. “Jen” secara harafiah berarti kebajikan, kemanusiaan, kemurahan hati, sosok manusia yang benar, karakter moral, cinta kasih, kebaikan manusiawi, dan welas asih.
Arti yang terkandung dalam “Jen” (仁) begitu luas dan dalam. Di dalam “Jen” terangkum seluruh nilai martabat kemanusiaan. Dalam bahasa Inggris, Jen diterjemahkan menjadi “human-heartedness” untuk menyatakan nilai dan pemahaman seluruh makna kemanusiaan yang berpijak pada hati daripada akal (Oriental Philosophy dalam: philosophy.lander.edu). Kung Fu Tse berkata:
“Jika seorang unggul (Jun Zi)[12] terputus dari kemanusiaannya (Jen), bagaimana ia bisa mewujudkan nama itu? Seorang manusia unggul tidak pernah mengabaikan kemanusiaan (Jen), malah ketika ia kekurangan makanan sekalipun. Dalam saat-saat yang gawat itu, ia perlu bertindak menurut kemanusiaan (Jen) itu. Dalam saat-saat kesulitan atau kebingungan, ia juga bertindak menurutnya” (Wang 2012, 38).
Kung Fu Tse memaknai “Jen” (仁) sebagai prinsip tertinggi perbuatan manusia. Seorang manusia sejati tidak pernah terpisah dari jalan “Jen”. Tanpa “Jen” manusia tidak dapat mencapai kepenuhan kemanusiaannya. Jen merupakan basis semua nilai dan harkat yang terdalam dalam kemanusiaan manusia. Karena itu, makna “Jen” tidak terlepas dari sikap welas asih. Jen dinyatakan dalam tindakan cinta-kasih kepada sesamanya.
Hidup Menurut Jalan “Jen”
Jalan “Jen” (仁) menurut Konfusiusnisme ditempuh melalui tiga jalan, yaitu:
- Tata-cara hidup (Li)
- Kasih filial (Hao atau Hsiao),
- Keadilan (Yi)
Tata cara hidup (Li) meliputi kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, dan hubungan-hubungan yang dibentuk melalui praktik hidup manusia. Makna “Li” ((禮) merujuk pada arti ritual. Ritual dipahami sebagai berguru kepada tata cara hidup yang pantas. Melalui “Li” manusia menjinakkan dorongan-dorongannya yang tidak teratur dengan mentransformasinya ke dalam pengungkapan-pengungkapan yang beradab sesuai dengan kodrat manusia. Pemahaman dan jalan “Li” mengatur bagaimanakah hubungan yang seharusnya antara orangtua dengan anak-anak, saudara tua dengan saudara muda, suami dan istri, teman yang lebih tua dan lebih muda, pemerintah dengan rakyat. Karena itu, makna “Li” bisa berarti: agama, prinsip umum, tata tertib sosial, dan moral keagamaan. Makna “Li” selalu dinyatakan dalam pernyataan dan perintah yang bersifat positif daripada negatif: “lakukanlah” daripada “jangan melakukan”. Melalui “Li”, manusia menciptakan kondisi untuk mewujudkan “Jen”.
Pelaksanaan “Li” hanya terwujud apabila manusia melakukan “Hao” (Hsiao) yaitu cinta filial atau kasih persaudaraan, khususnya sikap seorang anak kepada orangtua. Namun makna “Hao” (Hsiao) tidak terbatas pada kehidupan keluarga, tetapi juga memengaruhi tindakan-tindakan di luar lingkungan keluarga, yaitu relasi sosial masyarakat dan negara. Hubungan cinta kasih filial tersebut akan terwujud apabila diberlakukan keadilan dan kebenaran (Yi). Makna “Yi” merupakan suatu disposisi moral untuk melakukan apa yang adil dan kemampuan untuk mengenal yang benar. Sikap “Yi” akan membuat seseorang berani mengorbankan hidupnya untuk orang lain yang berada dalam bahaya. Jadi, sikap “Yi” merupakan prinsip nilai etis yang harus dilaksanakan hanya dengan alasan bahwa tindakan itu benar dan adil (Koller 2010, 547).
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa untuk mewujudkan humanitas (Jen), yaitu manusia yang unggul, yaitu Jun Zi (君子). Konfusiusnisme menawarkan 3 jalan utama, yaitu: Li, Hsiao, dan Yi. Makna “Li” menunjuk pada prinsip doktrin yang mengatur kehidupan, “Hsiao” menunjuk pada prinsip relasi kasih yang harus terjalin, dan “Yi” menunjuk pada prinsip pemberlakuan kasih dengan tindakan yang adil dan benar. Ketiga prinsip tersebut perlu dilakukan secara integral, sehingga menghasilkan “Cheng-Ming”. Arti “Cheng-Ming” secara harafiah adalah “membetulkan nama”. Makna “membetulkan nama” di sini bukan berarti orang Cina suka memilih kata-kata yang tepat untuk melukiskan sesuatu atau memperbaiki penampilan diri secara kamuflage. Maksud Konfusiusnisme dengan makna “membetulkan nama” adalah bagaimana seseorang menyesuaikan karakter dan tindakannya dengan cita-cita normatif yang terkandung dalam relasi fundamental manusia. Tepatnya dalam arti “Cheng-Ming” terciptalah suatu kesatuan yang integral antara perkataan dan perbuatan, ucapan dan tingkah laku. Cheng-Ming adalah wujud integritas diri seseorang. Itulah wujud manusia yang unggul (Jun Zi, Chun-Tsu).
Agape sebagai Prinsip Utama Iman Kristen
Konsep “kasih” begitu dominan dalam pengajaran iman Kristen. Hubungan Allah dengan umat-Nya dilandasi oleh kasih. Di Ulangan 10:15, hubungan Yahweh dengan umat Israel diikat dalam hubungan kasih: “Ia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilih-Nya dari segala bangsa, seperti sekarang ini.” Kata “mengasihi” di sini dipergunakan akar kata אהב (ahab). Sikap kasih kepada Allah tersebut diwujudkan umat dengan “hidup menurut segala jalan yang ditunjukan-Nya dan beribadah dengan segenap hati serta jiwa (Ul. 10:12). Wujud kasih “ahab” tidak hanya bersifat vertikal tetapi juga horizontal, yaitu kepada sesama (Im. 19:18).
Di Perjanjian Baru, Yesus menegaskan sikap kasih “ahab” tersebut dengan kata “agape” (ἀγάπη). Kata “agape” menunjuk kepada kasih ilahi, yang tanpa syarat, kesediaan untuk berkorban, dan memberikan dirinya. Di Yohanes 15:17, Yesus menyatakannya sebagai “perintah” (εντελλομαι): “Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah (αγαπαω) seorang akan yang lain“. Dasar perintah kasih itu adalah kasih Tuhan Yesus sendiri, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh. 15:12). Dengan demikian, prinsip kasih “agape” adalah bersumber kepada kasih Allah, karena hakikat Allah yang terdalam adalah kasih: “Allah adalah kasih” (θεὸς ἀγάπη ἐστίν). Di dalam Kristus, Allah menyatakan keseluruhan kasih-Nya kepada umat manusia agar memperoleh hidup yang abadi (Yoh. 3:16). Jadi, kasih Allah dicurahkan sebagai anugerah atau kasih-karunia-Nya, bukan karena hasil perbuatan baik dan jasa manusia. Peran manusia adalah memberi respons terhadap kasih Allah tersebut (Murray 1987, 275). Alkitab dalam bahasa Mandarin misalnya “The Holy Bible Chinese Union (Ho Ho) Version” menterjemahkan kata “agape” di Perjanjian Baru dengan kata “Jen” (仁). Jadi “Jen” dimaknai sebagai “agape” (kasih ilahi yang memberi diri tanpa syarat). [13]
Korelasi Jen dengan Agape
Jen dan Agape adalah pusat dan inti yang dihayati dalam ajaran Kung Fu Tse dan Yesus Kristus. Martabat kemanusiaan manusia yang seutuhnya dan terdalam ditentukan oleh “Jen” (Kung Fu Tse), dan respons manusia untuk memberlakukan kasih “agape” (Kristus). Jen dan Agape bersumber dari hati (heart), dan bukan sekadar suatu pengertian yang bersifat akali (kognitif), walaupun keduanya memiliki dasar pijakan yang berbeda. Jen bersumber dari “human-heartedness” (hati manusia), dan agape bersumber dari hati Allah yang mengasihi (ἀγαπῶν ἐκ τοῦ θεοῦ). Berdasarkan pemahaman itu, Jen ditempatkan sebagai kasih filial (philia) atau persaudaraan dengan sesama (humanitas), dan Agape ditempatkan sebagai kasih ilahi (divinitas). Karena itu, ajaran Konfusiusnisme sering digolongkan ke dalam ranah ajaran dan “agama” manusiawi (humanistic religion), dan iman Kristen berada dalam ranah agama yang berpusat kepada Allah (theistic religion). Pembagian kedua ranah agama atau ajaran tersebut justru menyebabkan terputusnya kemungkinan relasi antara Konfusiusnisme dengan Iman Kristen. Padahal keduanya sepakat menghayati “kasih” (Jen dan Agape) sebagai karakter utama dan inti dari seluruh kebajikan.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah apakah ajaran Konfusiusnisme semata-mata “humanistik”, dan ajaran iman Kristen semata-mata “theistik”? Kung Fu Tse bukanlah seorang yang “atheis”. Sesungguhnya Kung Fu Tse mempercayai Allah yang disebutnya sebagai “Tian” (天), atau juga disebut dengan nama “Shangdi” (上帝)[14]. Arti dari “Tian” (天) adalah dewa langit (Penguasa Langit). Bagi Kung Fu Tse, “Tian” (天) menghadirkan diri-Nya dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kung Fu Tse berkata, “Apakah Tian pernah bicara? Lihat saja, empat musim selalu berlangsung silih berganti, semua ciptaannya hidup berkembang bebas. Apakah Tian pernah bicara?” (Wang 2011, 197). Karena itu, respons manusia kepada “Tian” (天) seharusnya tidak bersungut-sungut dan menyalahkan orang lain. Kung Fu Tse memberi nasihat, yaitu: “Tidak mengeluh kepada yang berkuasa di atas Langit, dan tidak pernah menyalahkan orang lain. Aku belajar dari bawah, setingkat demi setingkat merangkak naik. Oh, yang mengerti aku hanyalah yang berkuasa di langit” (Wang 2011, 160). Ajaran Konfusiusnisme tentang Jen bukanlah sekadar makna kasih yang bersifat humanistik belaka, sebab di dalamnya juga mengandung sikap iman kepada Allah (Yao 1997, 82).
Orientasi iman Kristen adalah kepada Allah yang esa, yaitu di dalam persekutuan kasih Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Karena itu, karakter fundamental iman Kristen bersifat teistik. Tetapi pada saat yang sama, orientasi iman Kristen adalah humanistik. Sikap iman kepada Allah menjadi otentik ketika umat mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya. Perhatikan perkataan Yesus tentang ungkapan makna “hukum yang kedua, yang sama dengan itu” (Mat. 22:39). Kata “yang sama dengan itu” di sini diterjemahkan dari “homoios” yang berarti: like, resembling, the same as (seperti, mirip, dan sama). Makna kata “homoios” dalam konteks ini lebih cenderung berarti “sama” sebab posisi hukum kasih kepada Allah ditempatkan sejajar dengan kasih kepada sesama. Kedua prinsip kasih tersebut saling terkait dan menyatu. Karena itu, tidaklah mungkin seseorang mengasihi Allah, tetapi membenci saudaranya, atau sebaliknya (bdk. 1 Yoh. 4:20). Jadi prinsip iman Kristen yang berpijak pada kasih Allah (agape) ternyata terkait erat dan menyatu dengan kasih kepada sesama (Jen).
Ulasan Jen dan Agape tersebut di atas menegaskan adanya korelasi ajaran Kung Fu Tse dengan Yesus Kristus, antara Konfusiusnisme dengan iman Kristen. Iman Kristen yang teistik ternyata juga bersifat humanistik. Demikian pula Konfusiusnisme yang humanistik ternyata sangat diwarnai oleh nilai-nilai iman yang teistik. Dengan korelasi kasih antara Jen dengan Agape, seharusnya kita tidak perlu terlalu mempertentangkan secara tajam antara ajaran “Jen” dalam Kung Fu Tse dengan makna kasih “agape” dari Kristus (Konfusiusnisme dengan iman Kristen). Sikap kita yang mempertentangkan dua orientasi agama dengan motif merasa diri lebih tinggi (superior) justru bertentangan dengan prinsip cinta kasih yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu agape, dan juga yang diajarkan oleh Kung Fu Tse, yaitu Jen. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau terdapat persamaan perkataan Yesus dengan Kung Fu Tse dalam memperlakukan sesama. Persamaan antara Yesus dengan Kung Fu Tse tersebut terlihat dengan ungkapan di Alkitab yang disebut “the Golden Rule”, yaitu: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12). [15]
Jen dan Inkarnasi Kristus
Karakter huruf “Jen” (仁) berakar pada karakter “seorang manusia” (人). Karena itu kita dapat menemukan titik-temu antara ajaran Konfusiusnisme dengan hakikat iman Kristen yang berpusat kepada inkarnasi Kristus. Iman Kristen sebagaimana Konfusiusnisme memahami hakikat kemanusiaan yang ideal dan sempurna bukan dalam ranah yang abstrak, tetapi nyata dan personal. Dalam peristiwa inkarnasi Kristus, nyatalah wujud manusia yang sempurna dan unggul. Surat Ibrani 4:15 mempersaksikan diri Yesus Kristus, yaitu: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”. Kristus selaku manusia sejati berempati dan berbela-rasa dengan semua kekurangan dan kelemahan umat manusia, tetapi Ia sendiri tak pernah berbuat dosa. Dalam pemikiran Konfusiusnisme, Yesus Kristus dapat dianggap sebagai wujud manusia unggul (Jun Zi atau Chun-Tsu) yang memiliki integritas tinggi (Cheng-Ming), pribadi yang taat (Li) kepada kehendak Allah, memberlakukan kasih (Hsiao) dengan memberikan nyawa-Nya, dan menyatakan keadilan serta kebenaran (Yi).
Dari sudut iman Kristen, kemanusiaan (Jen) dari Kristus adalah wujud seluruh gambaran ideal yang dicita-citakan oleh Kung Fu Tse. Bahkan ketaatan (Li) Yesus kepada Bapa-Nya dilakukan dengan kerelaan menderita dan wafat: “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr. 5:8). Iman Kristen juga mempersaksikan diri Kristus sendiri sebagai wujud dari kasih Allah Bapa (1 Yoh. 4:9). Dengan demikian Kristus adalah manifestasi kasih (“hsiao”) Allah yang nyata secara personal dalam kehidupan manusia agar dengan kasih-Nya, kita memiliki kehidupan. Demikian pula Kristus dipersaksikan sebagai sang Kebenaran (“Yi”) Allah (Yoh. 14:6).
Mempersaksikan Kristus di tengah-tengah orang Cina yang mewarisi nilai-nilai pengajaran Konfusiusnisme akan menjadi suatu kabar baik, sebab di dalam diri Yesus Kristus, orang Cina Kristen dapat mengalami manifestasi “Jen” secara nyata. Teologi inkarnasi Kristus menjadi suatu teologi yang kontekstual: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14). Dengan kata lain: “Firman itu telah menjadi Jen (仁), dan diam di antara kita”. Kesaksian Alkitab tersebut juga meneguhkan setiap orang Cina Kristen Indonesia untuk menjadi serupa dengan Kristus, yaitu menjadi manusia unggul (Jun Zi atau Chun-Tsu) yang memiliki integritas tinggi (Cheng-Ming), walaupun realitanya mereka sering menghadapi penindasan dan situasi dehumanisasi.
Jen dan Karya Penebusan Kristus
Mensius, salah seorang murid Kung Fu Tse sependapat dengan gurunya tentang “Jen” sebagai dasar dan sumber semua kebaikan. Namun, Mensius lebih menempatkan peran “Yi” (义) sebagai yang paling utama. Alasan Mensius adalah bahwa keadilan dan kebenaran itu merupakan kunci untuk mengembangkan “Jen”. Tanpa “Yi”, tidak akan ada “Jen”. Atau seandainya manusia memiliki “Jen” belum tentu secara otomatis manusia memberlakukan “Yi” yaitu bertindak adil dan benar (Koller 2010, 559). Jen dan Yi merupakan dua unsur yang saling tidak terpisahkan. Keduanya saling menguatkan: Jen harus diaktualisasikan dalam Yi, dan Yi menentukan hakikat dari Jen. Sebab “Yi” merupakan kesadaran-diri (self-awareness) dalam diri manusia untuk melakukan apa yang benar dan adil (Huang 2008, 156). Menurut Mensius, dorongan untuk melakukan “Yi” (义) pada hakikatnya didasarkan kepada rasa malu (). Rasa malu tersebut bersumber pada rasa bersalah, sehingga mendorong seseorang untuk melakukan “Yi” (Shun 2002, 237).
Pada sisi lain, penulisan aksara “Yi” (义) ternyata mengandung dua unsur, yaitu: “Anak domba + aku”. Kui Shin Voo dan Larry Hovee dalam tulisannya yang berjudul “The Lamb of God hidden in the ancient Chinese characters” menyatakan, “The Chinese offered a bull and a sheep as sacrificial animals to ShangDi, and also to their ‘worthy’ ancestors. A sheep, viewed as gentle, together with a bull, an animal that represented loyalty, were used as sacrificial animals (Orang Cina mempersembahkan seekor lembu dan seekor domba sebagai hewan kurban kepada Sang-Di, dan juga untuk menghormati para leluhur. Seekor domba dipandang tepat, bersama dengan seekor lembu, merepresentasikan kesatuan yang digunakan sebagai hewan kurban) (Voo, and Larry Hovee 1999, 84). Kesadaran rasa bersalah atau malu atas perbuatan-perbuatannya yang tidak benar terhadap ShangDi merupakan motif bagi orang Cina untuk mempersembahkan hewan korban.
Jadi melalui karakter huruf Cina, orang Cina sebenarnya menyatakan kepercayaan bahwa rekonsiliasi konflik dengan Allah diselesaikan dengan korban seekor anak domba (Voo, Kui Shin and Larry Hovee 1999, 85). Dengan demikian, makna “Yi” (义) menyatakan bahwa kebenaran dan keadilan Allah akan terwujud apabila “aku” (saya) mau memikul “anak domba” (kurban untuk menebus dosa). Kebenaran dan keadilan Allah yang dinyatakan dalam aksara “Yi” dalam teologi kontekstual dapat dikaitkan dengan karya penebusan Kristus. Atas dasar pemahaman teologis tersebut orang Cina Kristen Indonesia akan dimampukan untuk menghadapi perlakuan ketertindasan, ketidakadilan, dan perlakuan sewenang-wenang dengan meneladani sikap Yesus yang bersedia berkurban dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Sebaliknya orang Cina Kristen Indonesia terpanggil untuk taat kepada Allah dengan memberlakukan keadilan dan kebenaran dalam berbagai dimensi kehidupan.
Kekuatan dalam Menghadapi Dehumanisasi
Di dalam inkarnasi Kristus, orang Cina Kristen Indonesia menemukan wujud “Jen” yang mengasihi umat manusia dengan kasih “agape”, yaitu kasih ilahi yang tanpa syarat. Sebab di dalam peristiwa penyaliban, Kristus memberikan hidup-Nya: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b). Karena itu peristiwa penyaliban Kristus dapat dipahami oleh orang Cina Kristen Indonesia sebagai wujud dari “Yi” (义). Melalui peristiwa penyaliban Kristus, Allah menyatakan kebenaran dan keadilan-Nya. Sikap iman kepada Kristus berarti umat memaknai peristiwa salib sebagai media penebusan dosa yang memampukan mereka berdamai dengan Allah dan sesamanya. Umat juga dimampukan untuk mengampuni setiap orang yang melukai dan menindas mereka. Khususnya bagi orang Cina Kristen Indonesia, inkarnasi Kristus meneguhkan mereka untuk menghayati dan mempraktikkan “Jen” dalam kehidupan sehari-hari. Inkarnasi Kristus memberikan perspektif yang baru dalam menghayati makna “Jen”, sehingga mereka dimampukan mewujudkan tiga jalan utama, yaitu: Li, Hsiao, dan Yi (tata cara hidup, cinta-kasih, dan keadilan).
Inkarnasi Kristus yang mengampuni dan mendamaikan juga memampukan umat untuk mengubah situasi ketertindasan dengan transformasi diri. Sebab melalui kematian dan kebangkitan Kristus, Allah mengaruniakan Roh Kudus yang memampukan dan menguatkan mereka untuk menjadi agen-agen pembaru. Orang Cina Kristen Indonesia yang tertindas justru dapat mengubah ketertindasan mereka menjadi kekuatan. Mereka ditempa untuk melatih diri menjadi pribadi yang unggul dalam moral dan iman (Jun Zi, Chun-Tsu). Pengalaman diskriminasi dan penindasan tersebut menjadi media pendewasaan diri, sehingga orang Cina Kristen Indonesia semakin kaya dalam pengampunan dan memancarkan karakter Kristus yang bersedia berkurban untuk kepentingan sesama di sekitarnya.
Pengalaman traumatis yang pernah dialami oleh orang Cina Kristen Indonesia juga dapat diubah menjadi kekayaan hikmat dan kematangan spiritualitas. Sebagaimana rasul Paulus juga mempersaksikan situasi dehumanisasi, demikian: “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami” (2 Kor. 4:8-10). Dengan demikian makna “Jen” dihayati oleh orang Cina Kristen Indonesia dengan sikap etis, yaitu memanusiawikan kemanusiaan sesama di tengah-tengah situasi dehumanisasi. Dalam situasi yang tertindas dan traumatis, orang Cina Kristen Indonesia dapat menunjukkan kualitas spiritualitasnya dengan menjunjung martabat sesama dan orang-orang yang menindasnya. Sebab dalam inkarnasi-Nya, Kristus menjadi sesama yang hadir di tengah-tengah realitas kehidupan mereka.
Harapan
Melalui inkarnasi Kristus, orang Cina Kristen Indonesia pada masa kini dapat menemukan wujud “Jen” secara nyata. Mereka diteguhkan bahwa situasi dehumanisasi yang mereka alami tidak berarti harus kehilangan nilai-nilai “Jen” yang luhur. Sebab mereka dalam iman kepada Kristus dimampukan untuk mewujudkan humanitas (Jen), yaitu manusia yang unggul (Jun Zi). Mereka dapat becermin kepada Kristus yang ditindas, direndahkan, ditolak, dianiaya, dan dibunuh tetapi Ia tetap memperlihatkan kualitas rohani dan martabat ilahi dengan kasih “agape-Nya” yang berkurban tanpa syarat. Dengan demikian, setiap orang Cina Kristen Indonesia yang tertindas dan terluka dapat hidup seperti Kristus, yaitu menjadi penyembuh yang terluka (the wounded healer).
tweetDAFTAR ACUAN
Kwong-Loi Shun. 2002. Dalam Mencius: Contexs and Interpretations, peny. Alan Kam-
leung Chan, 233-241. Hawaii: University of Hawaii Press
Huang, Chun-chich (ed.). 2008. The Book of Mencius and Its Reception in China and
Beyond. Wiesbaden: Harrasowitz Verlag
Huang, Paulos. 2006. Confronting Confucian Understandings of the Christian Doctrine of
Salvation. Helsinki: Faculty of Theology at the University of Helsinki on October 28th
Lan, Nio Joe. 1961. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Djakarta: Penerbit Keng Po
Kite, Erin. 2005. Identitas Kebudayaan Tionghoa: Kebijaksanaan Suharto dan
Keberhasilannya Mencapai Pembauran Lengkap. ACICIS Studi Lapangan
Malang Universitas Muhammadiyah Malang
Kittle, Gerhard (editor). 1993. Theological Dictionary of the New Testament. Volume 1.
Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company
Koller, John M. 2010. Filsafat Asia. Maumere – Flores, NTT: Penerbit Ledalero
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. 1970. Su-Si (Kitab yang Empat)
Murray, George R. Beasley. 1987. Word Biblical Commentary: John. Waco, Texas: Word
Books Publisher
Suryadinata, Leo. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Grafitipers
Wang, Andri. 2011. The Wisdom of Confucius. Jakarta: PT. Gramedia
Yao, Xinzhong. 1997. Confucianism and Christianity: a Comparative Study of Jen and
Agape. Brighton, United Kingdom: Sussex Academic Press
Voo, Kui Shin dan Larry Hovee. 1999. The Lamb of God Hidden in the Ancient Chinese
Characters. CEN Technical Journal 13 (1)
Majalah:
“Asimilasi Bukan Mandarinisasi”. Edisi Hari Kemerdekaan, Tempo 17 Agustus 2004, 32-35
“Bertemu Ayah Akhir Pekan”. Edisi Hari Kemerdekaan, Tempo 17 Agustus 2004, 48-50
Website:
Oriental Philosophy dalam: philosophy.lander.edu (diakses 5 Mei 2012)
http://id.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabungan_Pencari_Fakta_%28TGPF%29_Peris-tiwa_Tanggal_13-15_Mei_1998/Temuan (diakses 5 Mei 2012)
[1] Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, “orang Tang”). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang. Sementara orang Cina Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, yang artinya: “orang Han”).
[2] Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966. Peraturan ini mengenai penggantian nama untuk Warga Negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa.
[3] Surat edaran SE.02/SE Ditjen/PPG/K/1998. Peraturan ini melarang penerbitan dan percetakan tulisan atau iklan beraksara yang menggunakan bahasa Mandarin di depan umum (Tempo: 17 Agustus 2004, 36–37).
[4] Instruksi Presiden No.14 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. Peraturan ini melarang mengamalkan perayaan Hari Raya Tionghoa, penggunaan bahasa Tionghoa, dan adat istiadat yang sama, di depan umum. Selain ini, peraturan ini, walaupun tidak langsung, menolak agama Kong Hu Chu sebagai agama resmi Indonesia.
[5] Peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988. Peraturan ini melarang penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbarui Klenteng Tionghoa (Tempo: 17 Agustus 2004, 36-37).
[6] Tesis Wang Gung-wu berjudul The Structure of Power in North China during the Five Dynasties (Struktur Kekuasaan di Tiongkok Utara selama Lima Dinasti) yang telah diuji di Universitas London (1957). Ia pernah mengajar di Universitas Malaya (baik di Singapura maupun Kuala Lumpur).
[7] Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi. Seluruh aparatur pemerintahan diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya.
[8] Kite, Erin. 2005. Identitas kebudayaan Tionghoa: Kebijaksanaan Suharto dan keberhasilannya mencapai Pembauran Lengkap. ACICIS Studi Lapangan Malang Universitas Muhammadiyah Malang.
[9]Lan, Nio Joe. 1961. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Djakarta: Penerbit Keng Po.
[10]Ajaran Konfusiusnisme, Taoisme, dan Budhisme menyatu sehingga disebut “Sam Kauw Hwee”. Arti “Sam Kauw Hwee” adalah tiga agama menjadi satu. Kata “Sam Kauw dari bahasa Hokkian, yaitu: Sam = tiga, Kauw = agama, Hwee = perkumpulan. Di Indonesia, Sam Kauw Hwee (Perhimpunan Tiga Agama) lahir atas prakarsa Kwee Tek Hoay yang dikenal sebagai pendiri Tridharma Indonesia, dan hari lahir beliau tanggal 31 Juli diperingati juga sebagai Hari Tridharma di Indonesia.
[11] Kung Fu Tse menyatakan bahwa untuk mengatur negara harus lebih dulu membereskan rumah tangga. Dalam “Ajaran Besar” (Thai Hak) bab IX:1, Kung Fu Tse berkata: “Adapun yang dikatakan untuk mengatur negara harus lebih dulu membereskan rumah-tangga itu, ialah: tidak dapat mendidik keluarga sendiri tetapi dapat mendidik orang lain itulah hal yang takkan terjadi. Maka seorang Kuncu biar tidak keluar rumah, dapat menyempurnakankan pendidikan di negaranya. Dengan berbakti kepada ayah bunda, ia turut mengabdi kepada raja; dengan bersikap rendah-hati, ia turut mengabdi kepada atasannya; dan dengan bersikap kasih-sayang, ia turut mengatur masyarakatnya” (Su Si 1970, 20).
[12]Istilah Jun Zi atau juga sering disebut “Chun-Tsu” menunjuk kepada seorang yang memiliki keunggulan moral dan etika melalui kebajikan (virtue), sehingga mengalami kedamaian batiniah. Keunggulan moral dan etika tersebut terjadi karena seseorang senantiasa memperbaiki dirinya sendiri menjadi orang yang benar.
[13] The Holy Bible Chinese Union (Ho Ho) Version menterjemahkan buah Roh di Galatia 5:22, yaitu kasih dengan kata “Jen”. Dengan terjemahan tersebut The Holy Bible Chinese Union (Ho Ho) Version menegaskan bahwa buah roh yang pertama dan utama adalah kemanusiaan yang lahir dari hati (“human-heartedness”). Karya Roh Kudus memampukan manusia untuk menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya, yaitu manusia yang peduli, berbela-rasa, dan penuh kasih kepada sesamanya. Dengan demikian “Jen” merupakan karya Roh Kudus dalam kehidupan umat percaya.
[14] Studi mendalam pemikiran Kong Fu Tse tentang Shangdi dan Tian telah diulas dalam disertasi Paulos Huang dengan judul: “Confronting Confucian Understandings of the Christian Doctrine of Salvation” (Huang 2006, 88-130).
[15] Perbedaannya adalah Yesus menyatakan “the Golden Rule” tersebut dengan kalimat positif, sebaliknya Kung Fu Tse menyatakan dengan kalimat negatif. Menurut pendapat saya, pernyataan Kung Fu Tse dan Yesus memiliki makna yang sama, sehingga kita tidak perlu mempertajam soal kebenaran di antara mereka berdua. Pernah sekali Zigong bertanya: “Guru, bisakah guru memberi kami satu patah kata saja yang dapat kami pakai sepanjang hidup kami dan dapat membuat kami tidak berbuat salah ?” Kung Fu Tse menjawab : “qi shu hu, ji suo bu yu, wu suo yu ren” yang mempunyai arti: jika kamu sebagai manusia tidak bisa mengingat begitu banyak aturan, ingatlah kata-kata ini. “Jangan lakukan sesuatu yang dirimu tidak mau diperlakukan seperti itu oleh orang lain” (己所不欲 勿施于人).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono