“Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Mat. 20:14-15)
Perumpamaan Tuhan Yesus di Matius 20:1-16 dapat ditafsirkan dalam beberapa pendekatan, yaitu:
- Waktu panggilan keselamatan dari Allah yang bersifat personal: Kristus mengilustrasikan waktu panggilan keselamatan Allah yang berbeda-beda bagi setiap orang. Kelompok 1 dipanggil Allah sejak awal, kelompok 2 dipanggil pukul 9 pagi, kelompok 3 dipanggil pukul 12 siang, dan kelompok 4 dipanggil pukul 5 sore. Gambaran yang mengajarkan bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk menerima anugerah keselamatan dari Allah.
- Kedaulatan Allah yang menetapkan keselamatan: Allah mengaruniakan keselamatan berdasarkan kedaulatan-Nya, bukan kondisi atau jasa manusia. Para pekerja yang dipanggil dalam waktu yang berbeda-beda itu mendapat upah yang sama. Bahkan kepada pekerja yang baru bekerja pukul sore, juga memperoleh upah yang sama dengan mereka yang bekerja sejak dini hari. Allah memanggil siapa saja yang Ia kehendaki.
- Ujian pada karakter manusia: Tindakan Allah yang memberi upah 1 dinar bagi para pekerja yang diundang bekerja dalam waktu yang berbeda-beda itu dianggap tidak adil. Khususnya bagi pekerja yang sudah bekerja lebih lama menganggap tindakan tuan tersebut kurang menghargai pekerjaan yang sudah dilakukan. Karena itu mereka bersungut-sungut dengan berkata, “Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari” (Mat. 20:12).
Ketiga pendekatan tersebut memiliki landasan teologis yang kuat, sehingga sikap yang bijaksana adalah apabila kita tidak mempertentangkan satu dengan yang lain. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Matius 20:1-16 mengandung ketiga prinsip teologis yang saling terjalin, yaitu bahwa waktu panggilan keselamatan setiap orang bersifat unik dan personal, Allah berdaulat dalam memutuskan keselamatan, dan dalam kedaulatan-Nya Allah memberi ruang bagi umat untuk menguji kualitas karakternya. Apakah umat dapat merespons dengan benar, ataukah dengan pikiran yang jahat?
Pendekatan 1 dapat kita lihat dalam berbagai pengalaman jemaat, yaitu ada yang sejak anak-anak telah mengenal Kristus dan kuasa kasih-Nya, tetapi ada pula yang baru mengenal Kristus menjelang ia akan wafat. Ada pula yang mengenal Kristus saat ia telah dewasa, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan kepercayaan atau agama yang diwarisi dari orang-tuanya. Bahkan bisa terjadi sejak lahir ia telah mengenal Kristus, tetapi akhir hidupnya justru menyangkal Kristus.
Pendekatan 2 Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan di dalam Kristus adalah anugerah Allah. Kita dipilih bukan perbuatan baik, amal, jasa, atau kesalehan kita. Tetapi kita dipilih berdasarkan anugerah kedaulatan Allah. Firman Tuhan menyatakan: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef. 1:4-5). Kedaulatan Allah dalam memilih didasarkan pada kasih-Nya.
Pendekatan 3 respons umat terhadap anugerah kedaulatan Allah, yaitu apakah kita bersyukur ataukah sebaliknya bersungut-sungut saat mengetahui Tuhan memberi “upah” keselamatan sesuai dengan keputusan-Nya? Apabila kita menganggap bahwa telah berjerih-payah lebih banyak daripada orang lain, kita akan bersikap iri-hati. Sebab kita merasa diri lebih berjasa, telah melakukan pekerjaan Tuhan yang lebih banyak, dan penting. Itu sebabnya kita tidak dapat menerima pemberian penghargaan yang sama dengan mereka yang hanya sedikit melayani Tuhan.
Tokoh Yunus berada dalam kelompok 3, yaitu ia bersungut-sungut, dan marah karena Allah mengaruniakan keselamatan begitu besar kepada orang-orang Niniwe yang baru bertobat. Sebab bukankah sebelumnya orang-orang Niniwe hidup dalam kejahatan? Tetapi kini orang-orang Niniwe itu justru diampuni dan diselamatkan hanya karena bertobat setelah mendengar teguran dan pemberitaan firman dari Yunus. Tampaknya Yunus lebih menghendaki Allah tetap memberi hukuman kepada seluruh orang-orang Niniwe yang pernah melakukan kejahatan dan dosa. Tetapi ternyata dengan kemurahan dan belas-kasihan-Nya Allah berkenan mengampuni dan mengaruniakan keselamatan. Melalui pohon jarak yang ditumbuhkan Allah dalam satu hari untuk menudungi Yunus dari terik matahari, sehingga Yunus terhibur. Tetapi kemudian melalui ulat yang menggerek seluruh daun jarak itu Allah menyatakan: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” (Yun. 4:10-11). Melalui pohon jarak itu Allah memberi pengajaran kepada Yunus tentang bagaimana kerahiman Allah terhadap bangsa-bangsa yang hidup dalam kejahatan. Allah menghendaki mereka bertobat dan selamat.
Dalam konteks ini Yunus iri-hati sebab Allah mengaruniakan keselamatan kepada orang-orang Niniwe yang kedudukannya bukan sebagai umat pilihan-Nya. Orang-orang Niniwe adalah bangsa kafir yang tidak mengenal YHWH! Secara implisit Yunus membandingkan anugerah keselamatan Allah kepada umat Israel dengan orang-orang NIniwe. Kedudukan umat Israel yang telah mengenal dan percaya kepada YHWH seakan-akan disamakan dengan orang-orang Niniwe yang belum pernah mengenal dan beriman kepada-Nya. Sikap iri-hati terjadi karena kita melakukan pembandingan. Orang yang iri-hati senantiasa melakukan komparasi dengan apa yang diterima orang lain. Dengan komparasi itu seorang yang iri-hati menghitung berkat yang diterima dan dimiliki orang lain tidak sebanding dengan apa yang ia miliki. Saat ia menghitung ternyata berkat yang dimiliki oleh orang lain itu lebih besar. Komparasi dalam pola berpikir orang-orang yang hidup dalam iri-hati menghasilkan kalkulasi (penghitungan) yang dinilai tidak adil. Karena itu setiap orang yang iri-hati senantiasa timbul perasaan tidak puas. Akibatnya setiap orang yang iri-hati akan hidup dalam kemuraman dan kesedihan. Kisah Yunus ditutup oleh kemuraman dan kesedihan, sebab Allah ternyata memberi keselamatan ekstra kepada orang-orang Niniwe.
Dimensi keselamatan sangat beragam. Allah mengaruniakan keselamatan sehingga orang-orang berdosa itu bebas dari hukuman dan murka-Nya. Tetapi juga keselamatan dari Tuhan bisa juga dinyatakan melalui anugerah talenta, kompetensi, kecerdasan, keahlian, dan rezeki. Dengan kedaulatan-Nya Allah berkenan memberi anugerah-Nya kepada orang-orang yang Ia kehendaki. Allah dapat memberi kecerdasan istimewa kepada orang-orang atheis. Ia juga dapat memberi anugerah kompetensi kepada orang-orang yang agnostik. Persoalannya adalah apakah kita selaku umat percaya iri-hati dengan kemurahan hati Allah tersebut. Kita sering membandingkan dan menghitung. Komparasi dan kalkulasi untuk mengukur bahwa kita selayaknya memperoleh lebih banyak daripada yang diterima oleh orang lain. Problemnya sikap iri-hati tersebut senantiasa ditujukan kepada orang-orang yang kita kenal dan akrab. Akibatnya tercipta kondisi relasi yang tidak harmonis. Kita menjadi sangat menderita dan sakit dengan kehidupan orang lain yang diberkati.
Kelemahan dari sikap iri-hati adalah kita tidak mampu melihat kekayaan, anugerah, kemampuan, dan berkat yang telah kita terima. Sikap iri-hati menyebabkan kebutaan rohani, sehingga seluruh berkat yang telah diberikan Tuhan menjadi nihil. Kita lebih disilaukan dengan apa yang diterima dan dimiliki oleh orang lain. Karena itu kita secara tersembunyi berjuang agar orang-orang yang kepadanya kita iri-hati dapat terhalang. Dalam konteks ini Yunus memilih melarikan diri dari hadapan Tuhan agar ia tidak pergi memberitakan berita hukuman Allah kepada orang-orang Niniwe. Yunus ingin Allah menghukum dan membinasakan seluruh bangsa Niniwe daripada mereka bertobat dan diselamatkan. Sebagaimana sikap Kain yang iri-hati dengan memilih untuk membunuh Habil adiknya sebab persembahan Kain ditolak oleh Allah.
Sikap iri-hati menciptakan kerusakan dalam relasi personal dan komunal. Apabila iri-hati menghancurkan hubungan personal, maka ia juga merusak secara komunal. Masyarakat kita sering benci dan iri-hati kepada etnis tertentu yang dianggap berhasil dan kaya. Padahal mereka sukses sebab ulet, rajin, hemat, dan jujur. Beberapa kalangan masyarakat mengembangkan narasi kebencian kepada suku atau etnis tersebut. Karena itu muncullah antipati yang mendalam terhadap etnis atau suku. Hasilnya mereka yang iri-hati tidak bertambah sejahtera. Sebaliknya orang-orang yang bersikap iri-hati akan tetap miskin, bodoh, dan tertinggal. Jadi jelas bahwa sikap iri-hati bersifat merusak dan menghancurkan kualitas kehidupan khususnya kepada para pelaku.
Sebaliknya sikap yang bersyukur akan menghasilkan perasaan puas dan damai-sejahtera yang memampukan mereka untuk mengembangkan potensi dan kualitas diri lebih optimal. Dalam sikap bersyukur kita menghormati keputusan kedaulatan dan anugerah Allah. Kita tidak melakukan komparasi dan kalkulasi terhadap anugerah Allah yang dicurahkan dalam realitas kehidupan ini. Komparasi dan kalkulasi tidak ditujukan kepada orang lain. Sikap yang positif apabila komparasi dan kalkulasi hanya dilakukan kepada diri sendiri, yaitu apakah yang saya lakukan pada hari ini lebih baik daripada kemarin? Apakah yang sudah aku lakukan saat ini lebih besar daripada yang sudah aku lakukan di tahun sebelumnya? Apabila belum, maka sekarang merupakan waktu yang tepat untuk mengembangkan diri lebih optimal agar semakin berkenan di hadapan Tuhan dan sesama.
Sikap bersyukur yang tulus akan memampukan kita untuk menjadi pribadi yang semakin murah hati. Kita tidak kuatir dan ragu apabila membagi-bagikan berkat yang Tuhan sudah anugerahkan. Karena kita tahu semakin memberi dan membagi, apa yang kita miliki semakin bertambah. Saat kita membagi-bagikan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keahlian sesungguhnya kemampuan kita semakin berlipat ganda. Dengan kedaulatan-Nya Allah menyatakan diri-Nya sebagai Sang Pencipta dan Pemelihara hidup semesta yang penuh kemurahan. Anugerah Allah bagaikan matahari yang menyinari orang baik dan jahat. Tuhan Yesus berkata: “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:45).
Jadi apabila hidup kita masih diisi dengan iri-hati sesungguhnya kita belum memetik buah keselamatan dalam penebusan Kristus. Sebab hidup kita senantiasa dibakar oleh api kebencian akan keberhasilan yang dimiliki oleh orang lain. Kehidupan kita jauh dari Allah. Kita menjadi musuh kebenaran. Yakubus 3:14 berkata: “Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!” Saat kita iri-hati, sesungguhnya kita sedang melawan kebenaran. Akibatnya kita menciptakan kekacauan dan kerusakan dalam relasi dengan orang-orang sekitar. Firman Tuhan menyatakan: “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yak. 3:16).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono