“Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2:12-13).
Inti dan tujuan setiap agama dan kepercayaan adalah keselamatan. Dalam kodratnya manusia menyadari kefanaannya sekaligus juga keberadaannya yang tidak serta-merta fana. Manusia bersifat “mortal” (fana, mati) sekaligus memiliki peluang atau kemungkinan menjadi “immortal” (abadi). Namun, bagaimana keyakinan “immortalitas” yaitu kehidupan setelah mati sungguh-sungguh menjadi kehidupan yang bermakna? Sebab apa artinya roh manusia berlangsung abadi, namun akan mengalami kebinasaan? Sebab jikalau demikian, ini berarti roh manusia tidak senantiasa abadi selama-lamanya. Roh manusia juga dapat binasa. Iman Kristen memahami roh manusia sebagai ciptaan, sehingga roh juga fana dan dapat binasa. Hanya Allah saja yang kekal.
Seluruh orientasi dan daya upaya yang diperjuangkan oleh manusia dalam seluruh aktivitas atau visi hidupnya sebenarnya berpusat pada terwujudnya keselamatan di masa kini, dan di masa mendatang. Manusia berupaya melalui kepercayaan, agama, pekerjaan, prestasi, dan karier yang ditempuhnya agar dapat memperoleh keselamatan di masa kini dan mendatang. Makna “keselamatan” menjadi inti makna dan tujuan hidup manusia sepanjang zaman.
Iman Kristen memberi jawaban yang otentik tentang keselamatan. Sebab d dalam iman Kristen, keselamatan bukan sekadar harapan namun jaminan. Karena itu ajaran iman Kristen menawarkan kepastian, bukan sekadar harapan dan janji. Di dalam karya penebusan Kristus, tersedia kepastian dan jaminan keselamatan. Sebab Kristus adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh. 14:6). Kristus adalah Sang Firman Allah yang kekal, sehingga dengan kodrat ilahi dan insani-Nya, Kristus menjadi Juruselamat dan Pengantara yang sempurna.
Namun, iman Kristen juga menyadari bahwa makna kekayaan dan kepastian keselamatan di dalam karya penebusan Kristus dipengaruhi oleh perspektif teologis manusia. Kesaksian Alkitab dipengaruhi oleh sudut pandang dan penafsiran umat yang membacanya. Itu sebabnya muncul berbagai pandangan teologis dari berbagai denominasi iman Kristen tentang makna keselamatan Allah. Di tengah keberagaman konsep teologis tersebut, terdapat satu pijakan yang tak terbantahkan, yaitu Kristus diimani dan diterima sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat.
Minimal ada 2 arus besar dalam memahami keselamatan, yaitu:
- Allah yang kaya dan penuh anugerah sehingga di dalam dan melalui karya penebusan Kristus. Makna keselamatan dipahami sebagai anugerah Allah yang begitu melimpah. Dengan anugerah-Nya Allah akan tetap menyelamatkan umat percaya walau mereka hidup dalam kesalahan dan dosa (hyper-grace).
- Keselamatan merupakan bagian upaya atau kebajikan manusia. Karya penebusan Kristus dipahami sebagai keteladanan moral. Karena itu umat wajib melakukan berbagai perbuatan baik (kebajikan). Dalam konteks ini keselamatan akan terwujud apabila manusia melakukan berbagai perbuatan baik. Perbuatan baik akan mendatangkan pahala dari Allah (Pelagianisme).
Pandangan yang pertama menekankan pada anugerah Allah yang melimpah, sehingga mengabaikan respons dan tanggungjawab manusia (hyper-grace). Dampak negatif yang ditimbulkan dalam pemikiran ini adalah anugerah Allah yang melimpah dianggap murah (cheap grace). Umat akan leluasa hidup dalam keinginan dan hawa-nafsu dosa dengan tetap percaya bahwa Allah senantiasa mengampuni dan menyelamatkan mereka. Mereka meyakini bahwa sekali selamat akan tetap selamat karena Allah telah memilih dan menentukan sejak kekal (predestinasi).
Pandangan yang kedua lebih menekankan pada kebajikan atau perbuatan baik manusia. Karya penebusan Kristus dipahami sekadar sebagai keteladanan moral, sehingga manusia hanya meneladani perbuatan baik (pengorbanan) yang dilakukan oleh Kristus. Makna keselamatan lebih dipahami oleh seberapa besar amal dan pahala yang telah ditaburkan oleh umat. Pemikiran tersebut dipengaruhi oleh ajaran dari Pelagius.
Ajaran Pelagianisme mengajarkan bahwa manusia tidak mengalami dosa asal, sehingga tidak membutuhkan rahmat Allah untuk memperoleh keselamatan. Manusia harus bertanggungjawab atas keselamatannya sendiri. Kelemahannya adalah cara pandang ini tidak berbeda dengan Yudaisme yang diajarkan oleh para ahli Taurat, Imam-imam kepala, dan pemimpin anggota Sanhedrin bahwa manusia selamat karena melakukan hukum Taurat. Padahal Alkitab menegaskan bahwa setiap manusia telah jatuh di bawah kuasa dosa, sehingga tidak ada dasar bagi manusia mencapai kebenaran di hadapan Allah dengan perbuatan baiknya.
Untuk mengatasi 2 kubu tersebut, sebagian gereja membuat kompromi di antara 2 cara pandang tersebut. Beberapa denominasi melakukan kompromi di antara hyper-grace dengan ajaran Pelagianisme yang menekankan pada amal kebajikan manusia. Karena itu muncul pandangan ke-3 yaitu semi-pelagianisme. Ajaran “semi pelagianisme” sebagai “jalan tengah” di antara ajaran yang menekankan pada jaminan keselamatan dalam anugerah Allah melimpah yang dipredestinasikan sejak kekal dengan ajaran Pelaginisme tentang keselamatan yang diupayakan oleh setiap orang. Dalam ajaran “semi-pelagianisme” menegaskan bahwa manusia dengan kekuatan, kebenaran, dan kesalehannya sendiri dapat memulai pertobatannya, tetapi tidak dapat menyelesaikan sepenuhnya tanpa anugerah Roh Kudus. Ajaran “semi-pelagianisme” secara halus memberi ruang bagi usaha manusia untuk memperoleh dan mencapai keselamatan dengan upayanya sendiri. Dalam konteks ini, gereja berdasarkan kesaksian Alkitab menolak ajaran “semi-pelagianisme” tentang keselamatan. Perbuatan baik atau kebajikan manusia termasuk kesalehan dan kebenarannya tidak dapat menambah sedikit pun terhadap keselamatan Allah dalam karya penebusan Kristus.
Bagaimana seharusnya memahami anugerah keselamatan Allah yang melimpah dengan kebajikan yang sebenarnya memiliki nilai mulia dan wajib dilakukan oleh setiap orang? Anugerah keselamatan adalah kedaulatan Allah. Namun, firman Tuhan menyatakan bahwa kedaulatan Allah berpusat pada kasih dan kekudusan-Nya. Dalam kasih-Nya, Allah “menentukan” (to predestinate) Allah membuka ruang di hati umat untuk memberi respons dan tanggungjawab (Ef. 1:4-5). Karena itu nilai kebajikan atau perbuatan iman yang dilakukan manusia tidak berdiri sendiri, namun ditentukan oleh kasih-karunia Allah yang bebas. Efesus 2:10 menyatakan, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Perbuatan baik atau kebajikan telah dipersiapkan Allah sebelumnya, supaya setiap umat mampu mewujudkan dan menghidupi dalam kehidupan sehari-hari.
Jika demikian, bagaimana dengan manusia yang belum menerima berita Injil tentang karya penebusan Kristus? Karya penebusan Kristus adalah keselamatan Allah yang bersifat semesta (bdk. Mat. 28:18, Kol. 1:15-16). Karena itu peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus menebus seluruh semesta dalam kasih-karunia Allah. Dampaknya seluruh mahluk di semesta mengalami pendamaian dengan Allah. Karya Roh Kudus dihadirkan dalam setiap realitas semesta dan seisinya untuk mencurahkan kasih-karunia Allah kepada seluruh isi ciptaan. Pemikiran, kebijaksanaan, dan kebenaran Kristus menginspirasi dan meresapi setiap aspek kehidupan. Namun, semua aspek yang dipahami oleh orang-orang dunia tersebut perlu terus-menerus diperhadapkan dengan Injil Kristus dan pengajaran gereja tentang keselamatan. Itu sebabnya gereja dipanggil untuk melaksanakan tugas kesaksian (marturia) dan pemberitaan Injil (evangelisasi).
Namun, bagaimana karena berbagai faktor keterbatasan sehingga berita Injil tidak dapat diterima oleh umat di berbagai tempat atau budaya dan agama? Bukankah cukup banyak berbagai suku di berbagai belahan benua yang belum menerima Injil Kristus? Dalam anugerah-Nya Allah berkenan mengaruniakan Roh Kudus untuk menguji hati-nurani, bukan kepercayaan atau agamanya. Apakah hati atau suara-hati mereka terbuka untuk menerima Injil Kristus? Apakah hati-nurani mereka terbuka untuk menerima anugerah keselamatan Allah? Allah melihat potensi atau spiritualitas di dalam batin mereka. Dengan kemahatahuan dan kedaulatan-Nya, Allah menentukan apakah mereka selamat atau tidak.
Penilaian final dari keselamatan yang dianugerahkan Allah di dalam Kristus bukanlah seberapa besar kebajikan atau perbuatan baik, tetapi bagaimana sikap iman umat yang menghasilkan buah, yaitu pengudusan. Makna “pengudusan” (sanctification) lebih luas dan mendalam dari pada sekadar rangkaian perbuatan baik atau kebajikan. Namun, hakikat “pengudusan” hanya terwujud apabila Allah mengaruniakan “pembenaran” (justification) melalui iman kepada Kristus. Tanpa buah “pengudusan” tidak ada keselamatan. Hakikat keselamatan senantiasa meliputi “pembenaran” melalui iman kepada Kristus dan menghasilkan buah “pengudusan” yaitu hidup sebagai anak-anak Allah. Firman Tuhan menegaskan agar setiap umat yang telah ditebus sungguh-sungguh mengerjakan keselamatan yang telah dianugerahkan dengan takut dan gentar (Flp. 2:12).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono