Ajaran yang menolak kematian Yesus di kayu salib secara langsung menolak kebangkitan-Nya. Lalu penolakan akan kebangkitan Yesus menjadi penolakan akan kuasa Allah yang menyelamatkan dan mendamaikan. Dalam situasi itu umat manusia akan kehilangan pijakan keselamatan dan pengharapannya sehingga tetap hidup dalam belenggu kuasa dosa. Salah satu bentuk kuasa dosa adalah trauma-trauma yang pernah dialami dan tidak dipulihkan. Kebangkitan Kristus sesungguhnya memulihkan setiap orang yang mengalami trauma dalam berbagai bentuk dan peristiwa serta PTSD (post-traumatic stress disorder). Lebih jauh lagi kebangkitan Kristus juga memulihkan manusia dari cognitive-dissonance (disonansi kognitif) yang menyebabkan seseorang melakukan pembenaran-pembenaran diri (rasionalisasi) dan sikap menghindar (avoidance) dari realitas persoalan.
Setiap kita pernah mengalami berbagai trauma. Kondisi PTSD dalam praktiknya menyebabkan berbagai kondisi mental dan spiritualitas yang tidak sehat. Sikap yang sensitif (mudah tersinggung), anxiety (kecemasan yang berkepanjangan), impulsif (didorong oleh insting), kompulsif (pikiran dan tindakan yang tidak bisa dikendalikan), guilty (dibebani rasa bersalah), dan berbagai perilaku yang tidak sehat. Orang-orang yang beragama atau beriman ternyata tidak bebas dari kondisi mental akibat trauma. Bahkan sering orang-orang beragama mengalami kondisi yang lebih buruk karena keyakinan dan kepercayaannya tanpa dilandasi oleh sikap rasional dan faktual. Mereka terjebak melakukan pembenaran-pembenaran diri (rasionalisasi) yang disebabkan oleh cognitive-dissonance (disonansi kognitif).
Serena Jones dalam bukunya yang berjudul: Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World (2009) menguraikan bahwa efek trauma tidak lenyap karena perjalanan waktu, tetapi tetap membekas dan menimbulkan efek jangka panjang. Para korban merasa diri serba terancam dan cemas, namun tak berdaya untuk menghadapinya. Dalam bukunya Serena Jones membagi tulisannya dalam tiga bagian besar yang meliputi: traumatic faith (iman yang traumatis), crucified imaginings (imaginasi-imaginasi yang disalibkan), dan ruptured redeeming (penebusan yang retak). Dari istilah traumatic faith (iman yang traumatis) kita dapat melihat bahwa seorang beriman tetap rentan dengan trauma. Para murid Yesus dan jemaat perdana mengalami peristiwa trauma saat menyaksikan kematian Yesus di kayu salib. Dalam terang kebangkitan Kristus, kita perlu menyalibkan imaginasi-imaginasi traumatis sehingga dipulihkan menjadi manusia baru. Kristus yang wafat dan bangkit adalah Tuhan yang memampukan kita mengalami kerahiman dan kasih Allah yang tanpa akhir. Ia setia dan mengasihi kita walau kita sering menolak dan memilih hidup dalam belenggu traumatis di masa lalu.
Peristiwa kebangkitan Yesus dari kubur diawali dengan kesaksian: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh. 20:19). Catatan penting untuk memahami kondisi para murid Yesus pasca penyaliban adalah: “Berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi.” Pernyataan ini mengungkap suatu kenyataan bahwa para murid Yesus secara psikologis mengalami trauma. Kata “pintu-pintu terkunci” dan “takut” hendak menggambarkan goncangan batin yang hebat pasca penyaliban dan kematian Yesus. Goncangan batin tersebut dalam ilmu psikologi sering disebut dengan PTSD (Post-traumatic Stress Disorder). Makna dari PTSD adalah seseorang yang mengalami gangguan secara psikologis berupa stres setelah mengalami kejadian atau peristiwa yang traumatis, sehingga mengalami perubahan perasaan, pemahaman dan perilaku dalam merespons peristiwa-peristiwa yang terjadi. Perubahan terhadap respons tersebut umumnya bersifat negatif, yaitu: ingatan intruitif (ingatan yang tak diinginkan), sikap menghindar (avoidance), perubahan pada pola pikir dan mood, serta perubahan emosional dan fisik.
Pengalaman post-traumatic yang terjadi pada murid-murid Yesus tidak terelakkan. Sebab mereka adalah orang-orang yang menyaksikan secara langsung bagaimana Yesus Sang Mesias dianiaya, disalibkan dan wafat secara tragis. Kondisi post-traumatic ini diperberat oleh kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengagumi kuasa dan hikmat Yesus. Mereka melihat bagaimana Yesus melakukan berbagai perbuatan mukjizat yang begitu ajaib misalnya menyembuhkan orang-orang sakit, membangkitkan orang mati dan menundukkan angin badai di Danau Genesaret. Tetapi bagaimana mungkin seseorang yang begitu berkuasa terhadap hidup dan kematian manusia serta alam dapat mengalami kematian yang begitu tragis. Pada sisi lain eksekusi berupa penyaliban yang dilakukan oleh pemerintah Romawi bertujuan untuk menciptakan trauma bagi pengikut, keluarga dan orang banyak agar mereka takut dan tunduk terhadap kekuasaannya. Pasca penyaliban dan kematian Yesus juga menyebabkan para murid kehilangan pegangan hidup. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat di hari-hari ke depan. Mereka bukan hanya takut tetapi juga bingung.
Leon Festinger dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cognitive Dissonance (1957) mengulas suatu kejadian traumatik dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang mengalami cognitive-dissonance (disonansi kognitif). Pengertian “cognitive dissonance” adalah suatu kondisi tidak nyaman yang dialami seseorang berupa tekanan psikologis sebab ia memiliki dua atau lebih kognisi (berupa sejumlah data dan informasi) yang saling bertentangan (kontradiksi). Reaksi seseorang yang mengalami dua atau lebih kognisi yang saling bertentangan adalah termotivasi mengurangi disonansi (ketidaksesuaian) dengan membuat perubahan untuk membenarkan perilaku stres, misalnya menambahkan bagian baru ke kognisi atau menghindar (avoidance). David Berger dalam tulisannya yang berjudul The Rebbe, the Messiah and the Scandal of Orthodox Indifference (2008) mengisahkan bagaimana seorang rabbi yang dianggap sebagai Mesias bernama Menachem Mendel Schneerson wafat karena sakit stroke pada tahun 1994. Tetapi para pengikut Yahudi Orthodoks Khabad membuat klaim bahwa Schneerson adalah Mesias yang tidak dapat mengalami kematian, dan jikalau saat itu ia mati tetapi akan bangkit dari kematian. Mereka mengalami disonansi kognitif di antara kognisi gurunya yang sakit stroke, dan kognisi berupa keyakinan bahwa ia adalah mesias. Disonansi kognitif mereka adalah dengan kepercayaan baru, yaitu Schneerson akan bangkit dari kematian. Para pengidap cognitive-dissonance untuk meringankan tekanan psikologis seringkali melakukan rasionalisasi dan penghindaran (avoidance) terhadap fakta yang sedang terjadi.
Dalam konteks ini apakah mungkin para murid Yesus yang mengalami trauma setelah melihat peristiwa penyaliban dan kematian-Nya juga mengalami cognitive-dissonance (disonansi kognitif)? Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi. Jika demikian, apakah kesaksian kitab Injil-injil tentang kebangkitan Yesus merupakan rasionalisasi dan penghindaran dari fakta untuk meringankan tekanan psikologis para murid-Nya?
Di Kisah Para Rasul 5:27-32 mengisahkan bagaimana para murid Yesus pasca kematian-Nya memberikan kesaksian di depan Sanhedrin (Mahkamah Agama Yahudi). Imam Besar menegur dan mengancam para murid Yesus, yaitu: “Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami” (Kis. 5:28). Jawaban para murid Yesus yang diwakili oleh Petrus menyatakan: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kis. 5:29). Akibatnya para murid Yesus tersebut disiksa (Kis. 5:40) sebab mereka tetap teguh menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias yang wafat dan bangkit. Kisah Para Rasul 5:41 menggambarkan suasana hati dan perasaan para murid Yesus setelah mereka disiksa karena kesaksian imannya, yaitu: “Rasul-rasul itu meninggalkan sidang Mahkamah Agama dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena Nama Yesus.” Mereka tidak membuat rasionalisasi (pembenaran-pembenaran diri diri) dan penghindaran (avoidance), tetapi sebaliknya mereka menjelaskan kesaksian iman berdasarkan data yang faktual dan tidak melarikan diri dari ancaman. Dari segi emosi para murid Yesus setelah mengalami penganiayaan disebutkan meninggalkan sidang Sanhedrin dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus.
Para murid Yesus tidak marah, takut dan trauma dengan penganiayaan yang dilakukan oleh Sanhedrin. Sebaliknya mereka gembira sebab dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus. Kata “gembira” yang digunakan adalah khairontes yang secara harafiah memiliki arti: rejoice (sukacita), calmly happy (tenteram), glad (senang). Makna khairontes merupakan spiritualitas sukacita yang lahir dari hati yang tenteram sebab mereka diizinkan mengalami suatu kelayakan yang berharga. Karena itu kata khairontes (sukacita) berhubungan erat dengan “dianggap layak” (katexiothesan). Sukacita atau kebahagiaan batin para murid Yesus terjadi karena dianggap “layak” (pantas) menderita karena nama Yesus. Jadi penganiayaan dan penderitaan yang mereka alami bukanlah dianggap suatu penghinaan atau peristiwa yang memalukan.
Suasana hati sukacita dan gembira (khairontes) yang dialami oleh para murid Yesus sesungguhnya bersumber pada perjumpaan mereka dengan Yesus saat mereka mengalami ketakutan dan trauma. Di Yohanes 20:19 menyatakan: “Ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi. Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: Damai sejahtera bagi kamu!” Yesus yang bangkit menyapa mereka: “damai-sejahtera” (eirene). Makna eirene adalah: damai-sejahtera dan keselamatan (shalom). Makna shalom (eirene) adalah suatu kondisi damai yang lahir dari peristiwa keselamatan yang dianugerahkan Allah, dan pada pihak lain pengalaman keselamatan yang dinyatakan dengan kondisi damai-sejahtera. Kita dapat melihat hubungan yang erat antara khairontes (sukacita) dengan eirene (damai-sejahtera). Para rasul bersedia menderita dan mengalami penganiayaan dengan gembira karena mereka mengalami damai-sejahtera dan keselamatan dari Allah. Itu sebabnya mereka mampu lebih taat kepada Allah daripada manusia (Kis. 5:29).
Seandainya para murid Yesus mengalami cognitive-dissonance (disonansi kognitif), maka mereka akan lebih memilih untuk menghindar atau melarikan diri agar ego-insecurity (perasaan tidak aman) tidak tergangu. Mereka akan lebih cenderung membuat rasionalisasi (pembenaran-pembenaran diri) sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut Menachem Mendel Schneerson (yang mengklaim dirinya sebagai “Mesias.”).Rasionalisasi dan sikap escaping (menghindar dan melarikan diri) tidak akan pernah tahan dalam ujian penganiayaan jangka panjang. Sebaliknya sejarah mengisahkan bagaimana umat Kristen perdana mampu bertahan dan terus menyampaikan kesaksian iman serta pemberitaan Injil walau harus dianiaya dan mengalami kematian sebagai martir. Sumber ketabahan (hupomome) jemaat perdana adalah damai-sejahtera dan keselamatan (eirene) yang dikaruniakan oleh Kristus yang bangkit.
Realitas damai-sejahtera dan keselamatan (eirene) dari Kristus tersebut bukan sekadar peristiwa “batiniah” (suasana hati), tetapi juga secara jasmaniah mereka diteguhkan dengan kehadiran Yesus yang bangkit dan dapat disentuh secara fisik. Di Yohanes 20:20 menyatakan: “Dan sesudah berkata demikian, Ia menunjukkan tangan-Nya dan lambung-Nya kepada mereka. Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan.” Yesus yang bangkit bukan hadir dalam bentuk “penampakan” seperti kisah orang yang berkata telah melihat sosok arwah atau hantu. Tetapi Yesus yang bangkit itu menampakkan diri untuk disentuh, diraba dan dipegang secara fisik oleh para murid-Nya. Injil Lukas lebih jauh lagi mengisahkan bagaimana Yesus yang bangkit menyuruh para murid-Nya meraba diri-Nya (Luk. 24:39), juga memberi bukti berupa makan ikan goreng di depan mereka (Luk. 24:42-43). Yesus bukan bangkit secara rohaniah belaka sebagaimana dinyatakan oleh beberapa orang, tetapi juga secara jasmaniah. Prinsip kesaksian jemaat perdana dan rasuli tentang pengalaman dan perjumpaan dengan Kristus yang bangkit terlihat di surat 1 Yohanes 1:1, yaitu: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup itulah yang kami tuliskan kepada kamu.” Kesaksian iman, ketabahan dan sukacita jemaat perdana mengalami penderitaan karena nama Kristus didasarkan pada realitas peristiwa perjumpaan yang eksistensial dengan Kristus yang bangkit.
Anugerah Kristus yang bangkit dengan eirene (damai-sejahtera dan keselamatan) yang dibuktikan dengan perjumpaan yang eksistensial (sentuhan dan rabaan) bermuara pada pengutusan Kristus untuk mengampuni dosa, yaitu dengan kuasa Roh Kudus. Yohanes 20:23 Yesus berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Jemaat perdana dan para rasul mampu bersukacita mengalami penganiayaan atau wafat sebagai martir karena eirene dari Kristus yang memampukan mereka untuk mengampuni setiap orang yang melukai dan menganiaya mereka. Kristus juga mengaruniakan Roh Kudus kepada gereja-Nya otoritas untuk menyatakan kerahiman dan pengampunan Allah kepada setiap orang yang berdosa dan mengakui kesalahannya. Gereja adalah persekutuan umat percaya yang hidup dalam kerahiman melalui penebusan Kristus sehingga dimampukan untuk memulihkan dunia yang berdosa dengan pengampunan Allah untuk mengalami eirene (damai-sejahtera dan keselamatan).
Seorang pengidap PTSD dan cognitive-dissonance sering terjebak oleh trauma dan rasionalisasi (pembenaran-pembenaran diri) sehingga terhalang untuk mengampuni orang-orang yang melukai dan menganiaya mereka. Penyebabnya mereka belum mampu berdamai dengan diri sendiri dan mengampuni orang-orang yang pernah atau sedang melukai. Kekayaan pengampunan dan ketabahan menderita hanya dialami oleh mereka yang telah berdamai dengan Allah, sesama dan diri sendiri.
Kondisi mental (psikologis) para murid Yesus tidak sepenuhnya dikuasai oleh perasaan takut dan post-traumatic strees disorder (PTSD), tetapi juga sikap kritis yang rasional. Di Yohanes 20:25 mengisahkan sikap Tomas yang tidak percaya dengan kesaksian para murid lain yang telah melihat dan berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Tomas berkata: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” Sikap Tomas yang kritis mencerminkan kepribadian yang rasional dan faktual. Ia tidak akan percaya kepada kisah Yesus yang bangkit sebelum menyentuh secara langsung bekas paku di tangan-Nya dan mencucukkan jarinya ke lambung Yesus. Tantangan Tomas tersebut ternyata sekadar harapan. Yesus yang bangkit menyatakan diri kembali sambil berkata: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yoh. 20:27).
Data-data faktual dari kitab Injil-injil tersebut menegaskan bahwa Yesus yang wafat adalah Yesus yang bangkit dengan tubuh-Nya dalam kemuliaan Allah sehingga karya penebusan-Nya memberi harapan dan jaminan pengampunan dosa (Why. 1:5). Karena itu setiap umat percaya dipanggil menjadi saksi (martir) kepada seluruh umat manusia agar menjadi kerajaan imam Allah yang menghadirkan pendamaian dan keselamatan (Why. 1:6). Apabila di dalam dunia ini terwujud kerajaan imam Allah, maka pastilah harapan datangnya langit dan bumi yang baru terwujud. Umat manusia tidak lagi hidup dalam pertikaian, konflik, kekerasan, peperangan, dan ketidakadilan. Dalam kerajaan imam yang bersumber pada karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh Kudus, setiap orang mengalami eirene (shalom), yaitu keselamatan dan damai-sejahtera Allah.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono