Abstrak
Penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari raya Natal merupakan hasil perjalanan panjang dalam tradisi Gereja. Proses ini tidak lahir dari satu keputusan tunggal, tetapi dari cara Gereja memahami Alkitab, mengembangkan simbol-simbol teologis, serta mengolah pengalaman liturgis selama hampir 2000 tahun. Tulisan ini mencoba menelusuri kembali dasar-dasar penentuan tanggal kelahiran Yesus, khususnya upaya menyelaraskannya dengan kronologi kelahiran Yohanes Pembaptis menurut Lukas pasal 1. Saya akan meneliti pola pendekatan itu sering dipakai untuk membangun argumen historis, namun ketika diperiksa lebih cermat baik melalui sumber Yahudi, dokumen para Bapa Gereja awal, maupun tradisi liturgi gereja perdana. Beberapa persoalan yang kerap terabaikan misalnya masalah penempatan kisah Zakharia dalam giliran tugas imam pada bulan tertentu, dan makna istilah “bulan keenam” yang tidak selalu menunjuk pada penanggalan literal.
Penelusuran terhadap Mishnah, kesaksian Josephus, dokumen seperti De Pascha Computus (243 M), serta tulisan Hippolytus dari Roma akan menunjukkan bahwa perdebatan tentang tanggal sebenarnya jauh lebih kompleks daripada yang sering diasumsikan oleh banyak orang. Kajian ini pada akhirnya memperlihatkan bahwa perayaan Natal 25 Desember sebagai sebagai buah dari perkembangan gagasan teologis mengenai “usia integral” (integral age theory) dan simbolisme liturgis gereja kuno. Jadi penetapan tanggal itu bukan sebagai hasil perhitungan kalender Yahudi abad pertama. Dengan demikian, meskipun tanggal kelahiran Yesus tidak dapat dipastikan secara historis, perayaan Natal pada 25 Desember tetap memiliki dasar teologis dan liturgis yang kuat, yaitu dasar yang telah bertumbuh dan dikenali sejak paling tidak abad ketiga.
Kata kunci: Natal, 25 Desember, kronologi, Zakharia, Yohanes Pembaptis, tradisi gereja, liturgi, patristik, mishmarot, teologi inkarnasi
Pendahuluan
Penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus merupakan salah satu tema yang paling sering dibahas dalam studi biblika, sejarah gereja, dan liturgi. Perdebatan ini tidak hanya berkaitan dengan pertanyaan historis tentang kapan Yesus benar-benar lahir, tetapi juga menyangkut proses teologis dan liturgis yang telah ditempuh gereja perdana hingga sepakat memilih tanggal tersebut sebagai perayaan inkarnasi. Sebagian penafsir menilai bahwa tanggal ini berasal dari perhitungan internal yang teliti berdasarkan Injil Lukas, terutama kisah kelahiran Yohanes Pembaptis dan pewartaan malaikat kepada Maria (Luk. 1–2). Pendekatan ini disebut sebagai metode sinkronisasi sebab mencoba untuk menelusuri kembali masa tugas keimaman Zakharia di Bait Allah, menentukan waktu kehamilan Elisabeth, menambahkan “bulan keenam” sebagai konteks panggilan Maria, lalu memperhitungkan sembilan bulan kehamilan hingga sampai pada tanggal kelahiran Yesus.
Di sisi lain, ada yang menilai bahwa penetapan Natal tanggal 25 Desember lebih merupakan hasil perkembangan liturgis gereja awal yang dipengaruhi teologi simbolik. Bahkan, sebagian pandangan yang lebih skeptis menghubungkannya dengan adopsi perayaan pagan Sol Invictus yang ditetapkan Kaisar Aurelian pada tahun 274 M.
Saya mencoba untuk meneliti perhitungan yang mengaitkan perayaan Natal 25 Desember dengan kronologi Zakharia–Elisabeth–Maria. Setelah itu saya akan menelaah secara singkat kesaksian sumber-sumber Yahudi tentang sistem dinas keimaman (mishmarot), menganalisis dokumen patristik yang berperan dalam penetapan Natal tanggal 25 Desember, dan mengevaluasi secara kritis teori yang menghubungkan hari Natal dengan kultus Sol Invictus. Dengan pendekatan multidisipliner ini, saya menawarkan kesimpulan teologis-liturgis yang utuh mengenai makna Natal tanggal 25 Desember dalam tradisi Kristen.
Beberapa Kajian Sebelumnya
Kajian ilmiah mengenai asal-usul perayaan Natal 25 Desember telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Thomas J. Talley, dalam karya pentingnya The Origins of the Liturgical Year (1991), menekankan bahwa perkembangan liturgi gereja Latin abad keempat harus dipahami dalam kerangka ibadah Kristen awal yang lebih luas. Talley menunjukkan bahwa penetapan tanggal-tanggal liturgis utama berkaitan erat dengan perkembangan teologi inkarnasi dan penebusan pada masa itu. Sementara itu, Steven Hijmans, dalam artikelnya yang berpengaruh ‘Sol Invictus, the Winter Solstice, and the Origins of Christmas’ (Mouseion, 2003) serta dalam studi lanjutannya Sol: The Sun in the Art and Religions of Rome (2009), mengajukan kritik kuat terhadap teori bahwa gereja mengambil tanggal 25 Desember dari kultus Sol Invictus. Ia menunjukkan bahwa bukti epigrafis maupun numismatik tidak mendukung anggapan bahwa tanggal tersebut sudah menjadi hari raya penting bagi penyembahan dewa matahari sebelum gereja menetapkannya sebagai perayaan Natal.”
Andrew McGowan, melalui esai “How December 25 Became Christmas” dalam Biblical Archaeology Review, menyoroti peran teologi “usia integral” (integral age theory), yaitu keyakinan bahwa para nabi dan orang kudus wafat pada hari yang sama dengan hari mereka dikandung, sebagai salah satu dasar penetapan tanggal Natal. John P. Meier dalam A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus (1991) dan Joseph A. Fitzmyer dalam komentarnya The Gospel According to Luke I–IX (Anchor Bible 28, 1981) memberikan kritik metodologis terhadap upaya rekonstruksi kronologi kelahiran Yesus dengan menggunakan kalender Yahudi abad pertama. Mereka menekankan keterbatasan sumber yang tersedia sekaligus kerumitan sistem penanggalan Yahudi pada masa tersebut.
Menguji Metode Sinkronisasi
Upaya mengaitkan tanggal kelahiran Yesus dengan kelahiran Yohanes Pembaptis biasanya dimulai dari pembacaan teliti terhadap Injil Lukas pasal pertama. Di sana, Lukas menggambarkan Zakharia sebagai seorang imam dari rombongan Abia yang saat itu sedang menjalankan tugasnya di Bait Allah ketika malaikat Gabriel menampakkan diri kepadanya. Dalam peristiwa teofani tersebut Zakharia menerima kabar dari malaikat bahwa Elisabeth, istrinya yang telah lanjut usia, akan mengandung seorang anak yang kelak dinamai Yohanes. Dalam konteks ini Lukas tidak memberi rincian yang kita harapkan jika tujuan kisah ini adalah untuk menyusun kalender. Ia hanya menyebut bahwa Zakharia “mendapat giliran” dan sedang mempersembahkan ukupan di ruang Kudus. Dari potongan kecil inilah sejumlah penafsir mencoba menyusun kembali urutan waktu: kapan kira-kira giliran Abia bertugas, berapa lama kemudian Elisabeth mengandung, dan akhirnya kapan Yesus lahir.
Namun, ketika kita mendekati teks ini dengan integritas teologis dan kerendahan hati historis, segera terlihat bahwa usaha mengekstraksi tanggal yang pasti dari narasi semacam ini mengandung banyak keterbatasan. Ada ruang-ruang kosong dalam data, asumsi-asumsi yang harus dibuat, serta variabel sejarah yang tidak dapat dipastikan. Karena itu, upaya tersebut memerlukan evaluasi kritis agar kita tidak memaksakan kepastian kronologis pada teks yang sebenarnya lebih bernuansa teologis dan liturgis daripada matematis.
Pertama, kita perlu mengakui bahwa Lukas sama sekali tidak memberikan petunjuk eksplisit tentang kapan dalam tahun Zakharia menerima pewahyuan tersebut. Tidak ada penyebutan tentang Paskah, Pentakosta, atau Hari Raya Pondok Daun. Padahal jika Lukas ingin memberikan penanda waktu yang jelas, ia dapat dengan mudah merujuk pada salah satu konteks liturgis itu. Sebaliknya, Lukas hanya mengatakan bahwa Zakharia sedang bertugas menurut gilirannya, tanpa menghubungkannya dengan perayaan tertentu. Ritual pembakaran ukupan yang dilakukan Zakharia pun bukan bagian dari ibadah tahunan yang jarang terjadi, melainkan liturgi setiap hari, pagi dan petang, seperti ditegaskan dalam Keluaran 30:7–8. Bahkan Mishnah Tamid 5–6 meskipun ditulis kemudian mencerminkan tradisi yang lebih tua bahwa pembakaran ukupan memang merupakan tugas harian yang terus berlangsung sepanjang tahun. Karena itu, tidak ada alasan tekstual untuk menyimpulkan bahwa Zakharia sedang melayani pada hari raya tertentu atau pada bulan tertentu dalam kalender Yahudi.
Kedua, meskipun 1 Tawarikh 24 mencatat adanya dua puluh empat rombongan imam dan menempatkan rombongan Abia di urutan kedelapan, informasi itu tidak cukup untuk menentukan kapan tepatnya rombongan Abia bertugas pada abad pertama. Josephus, baik dalam Antiquitates 7.14.7 maupun 20.6.3 memang menjelaskan bahwa masing-masing rombongan bertugas satu minggu, dua kali setahun, dan semua imam melayani bersama pada tiga hari raya besar. Tetapi untuk mengetahui kapan rotasi itu dimulai pada tahun tertentu, kita memerlukan titik awal yang sayangnya tidak diwariskan kepada kita. Dengan kata lain, kita mengetahui sistemnya, tetapi tidak memiliki kalender rinci yang menunjukkan kapan giliran Abia berlangsung pada tahun kelahiran Yohanes.
Ketiga, persoalan paling mendasar terletak pada sistem kalender Yahudi itu sendiri. Kalender ini bersifat lunar, terdiri dari dua belas bulan yang totalnya sekitar 354 hari lebih pendek sebelas hari dibandingkan kalender solar. Untuk memastikan perayaan dan musim tetap selaras, para pemuka agama sesekali menambahkan bulan ketiga belas (Adar II) dalam suatu tahun. Akibatnya, jadwal rombongan imam tidak pernah jatuh pada tanggal yang sama jika diterapkan ke kalender matahari yang kita gunakan sekarang. Lebih rumit lagi, setelah Bait Allah hancur pada tahun 70 M, semua catatan yang mungkin membantu kita menelusuri pola rotasi itu ikut lenyap. Sampai hari ini, kita tidak memiliki tabel rotasi keimaman sebelum kehancuran tersebut yang bisa dipakai untuk merekonstruksi jadwal pelayanan pada tahun tertentu.
Dengan demikian, anggapan bahwa Zakharia sedang bertugas pada bulan Tishrei yaitu bulan ketujuh dalam kalender Yahudi, sekitar September–Oktober tidak memiliki dasar historis yang kuat. Lukas tidak memberi petunjuk semacam itu, dan sumber-sumber Yahudi kuno juga tidak menyediakan data yang memungkinkan kita menentukan dengan tepat kapan rombongan Abia melayani pada abad pertama. Karena itu, membangun kronologi kelahiran Yesus di atas asumsi tersebut pada hakikatnya berdiri di atas landasan yang rapuh. Seperti ditulis Joseph A. Fitzmyer, “We simply do not have the data to calculate when the division of Abijah would have been on duty in the Temple during the late Second Temple period.”
Masalah historiografis berikutnya muncul ketika kita meninjau frasa “bulan keenam” dalam Lukas 1:26 dan 1:36. Lukas 1:26 mencatat: “Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret.” Sementara dalam ayat 36, malaikat berkata kepada Maria: “Dan sesungguhnya, Elisabet… inilah bulan yang keenam bagi dia.” Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah “bulan keenam” dalam ayat 26 menunjuk pada bulan keenam kalender Yahudi yaitu Elul, atau, sebagaimana dinyatakan eksplisit dalam ayat 36, merujuk pada bulan keenam kehamilan Elisabeth.
Jika kita mengikuti alur naratif Lukas, pilihan kedua jauh lebih koheren. Lukas sengaja membangun kesejajaran antara kisah kelahiran Yohanes dan kelahiran Yesus. Karena itu, “bulan keenam” berfungsi sebagai penanda waktu internal yang menghubungkan kedua peristiwa tersebut, bukan sebagai penanggalan kalender Yahudi. Lukas 1:36 bahkan menyatakannya secara gamblang: “inilah bulan yang keenam bagi dia.” Gaya Lukas memang lebih menyukai penanda waktu relatif, misalnya “sesudah beberapa hari,” “tidak lama kemudian” daripada tanggal yang bersifat absolut.
Dari sudut ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Maria menerima kabar malaikat enam bulan setelah Elisabeth mengandung. Namun kapan tepatnya itu terjadi dalam kalender absolut, kita tidak mengetahui sebab kita pun tidak dapat menentukan kapan Zakharia bertugas dan kapan Elisabeth mulai mengandung. Informasi yang kita miliki memang tidak memungkinkan rekonstruksi yang lebih jauh.
Keterbatasan dalam menyelaraskan berbagai sistem kalender ini justru membawa kita ke jalur penelusuran lain. Jika tanggal kelahiran Yesus tidak bisa dihitung dari data kalender Yahudi abad pertama, bagaimana akhirnya gereja bisa tiba pada tanggal 25 Desember? Pada titik inilah kita mulai bergantung pada jejak yang ditinggalkan para Bapa Gereja. Menariknya, catatan paling awal yang secara jelas menyebut 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus muncul pada abad ketiga, jauh sebelum Natal diresmikan sebagai hari raya dalam Kekaisaran Romawi. Artinya, tradisi ini lahir dari refleksi teologis dan praktik ibadah gereja mula-mula, bukan dari perhitungan kalender yang tepat.
Kesaksian Awal abad ke-3
Salah satu kesaksian awal yang patut mendapat perhatian datang dari Hippolytus dari Roma, teolog dan presbiter yang hidup pada awal abad ketiga (wafat sekitar tahun 235 M). Dalam komentarnya atas Kitab Daniel meskipun teks yang kita miliki kini mengalami transmisi panjang dan bertahan terutama dalam terjemahan Slavonik dan Georgik, Hippolytus dengan jelas menempatkan kelahiran Kristus pada 25 Desember dan wafat-Nya pada 25 Maret. Nilai kesaksian ini bukan pertama-tama terletak pada kepastian teknis naskahnya, melainkan pada periode ketika ia menulis. Pada masa ketika gereja masih minoritas kecil yang kerap menerima tekanan dan penganiayaan, sulit membayangkan adanya motivasi politis untuk menyesuaikan tanggal kelahiran Kristus dengan perayaan-perayaan pagan yang lebih menonjol.
Kesaksian penting lainnya berasal dari traktat anonim De Pascha Computus, yang ditulis di Afrika Utara sekitar tahun 243 M. Walaupun tujuan utama traktat ini adalah menghitung tanggal Paskah, penulisnya juga merenungkan kronologi kehidupan Kristus. Ia mengusulkan sebuah skema teologis yang sangat padu, yaitu dunia diciptakan pada 25 Maret, dan pada tanggal yang sama Kristus mulai hadir dalam rahim Maria. Dari analogi yang menempatkan penciptaan dan inkarnasi dalam satu garis teologis saya menyimpulkan bahwa kelahiran Kristus jatuh pada 25 Desember, sembilan bulan sesudahnya.
Perlu kita pahami bahwa perhitungan ini tidak dimaksudkan sebagai rekonstruksi sejarah yang presisi atau sebagai hasil penelitian kalender yang bersandar pada Injil. Yang ditawarkan De Pascha Computus adalah cara membaca sejarah keselamatan secara simbolik: Allah memulai karya penciptaan dan karya penebusan pada “hari” yang sama. Dalam pandangan teologi semacam ini, inkarnasi tidak hanya peristiwa biologis, tetapi juga momen ketika ciptaan lama mulai diperbarui dari dalam.
Yang menarik, naskah De Pascha Computus ditulis pada tahun 243 M, yaitu tiga dekade sebelum Kaisar Aurelian menetapkan 25 Desember sebagai Dies Natalis Solis Invicti pada tahun 274 M. Dengan kata lain, tradisi Kristen yang menempatkan 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus sudah hidup dan terdokumentasi jauh sebelum tanggal itu memperoleh tempat dalam kultus kekaisaran Romawi.
Hal ini menjadi sanggahan penting terhadap teori populer yang menyatakan bahwa gereja memilih 25 Desember untuk “menggantikan” atau “meng-Kristenkan” perayaan Sol Invictus. Sebagaimana ditunjukkan dengan kuat oleh S.E. Hijmans, bukti epigrafis dan numismatik tidak mendukung anggapan bahwa 25 Desember memiliki bobot liturgis yang signifikan dalam kultus matahari, baik sebelum maupun sesudah Aurelian. Sebagian besar data mengenai Dies Natalis Solis Invicti justru muncul dari sumber-sumber yang jauh lebih kemudian, terutama Chronographus anni 354 yaitu Kalender Filocalus yang disusun pada tahun 354 M.
Menariknya, dokumen yang sama mencatat dua hal berdampingan, yaitu perayaan Natal Kristen pada 25 Desember dalam bagian Depositio Martyrum dan catatan mengenai Sol Invictus. Kesamaan tanggal ini sering dibaca sebagai bukti saling memengaruhi. Namun, kemiripan tersebut sendiri tidak otomatis menandakan bahwa salah satunya mengambil alih atau meniru yang lain. Yang tampak justru adalah dua tradisi yang berkembang secara paralel, masing-masing dengan logika teologinya sendiri, satu di dalam kehidupan gereja, dan satu di dalam praktik religius kekaisaran.
Teori Usia Integral
Bukti liturgis paling awal tentang perayaan Natal tanggal 25 Desember dalam gereja yang sudah tersusun dengan rapi muncul dari Roma pada tahun 336 M. Dalam Depositio Martyrum yang tercatat dalam Chronographus anni CCCLIIII, kita menemukan satu kalimat sederhana namun sangat penting, yaitu “octavo Kalendas Ianuarias natus Christus in Betleem Iudeae” yang artinya bahwa pada hari kedelapan sebelum memasuki bulan Januari, Kristus lahir di Betlehem, Yudea. Inilah catatan liturgis pertama yang secara tegas menunjukkan bahwa gereja Roma merayakan kelahiran Tuhan pada tanggal tersebut. Apabila kita cermati ternyata momen ini terjadi pada masa Konstantinus, ketika gereja mulai menikmati ruang gerak yang aman setelah edik toleransi dikeluarkan, dan kekristenan berdiri semakin kuat di tengah kekaisaran.
Namun jauh sebelum tahun 336, benih tradisi teologis yang menghubungkan kelahiran Kristus dengan 25 Desember sudah tumbuh. Tulisan seperti De Pascha Computus dan karya-karya Hippolytus pada abad ketiga menunjukkan bahwa tanggal ini bukan keputusan dadakan atau hasil kompromi politik, melainkan bagian dari cara gereja mula-mula membaca misteri kehidupan Kristus.
Untuk memahami bagaimana gereja sampai pada tanggal 25 Desember, kita harus menengok apa yang oleh banyak sarjana disebut sebagai teori usia integral atau computus hypothesis. Teori ini lahir dari keyakinan dalam Yudaisme Helenistik dan kekristenan awal bahwa para nabi dan orang saleh wafat pada hari yang sama dengan hari kelahiran atau konsepsi mereka. Baginya, kesempurnaan hidup tampak dalam “lingkaran waktu” yang utuh, yaitu hidup yang dimulai dan berakhir di hari yang sama sebagai tanda anugerah dan pemilihan Allah.
Ketika prinsip ini diterapkan pada Kristus, dasar perhitungannya adalah tanggal wafat-Nya. Injil Yohanes menyebut Yesus wafat pada 14 Nisan, sedangkan ketiga Injil lainnya menunjuk pada 15 Nisan. Pada abad pertama, tanggal-tanggal itu jatuh sekitar akhir Maret dalam kalender Julian. Gereja Barat pada abad ketiga secara umum menerima tanggal 25 Maret sebagai hari wafat Kristus. Maka, menurut cara berpikir waktu itu, Kristus juga dikandung pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 25 Maret. Jika penjelmaan dimulai pada hari itu, maka sembilan bulan kemudian mengarah tepat pada 25 Desember.
Dengan demikian, tanggal kelahiran Yesus bukan ditentukan melalui upaya menelusuri kembali kronologi Injil secara historis, tetapi melalui refleksi teologis mengenai misteri penjelmaan: bahwa Sang Sabda memasuki dunia pada hari yang sama dengan hari Ia kelak menyerahkan nyawa-Nya. Dari sini pula, perayaan Kabar Sukacita (Annuntiatio) pada 25 Maret dan Natal pada 25 Desember menjadi bagian tetap dari perayaan gereja Barat. Sebagaimana McGowan menyatakan, “Keyakinan kuno bahwa para nabi wafat pada hari yang sama dengan kelahiran atau konsepsi mereka diterapkan juga kepada Yesus. Jika Ia wafat pada hari Paskah, maka Ia pun dikandung pada hari Paskah; sembilan bulan kemudian, tibalah akhir Desember.” Bagi kita hari ini, perhitungan seperti ini mungkin terasa asing. Tetapi dalam dunia teologi abad ketiga dan keempat, cara memandang waktu seperti itu terasa wajar, yaitu sebuah cara iman membaca keteraturan Allah dalam sejarah keselamatan.
Simbolisme Kosmis
Ada satu dimensi lain yang membantu kita memahami mengapa gereja pada akhirnya memaknai 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus: simbolisme terang yang menembus kegelapan. Tanggal ini berada persis setelah titik balik matahari musim dingin di belahan bumi utara sekitar 21–22 Desember, yaitu ketika malam mencapai puncak panjangnya dan, perlahan-lahan, siang mulai kembali memanjang. Dalam ritme alam, inilah saat ketika terang mulai mengatasi gelap.
Simbolisme seperti ini sangat akrab bagi pembaca Injil Yohanes. Ia menampilkan Kristus sebagai “terang yang bersinar dalam kegelapan” (Yoh. 1:5), “terang sejati yang menerangi setiap manusia” (Yoh. 1:9), bahkan sumber hidup itu sendiri. Dan Yesus menegaskan, “Akulah terang dunia; barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan” (Yoh. 8:12). Karena itu, tidak mengherankan bila gereja mula-mula melihat keserasian antara ritme alam dan ritme keselamatan: ketika terang mulai bertambah dalam ciptaan, Sang Terang itu sendiri hadir bagi dunia.
Para Bapa Gereja membaca tanda-tanda alam ini bukan sebagai kebetulan, tetapi sebagai panggilan untuk merenungi karya Allah. Bapa Agustinus, misalnya, dalam salah satu khotbah Natalnya, memperhatikan hubungan antara kelahiran Yohanes Pembaptis dan kelahiran Kristus dalam kaitannya dengan perubahan panjang hari. Berdasarkan tradisi liturgis yang menempatkan kelahiran Yohanes pada akhir Juni (ketika siang mulai memendek) dan kelahiran Yesus pada akhir Desember (ketika siang mulai bertambah), Agustinus melihat pola rohani yang indah: Yohanes berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil,” dan alam seakan mengamini kata-kata itu. Setelah Yohanes lahir, siang berangsur berkurang; setelah Kristus lahir, siang semakin bertambah. Bagi Agustinus, ciptaan sedang berkhotbah.
Cara melihat dunia seperti ini adalah ciri khas pemikiran patristik: alam bukan sekadar latar, tetapi tanda yang menunjuk kepada karya Allah yang lebih dalam. Tetapi di sini kita perlu berhati-hati.
Penggunaan simbolisme kosmis ini bukan berarti gereja menyerah pada sinkretisme atau mengambil alih kultus-kultus pagan. Justru sebaliknya, gereja membaca dunia sebagaimana Alkitab mengajarkannya, yaitu “Langit menceritakan kemuliaan Allah” (Mzm. 19:2), dan melalui ciptaan “kekuatan serta keilahian Allah yang tak kelihatan itu dapat dimengerti” (Rm. 1:20). Karena itu, gambaran matahari, terang, dan ritme musim yang muncul dalam khotbah dan tulisan para Bapa bukan bentuk kompromi dengan dunia kafir. Gereja tidak menyalin paganisme; gereja menebus simbol-simbol itu. Seperti dikatakan Duchesne, gereja perdana bukan mengambil alih kebiasaan pagan, tetapi menafsir ulang bahasa budaya yang sudah ada untuk menyatakan Injil. Simbol-simbol kosmis itu diberi makna baru dalam terang Kristus, Sang Terang sejati yang tidak dikalahkan kegelapan.
Ruang Rohani: Anamnesis
Dalam membaca kalender liturgi, kita perlu mengingat bahwa tanggal-tanggal dalam gereja tidak pernah dimaksudkan sebagai rekonstruksi sejarah yang presisi. Gereja tidak sedang membuat kronologi ilmiah, melainkan menata sebuah ruang rohani, yaitu momen-momen rohani yang memungkinkan umat memasuki misteri iman. Paul F. Bradshaw mengingatkan bahwa kita harus membedakan antara apa yang benar-benar terjadi dalam sejarah dan bagaimana gereja memilih untuk merayakannya. Dengan kerangka ini, 25 Desember memperoleh legitimasinya bukan karena kepastian historis, melainkan karena ia telah hidup dalam tradisi gereja sejak abad ketiga.
Jika kita melihatnya dari sudut liturgi dan teologi sakramental, perayaan Natal pada 25 Desember adalah sebuah anamnesis. Ini bukan sekadar mengenang peristiwa dua ribu tahun yang lalu, melainkan menghadirkan kembali misteri inkarnasi secara nyata bagi umat yang merayakannya. Odo Casel menyebut liturgi sebagai partisipasi sejati dalam karya keselamatan Kristus, yaitu suatu misteri ilahi yang melampaui waktu dan selalu baru bagi setiap generasi. Dalam terang itu, perdebatan mengenai ketepatan tanggal kelahiran Yesus menjadi kurang mendesak. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita memasuki misteri itu dengan iman. Karena itu, diskusi mengenai tanggal kelahiran Yesus sebaiknya ditempatkan dalam horizon yang lebih luas. Alkitab ditulis dengan beragam genre dan tidak selalu ditujukan untuk menyuguhkan detail kronologi yang modern sebab rekonstruksi sejarah dunia kuno pun memiliki keterbatasannya sendiri. Tradisi liturgis juga berkembang sebagai cara gereja menafsirkan dan menghayati karya Allah. Maka, usaha untuk membuktikan bahwa Yesus harus lahir pada 25 Desember berdasarkan petunjuk dalam Lukas, meskipun bisa dipahami dalam konteks apologetika, pada akhirnya tidak terlalu kuat secara historis dan mungkin tidak diperlukan secara teologis.
Yang lebih penting adalah memahami mengapa gereja memilih tanggal itu. Ketika gereja merayakan Natal dalam musim ketika malam mencapai titik tergelapnya, gereja sedang memaklumkan terang Kristus yang menembus kegelapan dunia. Ketika tanggal 25 Maret, yaitu hari yang dikaitkan dengan kematian Kristus juga dipahami sebagai hari inkarnasi-Nya, gereja ingin menegaskan satu kesatuan misteri Paskah, yaitu bahwa sejak Ia dikandung, jalan salib sudah menjadi bagian dari kasih-Nya. Dan ketika kelahiran Kristus ditempatkan sejajar dengan penciptaan dunia, gereja sedang menyatakan bahwa di dalam Kristus, Allah memulai kembali seluruh ciptaan.
Dengan demikian, kekayaan simbolisme ini bukan hanya warisan teologi gereja perdana, tetapi juga undangan bagi gereja masa kini untuk merenungkan kembali bahwa kelahiran Yesus bukan sekadar peristiwa sejarah. Natal adalah proklamasi bahwa terang telah datang, bahwa ciptaan baru telah dimulai, dan bahwa dalam Kristus, Allah masuk ke dalam dunia untuk memperbarui hidup kita.
Kesimpulan
Kajian ini menegaskan bahwa tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus tidak dapat dipastikan dan juga tidak dapat disangkal melalui rekonstruksi sejarah berdasarkan petunjuk kronologis dalam Injil. Kita berhadapan dengan kenyataan bahwa Injil tidak menyediakan data yang cukup rinci untuk perhitungan semacam itu, sementara sistem kalender dan dokumentasi pada masa Bait Allah Kedua tidak memungkinkan penyusunan kronologi yang benar-benar dapat diandalkan, termasuk mengenai giliran tugas imam.
Namun ketidakpastian historis ini tidak mengurangi legitimasi teologis dan liturgis tanggal 25 Desember. Jejak tradisi ini tampak jelas sejak abad ketiga, lahir dari refleksi mendalam gereja mengenai misteri Kristus. Gereja perdana memakai prinsip komputasi teologis yang mereka kenal, memaknai keterkaitan antara penciptaan dan inkarnasi, antara konsepsi dan penebusan, serta antara kelahiran Kristus dan simbol terang yang mengatasi kegelapan. Karena itu, penetapan 25 Desember tidak berakar pada adopsi perayaan pagan, melainkan tumbuh dari logika internal iman Kristen itu sendiri.
Dalam terang teologi liturgi masa kini, makna tanggal Natal tidak terletak pada ketepatan sejarahnya, melainkan pada kemampuannya mengantar umat memasuki misteri inkarnasi. Melalui ritme liturgis, gereja menghadirkan kembali karya keselamatan Kristus di tengah umat-Nya. Dengan demikian, 25 Desember berfungsi sebagai ruang rohani, yaitu sebuah momen anamnetis di mana terang Kristus menyapa, menghidupkan, dan menuntun gereja untuk terus berjalan dalam terang-Nya.
Daftar Pustaka
Agustinus dari Hippo. Sermones. Edited by Patrologia Latina 38-39. Paris: J.P. Migne, 1841.
Bradshaw, Paul F. The Search for the Origins of Christian Worship: Sources and Methods for the Study of Early Liturgy. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press, 2002.
Clement dari Alexandria. Stromateis. Translated by John Ferguson. Washington, DC: Catholic University of America Press, 1991.
De Pascha Computus. Edited and translated in Raniero Cantalamessa, Easter in the Early Church: An Anthology of Jewish and Early Christian Texts. Collegeville, MN: Liturgical Press, 1993.
Duchesne, Louis. Christian Worship: Its Origin and Evolution. Translated by M.L. McClure. London: SPCK, 1903.
Fitzmyer, Joseph A. The Gospel According to Luke I–IX: Introduction, Translation, and Notes. Anchor Bible 28. Garden City, NY: Doubleday, 1981.
Hijmans, Steven E. “Sol Invictus, the Winter Solstice, and the Origins of Christmas.” Mouseion 3, no. 3 (2003): 377-398.
———. Sol: The Sun in the Art and Religions of Rome. PhD diss., University of Groningen, 2009.
Hippolytus dari Roma. Commentary on Daniel. Translated by T.C. Schmidt. CreateSpace, 2010.
Josephus, Flavius. Antiquitates Judaicae. Translated by William Whiston. In The Works of Josephus: Complete and Unabridged. Peabody, MA: Hendrickson, 1987.
McGowan, Andrew. “How December 25 Became Christmas.” Biblical Archaeology Review 48, no. 4 (Winter 2022): 26-33, 66.
Meier, John P. A Marginal Jew: Rethinking the Historical Jesus. Vol. 1, The Roots of the Problem and the Person. New York: Doubleday, 1991.
Mishnah. Translated by Herbert Danby. Oxford: Oxford University Press, 1933.
Roll, Susan K. Toward the Origins of Christmas. Kampen: Kok Pharos, 1995.
Talley, Thomas J. The Origins of the Liturgical Year. 2nd ed. Collegeville, MN: Liturgical Press, 1991.
Usener, Hermann. Das Weihnachtsfest. 2nd ed. Bonn: Friedrich Cohen, 1911.
Pdt. Em. Yohanes Bambang Mulyono
Yohanes BM Berteologi Yohanes BM Berteologi