Latest Article
Keselamatan yang Sempurna

Keselamatan yang Sempurna

Agama dan kepercayaan lahir karena membutuhkan keselamatan. Dari lubuk hati yang terdalam setiap umat manusia membutuhkan jaminan keselamatan dalam kehidupan masa kini dan mendatang. Manusia mahluk yang fana, namun sekaligus menyadari dimensinya yang abadi. Tubuh akan mati, tetapi masih ada kelanjutan kehidupan setelah mati. Karena itu keselamatan senantiasa berdimensi 2 waktu, yaitu keselamatan di masa kini yang terbatas oleh kebertubuhan, dan keselamatan di masa mendatang yang tak terbatas oleh kebertubuhan.

Dengan kesadaran akan kebutuhan keselamatan tersebut, problem terbesar umat manusia adalah bagaimana memperoleh keselamatan? Bagaimana keselamatan itu dapat dicapai? Apakah pencapaian keselamatan tersebut terjamin, sehingga manusia dapat selamat dalam kehidupan di masa kini dan mendatang?

Pertanyaan-pertanyaan eksistensial tersebut tidak mudah dijawab. Jawaban-jawaban yang diajukan sering bersifat subjektif dan fakultatif. Sebab di dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih banyak mengandung pandangan, asumsi, logika, dan harapan daripada jaminan keselamatan. Karena itu setiap orang berada dalam ketidakpastian akan keselamatannya. Secara garis besar upaya mencapai keselamatan dari berbagai agama dan kepercayaan di tengah situasi ketidakpastian terdiri dari:

  1. Melakukan perbuatan baik atau kebajikan sebagai tindakan amal untuk memperoleh pahala. 
  2. Meninggalkan kehidupan duniawi dengan askese (bertarak).
  3. Memberikan korban berupa hewan yang dipersembahkan sebagai pengganti atau penebusan atas kesalahan manusia. 

Dengan ketiga model keselamatan tersebut manusia sering berupaya meraih Allah dengan kemampuan, kesalehan, dan kebenarannya. Namun, upaya tersebut terkendala oleh situasi keberdosaan manusia. Secara mendasar manusia telah mengalami kejatuhan. Konsekuensinya, seluruh perbuatan baik atau kebajikan yang dilakukan manusia telah dicemari oleh dosa. Upaya untuk bertarak dengan melepaskan diri dari keinginan atau nafsu duniawi tidak membebaskan manusia dari kodratnya yang berdosa. Tindakan melakukan penebusan dengan memberikan korban hewan tidaklah sepadan secara kodrati. Sebab bagaimana mungkin korban hewan dapat menebus dosa yang dilakukan oleh manusia? 

Keselamatan yang sempurna dapat diwujudkan apabila manusia memiliki seorang pengantara dengan Allah. Sang Pengantara tersebut haruslah benar-benar manusia, benar-benar dengan kualitas orang benar yang tanpa cela, dan benar-benar Allah. Berdasarkan persyaratan tersebut, maka Sang Pengantara tersebut haruslah diri Allah sendiri yang berkenan menjadi manusia. Sang Pengantara tersebut harus memiliki kodrat ilahi dan insani sekaligus. 

Pemahaman teologis tersebut menolak kemungkinan manusia menjadi Allah atau Tuhan. Sebab secara kodrati manusia hanyalah ciptaan, fana, dan berdosa. Namun, di pihak lain pemahaman teologis tersebut membuka ruang iman bahwa Allah dengan kemahakuasaan-Nya dapat menjadi manusia. Allah yang Tak Terbatas dan kekal dalam suatu momen sejarah berkenan menjadi sosok insan yang terbatas dalam wujud seorang manusia. Tindakan Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, yaitu manusia Yesus Kristus adalah untuk keselamatan umat manusia. Surat Ibrani 1:1-2 menyatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” Semula Allah menyatakan diri-Nya melalui para nabi sebagai persiapan karya keselamatan-Nya. Pewahyuan Allah melalui para nabi dinyatakan dengan nubuat dan pewartaan firman-Nya. Tetapi pada puncak rencana keselamatan-Nya, Allah menghadirkan diri-Nya dalam inkarnasi Kristus. Di dalam Kristus, Allah menyatakan keselamatan yang sempurna dan definitif bagi seluruh umat manusia di sepanjang abad. 

Dalam terang karya penebusan Kristus, keselamatan Allah tidak dapat dicapai melalui perbuatan baik atau kebajikan manusia. Setiap orang tanpa kecuali telah jatuh di bawah kuasa dosa (total-depravity). Karena itu firman Tuhan menyatakan, “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin” (Yes. 64:6).  Karena itu kebajikan atau perbuatan baik bukanlah media atau jalan untuk mencapai keselamatan. 

Kebajikan perlu diterangi oleh kebenaran, yaitu penyataan Allah yang telah diwahyukan dalam Alkitab, firman Tuhan.  Melalui firman Tuhan tersebut, kebajikan atau perbuatan baik hanya bermakna apabila sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu setiap orang dipanggil untuk hidup dalam kebenaran Allah yang membebaskan. Kebajikan tanpa kebenaran dari Allah akan menjadi kesia-siaan dan kepalsuan. Perbuatan baik tersebut hanya menyenangkan hati manusia, tetapi tidak berkenan di hadapan Allah. 

Pada saat yang sama, melalui anugerah kebenaran Allah akan memampukan umat untuk menerima keselamatan yang sempurna di dalam dan melalui karya penebusan Kristus. Dengan perkataan lain, anugerah kebenaran yang sesungguhnya senantiasa menerima dan percaya bahwa karya penebusan Kristus sebagai dasar dan awal kehidupan yang baru (2Kor. 5:17). Melalui anugerah keselamatan di dalam penebusan Kristus, umat seharusnya mengalami pertobatan dan pembaruan hidup sehingga meninggalkan pola kehidupan yang lama dan duniawi. 

Buah keselamatan di dalam Kristus diwujudkan dengan komitmen hidup kudus. Di dalam iman kepada Kristus, umat menyatakan penyangkalan diri terhadap keinginan daging sebagai pola hidup yang dasariah. Karena itu keselamatan yang terjadi karena pembenaran (justification) Allah dinyatakan dalam pengudusan (sanctification), yaitu Buah Roh (Gal. 5:22-23). 

Proses kehidupan baru umat percaya mencapai puncaknya melalui relasi yang intim dengan Kristus (deifikasi). Melalui proses deifikasi, setiap umat mengalami “theosis” yaitu pengilahian sebagai anak-anak Allah, sehingga mereka hidup bukan lagi untuk diri mereka sendiri, melainkan Kristus yang hidup di dalam diri mereka (Gal. 2:20).  

SpiritualitasDeskripsiDasar Firman
KebajikanKodrat insani yang telah jatuh di bawah kuasa dosa, sehingga kebajikan atau perbuatan baik selalu melenceng (dosa hamartia)Yes. 64:6
KebenaranPenyataan Allah melalui pemikiran yang transrasional, sehingga mampu memahami dan memberlakukan kehendak AllahYoh. 8:32
KeselamatanInkarnasi dan karya penebusan Kristus yang menganugerahkan kepada umat percaya hidup kekal dengan hidup baru sebagai anak-anak Allah.2Kor. 5:17
KekudusanBuah dari iman kepada Kristus yang dipenuhi oleh Roh Kudus, sehingga secara konsisten menyangkal diri dan meninggalkan keinginan daging atau kecemaran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.2Kor. 7:1
Deifikasi (Theosis)Kondisi spiritualitas dalam persekutuan dengan Kristus secara intim, sehingga secara total hidup dalam seluruh kehendak Allah.2Petr. 1:4

Dari tabel di atas kita dapat melihat 5 elemen spiritualitas yang saling terkait. Di elemen 1 yaitu spiritualitas kebajikan bukan sebagai faktor penentu untuk mencapai keselamatan sebagaimana yang diajarkan oleh Pelagius. Dalam ajarannya, Pelagius menolak dosa asal. Hakikat manusia tidak dipahami mengalami kejatuhan dosa. Karena itu menurut Pelagius manusia tidak membutuhkan anugerah Allah. Manusia mampu membuat pilihan dan keputusan etis untuk hidup benar dengan melakukan perbuatan baik. Gereja pada prinsipnya menolak dan mengutuk pemikiran “pelagianisme” tersebut. Untuk mengatasi kondisi tersebut, beberapa denominasi gereja mengajarkan tentang “semi-pelagianisme” sebagai kompromi antara ajaran “Pelagianisme” dengan pemikiran Bapa Agustinus yang mengajarkan bahwa manusia membutuhkan anugerah Allah. Dalam ajaran “semi-pelagianisme” menyatakan bahwa manusia telah dinodai oleh dosa, namun tidak mengalami “total-depravity” (kejatuhan total). Karena itu manusia dengan kehendak bebasnya mampu memilih hidup benar, barulah anugerah Allah dicurahkan. 

Sebagai gereja Reformasi, kita menolak ajaran “Pelagianisme” dan “Semi-pelagianisme.” Manusia telah mengalami kejatuhan dosa secara total, sehingga tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk benar di hadapan Allah. Kebenaran yang menuntun kepada keselamatan hanya berasal dari penyataan (pewahyuan) Allah. Melalui Roh Kudus, Allah menyingkapkan “kebenaran-Nya” sehingga melayakkan manusia untuk mengenal kehendak-Nya yang menyelamatkan. Kebenaran Allah tersebut bekerja melalui anugerah iman di dalam Kristus. Dengan anugerah iman kepada Kristus, umat mengalami jaminan keselamatan yang sempurna. Mereka ditebus oleh karya penebusan Kristus, yaitu wafat dan kebangkitan-Nya. Karena itu mereka dimampukan untuk hidup benar dalam kekudusan, sehingga mampu menghasilkan Buah Roh (Gal. 5:22-23). 

Melalui hidup baru di dalam Kristus, setiap umat dianugerahkan untuk bersekutu dengan Allah Trinitas. Mereka mengalami “theosis” (deifikasi), sehingga seluruh orientasi dan kepribadian umat dikuduskan dalam kebenaran Allah. Proses “theosis” terjadi saat mereka mengaku percaya dengan mulut dan hati kepada Kristus. Roma 10:9 berkata, “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Dengan relasi intim dengan Kristus, umat percaya akan mengalami keselamatan sampai pada akhirnya. Mereka dimampukan menjadi pemenang. Finishing-well.

Makna “theosis” atau deifikasi bukan dimaksudkan mengubah kodrat manusia menjadi ilahi. Sebagai ciptaan, manusia tidak dapat mengubah kodrat insaninya. Tetapi melalui anugerah dan kuasa Kristus, kodrat manusia yang fana sebagai ciptaan dikuduskan dalam kemuliaan Allah. Manusia diberi anugerah hidup sebagai anak-anak Allah yang mengalami kemuliaan sorgawi. Karena itu makna “theosis” menunjuk pada situasi keselamatan yang sempurna dalam persekutuan dengan Allah Trinitas. Gambaran situasi “theosis” (deifikasi) dipersaksikan oleh kitab Wahyu 21:4, yang berkata, “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” 

Kelima elemen spiritualitas dalam tabel di atas bukan dimaksudkan sebagai tangga rohani yang harus dicapai oleh manusia. Lebih tepat 5 elemen spiritualitas tersebut sebagai prinsip dasar bagaimana umat memahami dimensi keselamatan di dalam karya penebusan Kristus. Prinsip dasar keselamatan adalah semata-mata anugerah Allah yang melayakkan manusia untuk berpartisipasi dalam karya penebusan Kristus. Dengan anugerah Allah tersebut manusia dibuka hatinya kepada kebenaran, sehingga mampu merespons karya penebusan Kristus. Itu sebabnya umat mengalami pembaruan dan pengudusan melalui karya Roh Kudus. Lalu pada akhirnya, manusia mengalami persekutuan yang intim dan personal dengan Allah dalam peristiwa “theosis” (deifikasi). 

Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, maka dapat dinyatakan:

  1. Keselamatan yang sempurna berasal dari anugerah Allah yang telah dinyatakan dalam karya penebusan Kristus. Karya penebusan Kristus merupakan puncak (kulminasi) dari seluruh karya keselamatan Allah. Surat Ibrani 1:1-2 menyatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”
  2. Kristus adalah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh. 14:6), sehingga setiap umat dan agama membutuhkan Kristus. Setiap kebenaran yang diklaim oleh filsafat dan agama atau kepercayaan membutuhkan pengenalan akan kebenaran Kristus, yaitu karya penebusan-Nya. Dengan pengenalan akan Kristus, setiap klaim kebenaran dari filsafat dan berbagai agama dapat menganalisis dan memverifikasi sejauh mana dan seberapa dalam makna kebenaran yang sedang diusung, apakah kebenaran yang berkenan di hadapan Allah atau sebaliknya. 
  3. Otoritas Kristus sebagai Juru-selamat memiliki 2 kodrat, yaitu ilahi dan insani. Karena itu melalui kemanusiaan Kristus, kita menemukan Allah. Dalam keilahian Kristus, umat mengalami pemuliaan (deifikasi) atas eksistensi insaninya. Kodrat ilahi Kristus adalah hakikat-Nya, bukan yang ditambahkan, sehingga dengan kodrat ilahi Kristus umat dilayakkan untuk mengalami persekutuan dengan Allah. 
  4. Di dalam penebusan Kristus, umat menerima potensi hidup benar yang harus diaktualisasikan terus-menerus sampai pada akhirnya. Karena itu makna “keselamatan” bukan sekadar suatu potensi, tetapi juga aktualisasi. Anugerah keselamatan di dalam Kristus tidak berhenti pada suatu sikap yang pasif, tetapi proaktif. Anugerah Allah yang tidak direspons sebagaimana adanya akan menjadi anugerah yang murah (cheap-grace).
  5. Kemampuan aktualisasi ditentukan oleh seberapa besar sikap iman umat percaya untuk terus terbuka dimurnikan oleh Roh Kudus. Karena itu makna “keselamatan” bersifat progresif dalam kontinuitas untuk menghasilkan buah roh. Keselamatan senantiasa mengandung 2 dimensi yang tidak terpisahkan, yaitu pembenaran (justification) karena iman kepada Kristus, dan pengudusan (sanctification) oleh karya Roh Kudus sehingga menghasilkan buah kebenaran. 
  6. Umat yang belum memperoleh kesempatan untuk mengenal Kristus ditentukan oleh sejauh mana anugerah Allah dinyatakan dan juga kemahatahuan-Nya yang sempurna dalam menilai kualitas suara hati (sunaidesis) mereka. 
  7. Dalam kehidupan sehari-hari buah keselamatan senantiasa diwujudkan dalam kemampuan untuk mengasihi, mengampuni, penuh kemurahan, berkurban, dan menguasai diri dalam segala hal. Sebab barangsiapa yang menyatakan mengasihi Allah, tetapi membenci saudaranya adalah seorang pendusta. Firman Tuhan, “Jikalau seorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1Yoh. 4:20).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono