Latest Article
Kolaborasi yang Empatis (Filipi 2:1-4)

Kolaborasi yang Empatis (Filipi 2:1-4)

“Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih,
satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia.
Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama
dari pada dirinya sendiri” (Flp. 2:2-3).

Saat ini salah satu yang mendasar dalam transformasi dunia di setiap aspek kehidupan ditentukan oleh seberapa besar setiap orang mampu bekerja-sama. Apabila ingin berhasil dan bermakna, setiap orang harus mampu berkolaborasi. Kita berada di era interdependensi yang saling tergantung dan saling melengkapi. Walau seseorang memiliki kecerdasan dan keahlian tinggi tetapi egoistis dan tidak mampu sinergi dengan sesama, ia akan gagal. Dalam bukunya yang berjudul, “I’m OK, and You’re OK” menjelaskan 4 jenis kepribadian seseorang, yaitu:

  1. I’m not OK – You’re OK: Sikap seseorang yang memulai dengan perasaan diri serba kurang (negatif) dengan menganggap orang lain lebih berhasil dan beruntung.
  2. I’m OK – You’re not OK: Sikap seseorang yang menganggap diri lebih unggul dan pandai seraya memandang orang lain lebih rendah (inferior), dan bodoh.
  3. I’m not OK – You’re not OK: Sikap seseorang yang menganggap dirinya serba sial dan malang, dan juga memandang orang lain dengan perspektif yang sama. Ia menyikapi kehidupan serba muram, negatif, dan buruk.
  4. I’m OK – You’re OK: Sikap seseorang yang memandang diri dan orang lain secara positif dengan keterbatasan masing-masing, sehingga berupaya membangun kehidupan yang lebih baik untuk kesejahteraan bersama. 

Jenis kepribadian kategori 1-3 akan gagal membangun hubungan kerjasama. Sebaliknya kategori ke-4 akan memampukan setiap orang bekerja sama. Sebab dengan kategori ke-4, “I’m OK – You’re OK” semua pihak mampu menerima diri dan orang lain sebagai individu yang berharga dan setara. Prinsip mampu sinergi dengan orang lain apabila seseorang mampu memandang diri sendiri (self-image) secara positif, dan orang lain sebagai pribadi yang setara. Cara pandang akan diri sendiri akan menentukan cara pandang kita kepada sesama. Karena itu cara pandang yang positif kepada diri sendiri sangat menentukan sehingga tidak terbuka celah untuk menilai kelemahan dan keterbatasan orang lain. Gambar diri (self-image) yang positif, seharusnya berbanding lurus dengan menyikapi “other-image” dari sesama. Bandingkan dengan kategori ke-2, I’m OK – You’re not OK: ia selalu memandang diri serba unggul dan beruntung, tetapi kontrasnya ia memandang orang lain sebaliknya. 

Kategori ke-4, “I’m OK -You’re OK” hanya terjadi apabila kita memiliki gambar diri (self-image) yang dewasa. Menurut Thomas A. Harris, setiap orang memiliki 3 posisi psikologis dasar yang mempengaruhi cara mereka berkomunikasi, yaitu: “Parent” (Orang Tua), “Adult” (Dewasa), dan “Child” (Anak).

  1. Parent (Orang Tua): Posisi ini berpusat pada nilai-nilai dan norma yang dipelajari dari orang tua atau pihak berwenang lainnya. Komunikasi yang muncul dari posisi ini sering bersifat menilai, mengatur, menghakimi, atau memberi perintah. Contohnya, seseorang yang berkomunikasi dari posisi “Parent” mungkin memberikan saran atau kritik yang terdengar seperti perintah atau instruksi. Dalam situasi tertentu ia akan mudah menghakimi orang lain. 
  2. Child (Anak): Posisi ini melibatkan reaksi emosional, spontanitas, dan perilaku yang mungkin dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil. Komunikasi dari posisi ini sering mencerminkan keinginan, kebutuhan, atau perasaan yang mungkin tidak selalu rasional atau terkendali. Ini bisa berupa ekspresi kemarahan, kebahagiaan, atau kebutuhan yang tidak diungkapkan dengan cara yang dewasa.
  3. Adult (Dewasa): Posisi ini mengedepankan fakta, logika, dan penilaian yang rasional. Saat seseorang berkomunikasi dari posisi “Adult,” mereka cenderung berbicara dengan cara yang objektif dan berfokus pada situasi yang sedang berlangsung saat ini, tanpa dipengaruhi oleh emosi atau nilai-nilai masa lalu. Komunikasi dari posisi ini memfasilitasi penyelesaian masalah dengan cara yang efektif dan pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang tepat.

Apabila seseorang didominasi oleh posisi “orang-tua” ia akan cenderung berkomunikasi dengan nada memerintah dan instruksi. Ia menganggap diri sebagai pribadi yang memiliki kuasa sehingga menghendaki orang lain taat dan patuh kepadanya. Kecenderungan yang lain adalah ia mudah menilai dan menghakimi orang lain berdasarkan persepsinya sendiri. Sebaliknya apabila seseorang didominiasi oleh posisi “anak” akan cenderung bersikap reaktif dan emosional. Ia bersikap terlalu sensitif, sehingga mudah marah dan tersinggung. Kedua posisi psikologis tersebut menghambat kepribadian dan komunikasi yang sehat. Kepribadian “orang tua” menyebabkan seseorang merasa diri lebih tahu, berpengalaman, dan ahli. Sedang kepribadian “anak” cenderung “insecure” sehingga mudah merasa terancam. Akibatnya dalam kepribadian “anak” seseorang mudah bersikap impulsif. Kondisi semakin rumit apabila seseorang memiliki campuran dari posisi psikologis “orang tua” dan “anak.” Mereka merasa diri lebih unggul sehingga cenderung memerintah dan menghakimi, namun sensitif dan mudah marah apabila orang lain tidak mengikuti perintahnya.

Tidaklah demikian posisi psikologis “dewasa” dalam teori Thomas A. Harris. Dengan posisi “dewasa” seseorang akan lebih mampu memahami secara empatis kondisi orang lain. Mereka mampu berpikir lebih rasional, objektif, dan komprehensif. Karena itu dengan posisi “dewasa” seseorang mampu melakukan kolaborasi dengan orang-orang di sekitarnya. Perbedaan latar-belakang tidak menghalangi seseorang dengan posisi psikologis “dewasa” untuk bekerjasama sebagai tim kerja yang solid walau mereka memiliki latar-belakang yang berbeda. Sebab mereka mengembangkan komunikasi yang bersifat komplementer.
Prinsip dari komunikasi yang komplementer adalah respons yang diberikan harus sesuai dan relevan dengan stimulus atau input yang diterima, sehingga interaksi dapat berjalan dengan efektif dan harmonis. Setiap pihak saling melengkapi, mengisi, dan menguatkan. Dengan kata lain, kemampuan kolaborasi dapat terwujud apabila setiap pihak yang berbeda mengalami “chemistry” yang sama sehingga mampu satu hati mengerjakan tugas secara optimal berdasarkan peran dan tanggungjawab masing-masing. 

Pribadi dengan posisi “dewasa” senantiasa memiliki ketulusan dalam berkomunikasi. Sebaliknya pribadi dengan posisi “tidak dewasa” akan terjebak dalam “game” (permainan) psikologis. Menurut Erick Berne, perilaku “game” psikologis terjadi dalam interaksi sosial karena faktor sering tidak disadari namun dilakukan berulang-ulang. Dalam “game” psikologis salah satu pihak mengirim “stimulus” (rangsangan) berupa pesan yang akan memicu respons dari pihak lain, dan dalam tahap selanjutnya menghasilkan transaksi yang berakhir dengan konflik atau ketidakpuasan. Dalam konteks ini, orang-orang yang terlibat dalam “game” psikologis memiliki motivasi tersembunyi yang tidak diungkapkan secara eksplisit. Contoh:

  • Game: “Ya, tetapi ….” (Ia minta saran, tetapi selalu menolak setiap ide/usulan), 
  • “Saya hanya berupaya membantu” (memberi bantuan yang tidak diminta, lalu tersinggung apabila ditolak), 
  • “menciptakan konflik agar dapat menghindari tugas/tanggungjawab.” 
  • Kick Me: Individu mungkin secara tidak sadar bertindak dengan cara yang membuat mereka disalahkan atau diperlakukan buruk, sehingga mereka mendapatkan penguatan negatif atau perhatian dari orang lain.
  • Rescue: Seseorang mungkin berperan sebagai penyelamat, membantu orang lain dengan cara yang pada akhirnya memperkuat ketergantungan dan membuat pihak lain merasa tidak mampu.

Kolaborasi akan gagal apabila di dalamnya mengandung “game” psikologis. Kondisi tersebut akan menyebabkan hilangnya kepercayaan dari anggota tim, menghambat komunikasi yang terbuka dan jujur, menciptakan konflik yang tidak perlu, dan menurunkan produktivitas serta efektivitas tim dalam mencapai tujuan bersama. Di balik perilaku “game” psikologis sebenarnya orang-orang yang terlibat mengejar kebutuhan atau tujuan emosional tertentu, misalnya: pengakuan, kekuasaan, dan rasa aman. Game psikologis biasanya berakhir dengan pola hasil yang dapat diprediksi, seperti rasa sakit emosional, frustrasi, atau ketidakpuasan, meskipun individu yang terlibat mungkin tidak menyadarinya.
Sebaliknya sikap kolaboratif yang empatis lebih menggunakan prinsip “kontrak” dalam interaksi sosial daripada “game” psikologis. Arti “kontrak” dalam interaksi sosial adalah kesepakatan eksplisit dengan para pihak yang terlibat mengenai apa yang diharapkan, dan cara pencapaian yang akan ditempuh.

Dengan metode “kontrak” dalam interaksi sosial semua pihak akan memiliki pemahaman yang sama, dan harapan yang jelas tentang peran, tanggung jawab, dan hasil yang diinginkan. Sejak awal mereka tidak memiliki motivasi yang tersembunyi, tetapi terbuka. Secara rohani, mereka adalah para pribadi yang telah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga tidak memanfaatkan atau memanipulasi interaksi sosial untuk mengejar kekuasaan, pengakuan, dan rasa aman. Dengan demikian, orang-orang yang bekerja sama dengan mereka tidak merasa dimanfaatkan atau dijadikan sekadar objek. Sebaliknya orang-orang yang bekerja sama dengan mereka merasa dihargai, diberi ruang yang setara, dan mengekspresikan diri mereka secara otentik. 

Dalam kolaborasi yang empatik, setiap pihak yang terlibat akan saling memberikan umpan balik yang konstruktif. Makna “umpan balik konstruktif” adalah cara memberikan dan menerima masukan yang dirancang untuk membantu seseorang memperbaiki diri atau kinerjanya dengan cara yang positif dan produktif. Prinsip dasar dari “umpan balik konstruktif” adalah mendukung perkembangan kualitatif seseorang sehingga jauh dari sikap menyalahkan atau merendahkan. 

Umpan balik konstruktif adalah cara memberikan dan menerima masukan yang dirancang untuk membantu seseorang memperbaiki diri atau kinerjanya dengan cara yang positif dan produktif. Tujuan dari umpan balik konstruktif adalah untuk mendukung perkembangan dan perbaikan, bukan untuk menyalahkan atau merendahkan. Beberapa contoh pernyataan umpan balik konstruktif, yaitu:

  • Fokus pada Perilaku Spesifik: Alih-alih memberikan umpan balik yang bersifat umum atau menilai kepribadian seseorang, umpan balik konstruktif menyoroti perilaku tertentu yang dapat diperbaiki. Misalnya, daripada mengatakan “Kamu selalu terlambat,” lebih baik mengatakan, “Saya perhatikan kamu sering datang terlambat ke rapat pagi.”
  • Hindari Kritik Personal: Umpan balik harus memisahkan perilaku dari karakter atau kepribadian seseorang. Misalnya, mengatakan “Pekerjaanmu di laporan ini kurang detail” lebih baik daripada “Kamu tidak teliti dan malas.”
  • Berikan Contoh dan Bukti: Memberikan contoh konkret dari situasi atau perilaku yang dimaksud akan membantu penerima umpan balik untuk memahami dengan jelas apa yang perlu diperbaiki. Contoh membuat umpan balik lebih jelas dan bisa ditindaklanjuti.
  • Saran untuk Perbaikan: Umpan balik konstruktif tidak hanya berhenti pada penilaian atau kritik, tetapi juga memberikan saran atau solusi yang bisa diterapkan untuk memperbaiki situasi. Misalnya, “Mungkin kamu bisa mencoba menyusun jadwal harian untuk memastikan kamu tidak terlambat.”
  • Sikap Positif dan Empatik: Umpan balik harus disampaikan dengan sikap yang mendukung dan empatik. Mengungkapkan bahwa niat kita adalah untuk membantu dan bukan untuk menjatuhkan akan membuat penerima umpan balik lebih terbuka dan menerima.
  • Waktu yang Tepat: Memberikan umpan balik pada waktu yang tepat juga penting. Umpan balik sebaiknya diberikan segera setelah perilaku yang ingin diperbaiki terjadi, namun dengan cara yang tidak memalukan atau menekan penerima.
  • Mendengarkan Balasan: Umpan balik konstruktif juga melibatkan mendengarkan tanggapan dari orang yang menerima umpan balik. Ini membantu untuk menciptakan dialog dua arah dan memungkinkan pemahaman yang lebih baik.

Kolaborasi yang empatis bukan hanya keharusan untuk mencapai keberhasilan dan hidup yang bermakna, tetapi juga suatu mandat ilahi bagi setiap umat percaya. Sebagai mandat ilahi, panggilan untuk berkolaborasi yang empatis kita bersama-sama membangun dunia yang lebih ramah, saling menguatkan, dan melengkapi. Setiap umat dipanggil untuk sehati sepikir dengan mengutamakan kepentingan bersama sebagai komunitas. Firman Tuhan berkata, “Karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Flp. 2:2-3). Apabila setiap anggota bersedia saling memberi umpan balik konstruktif, pastilah kolaborasi yang empatis akan  terwujud. Karena itu kita tidak lagi dikuasai oleh motif-motif yang tersembunyi sehingga menggunakan “game” psikologis. Dalam konteks tersebut, kita dapat mengalami makna “I’m OK – You’re OK.” Sebab di dalam kasih Kristus, kita telah diperdamaikan dengan Allah, sesama, dan diri sendiri.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono