Al Quran sebagai rujukan iman dan kebenaran bagi umat Muslim menyebut Yesus dengan beberapa gelar: Ibni Maryam (anak Maryam),Almasih (sang Mesias), Abid (hamba), nabi, rasul, Kalimatullah (Firman Allah), dan Ruh-Kalimatullah (Roh Allah). Al Quran juga mengakui kenaikan Yesus, tetapi tanpa mengalami kematian di kayu salib. Tetapi semua gelar yang indah tersebut pada hakikatnya tetap dilandasi sikap penolakan Al Quran bahwa Yesus adalah Anak Allah (S. 17:111). Yesus, atau Isa Almasih hanyalah mahluk biasa seperti Adam (S. 3:59). Ia hanya sekedar ciptaan (S. 5:17).
Kedudukan Isa sama dengan para nabi sebelumnya (S. 2:130). Kedatangan Isa adalah untuk mempersiapkan kedatangan Muhammad (S. 61:6). Upaya umat Kristen berdasarkan Alkitab akan ditolak, karena bagi umat Muslim Alkitab telah diubah dan dipalsukan. Beda dengan Al Quran, sebab dipercaya oleh umat Muslim sebagai kitab wahyu terakhir dari Allah. Setiap upaya menjelaskan kristologi alkitabiah sering gagal sebab umat Muslim menganggap bahwa umat Kristen telah meninggikan Isa menjadi Allah. Namun di pihak lain, umat Muslim telah meninggikan Muhammad sedemikian rupa sehingga ia bersifat ilahi. Dalam konteks demikian, bagaimanakah gereja memberitakan Kristus di tengah-tengah konteks Islam? Strategi pertama adalah gereja menghindar percakapan tentang Kristus, dengan fokus kepada Allah saja. Sikap yang demikian merelatifkan esensi iman Kristen bahwa manusia membutuhkan Penyelamat. Strategi kedua adalah menemukan kembali kristologi alkitabiah, yaitu menafsikan Kristus dari Alkitab dan bukan dari bungkus filsafat Yunani dan pendapat dari para bapa gereja selama berabad-abad. Lalu hasilnya hasil tafsiran tersebut diungkapan dalam bentuk kebudayaan, keagamaan dan sosial umat Muslim.
Dua esensi utama bagi umat Muslim adalah keesaan Allah (tauhid), dan keagungan Allah (Allahu Akbar). Topik keesaan Allah dalam hubungannya dengan Isa, yaitu Yesus dipahami sebagai wujud penyataan Allah seperti hubungan Allah dengan “Loho Mahfooz” (loh yang kekal). Isa merupakan “bagian dalam” dari diri Allah yang mengambil wujud insani. Makna gelar Isa sebagai Anak Allah bukan untuk menunjuk kepada status-Nya secara biologis dan jasmaniah, tetapi sebagai suatu kiasan. Isa sang Kalimatullah menyatu dengan Allah. Selain itu Quran menyatakan bahwa Isa dibandingkan dengan Adam (S. 3:45). Adam pertama diciptakan dari tanah, sedang Adam kedua yaitu Isa diciptakan melalui Kalimatullah (Firman Allah). Manusia hidup dalam dua tatanan penciptaan, yaitu antara “Adam” dan “Isa”. Jadi melalui Isa, sang Kalimatullah umat manusia dapat dimampukan untuk melakukan Syariat Allah. Inilah tanda kebesaran Allah. Lalu kebesaran Allah juga tampak dalam tindakan Allah yang membangkitkan Isa dari kematian.
Metode kristologi dari Alexander J. Malik pada prinsipnya berpijak pada upaya membangun kristologi secara alkitabiah untuk menjelaskan Kristus di tengah-tengah konteks umat Muslim. Dengan metode tersebut, Malik mengajak umat Kristen untuk setia kepada teks Alkitab, dan juga mendorong umat Islam memahami Alkitab. Tetapi apakah pemahaman kita tentang teks Alkitab dapat dilepaskan dari pandangan tradisi dan para bapa gereja? Malik menganggap bahwa gereja tak perlu memberi perhatian kepada pandangan para bapa gereja tentang Kristus untuk memberitakan Kristus di tengah-tengah konteks Islam (hal. 130). Namun benarkah kita dapat menafsirkan Alkitab secara “obyektif” tanpa pengaruh dari pemahaman yang diwariskan? Pemahaman tradisi dan pandangan para bapa gereja perlu dihargai dan ditempatkan dalam terang penafsiran (eksegese) Alkitab.
Adapun pola pendekatan yang saya usulkan adalah mengajak umat Islam untuk memahami gelar-gelar Isa, misalnya: Isa sebagaiAlmasih (sang Mesias), Kalimatullah (Firman Allah), dan Ruh-Kalimatullah (Roh Allah). Bila umat Islam mampu untuk menjelaskan makna Yesus selaku sang Mesias, Firman Allah, dan Roh Allah – maka mereka akan menemukan kekayaan teologis di dalam makna gelar-gelar Yesus tersebut. Kekayaan teologis tentang Isa tersebut akan memampukan umat Islam untuk menemukan Kristus yang dipersaksikan oleh Alkitab. Jadi lebih baik umat Islam diajak untuk memahami secara kritis setiap ungkapan dan istilah yang menyangkut gelar Yesus di dalam Al Quran dari pada gemar mengkritisi atau menolak Alkitab yang belum dikenal dengan baik.
Sumber: Malik, Alexander J. Mengakui Kristus dalam Konteks Islam (hal. 123-136)
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono