Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya, “Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang
engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh
dengan Roh Kudus” (Kis. 9:17).
Kehadiran kekristenan tidak akan mengusik jikalau landasan imannya bukan nama Yesus. Para pemimpin agama Yudaisme dan Sanhedrin tidak akan terganggu, jikalau iman Kristen tidak mengakui ke-Tuhan-an dan ke-Mesias-an Yesus. Yudaisme dan pemimpin Sanhedrin tidak akan mengerahkan seluruh daya untuk menghancurkan iman Kristen, jikalau prinsip ajaran iman Kristen sekadar mengaku Yesus sebagai salah satu dari nabi yang diutus oleh Allah. Umat Israel dan pemimpin agama Yahudi mengakui kebesaran dan kuasa Yesus, tetapi bukan sebagai Anak Allah. Namun, mereka menganggap kekristenan lebih dari sekadar sekte. Mereka menganggap nama Yesus sebagai perusak keesaan YHWH (Adonai). Sebab Yesus dari Nazaret menyebut diri-Nya satu dengan Allah, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:30). Karena itu para pemimpin Sanhedrin menganggap pernyataan dan pengakuan Yesus yang esa dengan YHWH sebagai penghujatan. Dalam Matius 26:65, Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata, ”Ia menghujat Allah. Untuk apa kita perlu saksi lagi? Sekarang telah kamu dengar hujat-Nya.” Sebab dalam Matius 26:64, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” Yesus menegaskan bahwa mereka kelak akan menyaksikan bahwa Ia duduk di sebelah kanan Allah Yang Mahakuasa. Ia kelak akan datang sebagai Raja dan Hakim dalam kemuliaan dengan awan-awan di langit.
Saulus, seorang Ahli Taurat dari suku Benyamin adalah salah seorang yang menganggap Yesus dan seluruh pengikut-Nya sebagai penghujat Allah. Didorong oleh sikap fanatisme, kebencian, dan keinginannya untuk menghancurkan seluruh kekristenan, Saulus menghadap Imam Besar. Ia minta surat kuasa dari Imam Besar agar memperoleh hak menangkap, menghukum, dan membunuh setiap orang Kristen yang berhasil ditangkapnya. Sebagai seorang intelektual Yudaisme, Saulus memiliki alasan teologis yang kuat bahwa ajaran Yesus berbahaya bagi kelangsungan agama Yahudi yang mengimani YHWH adalah esa. Karena itu dengan “surat kuasa” yang diperoleh dari Imam Besar menyatakan bahwa Saulus sebagai kepanjangan tangan langsung dari Imam Besar. Dengan surat kuasa itu Saulus memiliki wewenang penuh dari Imam Besar untuk mengeksekusi setiap orang Kristen yang dianggap berbahaya. Dampaknya cukup banyak orang Kristen yang berhasil ia tangkap, aniaya, dan eksekusi. Dalam Kisah Para Rasul 8:1 mempersaksikan Saulus menyetujui pembunuhan kepada Stefanus. Dengan surat kuasa dari Imam Besar, Saulus menginginkan semakin banyak orang Kristen yang dibunuh seperti Stefanus. Dalam Kisah Para Rasul 8:3 menyatakan, “Tetapi Saulus berusaha membinasakan jemaat itu dan ia memasuki rumah demi rumah dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara.” Saulus dan Sanhedrin melihat kedirian dan ajaran Yesus dengan cara pandang yang sempit.
Namun, peristiwa di Damsyik menjadi titik balik dari kehidupan Saulus. Seluruh rencana dan upaya Saulus untuk menangkap dan membunuh sebanyak mungkin pemimpin atau umat Kristen berubah secara drastis. Dalam Kisah Para Rasul 9:3 menyatakan, “Dalam perjalanannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia.” Pertanyaannya adalah, “Apakah pengalaman Saulus di Damsyik tersebut sekadar suatu ilusi psikologis dari seorang yang sedang terbelenggu oleh kebencian?” Apakah kebencian yang dialami oleh Saulus berubah menjadi perasaan bersalah, karena tiba-tiba ia menyadari kekerasan yang telah dilakukan? Dalam kemarahan yang meledak-ledak ia tiba pada kesadaran dirinya telah melangkah terlalu jauh sehingga timbul perasaan bersalah? Ataukah penglihatan di Damsyik sebagai peristiwa yang supranatural? Jika demikian, apa artinya maksud pengalaman berupa cahaya memancar dari langit mengelilingi dia?
Apabila pengalaman Saulus di Damsyik sekadar fenomena psikologis, tentunya makna pertobatan Saulus sekadar kompensasi dari perasaan bersalah (guilty feelings). Dalam Kisah Para Rasul 9:7 menyatakan, “Maka termangu-mangulah teman-temannya seperjalanan, karena mereka memang mendengar suara itu, tetapi tidak melihat seorang jugapun.” Teman-teman yang mendampingi perjalanan Saulus ternyata mendengar suara Yesus dalam cahaya yang memancar dari langit, tetapi mereka tidak dapat melihat secara inderawi. Peristiwa penampakan yang dialami oleh Saulus di Damsyik bukanlah kompensasi psikologis, tetapi pengalaman supranatural. Ananias dan Barnabas mengkonfirmasi penampakan Yesus kepada Saulus (Kis. 9:17). Barnabas juga yang menyampaikan kepada para rasul bagaimana Kristus menampakkan diri-Nya kepada Saulus di Damsyik (Kis. 9:27). Dalam surat 1 Korintus 9:1, Saulus yang kemudian berubah menjadi rasul Paulus berkata, “Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku dalam Tuhan?” Rasul Paulus menegaskan bahwa ia memang melihat Kristus dalam kemuliaan-Nya selaku Anak Allah. Penegasan rasul Paulus tersebut diulang beberapa kali. Dalam surat 1 Korintus 15:8, rasul Paulus berkata, “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya.”
Makna “cahaya memancar dari langit mengelilingi Saulus” yang disertai oleh suara Yesus menegaskan bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh ilahi. Ia adalah Anak Allah dan Mesias yang sehakikat dengan Allah. Pemahaman YHWH sebagai Elohim (Allah) tidak bertentangan dengan keesaan-Nya. Sebaliknya makna nama “Elohim” menegaskan bahwa dalam keesaan-Nya Allah memiliki kejamakan dalam diri-Nya. Apabila Allah itu hanya satu secara bilangan (tunggal), Ia tidak disebut sebagai “Elohim” tetapi “El” atau “Eloah” saja. Makna kata “Elohim” (akhiran “im”) menunjuk pada pluralisme dalam kedirian Allah yang esa. Dalam “Elohim” mengandung 3 pribadi ilahi, yaitu: YHWH (Adonai), Dabar Adonai, Ruakh Elohim. Kedirian Yesus Kristus adalah Dabar Adonai (Firman TUHAN), dan Ruakh Elohim adalah Roh Kudus Allah. Karena itu gereja mengimani bahwa Allah yang esa memiliki 3 pribadi yang saling mendiami, yaitu: Bapa-Anak-Roh Kudus. Makna “3 pribadi” bukan 3 Allah. Sebaliknya 1 Allah dengan 3 pribadi. Tepatnya: “1 Allah dalam 3 pribadi dalam Bapa-Anak-Roh Kudus.” Di pihak lain, pribadi Bapa tidak identik dengan pribadi Anak dan Roh Kudus. Ketiga-Nya satu hakikat ke-Allah-an yang tidak terpisahkan sejak kekal (opera trinitatis ad extra indivisa sunt).
Bagi Saulus yang mengalami peristiwa teofani Allah di Damsyik menyadarkan bahwa Yesus Kristus yang dia benci, sesungguhnya adalah Sang Firman yang sehakikat dengan Allah dan Roh Kudus. Karena itu perubahan dan pembaruan yang ia alami karena penampakan Kristus di Damsyik dihayati sebagai peristiwa kasih-karunia Allah sendiri. Dalam surat 1 Korintus 15:10, rasul Paulus berkata, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” Pertobatannya dari seorang yang membenci Kristus, berbalik menjadi pribadi yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi Kristus. Pembaruan hidup rasul Paulus didasarkan pada ucapan syukur atas kasih-karunia Allah yang telah dinyatakan dalam dirinya. Esensi pertobatannya bukan sekadar perubahan dari pembenci menjadi pengabdi, tetapi utamanya bagaimana wawasan dan pandangan hidupnya berubah total. Saulus melihat kebenaran baru, yaitu Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. Ia tidak lagi memahami Yesus selaku penghujat Allah, sebaliknya Ia memahami Ke-Allah-an Yesus sebagai Sang Firman Allah.
Setelah penampakan Yesus di Damsyik, mata Saulus menjadi buta. Dalam Kisah Para Rasul 9:8 menyatakan, “Saulus bangun dan berdiri, lalu membuka matanya, tetapi ia tidak dapat melihat apa-apa; mereka harus menuntun dia masuk ke Damsyik.” Situasi yang dialami oleh Saulus menunjukkan bahwa peristiwa yang telah dialaminya bukan sekadar ilusi atau kompensasi psikologis. Saulus dibutakan matanya oleh penampakan Yesus di Damsyik. Apakah cahaya dari langit yang begitu menyilaukan sehingga kedua matanya menjadi buta? Jika ia buta secara permanen akibat cahaya yang menyilaukan, tentunya tidak dapat disembuhkan. Tetapi saat ia didoakan oleh Ananias, kedua matanya yang buta selama 3 hari segera pulih, ia dapat melihat kembali. Dalam Kisah Para Rasul 9:18 menyatakan, “Seketika itu juga seolah-olah selaput gugur dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi. Ia bangun lalu dibaptis.” Kebutaan mata Saulus terjadi karena tertutup oleh selaput, dan saat ia didoakan selaput yang menutupinya terlepas. Saulus kini dapat melihat realitas kehidupan dengan pandangan yang baru. Paradigma atau mindset yang dimiliki Saulus berubah secara total. Dalam Kisah Para Rasul 9:17 secara ekplisit menyatakan bahwa Saulus sejak itu dipulihkan matanya sehingga dapat melihat. Seluruh hatinya dipenuhi oleh Roh Kudus.
Dengan terang Roh Kudus, Saulus menyadari bahwa umat Israel khususnya para pemimpin agama Yudaisme dan Sanhedrin telah salah memahami peristiwa inkarnasi Sang Firman dalam diri Yesus. Mata hati atau batin mereka masih tertutup oleh selubung, sehingga tidak mampu melihat penyataan Allah dalam diri Yesus. Dalam 2 Korintus 3:14, rasul Paulus menyatakan, “Tetapi pikiran mereka telah menjadi tumpul, sebab sampai pada hari ini selubung itu masih tetap menyelubungi mereka, jika mereka membaca perjanjian lama itu tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya.” Rahasia ke-Mesias-an Yesus selaku Anak Allah akan disingkapkan saat selubung “kebodohan” dan ketegaran hati mereka diperbarui oleh kuasa Roh Kudus. Makna “pertobatan” bukan sekadar berubah dari seorang penganiaya dan pembunuh jemaat menjadi seorang yang anggota jemaat. Namun, utamanya bagaimana esensi pembaruan hidup yang dialami sehingga ia mengalami perubahan mindset. Tanpa perubahan pola pikir, tidak akan terjadi pertobatan. Peristiwa yang dialami hanyalah sekadar keputusan pindah agama (convert), namun tidak mengalami pembaruan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita jumpai orang-orang yang bersedia menderita karena nama agama dengan melakukan kekerasan dan penganiayaan kepada orang yang berbeda keyakinan. Mereka menganggap dirinya melakukan kebenaran. Padahal sesungguhnya mereka terbelenggu oleh pembenaran diri dan fanatisme yang dangkal. Apabila mereka menderita, penderitaan mereka sama sekali tidak bermakna. Sebab penderitaan mereka juga diikuti dengan penderitaan orang-orang yang mereka aniaya. Semakin giat mereka menganiaya orang lain, semakin tertutup kemanusiaan mereka. Walau mereka ingin menegakkan kebenaran, spiritualitas mereka semakin menjauhkan diri dari kebenaran yang hakiki. Walau seakan-akan mereka sedang mengejar dan membela nama Allah, namun sesungguhnya mereka menjadi musuh Allah dan kebenaran. Kita tidak dapat membayangkan sikap pembenaran diri tersebut menjadi sistem/pola kehidupan komunitas mayoritas. Orang-orang tersebut menganggap dirinya berhikmat, padahal sesungguhnya sedang menghidupi kesesatan. Kondisi itulah yang pernah dilakukan dan dihayati oleh Saulus. Itu sebabnya Saulus dengan penuh semangat menangkap dan menganiaya umat yang percaya kepada Kristus.
Dari perspektif iman Kristen, orang-orang yang menganiaya jemaat justru dianggap sebagai orang-orang yang membutuhkan kemurahan dan belas-kasihan Allah. Respons umat Kristen saat mereka dianiaya bukan membenci, tetapi mendoakan dan mengasihi para musuh. Sikap umat Kristen bukan karena mereka merasa tidak berdaya dan lemah. Sebaliknya semakin para pembenci kekristenan melakukan kekerasan dan penindasan sebenarnya sedang memamerkan kelemahan dan ketidakberdayaan mereka. Karena itu tidak mengherankan semakin umat Kristen dibabat, mereka semakin merambat. Semakin mereka ditekan dan dimusuhi, semakin membuktikan bahwa para musuh itu jauh dari kebenaran. Orang-orang yang memusuhi umat Kristen ini belum mengalami keselamatan Allah. Namun, apabila waktunya tiba dan anugerah keselamatan Allah dinyatakan, mata hati mereka akan diperbarui. Mereka akan dimampukan melihat kebenaran Kristus sebagai kebenaran yang membebaskan. Selaput mata batin mereka akan disingkirkan, sehingga dapat melihat secara baru.
Orang-orang dunia sering membanggakan diri apabila banyak orang pindah ke agama mereka. Tanpa pembaruan batin sebenarnya fenomena pindah agama hanya memindahkan karakter buruk seseorang dari suatu komunitas ke dalam komunitas lain. Selaku gereja kita menghayati bahwa yang esensial dibutuhkan bukanlah seberapa banyak orang yang pindah agama dari agama tertentu ke agama Kristen, dan sebaliknya. Apabila mereka tidak mengalami pembaruan dan mengenal kebenaran sejati dari Kristus, sesungguhnya gereja tidak pernah kehilangan apabila mereka pindah ke agama lain. Demikian pula gereja senantiasa selektif untuk menerima orang-orang yang menyatakan pindah ke agama Kristen. Gereja menyadari tanpa pembaruan hidup orang-orang yang pindah agama itu kelak akan menimbulkan masalah baru. Pola pikir dan pembenaran-pembenaran diri mereka akan merugikan dinamika pertumbuhan gereja yang seharusnya. Dalam pengalaman saya selaku pendeta selama 32 tahun menjumpai orang-orang yang pindah agama menjadi Kristen tanpa pembaruan dari Roh Kudus justru menjadi batu sandungan. Mereka mempersulit gereja dengan masalah-masalah yang tidak perlu.
Sebaliknya ketika orang-orang yang batinnya dicelikkan oleh kebenaran Kristus, dan diperbarui oleh Roh Kudus, kehidupan mereka membawa transformasi yang signifikan. Jemaat akan mengalami perkembangan secara kuantitatif, dan pertumbuhan rohani secara kualitatif. Kondisi inilah yang terjadi dalam pertobatan Saulus di Damsyik. Ia mengganti namanya menjadi Paulus, dan menjadi rasul bagi orang-orang yang bukan Yahudi. Dengan kuasa Kristus, rasul Paulus menjadi hamba Kristus di lingkup global. Warisan pemikiran teologis dan wawasan imannya memperkaya kehidupan gereja Tuhan ribuan tahun. Bahkan pola pikir rasul Paulus mempengaruhi perkembangan peradaban umat manusia. Kondisi ini menegaskan bahwa pertobatan Saulus di Damsyik bukan sekadar peristiwa insani, tetapi intervensi ilahi. Peristiwa “cahaya memancar dari langit mengelilingi Saulus” sungguh-sungguh peristiwa supranatural yang semakin membuktikan bahwa Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat bagi umat manusia. Karena itu sejauh mana kita selaku umat Kristen oleh terang Roh Kudus dimampukan melihat realitas dengan mata yang baru? Di pihak lain sejauh mana saudara selaku orang-orang yang belum mengenal Kristus, kini terbuka hatinya sehingga percaya dan menerima Kristus dengan kebenaran-Nya yang menyelamatkan?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono