Masa Prapaskah merupakan masa yang paling khidmat dalam kehidupan iman umat Kristen. Umat di Filipina menyebut “Pasyon.”Di masa “Pasyon” umat secara khusus merenungkan untuk menghayati penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Tetapi bagaimana bila perenungan yang begitu suci tentang kehidupan Kristus tersebut dimanipulasi oleh kolonialisme Spanyol untuk menjinakkan rakyat Filipina? Bahkan para misionaris ikut mendukung kekuasaan kolonialisme dengan mendorong umat khususnya para wanita untuk tunduk dan rela menderita sebagaimana yang telah Yesus lakukan. Makna penderitaan Kristus dalam via dolorosa dimanipulasi agar mereka tabah menderita di dunia ini. Jika mereka tabah menderita dan tidak melawan, maka mereka kelak setelah meninggal akan menjadi seorang “santa.” Kondisi kekerasan, pelecehan, dan penindasan yang dialami oleh para wanita tidak boleh dilawan seperti sikap Yesus tidak melawan orang-orang yang menyalibkan-Nya. Namun pada sisi lain, makna Pasyon ternyata memiliki suatu ruang bagi umat khususnya wanita untuk menggelorakan perlawanan terhadap kekuatan penindas. Dengan spirit Pasyon, yaitu penderitaan dan kematian Kristus mereka justru memperoleh inspirasi yang menyalakan energi untuk mewujudkan suatu kebebasan. Melalui Pasyon, umat didorong untuk mengkontekstualisasikan situasi hidup mereka kepada makna hidup yang ditawarkan oleh Kristus. Umat diubah dari situasi si korban menjadi pelaku pembaru situasi. Dengan melihat Yesus selaku seorang Penyembuh yang terluka, mereka menjadi para penyembuh bagi sesamanya yang menderita. Karena itu mereka terdorong untuk memperjuangkan keadilan, dan perdamaian dalam perspektif iman kepada Kristus. Penderitaan Yesus tidak dimaknai untuk meninabobokan mereka dari penindasan, tetapi menjadi sumber kekuatan yang transformatif. Jadi melalui Pasyon, para wanita Filipina yang tertindas dimampukan untuk mempersaksikan keterlibatan Allah dalam proses sejarah dan realita hidup mereka sehari-hari yang sering tertindas dan terpinggirkan.
Penderitaan dan kematian Kristus merupakan jantung kesaksian iman Kristen di samping kebangkitan-Nya. Tetapi rekonstruksi makna teologis di masa Prapaskah ditentukan oleh motif si penafsir. Bagi kelompok penindas, penderitaan dan kematian Kristus dimaknai sebagai media untuk membenarkan semua tindakan mereka. Mereka menghibur kaum yang lemah khususnya para wanita untuk bersikap pasif menerima penderitaan dan ketertindasan yang terjadi. Ternyata gereja juga sering ikut mendukung strategi “penjinakan” tersebut agar umat yang tertindas bersikap tunduk dan patuh terhadap para penindas. Padahal misi Yesus yang utama adalah: menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin, pembebasan kepada orang-orang yang terbelenggu dan tertindas, pemulihan bagi mereka yang buta, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4:18-19). Dengan perspektif misi Yesus tersebut, penderitaan dan kematian Yesus seharusnya menjadi konstruksi teologis yang memberdayakan dan membebaskan umat. Kritik Nietzsche yang menuduh kekristenan telah mendorong umat untuk memiliki “moral kawanan” (herden moral) mengandung kebenaran. Makna “moral kawanan” menunjuk sikap umat yang lemah, pasrah dengan penderitaan, dan tidak kritis terhadap kekuatan penindas. Nietzsche dengan pemikirannya berharap agar umat manusia memiliki “moral tuan” (herren moral). Tetapi apakah benar makna penderitaan dan kematian Kristus mendorong umat untuk memiliki “moral tuan” sebagaimana yang diusulkan oleh Nietzsche? Sikap “moral tuan” justru merupakan bibit-bibit yang subur bagi umat untuk menjadi kaum penindas. Penderitaan dan kematian Kristus justru bertujuan agar setiap umat menjadi agen-agen perubahan yang menghadirkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Untuk itu umat terlebih dahulu harus melakukan “otokritik” terhadap kebenaran dirinya. Setelah itu barulah salib dapat menjadi media inspirasi bagi umat untuk menjadi para penyembuh yang terluka. Via dolorosa Kristus berubah menjadi via pembebasan terhadap penderitaan yang terjadi di lingkungan sekitar.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono