“Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana
di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia” (Mark. 1:13).
Setiap Minggu Prapaskah ke-1, pembacaan Alkitab difokuskan pada peristiwa pencobaan Yesus di padang gurun. Dari Tahun Liturgi pesan Minggu Prapaskah ke-1 berkaitan dengan perayaan Rabu Abu, yang menekankan aspek pertobatan yang ditandai dengan pengolesan abu di dahi. Umat yang telah menyatakan diri bertobat adalah umat yang menyatakan bersedia taat kepada Allah di tengah pencobaan dari berbagai godaan dan hawa-nafsu dunia. Itu sebabnya di Minggu Prapaskah ke-1 di Tahun A-B-C menekankan aspek peristiwa bagaimana sikap Tuhan Yesus menghadapi pencobaan yang dilakukan oleh Iblis, dan bagaimana Ia mengalahkan setiap godaan yang dialami-Nya.
Kekhasan berita di Minggu Prapaskah 1 dalam Tahun B adalah ketiga peristiwa yang dialami oleh Yesus dijalin secara utuh. Ketiga peristiwa penting yang dialami oleh Kristus dinyatakan dalam 7 ayat, di Markus 1:9-15, adalah:
- Pelantikan melalui pembaptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (Mark. 1:9-11).
- Pencobaan di padang gurun oleh Iblis selama 40 hari (Mark. 1:12-13).
- Proklamasi berita Injil (Mark. 1:14-15)
Ketiga urutan yang dialami oleh Kristus tersebut konsisten diberitakan juga oleh Injil Matius dan Lukas. Strukturnya sama, yaitu: pelantikan Yesus selaku Mesias (Kristus), kemudian pencobaan di padang gurun, dan terakhir Yesus memberitakan pertobatan dan kedatangan Kerajaan Allah.
Namun, bukankah dalam realita hidup sehari-hari ketiga urutan yang dialami oleh Tuhan Yesus tersebut terbalik? Dalam realitas hidup sehari-hari yang terjadi kita lebih dahulu diuji melalui pencobaan dari berbagai godaan, barulah dilaksanakan pelantikan. Peristiwa pelantikan terjadi apabila kita telah dinyatakan lulus dari pencobaan. Hasil dari pelantikan adalah kita diberi wewenang untuk memberitakan atau memproklamasikan firman Tuhan, atau Injil Kristus. Bandingkan proses seseorang yang ditahbiskan menjadi pendeta senantiasa melewati proses yang cukup panjang dan sulit.
Urutan struktur dalam Markus 1:9-15 yang terjadi pada diri Yesus, bukan pencobaan lebih dahulu, lalu pelantikan-Nya selaku Mesias Anak Allah. Tidak demikian! Tetapi Yesus lebih dahulu dilantik sebagai Mesias dalam pembaptisan-Nya di sungai Yordan, barulah Ia dicobai di padang gurun selama 40 hari. Pesan yang hendak disampaikan oleh Injil Markus adalah kedudukan Yesus selaku Mesias Anak Allah bukan ditentukan oleh kelulusan-Nya dalam pencobaan yang dilakukan oleh Iblis. Kedudukan Yesus selaku Mesias Anak ditentukan oleh kedaulatan Allah yang menyatakan, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mark. 1:11). Status ke-Mesias-an Yesus bukan dicapai melalui hasil pengujian atas pencobaan yang begitu berat dan berbahaya dari Iblis. Tetapi status ke-Mesias-an Yesus telah terjadi sejak kekal, sebab Ia adalah Anak Allah. Markus 1:1 menyatakan, “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah.” Sejak awal Injil Markus menegaskan bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Apabila status ke-Mesias-an Yesus telah ada sejak kekal dan tidak ditentukan oleh hasil kelulusan-Nya yang melewati pencobaan Iblis, keberadaan Yesus selaku Anak Allah didasarkan pada hakikat-Nya. Keberadaan Yesus bukan hasil adopsi sebagaimana ajaran “adopsionisme” yang menyatakan bahwa karena ketaatan-Nya dicobai di padang gurun, Ia diangkat (diadopsi) menjadi “Anak Allah.”
Ajaran “adopsionisme” dikemukakan oleh kelompok Ebionit. Adopsionisme mengajarkan bahwa Yesus sesungguhnya bukanlah Tuhan. Yesus tidak ilahi dan tidak kekal. Ia adalah manusia biasa yang dilahirkan oleh Maria dari perkawinannya dengan Yusuf. Apabila kemudian Yesus diberi gelar “Anak Allah” karena Ia berhasil membuktikan ketaatan-Nya yang sempurna kepada kehendak Allah. Yesus mampu menaati 613 hukum Taurat sehingga Ia diadopsi oleh Allah saat dibaptis di Sungai Yordan. Status-Nya selaku “Anak Allah” dicapai melalui perjuangan-Nya yang luar-biasa, sehingga Allah menganugerahkan gelar tertinggi.
Makna kedudukan Yesus selaku “Anak Allah” menurut aliran Ebionit dalam ajarannya tentang “adopsionisme” secara prinsipial menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kristus hanyalah seorang guru dan nabi. Karena itu ajaran adopsionisme dalam aliran Ebionit menolak pula ajaran inkarnasi Sang Firman Allah yang menjadi manusia. Yesus bukan inkarnasi Sang Firman sebagaimana yang dipersaksikan oleh Injil Yohanes 1:14. Bagi kelompok Ebionit, saat Yesus diadopsi oleh Allah dengan pernyataan, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mark. 1:11), Ia dihisabkan ke dalam Roh Allah. Gelar keilahian-Nya selaku Anak Allah bukan sejak kekal, tetapi memiliki awal dalam peristiwa baptisan di Sungai Yordan.
Konsekuensi dari ajaran adopsionisme tersebut adalah:
- Yesus bukanlah Sang Firman Allah yang menjadi manusia
- Keberadaan Yesus bukan sejak kekal, tetapi Ia memiliki awal dan akhir
- Wafat dan kebangkitan Yesus tidak membawa dampak pada penebusan atau keselamatan Allah bagi umat manusia.
- Yesus adalah manusia biasa, tetapi mampu mencapai tingkat rohani tertinggi melalui ketaatan-Nya yang sempurna.
- Meneladan Yesus yang utama adalah taat kepada seluruh perintah Allah yang memungkinkan setiap orang mencapai keselamatan atau tingkat tertinggi selaku “anak Allah.”
- Manusia bisa mencapai keselamatan sebagai “anak Allah” dengan kemampuan, usaha, dan kesalehannya sendiri.
Tentu ajaran adopsionisme yang dikemukakan oleh aliran Ebionit tersebut ditolak oleh gereja. Seluruh kesaksian Alkitab menegaskan bahwa dalam keesaan-Nya, Allah memiliki 3 pribadi ilahi yang kekal, yaitu Bapa-Anak-Roh Kudus. Yesus adalah Sang Firman yang berinkarnasi menjadi manusia. Ke-Allah-an Yesus tidak berkurang saat Ia menjadi manusia. Firman Tuhan menyatakan, “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (Kol. 1:17), sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an (Kol. 2:9). Itu sebabnya kematian Kristus di atas kayu salib berkuasa memperdamaikan manusia dengan Allah. Kolose 1:20 menyatakan, “Dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.” Dalam iman Kristen, Yesus Kristus bukanlah sekadar guru dan nabi, tetapi Ia adalah Tuhan dan Juruselamat umat manusia.
Kristus adalah Sang Firman Allah. Itu sebabnya seluruh hidup Yesus dikendalikan oleh Roh Allah. Peristiwa pencobaan-Nya di padang gurun bukan karena Yesus dibawa oleh Iblis. Kesaksian Markus 1:12 menyatakan, “Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun.” Yesus dipimpin oleh Roh ke padang gurun. Karena itu pencobaan yang dialami Yesus bukan pengujian diri-Nya selaku Anak Allah yang ilahi dan kekal. Sang Firman Allah tidak dapat diuji oleh Iblis dan kuasanya. Kuasa Allah senantiasa lebih tinggi dan melampaui seluruh kuasa Iblis. Makna pencobaan Iblis kepada diri Yesus hendak menguji sejauh mana ketaatan Yesus selaku manusia, apakah insani-Nya terintegrasi secara utuh dengan keilahian-Nya selaku Anak Allah? Karena itu Iblis mencobai segi insani Yesus saat Ia berpuasa selama 40 hari 40 malam.
Walaupun Injil Markus tidak mendeskripsikan secara detil bentuk pencobaan dan kemenangan Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Injil menurut Matius dan Lukas, tetapi secara tersirat di Injil Markus Iblis tidak dapat menundukkan kemanusiaan Yesus. Markus 1:13 menyatakan, “Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis. Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia” (Mark. 1:13). Kuasa Kristus dalam kemanusiaan-Nya tidak terkalahkan. Kemanusiaan dan keilahian Yesus terintegrasi secara utuh. Itu sebabnya Yesus dapat tinggal dengan harmonis di antara binatang-binatang liar. Kuasa ilahi-Nya tidak berkurang sehingga Yesus senantiasa dilayani oleh malaikat-malaikat. Sesuai nubuat nabi Yesaya di era Mesias, manusia akan tinggal dalam hubungan yang harmonis dengan hewan-hewan liar, yaitu, “Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu” (Yes. 11:6-7). Gambaran hidup harmonis di antara hewan-hewan liar menunjuk bahwa Sang Mesias dengan kuasa-Nya mampu menjinakkan setiap bentuk kekerasan. Pemangsa diubah menjadi sahabat karib bagi mangsanya. Kejahatan dan ketidakadilan ditundukkan. Karena di era kedatangan Sang Mesias yang paripurna seluruh ciptaan hidup dalam damai dan sejahtera. Nubuat Yesaya menyatakan: “Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9).
Makna Yesus dilayani oleh malaikat-malaikat saat Ia dicobai menunjukkan bahwa status-Nya selaku Raja semesta tidak berubah saat Ia menjadi manusia. Yesus bukan sekadar Pemimpin atau Kepala Malaikat sebagaimana yang dikemukakan oleh ajaran Saksi Yehovah. Sebaliknya Kristus dinyatakan “jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat” (Ibr. 1:4). Ia adalah Kyrios (Tuhan) sehingga seluruh binatang buas tunduk kepada-Nya. Lebih daripada itu para malaikat hadir untuk melayani Yesus sebagaimana malaikat-malaikat di sorga senantiasa melayani dan menyembah Allah. Firman Tuhan di Wahyu 7:11 menyatakan, “Dan semua malaikat berdiri mengelilingi takhta dan tua-tua dan keempat makhluk itu; mereka tersungkur di hadapan takhta itu dan menyembah Allah.” Kesaksian Ibrani 1:7 menegaskan bahwa malaikat-malaikat ditentukan untuk menjadi pelayan-Nya, yaitu, “Dan tentang malaikat-malaikat Ia berkata: Yang membuat malaikat-malaikat-Nya menjadi badai dan pelayan-pelayan-Nya menjadi nyala api.” Teologia Injil Markus dengan utuh mempersaksikan kemanusiaan Yesus sekaligus keilahian-Nya selaku Anak Allah.
Kemenangan Yesus dalam insani-Nya saat dicobai Iblis meneguhkan bahwa Ia sungguh-sungguh Anak Allah. Itu sebabnya Yesus memiliki wewenang untuk menyatakan realitas Kerajaan Allah dan panggilan pertobatan. Setelah pencobaan-Nya di padang gurun selama 40 hari 40 malam berakhir, Yesus memproklamasikan kedatangan Kerajaan Allah sudah dekat. Dalam Markus 1:15, Yesus berkata, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Yesus menyerukan panggilan-Nya agar di dalam dan melalui Dia manusia bertobat sehingga mereka dapat mengalami kehadiran Kerajaan Allah. Makna “bertobat” dalam konteks ini bukan sekadar umat meninggalkan semua bentuk perbuatan yang jahat, tetapi utamanya juga percaya dan menerima bahwa Ia adalah Sang Mesias, Anak Allah. Dalam pengajarannya beberapa kalangan hanya menekankan makna “pertobatan” secara etis-moral. Padahal yang dimaksud “bertobat” dalam Markus 1:15 berkaitan dengan “waktu kedatangan Mesias telah genap.” Untuk memahami makna “Kerajaan Allah sudah dekat dan bertobat serta percaya pada Injil” harus ditempatkan pada konteks “waktunya telah genap” (peplerotai ho kairos).
Arti “waktunya telah genap” (peplerotai ho kairos) di Markus 1:15 berkaitan dengan kesaksian surat Galatia 4:4 yang menyatakan, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” Kedatangan Yesus terjadi dalam waktu yang telah ditentukan Allah. Ia datang dalam durasi waktu yang tepat sesuai dengan rencana Allah. Karena itu kata “waktu genap” yang dipakai dalam Galatia 4:4 adalah “to pleroma tou khronou” (kepenuhan waktu). Karena Yesus adalah Sang Mesias yang telah ditentukan Allah, maka Ia memiliki otoritas memanggil manusia untuk bertobat kepada diri-Nya sehingga mereka mengalami kedatangan Kerajaan Allah. Pertobatan etis-moral bermakna apabila ditempatkan dalam pengakuan iman bahwa Yesus adalah Anak Allah. Kedudukan dan status Yesus selaku Anak Allah telah dinyatakan saat pelantikan-Nya dalam baptisan di Sungai Yordan, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Mark. 1:11). Jika demikian pertobatan yang sejati bermakna apabila didasarkan pada pengakuan iman bahwa Yesus adalah Anak Allah. Prinsip teologis Injil Markus ini sejalan dengan kesaksian di Injil Yohanes, yaitu: “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat” (Yoh. 3:18-19).
Di Minggu Prapaskah ke-1 umat diajak merefleksikan 3 peristiwa di awal pelayanan Kristus, yaitu: pelantikan-Nya selaku Mesias (Kristus), pencobaan-Nya di padang-gurun, dan proklamasi Yesus agar manusia bertobat dan hidup dalam kerajaan Allah. Tujuan utamanya adalah agar mereka hidup dalam iman dan persekutuan dengan Kristus, sehingga mampu mengalahkan setiap pencobaan yang telah dilakukan oleh Iblis. Jika demikian, apakah kita telah sungguh-sungguh mengakui dengan iman bahwa Yesus sebagai Anak Allah dan membuktikan sikap iman tersebut dalam ketaatan kepada Allah saat menghadapi berbagai pencobaan dalam realitas hidup sehari-hari? Dalam persekutuan dengan Kristus, kita dimampukan untuk melawan strategi dan taktis Iblis.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono