Aku tahu, ya TUHAN, bahwa hukum-hukum-Mu adil, dan bahwa Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan. Biarlah kiranya kasih setia-Mu menjadi penghiburanku, sesuai dengan janji yang Kauucapkan kepada hamba-Mu (Mzm. 119:75-76).
Pandemi covid-19 merupakan bahaya yang riil. Lebih dari 2 tahun umat manusia menghadapi bahaya yang sebagian besar cukup mematikan akibat pandemi covid-19. Sebagian dari kita menyaksikan kematian dari salah seorang anggota keluarga, sahabat dan rekan dalam pekerjaan atau pelayanan. Bahkan saya menjumpai kematian satu keluarga mulai dari papa, mama, dan 2 orang anaknya. Tragis. Tetapi pada pihak lain bahaya covid-19 menciptakan berbagai peluang, kesempatan dan kreativitas. Dengan teknologi kita kini sudah terbiasa untuk berinteraksi dan berkomunikasi jarak jauh. Kegiatan ibadah, bekerja, dan relasi sosial dapat dilakukan via Zoom, Ms-Team, Google-meet, dan sebagainya. Sebagian orang kehilangan pekerjaan dan terkena PHK, tetapi sebagian lagi di masa pandemi justru usaha mereka berkembang maju. Malahan mereka harus menambah jumlah tenaga kerja dan mengembangkan bisnisnya di tempat lain.
Realitas bahaya tidak pernah berdimensi tunggal. Bahaya dalam bahasa Mandarin disebut dengan 危机 (wēi jī). Kata wēi jī berasal dari kata 危险 (wēi xiǎn) yang artinya: danger (bahaya), dan kata 机 会(jī huì) yang artinya kesempatan atau peluang. Secara sederhana maknanya dipahami, yaitu dalam setiap bahaya atau krisis senantiasa tersedia kesempatan atau peluang. Manusia tidak boleh terjebak dalam perasaan sedih dan putus-asa. Sebaliknya ia harus memiliki pengharapan dan keyakinan untuk mengubah setiap kesulitan sebagai peluang. Saat seseorang mengalami kondisi sulit atau krisis sebenarnya merupakan saat yang tepat untuk mengembangkan kompetensi, keahlian (skill) dan kemampuannya. Di era disrupsi ini setiap organisasi harus mengevaluasi kembali visi-misi dan pola kerjanya. Gereja atau jemaat-jemaat bersedia mengevaluasi kembali tujuan, program-program, metode dan pola-pola pelayanannya. Setiap evalusi yang baik dan diikuti oleh perubahan yang benar ternyata membawa perubahan yang menggembirakan, bahkan menakjubkan.
Beberapa institusi pendidikan di masa pandemi ternyata mengalami peningkatan jumlah siswa atau mahasiswa. Perusahaan atau company justru mengalami profit yang luar-biasa. Dari sudut kualitas pendidikan, ternyata siswa atau mahasiswa dapat mencapai prestasi yang mengagumkan. Di masa pandemi beberapa mahasiswa mampu lulus dengan IPK 3.91 bahkan 4.0. Lalu para karyawan yang bekerja di perusahaan ternyata dapat meningkatkan kompetensi, keahlian dan kinerjanya. Rahasianya adalah mereka bersedia mengevaluasi diri, menyesuaikan dengan perubahan, dan mengembangkan diri. Spiritualitas utama yang mendasari sikap mengevaluasi diri, menyesuaikan dengan perubahan dan mengembangkan diri adalah kerendahan hati. Tanpa spiritualitas kerendahan hati maka setiap bahaya atau krisis yang terjadi akan menyebabkan kegagalan dan kehancuran. Prestasi studi akan terpuruk, gereja kehilangan anggota jemaatnya, perusahaan akan mengalami kerugian bahkan bankrupt, institusi sekolah dan perguruan tinggi tidak didukung oleh tenaga pengajar yang kompeten, para lulusan sarjana atau doktor menjadi pengangguran, dan keluarga-keluarga terjebak oleh hutang-piutang.
Kondisi di masa kini semakin memburuk sebab dunia dihadapkan dengan dampak perang Rusia-Ukraina. Dampaknya bersifat global (mendunia). Sebab harga minyak dan gas melonjak karena Rusia merupakan salah satu produsen dan pengeksport bahan bakar di dunia. Dunia sedang menghadapi krisis makanan sebab Rusia dan Ukraina merupakan salah satu lumbung dunia. Rusia dan Ukraina selama ini menyumbang 30% eksport gandum. IMF menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan cenderung melambat. Umat manusia ke depan akan semakin menghadapi ketidakpastian, goncangan dan perubahan-perubahan yang tidak terbayangkan. Bahaya yang mengandung krisis dan kesempatan ke depan kemungkinan menyediakan peluang yang tidak terlalu besar. Umat manusia mengalami krisis secara global dalam berbagai bidang kehidupan.
Bahaya lebih sulit diatasi apabila sebagian dari kita terpuruk dalam kecemasan dan kekuatiran. Saat perasaan terancam, manusia tidak akan mampu bertindak secara rasional. Ia akan cenderung menyikapi secara emosional. Bahkan beberapa orang bersikap paranoid, yaitu dikuasai oleh kekuatiran yang begitu besar sehingga tidak mampu membedakan kenyataan dengan bayangan pikiran. Orang-orang yang paranoid akan bersikap terlalu sensitif, berlebihan, bersikap curiga, tidak bisa mempercayai orang lain, mudah menyerah sebelum mencoba, keras-kepala dan mengisolasi diri. Tidak mengherankan jikalau di masa kini Rumah Sakit Jiwa semakin penuh. Banyak orang yang merasa frustrasi dan depresi. Beberapa orang memilih melarikan diri ke dunia ilusi dengan obat-obatan psikotropika.
Di samping itu masih ada satu lagi bahaya yang paling berbahaya, yaitu realitas dikhianati oleh orang-orang yang kita kasihi. Para sahabat atau rekan justru menjadi orang-orang yang menjatuhkan atau meruntuhkan. Akibatnya luka-luka batin menjadi tidak tersembuhkan. Mereka merasa dikhianati. Apakah dalam bentuk fitnah, pencemaran nama baik, ditusuk dari belakang, dan berbagai bentuk intrik permusuhan.
Di tengah-tengah realitas yang sulit, krisis dan penuh bahaya ini apa yang harus dilakukan oleh setiap umat percaya? Apakah kita lebih memilih terpuruk dalam kegagalan? Apakah kita putus-asa dengan menyerah kepada keadaan? Apakah kita mengembangkan perasaan kuatir dan cemas yang berlebihan? Apakah kita akan memilih mengisolasi diri dan tidak lagi terpanggil melakukan kebajikan?
Di Mazmur 119:71 pemazmur berkata: “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” Ungkapan pemazmur ini tidak lazim! Masakan tertindas itu baik bagi kita? Namun jelas bahwa pemazmur menegaskan kondisi tertindas itu baik baginya. Kata “tertindas” memiliki arti kondisi yang begitu sulit, sangat menyakitkan, dan menderita. Tetapi oleh si pemazmur kondisi tertindas itu disebut “baik.” Arti “baik” dalam konteks ini adalah berharga dan indah. Karena bagi orang Israel kata “baik” dari kata “tov” menunjuk pada sesuatu yang berlimpah, makmur dan sangat baik. Di Kejadian 1:31 menyatakan respons Allah setelah Ia menciptakan semesta dan bumi, yaitu: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.” Kata “sungguh amat baik” (wahinneh tov meod) menunjuk suatu keadaan yang sempurna, tanpa cacat sedikit pun.
Dengan memahami kesulitan dan penderitaan sebagai hal yang baik, maka umat Israel tidak mau membiarkan diri terpuruk dalam kehancuran. Sebaliknya realitas hidup yang berantakan menjadi faktor pendorong bagi orang-orang Israel untuk menata kehidupan secara lebih kreatif. Hasilnya hidup mereka bertambah makmur, berlimpah dan sejahtera. Kita mengetahui sejarah kehidupan orang-orang Israel yang diawarnai oleh kepahitan dan tragedi. Mereka berulangkali menghadapi holocaust (bencana) dan genosida (pembantaian). Sejarah mengajar mereka untuk tangguh dan tabah. Sampai saat ini ada 194 orang Israel yang berhasil memenangkan hadiah Nobel. Padahal jumlah umat Yahudi di dunia hanya sekitar 14,5 juta orang.
Mazmur 119:71 menegaskan bahwa tertindas itu baik baginya, karena ia belajar ketetapan-ketetapan Allah. Kondisi yang sulit, sakit dan menderita justru mendorong pemazmur untuk mendengarkan dan menghidupi firman Tuhan. Beberapa orang berlaku sebaliknya! Mereka menjadikan firman Tuhan di masa sulit dan krisis sebagai media mengasihani diri sendiri. Firman Tuhan dipakai sebagai alat hiburan yang tidak mendidik. Mereka membaca firman Tuhan dengan tujuan menguatkan kelemahan, kekurangan dan kegagalan yang terjadi. Akibatnya firman Tuhan yang dibaca dan direnungkan tidak membuat mereka bangkit dari keterpurukan dan kegagalan. Sebaliknya mereka semakin pasrah secara pasif. Mereka menyerah sebelum berusaha. Kondisi mereka semakin terpuruk. Padahal firman Tuhan mengandung kebenaran ilahi yang membebaskan. Firman Tuhan bukan dimaksudkan sebagai pembenaran-pembenaran diri. Kebenaran (truth) tidak identik dengan pembenaran (justification).
Dari sudut iman kepada Tuhan Yesus, apa pun bentuk krisis atau bahaya yang kita hadapi merupakan bagian dari proses pembentukan diri. Melalui berbagai terpaan penderitaan dan krisis Tuhan melatih agar kita dapat naik kelas. Penderitaan dan krisis merupakan materi kurikulum dalam sekolah kehidupan. Apakah krisis karena pandemi covid-19, terkena dampak perang Rusia-Ukraina, difitnah dan dikhianati oleh orang-orang yang kita kasihi, atau bahaya menghadapi kegagalan dalam usaha pada hakikatnya merupakan ramuan yang diizinkan Tuhan dalam kehidupan kita. Di Mazmur 119:75 pemazmur menyikapi secara positif situasi ketertindasannya, yaitu: “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa hukum-hukum-Mu adil, dan bahwa Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan.” Hukum-hukum Allah adalah adil. Ini berarti Allah Sang Pembuat hukum-hukum-Nya adalah adil. Jika demikian mengapa kita terdorong untuk melawan situasi atau orang-orang yang melukai kita? Mengapa kita tidak mempercayai keadilan Allah? Apabila hidup kita telah berjalan dalam kebenaran, kita tidak perlu takut bahaya. Sebab Allah itu setia. Pemazmur menyatakan dengan sikap iman saat ia tertindas, yaitu: “Engkau menindas aku dalam kesetiaan.” Saat tertindas kita dipanggil Tuhan untuk setia dan hidup benar.
Problemnya manusia saat ditindas, ia cenderung tidak tahan. Ia membiarkan dirinya terluka semakin dalam. Pemikirannya yang rasional dirusak oleh kesedihan dan perasaan terluka. Itu sebabnya ia memilih hidup yang jauh dari kesetiaan dan kebenaran. Beberapa anggota jemaat yang terluka dan kecewa tidak mau lagi ambil bagian dalam pelayanan. Bahkan ia tidak mau lagi berdoa dan beribadah. Mengapa orang-orang yang semula mengasihi Kristus dan gereja-Nya bisa berubah drastis? Karena saat ia tertindas tidak melihatnya sebagai blessing in disguise (berkat Allah yang tersembunyi). Padahal dalam situasi krisis ada bahaya yang mengancam tetapi juga ada peluang atau kesempatan (wēi jī). Tetapi makna kata 危机 (wēi jī) dalam kitab Mazmur tidak dangkal. Karena tanpa didasarkan penghiburan Tuhan kita tidak mungkin mampu menyikapi bahaya sebagai peluang. Mazmur 119:76 berkata: “Biarlah kiranya kasih setia-Mu menjadi penghiburanku, sesuai dengan janji yang Kauucapkan kepada hamba-Mu.” Peluang dan kesempatan di tengah-tengah bahaya tidak pernah datang secara otomatis. Kemampuan menyikapi bahaya sebagai peluang sesungguhnya merupakan blessing in disguise (berkat yang tersembunyi). Berkat hanya bersumber dari penyertaan dan pemeliharaan Tuhan.
Kata “penghiburan” dalam Mazmur 119:75 sebenarnya memiliki arti yang lebih dalam. Sebab kata “penghiburan” dalam konteks ini menggunakan kata “emunah” yang artinya: percaya dan setia. Dalam kata “emunah” mengandung faith (percaya) dan faithfulness (kesetiaan). Buah dari kesetiaan Tuhan saat kita ditindas dan menderita adalah penghiburan-Nya. Kebenaran firman Tuhan ini menggemakan ucapan raja Daud yang berkata: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mzm. 23:4). Penempaan Tuhan melalui proses kesakitan dan penderitaan itu menjadikan diri kita sebagai pribadi yang telah selesai dengan dirinya. Kita tidak lagi memiliki beban psikologis berupa trauma, sakit hati atau dendam. Penghiburan yang lahir dari kesetiaan Tuhan menjadikan kita orang-orang yang bebas dari belenggu masa lalu. Krisis dan perubahan yang pernah atau sedang terjadi senantiasa kita lihat dengan mata yang jernih dan hati yang tenang. Karena itu kita mampu melakukan setiap tugas yang dipercayakan Tuhan secara optimal. Penghiburan yang dikaruniakan Tuhan dalam kesetiaan-Nya akan memampukan kita berkualitas di tengah krisis. Bukankah ciri hidup umat percaya adalah berprestasi justru saat ia sedang diterpa oleh kesulitan, cemoohan dan penderitaan?
Jadi apakah kita telah mengalami penghiburan Tuhan di tengah bahaya atau krisis? Lihatlah sejauh mana kita telah selesai dengan diri kita sendiri. Kita tidak lagi terjebak oleh kesedihan dan trauma di masa lalu. Sebaliknya kita dapat menghidupi kebenaran firman Tuhan yang berkata: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp. 4:13).
Sumber ilustrasi: https://andreasnataatmadja.com/2019/03/04/keberanian-menghadapi-kenyataan/
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono