Minggu Prapaskah 2
Arti “percaya” (iman) berasal dari kata aman (dari bahasa Ibrani), dan kata aman tersebut berasal dari kata emunah yang artinya: teguh dalam bersikap. Jadi sikap iman kepada Allah adalah sikap berpegang teguh kepada-Nya yang dinyatakan dalam tindakan. Sikap iman tersebut yang terlihat dalam tindakan Abram yang berpegang teguh kepada firman Allah sehingga ia berani meninggalkan zona amannya. Abram berani meninggalkan keluarga besarnya di Ur-Kasdim menuju negeri yang akan ditunjukkan Allah. Penulis Ibrani 11:1 merumuskan makna iman, yaitu: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Walau Abram belum melihat tanah Kanaan, namun ia percaya akan janji dan penyertaan Allah. Hidup Abram sepenuhnya diarahkan kepada kehendak Allah, sehingga ia tidak lagi hidup menurut pola dan nilai-nilai bangsa Ur-Kasdim.
Namun dalam praktiknya, arti “percaya” bergeser. Sikap percaya berubah menjadi suatu keyakinan religius yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai dan kehendak Allah yang utama, yaitu pembaruan hidup. Sebaliknya keyakinan religius tersebut identik dengan sikap “kolot” (orthodoksi yang dangkal), fanatik, terlalu menjaga zona aman, suka menghakimi, tidak peka dengan perubahan, dan kurang dilandasi oleh kasih. Keyakinan religius umat tersebut belum mengalami kelahiran baru. Tuhan Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh. 3:5). Keyakinan religius saja tidak dapat membawa umat ke dalam Kerajaan Allah. Setiap umat harus dilahirkan dari air (baptisan) dan Roh (pembaruan hidup yang menyeluruh). Antuasiasme beribadah dan pelayanan tidak menjamin kualitas rohaniah seseorang. Sebab antusiasme beribadah dan pelayanan umat juga harus dinyatakan secara konsistensi dalam pembaruan hidup sehari-hari.
Pembaruan hidup merupakan proses pembaruan dari “dalam” (internal) kepribadian kita. Selanjutnya pembaruan hidup tersebut memengaruhi, menerangi, dan membentuk jati-diri kita sehingga cara berpikir, perkataan, dan tindakan kita semakin mencerminkan karakter Kristus. Karakter Kristus adalah mengutamakan kehendak Allah dengan kesediaan berkurban. Penyaliban Kristus terjadi karena Ia bersedia meninggalkan zona aman-Nya. Namun akhirnya Allah meninggikan Yesus dan memuliakan-Nya. Salib bukan lagi suatu kehinaan, namun kemuliaan. Keyakinan religius tanpa kesediaan menyambut salib Kristus tidak akan pernah menjadi pembaruan hidup. Melalui salib Kristus, keyakinan religius dimurnikan dan dikuduskan sehingga memancarkan kemuliaan Allah dan membarui kehidupan umat.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono