Latest Article
Pola Operasional Kepribadian Yesus dalam Konsili Chalcedon

Pola Operasional Kepribadian Yesus dalam Konsili Chalcedon

Pola Operasional Kepribadian Yesus dalam Konsili Chalcedon
(Makna Yesus sebagai “Satu Pribadi dengan Dua Kodrat”)

Pada tahun 451 Masehi, di kota pelabuhan Chalcedon yang kini menjadi bagian dari negara Turki, ratusan uskup dari seluruh Kekaisaran Romawi Timur berkumpul. Mereka datang untuk menyelamatkan gereja dari perpecahan yang mengancam inti Injil itu sendiri. Pertanyaan yang mereka hadapi sederhana namun menentukan: “Siapakah Yesus Kristus sebenarnya?”

Injil telah memberikan kesaksian yang jelas namun diselimuti oleh misteri. Rasul Yohanes memberi kesaksian, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Lalu ia melanjutkan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yohanes 1:14). Rasul Paulus juga menegaskan, “Karena di dalam Dialah bersemayam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kolose 2:9). Tetapi bagaimana Allah yang kekal bisa menjadi manusia yang lapar? Bagaimana Yang Mahatahu bisa bertumbuh dalam hikmat? Bagaimana Yang Kekal bisa mati?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar teka-teki intelektualitas. Ini adalah pergumulan yang telah mendorong gereja menggali hingga ke akar-akarnya. Di satu sisi, ada yang begitu terpesona oleh keilahian Kristus hingga kemanusiaan-Nya hampir lenyap seperti setetes madu yang larut dalam lautan. Di sisi lain, ada yang begitu berhati-hati membedakan keilahian dan kemanusiaan-Nya hingga Kristus seolah-olah menjadi dua pribadi yang terpisah. Kedua ekstrem ini mengancam keselamatan itu sendiri. Dan gereja tahu, jika Kristologi salah, soteriologi runtuh.

Nestorius mengajarkan bahwa Maria tidak boleh disebut “Theotokos” (Pembawa Allah). Menurutnya, Maria hanya melahirkan manusia Yesus, bukan Allah. Keilahian dan kemanusiaan Kristus, katanya, adalah dua pribadi yang berbeda, dua subjek yang terpisah. Kedengarannya logis dan masuk akal. Tetapi gereja menyadari bahaya ajaran Nestorius tersebut. Ketika Injil Yohanes menyatakan, “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14), ia tidak berkata “Firman itu bergabung dengan seorang manusia.” Ketika rasul Paulus menulis, “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan” (Galatia 4:4), ia tidak berkata “Allah mengutus seorang manusia yang kemudian disertai Anak-Nya.” Bahasa Alkitab tidak mengenal pemisahan semacam itu.

Jika Kristus adalah dua pribadi, pertanyaan yang kritis adalah siapakah yang wafat di kayu salib? Manusia Yesus atau Allah Sang Logos? Jika yang mati hanya manusia biasa, di mana kuasa penebusan ilahi yang dijanjikan dalam Ibrani 9:14 yang menyatakan “Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat”? Penebusan atas dosa manusia dan kosmis memerlukan nilai tak terbatas, yaitu hanya Allah saja yang dapat memberikannya. Tetapi penebusan juga memerlukan “penggantian” manusia sejati, yaitu hanya manusia yang dapat menjalaninya. Ajaran Nestorianisme memecah pribadi Kristus menjadi dua, dan dalam pemecahan itu berdampak keselamatan akan ikut retak.

Lalu, di ujung yang lain muncul ajaran dari Eutyches. Ia ingin menjaga kesatuan Kristus, dan takut akan perpecahan yang diajukan oleh ajaran Nestorius. Untuk itu Eutyches menyatakan setelah inkarnasi, kodrat ilahi dan manusia melebur menjadi satu kodrat saja seperti air dan anggur yang bercampur hingga tidak dapat dibedakan lagi. Kemanusiaan Kristus, dalam pandangan ini, diserap oleh keilahian-Nya, sehingga larut di dalamnya. Ajaran ini sekilas tampak bijaksana. Tetapi gereja melihat bahaya yang sama serius. Injil Lukas dengan teliti mencatat, “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya” (Lukas 2:40). Bertambah besar? Menjadi kuat? Penuh hikmat berarti bukan sejak awal, tetapi melalui pertumbuhan? Ini bahasa pertumbuhan dan perkembangan kemanusiaan yang utuh. Penulis kitab Ibrani juga menegaskan, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15). Sama dengan kita, berarti bukan seolah-olah sama, tetapi sungguh-sungguh sama dalam kemanusiaan-Nya.

Jika kemanusiaan Kristus tidak utuh, pertanyaan soteriologis (keselamatan) yang muncul adalah bagaimana Ia bisa “dicobai dalam segala hal” seperti kita? Bagaimana Ia dapat mengalami penderitaan kita dan mewakili kita di hadapan Allah dengan legitimasi penuh? Rasul Paulus berkata, “Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka… maka Ia harus dalam segala hal disamakan dengan saudara-saudara-Nya” (Ibrani 2:14, 17). Kata “harus” di sini bukan pilihan, melainkan “keharusan soteriologis.” Ajaran monofisitisme Eutyches dapat meruntuhkan kemanusiaan Kristus, dan dengan itu, merusak jembatan relasi antara Allah dan manusia yang dibangun oleh “satu Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Timotius 2:5).
Dalam pergumulan teologis itulah para Uskup berkumpul di Chalcedon yang diinisiasi oleh Kaisar Marcianus.

Tujuan konsili Chalcedon adalah bagaimana merumuskan Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati, tanpa membagi-Nya menjadi dua atau mencampurkan-Nya menjadi satu kodrat baru? Bagaimana umat harus menjawab ucapan Yesus, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30), namun juga menangis di kubur Lazarus (Yohanes 11:35). Bagaimana Yesus dapat tidur nyenyak di perahu karena kelelahan yang nyata (Markus 4:38), namun kemudian bangun dan memerintahkan angin dan ombak dengan otoritas yang hanya dimiliki Allah yang menciptakan langit dan bumi (Markus 4:39). Bagaimana Ia dapat berkata, “Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yohanes 14:28), namun juga menerima penyembahan yang hanya layak bagi Allah dari Tomas yang berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yohanes 20:28) tanpa mengoreksinya.

Jawaban dan keputusan atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah “Yesus Kristus adalah satu Pribadi dengan dua kodrat, yaitu ilahi dan manusia yang bersatu tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, dan tanpa pemisahan.” Teks konsili Chalcedon adalah: tanpa percampuran (ἀσυγχύτως, asyngchytōs), tanpa perubahan (ἀτρέπτως, atreptōs), tanpa pembagian (ἀδιαιρέτως, adiairetōs), dan tanpa pemisahan (ἀχωρίστως, achōristōs)”, bersatu dalam satu Pribadi (prosopon) dan satu Pribadi Ilahi (hypostasis).(Acta Conciliorum Oecumenicorum, Concil. Chalcedonense, Sessio V; juga dalam Henry Bettenson & Chris Maunder (eds.), Documents of the Christian Church, Oxford University Press, 2011, hlm. 51–52).

Konsili Chalcedon menyatakan Kristus adalah satu pribadi. Tidak ada dua subjek dalam diri-Nya. Tidak ada Yesus manusia di satu sisi dan Logos ilahi di sisi lain. Tidak ada dua pusat kesadaran, tidak ada dua “aku” yang berbicara. Yang lahir dari Maria, yang berjalan di Galilea, yang disalibkan di Golgota, dan yang bangkit pada hari ketiga adalah satu dan sama: Anak Allah, Logos yang kekal. Alkitab tidak pernah berbicara tentang dua pribadi dalam Kristus. Rasul Paulus menyatakan “Kristuslah yang wafat, bahkan yang telah bangkit” (Roma 8:34). Siapa yang mati? Kristus sebagai satu Pribadi. Bukan “manusia Yesus mati sementara Logos tetap hidup,” tetapi Kristus yang wafat. Rasul Petrus memberitakan, “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kisah Para Rasul 2:36). Yesus yang disalibkan dengan paku di tangan dan tombak di lambung adalah Tuhan itu sendiri.

Dalam konteks ini konsili Chalcedon menyatakan bahwa Maria memang Theotokos, (Pembawa Allah), sebab yang dikandungnya bukan sekadar manusia biasa yang kemudian “dipakai” oleh Logos, melainkan Pribadi ilahi yang mengambil kodrat manusia di dalam rahimnya. Elisabet, dipenuhi Roh Kudus, berseru kepada Maria, “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Lukas 1:43). Bayi dalam kandungan Maria adalah “Tuhan”-nya Elisabet. Bukan “bayi yang nanti akan disertai Tuhan,” tetapi bayi yang adalah Sang Firman di dalam daging. Jadi Yesus adalah Anak Allah yang telah mengambil daging, yang telah memasuki sejarah, yang telah menjadi salah satu dari kita tanpa berhenti menjadi Allah.
Kedua, Chalcedon menegaskan, Kristus memiliki dua kodrat yaitu ilahi dan manusia. Kodrat ilahi-Nya kekal, tidak berubah, sehakikat dengan Bapa. Kodrat manusia-Nya lengkap, utuh, sama seperti kita dalam segala hal kecuali dosa. Alkitab menyaksikan kedua kodrat ini dengan kejernihan yang tidak dapat dibantah.

Tentang kodrat ilahi-Nya didasarkan pada “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30). “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9). “Di dalam Dialah bersemayam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kolose 2:9). “Dia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15). Ini bukan bahasa kehormatan atau pujian berlebihan. Ini adalah bahasa identitas ilahi yang mutlak.

Tentang kodrat manusia-Nya, Alkitab menyatakan: “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat” (Lukas 2:40). “Yesus pun lapar” (Matius 4:2). “Ia merasa letih” (Yohanes 4:6). “Maka menangislah Yesus” (Yohanes 11:35). “Ia sangat takut dan gentar” (Markus 14:33). “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan” (Galatia 4:4). Ini bukan penampilan luar, bukan sandiwara ilahi. Ini adalah realitas inkarnasi yang sejati.

Sebagai jawaban terhadap Eutychianisme, konsili Chalcedon menyatakan bahwa Kemanusiaan Kristus tidak lenyap, tidak diserap, dan tidak berkurang. Sebagai manusia Yesus dapat lapar, lelah, menderita, dan wafat. Penulis surat Ibrani menyatakan, “Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka… maka Ia harus dalam segala hal disamakan dengan saudara-saudara-Nya” (Ibrani 2:14, 17). Jika kemanusiaan-Nya tidak utuh, maka Ia tidak dapat menjadi Imam Besar yang dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita (Ibrani 4:15). Dua kodrat itu tetap berbeda, tetap dapat dibedakan namun bersatu dalam satu Pribadi ilahi yang mengambil keduanya.

Keputusan konsili Chalcedon memberikan empat pembatas yang menjadi pilar Kristologi ortodoks hingga hari ini, yaitu:

  1. Tanpa percampuran: kodrat ilahi tidak meleleh dalam kodrat manusia. Keduanya tidak bercampur seperti air dan anggur hingga menjadi zat ketiga. Keilahian tetap keilahian dengan seluruh atributnya; kemanusiaan tetap kemanusiaan dengan seluruh keterbatasannya. Alkitab tidak pernah mengatakan Allah “berubah menjadi” manusia seolah-olah terjadi transformasi substansial. Sebaliknya, Yohanes menulis dengan hati-hati: “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14) artinya Ia mengambil kodrat manusia tanpa kehilangan kodrat ilahi-Nya. Filipi 2:6-7 menjelaskan: “Ia, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Perhatikan klausul: Ia “mengambil rupa seorang hamba” sambil tetap “dalam rupa Allah.” Tidak ada percampuran, melainkan pengambilan.
  2. Tanpa perubahan: kodrat ilahi tidak berubah menjadi manusia. Allah tidak berhenti menjadi Allah ketika Ia mengambil tubuh. Inkarnasi bukan transformasi, melainkan asumsi—pengambilan kodrat manusia tanpa kehilangan kodrat ilahi. Maleakhi 3:6 menyatakan: “Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah.” Ibrani 13:8 menegaskan: “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” Ketika Logos menjadi manusia, Ia tidak berhenti menjadi Allah. Paulus menyebutnya “rahasia kesalehan yang besar: Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia” (1 Timotius 3:16) menyatakan, bukan berubah menjadi.
  3. Tanpa pembagian: Kristus tidak terbelah menjadi dua pribadi. Tidak ada “Yesus manusia” yang terpisah dari “Logos ilahi.” Satu Pribadi, selalu, dalam setiap momen, dalam setiap tindakan. Kesaksian Alkitab konsisten: yang berbicara selalu satu “Aku,” satu Subjek, satu Pribadi. Ketika Yesus berkata, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30), Pribadi yang sama kemudian berkata, “Aku haus” (Yohanes 19:28). Ketika Ia menyatakan, “Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yohanes 8:58), Pribadi yang sama juga berkata, “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas 23:46). Paulus menulis tentang “Tuhan Yang Mulia” yang disalibkan (1 Korintus 2:8). Bukan “manusia Yesus” yang disalibkan sementara Logos menonton, tetapi “Tuhan Yang Mulia” itu sendiri, yaitu satu Pribadi yang mengalami penyaliban dalam kodrat manusia-Nya.
  4. Tanpa pemisahan: dua kodrat itu tidak dapat dipisahkan sejak saat inkarnasi. Tidak ada momen di mana Kristus hanya ilahi atau hanya manusia, tidak ada waktu di mana salah satu kodrat “off” sementara yang lain “on.” Sejak inkarnasi hingga selamanya, Ia adalah Allah-Manusia. Bahkan setelah kebangkitan, Yesus tetap memiliki tubuh. Ia berkata kepada murid-murid-Nya: “Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku” (Lukas 24:39). Ia makan ikan bersama mereka (Lukas 24:42-43), bukan karena Ia perlu makan, tetapi untuk menunjukkan bahwa tubuh-Nya nyata. Bahkan dalam kemuliaan surgawi, Yohanes melihat “seorang Anak Manusia” (Wahyu 1:13), dan di takhta Allah, ada “Anak Domba yang seperti telah disembelih” (Wahyu 5:6). Dalam konteks ini disebut Sang Anak Domba masih ada bekas luka. Kodrat kemanusiaan-Nya tetap dipertahankan.

Penegasan konsili Chalcedon menyatakan jika Yesus bukan Allah sejati, peristiwa salib hanyalah kematian seorang manusia yang baik dan tragis, tetapi tanpa kuasa menebus atau menyelamatkan. Tidak ada yang dapat mengatakan seperti rasul Paulus, “Aku telah mati bersama dengan Kristus” (Galatia 2:19). Tidak mungkin “darah-Nya yang telah memerdekakan kita dari dosa-dosa kita” (Wahyu 1:5) jika darah itu hanya darah manusia biasa. Dosa terhadap Allah yang tak terbatas memerlukan tebusan yang tak terbatas—hanya Allah yang dapat memberikannya. Jika Yesus bukan manusia sejati, Ia tidak dapat menjadi pengganti kita. Rasul Paulus menulis, “Sama seperti semua orang mati dalam Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan dalam Kristus” (1 Korintus 15:22).

Tetapi bagaimana Kristus dapat menjadi Adam yang kedua jika Ia bukan manusia sejati? Bagaimana Ia dapat menjadi Imam Besar yang berbelaskasihan, “Imam Besar yang dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita” (Ibrani 4:15) jika Ia tidak sungguh-sungguh mengalami kelemahan-kelemahan itu? Penulis Ibrani menegaskan: “Karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai” (Ibrani 2:18). Jika Yesus ada dua pribadi, pertanyaan serius segera muncul: siapa yang menyelamatkan kita—manusia atau Allah? Siapa yang kita sembah di salib? Bagaimana persatuan kita dengan Kristus bisa terjadi jika Dia sendiri tidak bersatu secara pribadi? Jika kedua kodrat-Nya bercampur menjadi kodrat ketiga yang aneh, Ia bukan lagi manusia sejati yang dapat memahami kelemahan kita, dan pengantaraan-Nya tidak sah. Paulus sangat spesifik: “Satu Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Timotius 2:5). Ia harus tetap manusia, yaitu manusia sejati, manusia utuh untuk dapat menjadi Pengantara yang sah.

Konsili Chalcedon menjaga keseimbangan dengan setia pada kesaksian Alkitab bahwa Yesus adalah Allah yang sejati menjadi manusia sejati. Kristus sebagai Sang Firman yang berinkarnasi, Dia tanpa kehilangan apa pun dari keilahian-Nya, tanpa mencampurkan apa pun dengan kemanusiaan-Nya. Karena itu dalam kesatuan misterius itu, keselamatan menjadi nyata, keselamatan menjadi mungkin, keselamatan menjadi efektif.

Untuk lebih jelasnya kita akan memperdalam ulasan melalui kesaksian Alkitab. Ketika Yesus lapar di padang gurun setelah berpuasa empat puluh hari (Matius 4:2), inilah kemanusiaan sejati-Nya. Namun Pribadi yang lapar ini adalah Anak Allah yang kemudian mengusir Iblis dengan otoritas ilahi. Ketika Yesus tertidur di perahu di tengah badai (Markus 4:38), inilah kemanusiaan sejati-Nya sebab Ia lelah, butuh istirahat. Namun Pribadi yang tidur ini bangun dan memerintahkan angin dan laut, dan keduanya taat seketika (Markus 4:39) sesuatu yang hanya dapat dilakukan Allah (Mazmur 107:29). Murid-murid bertanya, “Siapakah Dia ini?” Pertanyaan yang tepat. Jawaban Khalsedon: Dia adalah satu Pribadi dengan dua kodrat.

Lalu bagaimana dengan kasus peristiwa pohon ara dalam Matius 21:18-20? Perikop ini memberikan ilustrasi yang sangat jelas tentang bagaimana dua kodrat ini bekerja tanpa saling meniadakan. Injil mencatat, “Ketika Ia kembali ke kota pada pagi-pagi hari, Ia merasa lapar. Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon itu: ‘Jangan lagi engkau berbuah selama-lamanya!’ Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu. Ketika murid-murid melihat kejadian itu, tercenganglah mereka dan berkata: Bagaimana mungkin pohon ara itu sekejab menjadi kering? Muncul pertanyaan kritis, “Bukankah ini menunjukkan Yesus tidak mahatahu? Mengapa Ia mendekati pohon ara yang tidak berbuah jika Ia adalah Allah?” Markus bahkan menambahkan keterangan penting: “karena memang bukan musim buah ara” (Markus 11:13). Apakah ini bukti bahwa kodrat ilahi-Nya “mati” atau “tidak berfungsi” saat itu? Apakah ini bukti model “on-off” yang dikritik Chalcedon?

Pertama, fakta teologis bahwa Yesus sedang lapar. Kodrat manusia-Nya yang sejati dapat lapar. Kelaparan adalah pengalaman manusiawi yang nyata, lengkap dengan sensasi fisik yang tidak menyenangkan. Kodrat manusia-Nya mengalami kebutuhan biologis seperti yang kita alami. Tidak ada ilusi di sini, tidak ada pura-pura. Inilah inkarnasi yang sejati. Allah sungguh-sungguh mengambil tubuh yang dapat merasakan lapar.
Kedua, tindakan empiris di mana Yesus mendekati pohon ara. Ini tindakan manusiawi dalam ruang dan waktu. Ia berjalan dengan kaki manusiawi, melihat dengan mata manusiawi, mendekati pohon dengan harapan manusiawi untuk menemukan buah. Ini adalah pengalaman manusia yang wajar—melihat pohon, berharap ada buah, mendekat untuk mengambilnya.
Ketiga, tindakan profetik di mana Yesus mengutuk pohon ara dengan otoritas ilahi, dan pohon itu mati seketika. Ini kuasa yang hanya dimiliki Allah. Tidak ada manusia biasa yang dapat membuat pohon mati dengan sebuah perintah. Ini adalah demonstrasi kuasa ilahi yang tidak dapat dibantah. Murid-murid tercengang bukan tanpa alasan sebab mereka menyaksikan sesuatu yang mustahil dalam kategori manusiawi.

Tetapi pertanyaan yang muncul adalah mengapa Yesus mendekati pohon yang tidak berbuah? Jika Ia mahatahu, bukankah Ia seharusnya tahu dari jauh bahwa pohon itu tidak berbuah? Di sini Chalcedon memberikan kerangka untuk memahami peristiwa ini tanpa jatuh ke dalam model “on-off.” Yesus tahu pohon itu tidak berbuah, dan seluruh peristiwa ini adalah tindakan profetik yang disengaja, bukan kesalahan empiris. Ini bukan tentang Yesus yang “salah lihat” atau “tidak tahu musim.” Namun melalui kondisi yang dialami-Nya Yesus sedang mengajarkan sesuatu melalui tindakan simbolis, yaitu metode yang sangat familiar dalam tradisi para nabi.

Pohon ara dalam tradisi para nabi adalah simbol yang mapan untuk Israel. Misalnya nabi Yeremia memberi kesaksian, “Mereka tidak berbuah lagi seperti pohon ara yang tidak ada buahnya” (Yeremia 8:13). Hosea mengingat masa lampau Israel: “Seperti buah ara yang kutemui di padang gurun, demikianlah Aku mendapati nenek moyangmu” (Hosea 9:10). Mikha meratap, “Celaka aku! Sebab keadaanku seperti pada pengumpulan buah-buahan musim kemarau, seperti pada pemetikan susulan buah anggur: tidak ada buah anggur untuk dimakan, atau buah ara yang kusukai” (Mikha 7:1). Ketika Yesus mendekati pohon ara yang berdaun lebat tetapi tidak berbuah, yaitu di tengah minggu terakhir-Nya di Yerusalem, setelah Ia menyucikan Bait Allah dari para penjual, Yesus sedang menghadirkan nubuat tindakan. Pohon yang berdaun tetapi tidak berbuah adalah gambaran sempurna Israel yang tampak religius dengan ritual dan liturgi Bait Allah, tetapi tidak menghasilkan buah pertobatan, tidak menghasilkan buah kebenaran sejati.

Yesus tidak sedang “salah lihat.” Ia sedang memprofetikan penghakiman atas Israel yang menolak-Nya. Ini sama seperti Hosea yang diperintahkan menikahi perempuan sundal (Hosea 1:2) bukan karena Hosea tidak tahu karakter perempuan itu, tetapi tepatnya karena ia tahu, dan pernikahan itu menjadi tindakan profetik. Ini sama seperti Yeremia yang memecahkan buli-buli tanah liat di hadapan para tua-tua (Yeremia 19:10) bukan karena ia ceroboh atau emosional, tetapi karena tindakan itu menyampaikan pesan Allah. Keilahian Yesus bekerja dalam makna dan tujuan tindakan profetik, bukan dalam proses biologis kelaparan. Ia lapar secara manusiawi sebagai kodrat manusia-Nya yang sejati. Tetapi Ia menggunakan momen kelaparan itu untuk menyampaikan pesan ilahi melalui tindakan simbolis. Itulah kodrat ilahi-Nya yang bekerja. Tidak ada “on-off.” Yang ada adalah satu Pribadi yang bertindak melalui dua kodrat secara simultan: lapar sebagai manusia, mengajar sebagai Allah.

Yesus sungguh mengalami keterbatasan manusiawi dalam pengetahuan empiris sehari-hari. Ia tidak tahu dari jauh apakah pohon itu berbuah atau tidak. Ia harus mendekat untuk melihat. Ia memilih untuk mengalami kehidupan manusia secara penuh tanpa memakai atribut ilahi-Nya secara eksplisit dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini rasul Paulus menyebut dengan kata “kenosis” dalam Filipi 2:6-8, “Ia, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Lalu dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Makna “mengosongkan diri-Nya” bukan berarti Yesus kehilangan keilahian. Namun yang dimaksudkan adalah Yesus tidak mengeksploitasi hak istimewa keilahian untuk membatalkan realitas manusiawi-Nya. Ia memilih untuk hidup dalam kondisi manusia yang sejati, dengan keterbatasan manusia yang sejati, meskipun Ia tetap memiliki kodrat ilahi-Nya secara penuh.

Kesaksian Lukas 2:52 menyatakan, “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Yesus bertambah hikmat? Bukankah ini bahasa pertumbuhan dan perkembangan dalam ilmu psikologi? Sebagai manusia, Yesus belajar, bertumbuh, dan mengalami perkembangan.

Di pihak lain Markus 13:32 memberi kesaksian, “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja.” Yesus dengan jujur mengakui ada sesuatu yang tidak Ia ketahui, setidaknya dalam kapasitas manusiawi-Nya. Ini bukan bukti bahwa Ia bukan Allah. Ini bukti bahwa Ia sungguh-sungguh manusia yang mengalami keterbatasan manusiawi dalam ekonomi keselamatan. Jadi dalam peristiwa pohon ara, sangat mungkin Yesus tidak tahu dari jauh apakah pohon itu berbuah. Ia harus mendekat dengan harapan manusiawi. Tetapi ketika Ia menemukan pohon itu tidak berbuah, Ia mengutuknya dengan otoritas ilahi. Kodrat manusia-Nya mengalami keterbatasan pengetahuan empiris; kodrat ilahi-Nya menjalankan kuasa yang tak terbatas. Keduanya bekerja dalam satu Pribadi, yaitu tidak bergantian, tidak saling mematikan, tetapi bekerja sesuai properti masing-masing.

Dari penjelasan di atas, kodrat ilahi-Nya tidak pernah “mati,” “tidur,” atau “terpisah” dari kodrat manusia-Nya. Yang lapar adalah satu Pribadi, Anak Allah dalam kodrat manusia-Nya. Yang mengutuk pohon ara adalah Pribadi yang sama adalah Anak Allah dalam kodrat ilahi-Nya. Tidak ada pergantian mode seperti saklar on-off. Tidak ada dua pribadi yang berbeda. Yang ada adalah satu Pribadi yang bertindak melalui dua kodrat sesuai dengan karakteristik masing-masing kodrat.

Pengertian Nestorianisme pribadi Yesus terbagi atau terpisah dalam kodrat ilahi dan insani adalah salah. Pemisahan berarti ada momen ketika salah satu kodrat tidak hadir. Yang benar adalah “satu Pribadi, dua kodrat” bekerja secara harmonis dalam setiap tindakan. Ketika Yesus lapar, kodrat ilahi-Nya tidak sedang “libur.” Ketika Yesus mengutuk pohon ara dengan kuasa ilahi, kodrat manusia-Nya tidak sedang “dimatikan.” Keduanya hadir, keduanya aktif, keduanya bekerja, tetapi sesuai dengan fungsi masing-masing. Analoginya seperti ketika seorang manusia berpikir, otaknya bekerja. Ketika ia berlari, kakinya bekerja. Otak tidak “mati” ketika kaki berlari, dan kaki tidak “mati” ketika otak berpikir. Keduanya adalah bagian dari satu orang yang sama, bekerja sesuai fungsi masing-masing. Tentu saja analogi ini terbatas. Kristus bukan “gabungan” dari dua bagian seperti tubuh manusia yang terdiri dari organ-organ. Tetapi prinsipnya Yesus sebagai satu Pribadi dengan dua kodrat, yang masing-masing berfungsi sesuai sifatnya, dan tanpa saling meniadakan.

Kasus ketika Yesus menangis di kubur Lazarus (Yohanes 11:35) merupakan kemanusiaan sejati-Nya. Namun beberapa saat kemudian, Pribadi yang sama berseru dengan otoritatif, “Lazarus, marilah ke luar!” (Yohanes 11:43), dan yang telah mati empat hari hidup kembali—kuasa yang hanya dimiliki Allah. Ketika Yesus berkata, “Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yohanes 14:28), Ia berbicara menurut kodrat manusia-Nya yang tunduk kepada Bapa dalam ekonomi keselamatan. Namun Pribadi yang sama berkata, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30) menurut kodrat ilahi-Nya yang sehakikat dengan Bapa. Ketika Yesus bertanya, “Siapakah yang menjamah Aku?” (Markus 5:30), Ia bertanya sesuai kodrat manusia-Nya yang mengalami sentuhan fisik dalam kerumunan. Namun saat itu juga Ia tahu dengan pengetahuan ilahi bahwa “kuasa telah keluar dari pada-Nya” yaitu pengetahuan yang melampaui pengalaman fisik biasa. Satu Pribadi, dua cara mengetahui, satu tindakan penyelamatan. Ketika Yesus mati di kayu salib dan berseru, “Sudah selesai!” (Yohanes 19:30), Ia wafat sesuai kodrat manusia-Nya, namun Allah dalam kodrat ilahi-Nya tidak dapat mati, dan tidak dapat berhenti ada. Namun yang wafat adalah Pribadi ilahi dalam kodrat manusia-Nya, sehingga rasul Paulus menyatakan bahwa Kristus adalah “Tuhan Yang Mulia” yang disalibkan (1 Korintus 2:8). Bukan “Yesus manusia mati sementara Logos tetap hidup,” tetapi Tuhan Yang Mulia adalah satu Pribadi ilahi. Ia mengalami kematian dalam kodrat manusia-Nya untuk menyelamatkan kita.

Ketika kita membaca Injil hari ini dan melihat Yesus lapar, lelah, menangis, kita tidak sedang menyaksikan keilahian-Nya yang “tidak berfungsi.” Sebaliknya kita sedang menyaksikan kemanusiaan sejati yang diambil oleh Pribadi ilahi dengan segala konsekuensinya. Ketika kita melihat Yesus mengampuni dosa dengan otoritas yang hanya dimiliki Allah, membangkitkan orang mati, berjalan di atas air, kita tidak sedang menyaksikan “mode ilahi” yang menggantikan “mode manusia.” Kita sedang menyaksikan satu Pribadi yang sama, yaitu Anak Allah yang telah menjadi Anak Manusia. Ia bertindak melalui dua kodrat-Nya secara harmonis.

Konsili Chalcedon menyatakan bahwa peristiwa inkarnasi Kristus bukan seperti sistem saklar yang hidup-mati (on-off), bukan dua pribadi yang bergantian peran, tetapi misteri kesatuan diri yang menyelamatkan. Seperti api yang menyala dalam semak duri tanpa menghanguskannya (Keluaran 3:2), demikianlah Allah hadir dalam daging manusia tanpa meniadakan kemanusiaan. Dan kemanusiaan itu hidup, bertumbuh, belajar, menderita, mati tanpa menghalangi keilahian, tanpa membatasi kuasa ilahi.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa konsili Chalcedon tidak menciptakan doktrin baru. Chalcedon tidak menambahkan sesuatu pada Injil. Konsili Chalcedon hanya menjaga, melindungi, merumuskan dengan hati-hati apa yang telah diajarkan para rasul, apa yang telah dinyatakan dalam Alkitab. Melalui rumusan “satu Pribadi, dua kodrat, tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahan” kita menemukan keseimbangan yang tepat dan kebenaran yang menyelamatkan. Kita melihat keduanya dalam kesatuan yang sempurna, yaitu Anak Allah yang menjadi Anak Manusia agar anak-anak manusia dapat menjadi anak-anak Allah. Ia turun agar kita dapat naik dalam kemuliaan sebagai anak-anak Allah (theosis). Inilah Kristus yang kita imani. Inilah Kristus yang kita sembah. Inilah Kristus yang menyelamatkan kita. Dan di hadapan misteri ini, kita bersujud dengan Tomas dan berseru, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yohanes 20:28). Sebab Dialah satu-satunya Pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Allah sejati yang menjadi manusia sejati demi keselamatan kita yang kekal (1Tim. 2:5).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono