“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka,
karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga” (Mat. 6:1).
Pembacaan Alkitab pada perayaan Rabu Abu memanggil umat percaya untuk mempraktikkan trilogi spiritualitas Yesus, yaitu doa, puasa, dan sedekah. Ketiga aspek tersebut menjadi pola kehidupan umat percaya yang membedakan dengan umat yang tidak mengenal Allah. Praktik trilogi spiritualitas kesalehan yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus bukanlah sesuatu yang baru. Ajaran Yudaisme yang menjadi latar-belakang kehidupan Yesus telah mempraktikkan doa, puasa, dan sedekah selama ribuan tahun. Agama-agama monoteistis dan kebijaksanaan seperti Hindu, Budha, dan Confusianisme mengenal dan mempraktikkan trilogi spiritualitas, yaitu doa, puasa, dan sedekah.
Agama-agama dan kepercayaan di dunia mempraktikkan trilogi spiritualitas (doa, puasa, dan sedekah) karena nilai-nilai rohani tersebut senantiasa terkait dengan 3 dimensi utama dalam kehidupan. Ketiga spiritualitas dalam ketiga dimensi tersebut adalah:
Doa | Relasi dan komunikasi dengan Tuhan | Vertikal |
Puasa | Penguasaan diri | Diri sendiri |
Sedekah | Peduli dan kasih kepada sesama | Horizontal |
Trilogi spiritualitas yang diajarkan oleh Yesus mengandung nilai universalitas yang dihayati oleh setiap agama dan kepercayaan. Jikalau demikian, apakah ada faktor pembeda antara ajaran Yesus dengan agama-agama dan kepercayaan dalam trilogi spiritualitas (doa, puasa, dan sedekah) tersebut?
Kekhasan trilogi spiritualitas yang diajarkan oleh Kristus ditandai oleh sikap ketersembunyian dalam mempraktikkan doa, puasa, dan sedekah.
Matius 6:4 | Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. |
Matius 6:6 | Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. |
Matius 6:18 | Supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. |
Dalam trilogi spiritualitas yang diajarkan oleh Kristus, aspek “ketersembunyian” menentukan kualitas praktik ketiga bentuk kesalehan dalam berdoa, berpuasa, dan bersedekah. Prinsip spiritualitas ketersembunyian berkaitan dengan motif, tujuan, dan cara mempraktikkan trilogi spiritualitas dalam berdoa, berpuasa, dan bersedekah.
- Makna “motif” menunjuk bahwa dasar atau alasan yang menggerakkan seseorang atau komunitas melakukan kesalehan dalam bentuk doa, puasa, dan sedekah semata-mata untuk Allah.
- Makna “tujuan” dalam melaksanakan trilogi spiritualitas adalah mengejawantahkan sikap iman kepada Allah di dalam kasih yang tulus/murni.
- Makna “cara mempraktikkan” adalah membebaskan umat dari kemunafikan atau kepalsuan.
Trilogi spiritualitas ketersembunyian yang diajarkan oleh Kristus berkaitan dengan prinsip ajaran-Nya di dalam Matius 5:48, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Trilogi spiritualitas kesalehan yang diajarkan oleh Kristus dijangkarkan pada panggilan “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Dari sudut struktur teks antara Matius 6:1-18 dengan Matius 5:48 sebenarnya kedua teks tersebut menyatu. Karena itu untuk memahami Matius 6:1-18 tidak dapat dilepaskan dari Matius 5:48 tentang panggilan umat untuk sempurna sebab Bapa di sorga adalah sempurna.
Makna “kesempurnaan” yang dimaksud oleh Kristus tidak akan dicapai oleh umat percaya tanpa “ketersembunyian.” Tentunya secara faktual makna “kesempurnaan” yang dimaksud oleh Kristus dalam konteks ini tidak dalam pengertian manusia sebagai ciptaan dapat mencapai kesempurnaan dan menyamai Allah. Keberadaan manusia sebagai ciptaan tidak akan pernah berubah menjadi Pencipta. Manusia dalam keberadaannya selaku ciptaan tidak akan dapat menjadi sehakikat dengan Allah yang adalah Pencipta. Di antara manusia dengan Allah terbentang suatu jurang keberadaan yang tak terjembatani. Manusia adalah mahluk yang fana, terbatas, dan berdosa. Allah adalah Sang Pencipta yang kekal, sempurna, kudus, dan mahakuasa.
Panggilan Kristus agar umat sempurna, sama seperti Bapa yang di sorga adalah sempurna lebih tepat dipahami sebagai “pengudusan diri.” Dalam pengajaran gereja Orthodoks Timur panggilan pengudusan diri itu disebut “theosis.” Arti kata “theosis” berasal dari kata “Theos” (Allah), dan “osis” (proses). Pengertian “theosis” bukan berarti manusia akan mengalami proses menjadi Allah. Iman Kristen menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah menjadi ilahi, apalagi Allah. Peristiwa “theosis” dialami oleh umat percaya karena karya penebusan Kristus, sehingga Roh Kudus memampukan umat untuk hidup menurut gambar dan rupa Allah. Tanpa karya penebusan Kristus, manusia akan terbelenggu di bawah kuasa dosa.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam karya penciptaan, Allah menciptakan manusia “menurut gambar dan rupa-Nya” (Kej. 1:26). Gambar dan rupa Allah yang dimaksud adalah Yesus Kristus. Kolose 1:15 menyatakan, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Subjek “Ia adalah gambar Allah” di Kolose 1:15 adalah Yesus Kristus. Jadi dalam karya penciptaan, manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Kristus, sebab Kristus adalah Sang Firman Allah (Dabar Adonai). Firman itu sehakikat dengan Allah.
Dalam praktiknya, sejak semula manusia melawan Allah, akibatnya seluruh keberadaan manusia jatuh di bawah kuasa dosa. Pemulihan terjadi apabila manusia percaya kepada Kristus. Di dalam dan melalui karya penebusan Kristus, Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya. Melalui wafat dan kebangkitan Kristus keberadaan manusia yang telah jatuh di bawah kuasa dosa dipulihkan. Di dalam Kristus, umat percaya dijadikan sebagai “anak-anak Allah.” Firman Tuhan berkata, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya” (Yoh. 1:12).
Kedudukan manusia di dalam karya penebusan Kristus sebagai “anak-anak Allah” telah dimulai. Saat kita dibaptis dan mengaku percaya (sidi) sesungguhnya kita telah dihisabkan ke dalam persekutuan ilahi. Namun bukan berarti hidup kita secara otomatis memiliki sifat-sifat (karakter Kristus). Perjalanan iman ke tahap paripurna sebagai “anak-anak Allah” dalam persekutuan dengan Allah apabila umat percaya mencapai “theosis.” Analogi kehidupan umat percaya ke tahap “theosis” digambarkan oleh seorang bapa gereja bernama Yohanes Kristotomus yang berkata, “It is not enough to leave Egypt (sin and death), one must also enter the Promised Land (theosis). Between Egypt and the Promised Land lies a desert (hence the need for ascesis) in our journey the desolate desert of sin and death toward theosis (the promised land).”
Melalui sakramen baptisan dan sidi setiap umat percaya telah meninggalkan dosa dan kematian (tanah Mesir). Namun keselamatan tersebut perlu diwujudkan ke tujuan akhir yaitu theosis (pengudusan atau pengilahian dalam persekutuan dengan Allah). Di pihak lain perjalanan ke tujuan akhir “theosis” setiap umat percaya masih harus melalui padang gurun dunia. Mereka mengalami berbagai macam godaan, ujian, dan pencobaan dari dunia. Karena itu mereka harus senantiasa menyangkal diri (bertarak) dari keinginan dan hawa-nafsu dosa. Selama berjalan di padang gurun dunia mereka harus menjaga kemurnian hati, yaitu melalui spiritualitas doa, puasa, dan sedekah.
Kemurnian hati melalui spiritualitas doa, puasa, dan sedekah akan terwujud apabila dilakukan dalam “ketersembunyian.” Praktik doa, puasa, dan sedekah tidak boleh dimanipulasi untuk mengejar keselamatan. Sebaliknya praktik kesalehan dalam doa, puasa, dan sedekah dilakukan sebagai respons manusia akan anugerah keselamatan di dalam karya penebusan Kristus. Sebagai respons pada anugerah keselamatan Allah berarti tidak ada satupun perbuatan baik dan kesalehan manusia yang dapat menambah sedikitpun karya penebusan Kristus. Karya penebusan Kristus sempurna sekali dan untuk selama-lamanya. Surat Ibrani menyatakan, “Dan Ia telah masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri. Dan dengan itu Ia telah mendapat kelepasan yang kekal” (Ibr. 9:12).
Dengan spiritualitas “ketersembunyian” saat mempraktikkan kesalehan melalui doa, puasa, dan sedekah umat percaya mengalami pemurnian hati (katarsis). Umat percaya dibebaskan dari kepalsuan rohani saat mereka berdoa, berpuasa, dan sedekah. Karena itu saat melaksanakan trilogi spiritualitas kesalehan tersebut mereka menyadari seluruh ketidaklayakan dan keberdosaan di hadapan Allah, “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin” (Yes. 64:6). Di dalam dan melalui spiritualitas “ketersembunyian” umat percaya secara bertahap membebaskan diri dari pola transaksional dengan Allah.
Arti pola transaksional dengan Allah melalui praktik kesalehan apabila setiap bentuk kesalehan dilakukan dengan motif untuk memperoleh balasan berupa “pahala.” Mereka melakukan praktik doa, puasa, dan sedekah agar Allah menganggapnya sebagai amal, sehingga Allah berkenan memberikan balasan atas perbuatan baik atau kesalehan yang telah dilakukan. Melalui pola transaksional dengan Allah tersebut setiap orang dimungkinkan untuk mencapai keselamatan dengan upayanya sendiri. Semakin manusia mampu melakukan berbagai perbuatan baik, ia beranggapan telah berhasil menanam investasi keselamatan kekal di sorga. Ajaran dengan pola transaksional berlawanan dengan prinsip kasih.
Hakikat kasih yang mendasar adalah tanpa syarat (unconditional love). Kasih dipraktikkan bukan bersyarat (conditional). Kasih yang bersyarat bukanlah kasih. Demikian pula kesalehan yang bersyarat, bukanlah kesalehan. Kunci utama yang memampukan manusia melaksanakan kesalehan apabila dilakukan dalam spiritualitas “ketersembunyian.” Dalam spiritualitas “ketersembunyian” mengandung di dalamnya prinsip tanpa syarat. Jadi dengan menghayati spiritualitas “ketersembunyian” umat percaya mengalami kemurnian hati (katarsis), sehingga mereka semakin dimampukan untuk mengalami penyingkapan (iluminasi) kebenaran firman (theoria).
Tahap iluminasi (theoria) adalah tahap spiritualitas yang memampukan umat percaya mengalami penerangan Roh Kudus. Di tahap “theoria” umat percaya hanya akan memikirkan perkara-perkara di atas. Firman Tuhan menyatakan, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol. 3:1-2). Mereka tidak lagi tertarik untuk memikirkan hal-hal yang duniawi dan keinginan daging. Sebaliknya umat percaya tertarik dan berkomitmen untuk hidup menurut Roh, dan menolak hidup menurut keinginan daging (Gal. 5:16). Kesalehan di dalam doa, puasa, dan sedekah dipraktikkan dalam perspektif terang Roh Kudus (iluminasi).
Wujud kesalehan melalui praktik doa, puasa, dan sedekah dalam spiritualitas “ketersembunyian” adalah:
Doa | Persekutuan kasih yang mendalam dan eksklusif umat percaya dengan Allah, sehingga mengalami gairah cinta ilahi. | Umat tidak lagi menuntut dan memaksakan diri, namun berserah penuh kepada kehendak Allah. |
Puasa | Penyangkalan diri yang melepaskan dari setiap belenggu keinginan duniawi sehingga mengalami pemurnian hati. | Umat tidak lagi berpuasa sebagai kewajiban keagamaan, tetapi kerinduan kasih untuk hidup murni. |
Sedekah | Pengejawantahan kasih Allah yang peduli dengan sesama yang menderita, dan panggilan untuk memberdayakan serta memulihkan mereka menurut harkat manusia. | Umat menghayati sedekah sebagai kepanjangan tangan Kristus, sehingga tidak sekadar karitatif, tetapi reformatif. |
Dari uraian di atas kita melihat spiritualitas “ketersembunyian” mengandung 3 tahap yang saling terkait, yaitu katarsis, theoria, dan theosis.
- Di tahap “katarsis” umat percaya dimampukan untuk bebas dari kepalsuan atau kemunafikan, sebab tidak lagi dipengaruhi oleh kemelekatan dengan semua bentuk keinginan dunia (1Kor. 7:31).
- Di tahap “theoria” umat percaya mengalami pencerahan (iluminasi) sehingga semata-mata memikirkan dan mempraktikkan perkara-perkara kebenaran dan kehendak Allah. Mereka hanya mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Mat. 6:33)
- Di tahap “theosis” umat percaya mengalami pengudusan, yaitu persekutuan yang semakin intim dengan Allah. Kehidupan umat percaya adalah menghasilkan Buah Roh (Gal. 5:22-23)
Dalam seluruh tahap spiritualitas “ketersembunyian” tersebut tujuan utama umat percaya adalah theosis, yaitu serupa dengan Kristus (imitatio Christi). Umat percaya memancarkan cahaya kemuliaan Kristus di setiap aspek kehidupannya. Mereka tidak lagi memiliki sedikit pun kegelapan, sebab senantiasa hidup dalam terang.
Nilai spiritualitas kesalehan yang dipraktikkan melalui doa, puasa, dan sedekah dalam spiritualitas ketersembunyian Yesus merupakan respons iman atas anugerah keselamatan Allah yang telah dinyatakan dalam karya penebusan Kristus di atas kayu salib. Trilogi spiritualitas ketersembunyian yang diajarkan oleh Kristus merupakan media bertarak (askesis) dalam perjalanan di padang gurun dunia, sehingga hati kita tetap murni menuju Tanah Terjanji (theosis).
Dalam tahap “theosis” selaku umat percaya kita dimampukan melihat Allah di dalam realitas hidup sehari-hari. Tuhan Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono