Friendship with oneself is all important, because without it one cannot be friends with anyone else in the world.
(Eleanor Roosevelt)
Kita sering lebih peduli dan fokus pada upaya persahabatan dengan orang lain. Tetapi upaya tersebut akan banyak mengalami kegagalan, apabila kita gagal menjalin persahabatan dengan diri sendiri. Kegagalan menjalin persahabatan dengan diri sendiri adalah masalah yang paling krusial dalam kehidupan kita. Sebab persahabatan dengan diri sendiri menentukan bagaimana kita mampu menjadi diri sendiri. Kegagalan bersahabat dengan diri sendiri menyebabkan kita tidak pernah menjadi diri sendiri, sehingga kita cenderung memusuhi diri sendiri. Sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak orang yang sedang memusuhi diri mereka sendiri. Mereka membenci diri sendiri dan tidak mampu menerima keberadaan diri dengan ucapan syukur. Mereka melihat begitu banyak kekurangan yang terdapat pada diri mereka dibandingkan dengan sesama yang mereka jumpai. Penyebabnya adalah karena mereka memiliki gambar-diri yang negatif.
Gambar diri yang negatif adalah gambar diri yang tidak sesuai dengan kodrat kemanusiaan manusia. Sebab Allah menciptakan manusia dengan gambar diri yang positif, yaitu menurut gambar diri yang sesuai dengan kehendak-Nya. Di Kejadian 1:26, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Pada hakikatnya Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.
Dalam konteks Kejadian 1:26, kita menjumpai dua kata yang dipakai, yaitu “gambar” (tselem) dan “rupa” (demut). Kata “tselem” dalam Perjanjian Lama dipakai sebanyak 17 kali. Makna kata “gambar” (tselem) adalah menunjuk pada replika suatu bentuk atau bayangan dari bentuk aslinya. Kata “tselem” berasal dari kata “tsal” yang artinya: bayangan. Dalam Perjanjian Baru, kata “tselem” (gambar) diterjemahkan menjadi “eikon.” Kata “eikon” dipakai di Kolose 1:15 untuk menunjuk pada jati-diri Kristus, yaitu: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Kristus adalah Gambar Allah yang sesungguhnya, sedangkan manusia hanyalah diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah.” Dengan demikian gambar diri yang negatif atau rusak adalah gambar diri yang tidak sesuai dengan tabiat dan karakter Kristus.
Kata “rupa” (demut) sebenarnya berasal dari akar kata “darah” atau “damah” (דם). Karena itu makna kata “demut” dipakai untuk menunjuk keturunan berdasarkan darah, sebab seseorang yang lahir dari suatu keturunan akan memiliki watak yang mirip. Anak mewarisi watak ayah atau ibunya karena itu ia memiliki kesamaan atau kemiripan dalam bentuk tubuh, wajah dan tingkah-lakunya. Demikian pula manusia yang diciptakan Allah menurut rupa-Nya seharusnya memiliki bentuk dan perilaku yang sesuai dengan Sang Pencipta-nya. Salah satu watak yang utama dari Allah adalah kasih, adil, dan kudus. Karena itu seharusnya setiap umat memiliki watak Allah yaitu cinta-kasih, keadilan dan kekudusan. Dengan sikap kasih, adil dan kudus seseorang mampu bersahabat dengan diri sendiri sebab ia memberlakukan kasih, keadilan dan kekudusan kepada dirinya sendiri.
Kegagalan bersahabat dengan diri sendiri merupakan kegagalan seseorang untuk menghayati identitas dirinya sebagai seorang pribadi yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Realitas kuasa dosa telah merusak gambar dan rupa Allah. Menurut Bapa Agustinus, khususnya Johanes Calvin menyatakan bahwa manusia mengalami kerusakan total (total depravity) sehingga ia menjadi hamba dosa dan menolak anugerah keselamatan Allah. Dengan keberadaannya yang cenderung untuk mengasihi dan berpusat kepada dirinya daripada kepada Allah, maka manusia secara menyeluruh tidak memiliki motif yang baik untuk bertindak, dan lemah dalam mengimplementasikan sikap etis-moral dalam kehidupannya. Karena itu manusia memusuhi dirinya sendiri juga. Manusia gagal untuk bersahabat dengan dirinya sendiri. Manusia tidak mampu berdamai dengan dirinya sendiri, sehingga ia sering mengalami konflik secara batiniah.
Konflik secara batiniah berarti seseorang menghadapi suatu situasi yang tidak harmonis dengan dirinya sendiri, khususnya dengan suara hatinya. Di Roma 2:15 Rasul Paulus berkata: “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” Kata “suara hati” dalam Roma 2:15 dipakai kata “suneidesis” yang artinya: 1). Kesadaran akan sesuatu, 2). Roh yang secara moral mampu membedakan antara yang baik dan buruk, 3). Mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan dan menghindari untuk melakukan hal yang lain, 4). Memuji atau mengutuk atas perbuatan tertentu. Apabila manusia melawan suara hatinya, maka ia mengalami suara yang mengingatkan dan menegur. Melalui suara hatinya, manusia secara intensif bersoal-jawab dengan dirinya sendiri. Menurut Verkuyl, dengan suara hatinya manusia menjadi Pembuat peraturan, Hakim dan Pembalas terhadap perbuatannya sendiri. Pembuat peraturan adalah Index, Hakim adalah Judex, dan Pembalas perbuatannya sendiri adalah Vindex. Kegagalan manusia bersahabat dengan dirinya sendiri terlihat dari suara hatinya yang lebih banyak berperan sebagai Pembalas perbuatannya sendiri (Vindex) sehingga ia senantiasa merasa gelisah, tertuduh, dan kuatir. Semakin sering kita merasa gelisah, tertuduh, dan kuatir semakin menunjukkan bahwa kita sedang bermusuhan dengan diri sendiri.
Bersahabat dengan diri sendiri berarti menjadikan suara hati kita sebagai Hakim (Judex) yang memberi peringatan dan pertimbangan sehingga kita mampu mengambil keputusan yang benar. Suasana hati yang dialami saat kita bersahabat dengan diri sendiri adalah perasaan damai-sejahtera sebab tidak mengalami konflik batiniah. Karena itu kita semakin dimampukan untuk memahami suatu permasalahan dengan hati yang jernih dan bijaksana. Melalui kejernihan suara hati kita juga dimampukan untuk mendengarkan dan memahami pergumulan orang lain atau sesama di sekitar kita. Kita dimampukan untuk lebih berempati. Sebab empati hanya terjadi saat kita sedang berdamai dengan diri sendiri. Sebaliknya saat suara hati kita mengalami konflik, yaitu berperan sebagai Vindex (Pembalas perbuatan terhadap diri sendiri), maka kita akan cenderung bersikap antipati kepada orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan harapan atau pemikiran kita. Kita juga akan terdorong untuk memiliki keinginan membalas perbuatan orang-orang yang menyakiti hati kita. Semakin besar peran Vindex dalam suara hati kita, semakin besar pula daya dorong (kecenderungan) dalam kepribadian kita untuk membalas kekerasan dengan kekerasan, kekejaman dengan kekejaman, dan kejahatan dengan kejahatan.
Selain konflik batin dinyatakan melalui konflik dalam suara hati antara suara hati yang berperan sebagai Hakim (Judex) dan Pembalas perbuatan (Vindex), juga dinyatakan dalam rasa malu. Di Kejadian 3:7 menyatakan: “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.” Dalam kesaksian Kejadian 3:7 tersebut, rasa malu tidak diungkapkan secara eksplisit. Tetapi secara implisit dinyatakan yaitu kesadaran diri bahwa mereka sedang telanjang sehingga menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Pada pihak lain Kejadian 3:10 mengungkapkan rasa malu diidentikkan dengan perasaan takut, yaitu: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Karena itu makna “aku bersembunyi” adalah menunjuk pada perasaan malu dan takut. Dalam teks Ibrani kata “aku bersembunyi” dipakai kata chaba, yang artinya: memaksakan diri untuk menyembunyikan diri. Kata “chaba” juga kita temukan di Kitab 1 Samuel 10:22 yaitu Saul yang memilih bersembunyi di antara barang-barang: “Sebab itu ditanyakan pulalah kepada TUHAN: Apa orang itu juga datang ke mari? TUHAN menjawab: “Sesungguhnya ia bersembunyi di antara barang-barang.” Rasa malu sehingga manusia bersembunyi menyatakan dimensi terdalam pada diri manusia, yaitu bekas luka-luka dosa di hadapan Allah. Seorang yang tidak bersalah atau melakukan kesalahan, dia tidak akan menyembunyikan dirinya.
Rasa malu membuat manusia tidak merasa nyaman dengan keberadaan dirinya sebab dia dikejar oleh perasaan bersalah. Kita tidak dapat bersahabat dengan diri sendiri manakala sedang dikuasai oleh rasa malu. Agar kita tidak merasa malu, maka kita harus berupaya untuk menyembunyikan kesalahan dari hadapan orang lain. Rasa malu perlu diselesaikan secara positif, yaitu berdamai dengan diri sendiri yaitu membayar ganti rugi. Salah satu ganti rugi yang dilakukan adalah melalui penebusan berupa hewan kurban. Karena itu rasa malu akibat suatu kesalahan dalam sejarah agama-agama dinyatakan dengan pemberian hewan kurban. Di Imamat 5:15 menyatakan seseorang yang berbuat dosa harus mempersembahkan kepada Tuhan sebagai tebusan salahnya berupa seekor domba jantan yang tidak bercela. Dalam iman Kristen rasa malu di hadapan Allah ditebus bukan dengan hewan kurban, tetapi oleh kematian Kristus selaku Sang Anak Domba Allah. Karena itu dengan kematian Kristus, kita diperdamaikan dengan Allah. Di dalam karya penebusan Kristus, Allah menyatakan keadilan dan kebenaran-Nya sehingga umat percaya diperdamaikan dengan diri-Nya. Sangat menarik makna rasa malu berkaitan dengan membayar “ganti rugi” melalui hewan kurban dihayati pula dalam pemikiran Mensius. Menurut Mensius, dorongan untuk melakukan “Yi pada hakikatnya didasarkan pada rasa malu (). Rasa malu atau rasa bersalah mendorong seseorang untuk melakukan Yi. Mensius memberi contoh: “Setiap pribadi yang merampok orang lain dan menyebabkan kematian orang itu akan menanggung rasa malu dan mencoba membayar ganti rugi” (Koller 2010, 561). Huruf Yi terdiri dari dua bagian, yaitu: anak domba + aku. Bentuk susunan dalam huruf Yi adalah posisi anak domba berada di atas “aku” (saya). Posisi anak domba yang berada di atas diriku terlihat dalam gambar aksara:. Secara harfiah, huruf Yi menyatakan bahwa seseorang akan memeroleh kebenaran apabila ia menjunjung anak domba. Manusia (“diriku”) harus menjunjung atau menempatkan anak domba tersebut karena keberadaan “diriku” sebagai manusia tidaklah memadai (Voo dan Larry Hovee 1999, 86). Kata “aku” di sini mengandung kondisi “tidak memadai” (), sehingga “aku” membutuhkan anak domba untuk memeroleh kebenaran dan keadilan.
Jikalau kita telah menerima pendamaian melalui karya penebusan Kristus, seharusnya kita tidak lagi dibelenggu oleh perasaan malu dan bersalah di hadapan Tuhan. Karya penebusan Kristus seharusnya memampukan kita hidup dengan hati nurani yang murni. Melalui karya penebusan Kristus, Roh Kudus memurnikan suara hati sehingga kita tidak lagi didakwa atau dituduh oleh kuasa dosa. Di Surat 2 Timotius 1:3, Rasul Paulus berkata: “Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku.” Makna hidup baru di dalam Kristus seharusnya ditandai dengan suara hati atau hati-nurani yang telah dibarui. Sebab dengan suara hati yang telah dibarui, umat memiliki kemampuan untuk mengutarakan pikiran, perasaan dan kehendak dengan cara yang murni pula. Sebaliknya tanpa suara hati yang murni, umat akan mudah mengungkapkan kata-kata yang beracun dan melukai hati orang lain. Suara hati yang murni akan menghasilkan pikiran dan perkataan yang lemah-lembut, tidak sombong dan bijaksana. Jadi pertumbuhan karakter kita ditentukan oleh seberapa murni suara hati kita. Karakter kita tidak akan mengalami pembaruan yang signifikan bilamana suara hati kita sering mengalami konflik.
Hambatan terbesar suara hati kita tetap murni adalah bilamana kita masih menyimpan akar pahit dalam kehidupan kita. Sebab akar pahit yang tersimpan dalam batin menyebabkan suara hati kita tercemar oleh kemarahan, kebencian, iri-hati, dan perasaan dendam. Surat Ibrani 12:15 menyatakan: “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” Fungsi akar tanaman atau pohon adalah mencari makanan bagi tanaman atau pohon dan memampukan tanaman atau pohon tersebut tetap berdiri tegak. Namun apabila akar kehidupan kita tersebut berubah menjadi pahit, maka seluruh batang, ranting, daun dan buah dari tanaman tersebut akan menjadi beracun. Tanaman tersebut akan mematikan setiap orang yang makan buah dari pohon tersebut. Akar yang pahit dalam kepribadian kita tersebut terjadi karena trauma-trauma yang pernah kita alami, kesalahan dan dosa yang pernah kita perbuat, dan kualitas batin yang miskin dalam pengampunan.
Namun akar pahit di dalam batin kita akan berubah menjadi akar yang manis apabila kita bersedia hidup dalam anugerah keselamatan Allah. Surat Ibrani 12:15 mengingatkan agar supaya setiap umat percaya menempatkan kasih-karunia Allah sebagai landasan hidupnya. Melalui kasih-karunia Allah, umat dimampukan untuk mengampuni orang-orang yang pernah melukai hati dan berdamai dengan masa lalu yang pahit. Dengan demikian melalui kasih-karunia Allah, setiap umat percaya akan dipulihkan kembali gambar diri-nya menurut gambar dan rupa Allah yang secara sempurna telah dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Hidup dalam kasih-karunia Allah berarti umat mengalami kehidupan yang telah dibarui di dalam karya penebusan Kristus sehingga mereka tidak lagi mengalami konflik-konflik batin dengan suara hati yang menuntut pembalasan. Bersahabat dengan diri sendiri berarti kita semakin minim mengalami konflik-konflik di dalam suara hati, sebab suara hati tersebut semakin murni diterangi oleh kebenaran firman Tuhan. Karena itu bersahabat dengan diri sendiri memampukan umat untuk bersahabat dengan sesama dan Allah dalam kemurnian dan kekudusan.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono