Tugas Kenabian Masa Kini (Mal. 3:1-4; Luk. 1:68-79; Flp. 1:3-11; Luk. 3:1-6)
Secara umum makna tugas kenabian adalah menyampaikan kebenaran terhadap sesuatu yang dianggap menyimpang atau bertentangan dengan firman Tuhan. Menyampaikan tugas kenabian berarti menyampaikan kehendak Allah dalam situasi tertentu dengan tujuan yaitu terwujudnya suatu pembaruan yang seharusnya, sehingga umat kembali hidup dalam kebenaran dan keadilan. Karena itu tugas kenabian tidak terlepas dengan kritik dan teguran. Nabi Natan mengkritik raja Daud yang berzinah dan membunuh suami Betsyeba. Yohanes Pembaptis mengkritik raja Herodes yang merebut istri Filipus, saudaranya.
Dalam kisah Alkitab sering pelaku yang melaksanakan tugas kenabian adalah para nabi atau orang-orang khusus yang dipilih Allah. Mereka dianggap memiliki kapasitas dan wewenang untuk melakukan teguran kepada para penguasa. Namun kita jarang mendengar seorang rakyat menyampaikan kritik dan teguran. Kita jarang mendengar umat berani menegur pimpinannya. Sebab rakyat atau umat menganggap dirinya berada pada level yang lebih rendah sehingga dia merasa tidak pantas menyampaikan teguran atau kritik kepada orang-orang yang dianggap “lebih tinggi” yaitu sebagai pimpinannya. Di tengah-tengah situasi demikian umat atau rakyat lebih suka menyalurkan “kritik” mereka melalui gosip atau kasak-kusuk. Mereka membicarakan di belakang orang-orang yang sedang dibicarakan dengan harapan orang tersebut kelak dapat mendengarnya tetapi tidak mengetahui sumber informasi tersebut. Mereka takut apabila pimpinan atau orang yang dihormati tersebut tersinggung atau marah bila ditegur langsung. Pola komunikasi gosip dan sejenisnya hendak menyampaikan bahwa kehidupan gereja dan masyarakat masih dihayati secara hirarkhis, yaitu struktur masyarakat yang terdiri dari level atas sebagai kelompok elit dan masyarakat sebagai kelompok rendah. Umat belum terlatih untuk menyampaikan kebenaran berupa kritik atau teguran secara gentleman.
Gereja-gereja dan masyarakat yang dipengaruhi oleh gerakan reformasi Martin Luther dan Calvin sebenarnya tidak menghayati pola kepemimpinan yang hirarkhis. Sumbangsih pemikiran reformasi gereja abad XVI adalah membangun masyarakat yang lebih egaliter, yaitu masyarakat yang mengutamakan kesetaraan. Para bapa reformator mengutip Surat 1 Petrus 2:9 sebagai dasar teologisnya yang menyatakan: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Atas dasar Surat 1 Petrus 2:9, para bapa reformator gereja membangun kehidupan gereja tidak lagi secara hirarkhis tetapi berdasarkan “Imamat Am orang percaya.” Dengan pemahaman “Imamat Am orang percaya” gereja tidak dibangun berdasarkan kekuasaan yaitu level tinggi-rendah, tetapi dengan kedudukan yang setara dengan fungsi yang berbeda-beda. Pendeta, Penatua, Diaken, dan Umat pada hakikatnya setara dalam kedudukan, tetapi memiliki fungsinya masing-masing. Dengan prinsip kesetaraan tersebut diharapkan umat bisa menyampaikan teguran dan kritik secara langsung, yaitu diajak bicara empat mata. Dasarnya adalah pengajaran Tuhan Yesus di Matius 18:15, yaitu: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” Teguran atau kritik yang baik bukanlah untuk mempermalukan atau menjatuhkan pribadi seseorang di depan publik.
Menurut pengajaran Tuhan Yesus tugas kenabian umat atau gereja selain menyampaikan kritik dan teguran seharusnya tetap didasarkan pada kasih dan sikap yang tidak menghakimi. Menyampaikan suara kenabian tidak identik dengan sikap yang menghakimi. Dengan perkataan lain apabila kita menghakimi orang lain yang dianggap bersalah, sesungguhnya kita telah mengkhianati tugas kenabian sebagai “Imamat Am orang percaya.” Sebab dengan sikap menghakimi orang lain kita sedang menempatkan diri kita lebih tinggi, lebih benar, dan merasa diri lebih suci dibandingkan dengan sesama yang dianggap bersalah. Tugas kenabian didasarkan pada kerendahan hati yang mengandalkan penyataan Allah, dan bukan pada kebenaran dan keyakinan yang fanatik. Dari sudut rohani semakin kita mudah menghakimi orang lain sebenarnya kita sedang menyembunyikan berbagai borok dan dosa-dosa yang tersembunyi. Semakin banyak kita melakukan kesalahan dan dosa yang disembunyikan, kita akan berusaha menutup serapat-rapatnya agar tidak terlihat oleh orang lain. Tetapi semakin kita menutup serapat-rapatnya, timbul tekanan psikologis bagi kita untuk mencari pembenaran diri. Dasarnya adalah dosa atau kesalahan tersebut selalu menimbulkan perasaan bersalah (guilty feeling). Bentuk pembenaran diri adalah mencari orang yang dianggap “lebih buruk” atau “lebih kurang” kualitasnya daripada kehidupan kita. Caranya adalah menghakimi orang yang dianggap bersalah “habis-habisan” untuk menunjukkan betapa rusak kehidupan orang tersebut dibandingkan dengan kehidupan kita yang sebenarnya lebih rusak.
Pada Minggu Adven Kedua ini kita diajak melihat peran Yohanes Pembaptis yang melaksanakan tugas kenabiannya. Kisah populer tugas kenabian Yohanes Pembaptis adalah tegurannya yang keras kepada raja Herodes Antipas yang merebut istri Filipus saudaranya (Luk. 3:19-20). Namun tugas kenabian Yohanes Pembaptis yang menegur secara pribadi dan lembut jarang diangkat. Misalnya:
- Yohanes Pembaptis yang menyampaikan nasihat secara pribadi kepada beberapa orang bagaimana mereka harus membagi baju dan makanan (Luk. 3:11).
- Kepada para pemungut cukai, Yohanes Pembaptis memberi nasihat: “Jangan menagih lebih banyak daripada yang ditentukan” (Luk. 3:13).
- Kepada para prajurit, Yohanes Pembaptis memberi nasihat: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (Luk. 3:14).
Yohanes Pembaptis dalam melakanakan tugas kenabiannya tetap menjunjung etika komunikasi. Dia tahu kapan dan saat yang tepat menyampaikan kritik secara publik dan kritik secara pribadi. Tugas kenabian seharusnya tidak dilakukan seseorang dengan kasar, tanpa pikir panjang, dan sikap menghakimi. Bahkan raja Herodes Antipas pada dasarnya bersikap simpatik dengan sikap Yohanes Pembaptis walau ia ditegur. Di Markus 6:20 menyatakan: “sebab Herodes segan akan Yohanes karena ia tahu, bahwa Yohanes adalah orang yang benar dan suci, jadi ia melindunginya. Tetapi apabila ia mendengarkan Yohanes, hatinya selalu terombang-ambing, namun ia merasa senang juga mendengarkan dia.” Kesaksian Markus 6:20 tentang sikap raja Herodes Antipas kepada Yohanes Pembaptis adalah:
- Raja Herodes Antipas mengakui bahwa Yohanes Pembaptis seorang yang benar dan suci.
- Keinginan dia untuk melindungi Yohanes Pembaptis.
- Raja Herodes Antipas senang mendengar khotbah Yohanes Pembaptis.
Kesimpulannya Raja Herodes Antipas marah dengan teguran Yohanes Pembaptis namun ia tetap respek. Kalau pada akhirnya raja Herodes Antipas membunuh Yohanes Pembaptis adalah karena ia terjebak oleh perkataan dan janjinya di hadapan orang banyak sehingga memenuhi permintaan Herodias. Ini berarti Yohanes Pembaptis telah melaksanakan tugas kenabiannya dengan memerhatikan etika komunikasi dan kesopanan sehingga raja Herodes Antipas mengakui bahwa Yohanes Pembaptis adalah seorang yang benar dan suci, keinginan raja Herodes untuk melindungi dia dan menikmati khotbah-khotbahnya. Cara yang salah, tidak etis, kasar dan menghakimi tidak akan membawa orang lain kepada kesadaran dan pertobatan. Sebaliknya akan menimbulkan perasaan marah, benci, dan menegarkan hati. Tugas kenabian adalah tugas yang mulia dan suci, sehingga wajib dilaksanakan dengan cara yang benar. Sebab dasar dari tugas kenabian adalah penyataan (pewahyuan) Allah dalam sejarah kehidupan umat manusia. Karena itu tugas yang utama sebagai umat percaya adalah bagaimana kita mampu melaksanakan tugas kenabian yang menyuarakan kebenaran Allah dengan cara yang benar dan etis sehingga menyampaikan isi penyataan Allah secara efektif.
Di Lukas 3:2 menyatakan: “datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun.” Tugas kenabian yang dilaksanakan oleh Yohanes Pembaptis didasarkan pada datangnya firman Allah kepadanya. Ini berarti pernyataan kritik dan teguran seharusnya didasarkan pada “datangnya firman Allah” dalam kehidupan kita. Kritik seharusnya merupakan manifestasi dari firman Allah yang telah menjadi daging dalam kehidupan kita. Firman Allah yang menjadi daging adalah firman Allah yang sudah kita hidupi, praktikkan dan uji dalam kehidupan kita sehari-hari. Selama kita belum menghidupi, mempraktikkan dan menguji firman Allah dalam kehidupan sehari-hari, maka kita tidak layak menggunakan sebagai ukuran untuk mengukur orang lain. Jadi ada tiga hal yang penting dalam memaknai “datangnya firman Allah” yaitu: menghidupi, mempraktikkan dan menguji. Yohanes Pembaptis menghidupi, mempraktikkan dan menguji firman Allah yang datang kepadanya dalam realitas padang-gurun yang kita tahu adalah tempat yang gersang, tidak nyaman, sangat panas, dan beresiko mencelakakan. Firman Allah yang datang kepada Yohanes Pembaptis tidak dihidupi di tempat yang nyaman yaitu istana dan tempat-tempat yang mewah serta tempat terhormat. Ia menguji kebenaran firman Allah tersebut kekerasan, kesulitan dan ketidakpastian di padang-gurun.
Namun sayang sekali kita sering hanya menghidupi firman Allah dalam area zona nyaman kita sehingga saat kita berada dalam situasi yang sulit, firman Allah tersebut tidak kita praktikkan. Kita hanya suka melaksanakan firman Allah yang menghibur dan menyenangkan hati saja. Dalam hal ini firman Allah yang hanya dihidupi di wilayah zona aman pastilah tidak akan teruji saat kita berada dalam kesusahan, kedukaan, dan kegagalan. Karena itu kesaksian Injil Lukas mengawali dengan kesaksian: “Dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius, ketika Pontius Pilatus menjadi wali negeri Yudea, dan Herodes raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene, pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun” (Luk. 3:1-2). Realitas padang-gurun yang dialami Yohanes Pembaptis kontras dengan situasi kekuasaan politis yang waktu itu digenggam oleh Kaisar Tiberius sebagai penguasa tertinggi, Pontius Pilatus sebagai wali negeri Yudea, dan Herodes sebagai rarja wilayah Galilea. Selain kontras dengan situasi kekuasaan politis, realitas “datangnya firman Allah” kepada Yohanes Pembaptis sangat kontras dengan kekuasaan keagamaan yang sedang digenggam oleh Hanas dan Kayafas sebagai Imam Besar. Istana kerajaan dan Bait Allah dalam konteks ini dipakai oleh Injil Lukas untuk menunjukkan situasi status-quo di mana kekuasaan politis dan keagamaan berkolusi dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Kaisar Tiberius dan Pontius Pilatus adalah para penjajah, Raja Herodes Antipas adalah kepanjangan tangan dari si penjajah, dan Hanas serta Kayafas adalah para Imam Besar yang menindas kebenaran demi kepentingan kekuasaan mereka.
Tugas kenabian tidak dapat dilaksanakan bilamana kita berada dalam situasi status-quo, yaitu kita menempatkan kekuasaan sebagai yang utama dalam kehidupan ini. Dimensi kekuasaan tidak tunggal dan satu area. Kekuasaan bisa menggerogoti siapapun apakah seorang pendeta, penatua, pengurus Badan Pelayanan, maupun anggota jemaat. Kriterianya sederhana saja yaitu bilamana kita bereaksi secara emosional saat diminta untuk pindah tugas. Bilamana kita menolak untuk dirotasi berarti kita telah menjadikan kekuasaan sebagai prioritas hidup kita sebab rotasi atau perputaran tugas berarti kita harus berani mulai dari awal suatu lingkup pelayanan yang sama sekali baru. Penolakan tersebut menyatakan bahwa dia lebih suka dengan situasi atau zona aman, dan enggan memasuki wilayah yang dianggap “padang-gurun.” Apabila seseorang dalam zona amannya gemar menggunakan firman Allah dalam menghardik lawan-lawannya, maka firman Allah tersebut dimanipulasi untuk kepentingannya dia sendiri. Namun tidaklah demikian sikap Yohanes Pembaptis. Dia mendengarkan dan menaati firman Allah dengan melepaskan semua atribut kekuasaan duniawi, sehingga memilih padang-gurun sebagai tempat tinggalnya. Yohanes Pembaptis memilih situasi atau zona tidak nyaman untuk menguji dan memurnikan dirinya dari kecenderungan godaan duniawi. Itu sebabnya Allah berkenan memilih dan memakai Yohanes Pembaptis sebagai hamba-Nya mempersiapkan jalan bagi Kristus.
Makna “datanglah firman Tuhan” yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis menunjuk bahwa kebenaran yang diperintahkan Allah bersifat dinamis dan relevan dengan situasi masa itu. Kebenaran bukan suatu ketetapan-ketetapan Allah yang diulang-ulang tanpa dipahami maknanya, sebaliknya kebenaran adalah kehendak Allah yang berbicara secara aktual dalam kehidupan di masa kini. Dalam praktik kehidupan kita sering menyuarakan kebenaran yang sebenarnya maknanya tidak kita pahami dengan utuh. Kita hanya mengulang-ulang apa yang pernah kita dengar dan ketahui, tetapi kita tidak memahami apa yang sebenarnya menjadi inti beritanya. Karena itu kita lebih suka mengutip ayat-ayat Alkitab secara harafiah, namun tidak mampu memahami secara utuh dalam keseluruhan perikop. Keadaan kita yang mengulang-ulang tanpa mengetahui latar-belakang suatu kebenaran seperti kisah biksu yang sering terganggu oleh suara kucing saat ia berdoa. Karena itu biksu tersebut memutuskan mengikat kucing agar saat berdoa tidak terganggu. Setelah biksu tersebut meninggal, anak muridnya meneruskan kebiasaan tersebut. Mereka selalu mengikat kucing ketika akan berdoa. Bilamana mereka tidak menemukan kucing di vihara, maka mereka akan mencari kucing di kampung-kampung agar dapat diikat sebelum berdoa. Bukankah cukup banyak orang Kristen yang hanya mampu mengulang-ulang tradisi atau pengajaran iman Kristen yang tidak dipahami maknanya secara utuh tetapi mereka begitu yakin dan percaya diri menganggap bahwa apa yang dikatakannya itu benar seratus persen? Tugas kenabian akan efektif dan relevan apabila dilaksanakan dengan kerendahan hati untuk selalu belajar akan tradisi gereja dan juga realitas kehidupan umat di masa kini sehingga bisa menyampaikan kebenaran dengan utuh.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono