Buku : Texts for Preaching (A Lectionary Commentary Based on the NRSV – Year A)
Penulis : Walter Brueggemann, Charles B. Cousar, Beverly R. Gaventa, James D. Newsome
Penerbit : Louisville – Kentucky, Westminster John Knox Press
Tahun : 1995
Pengantar
Pembacaan di masa Adven mengungkapkan pengharapan sebagai sesuatu yang nyata dan dirindukan. Sebab apa yang telah Allah janjikan dan apa yang akan Allah berikan merupakan suatu perubahan yang mendasar dalam hubungan sosial. Dunia yang baru bukan sekedar suatu ungkapan pengharapan yang saleh. Makna kebaruan di sini adalah suatu tindakan edukatif untuk menyingkirkan setiap hal yang buruk dan merusak. Kehidupan baru terjadi ketika umat mau menyesuaikan dengan pemerintahan Allah. Masa Adven merupakan saat di mana umat merenungkan dan mengambil keputusan penting agar mengarahkan kehidupan kita kepada ketentuan Allah. Kuasa roh Allah memampukan kita untuk menyambut dan menerima Mesias, raja yang baru dalam kehidupan umat manusia.
Yesaya 11:1-10 (Tafsir Walter Brueggemann)
Situasi politis Yerusalem dikuasai oleh semangat “tunggul”. Sedang kerinduan umat Israel dikuasai oleh semangat “roh”. Kehidupan umat senantiasa berada dalam suatu ketegangan antara semangat “tunggul” dan “roh”. Kata “tunggul” dan “roh” merupakan suatu kiasan. Tunggul yang dimaksud adalah tunggul Isai di mana tinggal suatu sisa dari pohon yang telah dipotong dan meninggalkan sisa. Karena itu kata “tunggul” untuk menunjuk suatu keadaan yang sulit, kesedihan, dan serba merosot. Sebaliknya kata “roh” menunjuk kepada pemberian hidup dari Allah, penciptaan masa depan, pembentukan dunia yang baru, dan akhir dari segala kesedihan. Roh atau angin dari Allah merupakan sesuatu yang jauh dari perkiraan manusia. Dalam kitab Yesaya dinyatakan bahwa roh Allah menghembusi tunggul. Karena itu angin dalam konteks ini untuk menunjuk suatu kemungkinan yang baru. Tunggul yang semula tanpa harapan dapat ditundukkan oleh angin dan membebaskan Yerusalem dari kedukaan. Dari karya roh Allah tersebut akan lahir seorang raja yang adil dan berlaku benar, yaitu raja yang berasal dari keturunan Daud. Raja baru tersebut akan dipenuhi oleh roh Allah, yang tidak akan terpengaruh oleh suap dan mengadili secara sewenang-wenang (ayat 3). Tetapi sebaliknya sang raja baru tersebut akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan dan membela orang-orang yang tertindas (ayat 4). Dalam pemerintahannya, sang raja baru tersebut akan menciptakan perdamaian yang menyeluruh. Itu sebabnya serigala akan tinggal bersama domba, macan tutul akan berbaring di samping kambing, anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama (ayat 6).
Padahal kita tahu bahwa gambaran tentang pasangan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sesuatu yang mustahil. Domba merupakan makanan yang disukai oleh serigala, kambing merupakan makanan kesukaan dari macan tutul. Tetapi dalam pemerintahan sang raja baru tersebut, semuanya tidak hidup dalam permusuhan. Tidak ada yang dikorbankan dan mengorbankan. Karena mereka semua hidup di bawah keadilan. Jadi dalam dunia yang baru itu, semua pihak hidup dalam perdamaian yang menyeluruh. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Bahaya telah lewat. Karena itu nabi Yesaya menggambarkan dengan tiga bentuk “anak kecil”, yaitu: anak kecil akan menggiring anak singa, anak yang menyusu dapat bermain-main di dekat liang ular tedung, anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. Tanpa roh Allah, tunggul atau sisa pohon tidak akan pernah hidup dan tumbuh. Demikian pula melalui Adven, kita dimampukan untuk hidup dalam kuasa roh yang meniadakan segala bentuk keputus-asaan.
Tanggapan kritis
Walter Brueggemann dalam penafsirannya menyatakan bahwa kata “tunggul” dan “roh” merupakan suatu kiasan. Tunggul yang dimaksud adalah tunggul Isai di mana tinggal suatu sisa dari pohon yang telah dipotong dan meninggalkan sisa. Karena itu kata “tunggul” untuk menunjuk suatu keadaan yang sulit, kesedihan, dan serba merosot. Sebaliknya kata “roh” menunjuk kepada pemberian hidup dari Allah, penciptaan masa depan, pembentukan dunia yang baru, dan akhir dari segala kesedihan. Kiasan dari Walter Brueggemann tersebut kurang tepat apabila kita memperhatikan makna dari nubuat nabi Yesaya. Sebab kata “tunggul” atau nêtser (וְנֵצֶר) dalam Yesaya 11:1 menunjuk suatu batang pohon yang telah dipangkas sebagiana besar batangnya, namun dari sisa batang tersebut mampu tumbuh suatu tunas. Barry Webb dalam bukunya yang berjudul “The Message of Isaiah” dengan tepat menunjuk kepada Yesaya 4:2 yang menyatakan: “Pada waktu itu tunas yang ditumbuhkan TUHAN akan menjadi kepermaian dan kemuliaan, dan hasil tanah menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi orang-orang Israel yang terluput”. Kata “tunggul” justru dipakai oleh nabi Yesaya sebagai metafor untuk menunjuk kepada Mesias. (Webb 1996, 74). Brueggemann mungkin hanya melihat kondisi dari tunggul sebagai suatu sisa dari batang pohon yang dipangkas, sehingga diartikan untuk menunjuk kepada kondisi umat yang mengalami penderitaan. Tetapi kurang tepat jikalau digambarkan dalam kiasan suatu ketegangan antara semangat “tunggul” dan “roh”. Karena di balik situasi menyedihkan, tetap tersedia suatu pengharapan. Bahkan Allah berkenan memakai tunggul yang telah dipangkas tersebut menjadi media keselamatan-Nya. Melalui tunggul yang telah dipangkas tersebut kelak akan lahir Mesias.
Mazmur 72:1-7, 18-19 (tafsir James Newsome)
Doa dalam kitab Mazmur ini diungkapkan sebagai suatu harapan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip dan kualitas seorang raja yang memerintah umat Allah. Segi-segi kualitas seorang raja adalah memberlakukan keadilan, kebenaran, dan damai-sejahtera. Hal ini hanya mungkin apabila Allah mengaruniakan hukum kepada raja, sehingga dia mampu mengadili umat dengan keadilan dan membela orang-orang yang tertindas. Seseorang yang hidup dalam kualitas kebenaran akan senantiasa rindu untuk menghadirkan kejujuran, kelemah-lembutan, kebenaran, dan belas-kasihan dalam persekutuan umat. Nilai dan kualitas keadilan adalah suatu aktualisasi di dalam persekutuan yang melampaui seluruh kualitas yang ada, atau suatu prestasi yang menjadi suatu keniscayaan dengan didasari ketulusan dan kerinduan akan kebenaran. Karena makna damai dan kehidupan yang harmonis seharusnya diwujudkan dalam keadilan. Pada sisi lain, godaan yang dialami oleh umat menjelang hari Natal sangatlah besar. Mereka tergoda untuk hidup secara materialistis. Padahal makna teologis dari Mazmur 72 adalah bagaimana visi iman umat tidak hanya dalam suatu gambaran abstrak tetapi suatu realisasi iman dalam menyambut raja yang baru, yaitu Mesias. Setiap umat dipanggil untuk hidup dalam roh kebenaran, keadilan, dan damai.
Tanggapan kritis
Kata “keadilan” di Mazmur 72:1 berasal dari kata “mishpâṭ”. Padahal kata “mishpâṭ” lebih luas dari pada kata “keadilan”. Sebab di dalam kata” “mishpâṭ” berasal dari kata kerja “syphat” yang artinya menghakimi, memberikan keadilan, menjamin hubunganyang tepat antara anggota masyarakat dan membebaskan. Pengertian kata “mishpâṭ” dalam hubungannya dengan teks perikop terkandung makna:
- Kerelaan membela hak orang yang tidak mampu memperjuangkan dirinya sendiri (ayat 4b).
- Kemauan menghakimi dan menghukum para pemeras (ayat 14)
- Kebijaksanaan memerintah sedemikian rupa, sehingga orang dapat hidup damai sejahtera menurut keadilan (ayat 3).
- Kesanggupan membebaskan bangsanya dari ancaman musuh (ayat 9-11).
Kalau kita memperhatikan konsep keadilan yang menjadi kualifikasi seorang raja di Mazmur 72 juga dimiliki oleh raja-raja di sekitar Palestina seperti kualifikasi dari raja Mesir dan Babel (Barth, Marie Claire dan Pareira 2001, 639). Prinsip yang membedakan kualifikasi raja Israel yang harus bertindak adil dengan kualifikasi raja-raja di luar wilayah kerajaan Israel adalah dasar keadilan yang diterapkan. Mazmur 72 menegaskan bahwa Allah sebagai sumber keadilan yang berkenan memilih Israel menjadi umat-Nya dan membebaskan dari Mesir, yang kemudian memilih Daud dan keturunannya untuk memerintah sebagai raja sesuai dengan hukum-Nya. Dengan demikian lembaga kerajaan di Israel tidak dilihat sebagai tata-tertib dunia sebagaimana yang diberlakukandi Mesir dan Babel (Barth, Marie Claire dan Pareira 2001, 641), melainkan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang benar di hadapan Allah. Walau raja Israel diangkat Allah menjadi anak-Nya (Mzm. 2:7, 2 Samuel 7:14), tetapi ia hanya seorang pertama dalam umat Allah. Tepatnya jabatan raja paling tinggi hanyalah seorang hamba Allah yang terkemuka (2 Sam. 7:5) untuk melaksanakan kehendak-Nya. Karena itu Marvin E. Tate, dalam “Word Biblical Commentary: Psalm 51-100 tentang penafsiran Mazmur 72 menyatakan: “Psalm 72 offers a glimpse of the ideal relationship among ruler, God, and people. The people pray for the empowerment of the king, who uses the gifts God gives, not for his own benefit or even for the benefit of the powerful, but for of the least of all among the people. The constant prayers of the people enable him to continue in his kingly function” (Tate 1990, 225).
Roma 15:4-13 (tafsir Beverly Gaventa)
Setiap bagian dari tiap-tiap ayat berisi suatu nasihat. Nasihat tersebut diikat dalam hubungannya dengan Kristus dan prinsip-prinsip pengajaran dari Perjanjian Lama. Lalu di Roma 15:13 ditutup dengan doa. Konteks Roma 15 sebenarnya berkaitan dengan Roma 14:1, yaitu: “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya”. Nasihat rasul Paulus tersebut adalah agar Allah mengaruniakan kerukunan apabila umat mampu menerima sesama yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. Dasarnya adalah karena kebenaran Allah, di mana Kristus berkenan menjadi pelayan bagi orang-orang bersunat. Pengertian “diakonos peritomes” secara harafiah berarti: pelayanan bagi orang-orang bersunat. Namun yang dimaksudkan oleh rasul Paulus di sini adalah Kristus adalah pelayan yang melayani orang-orang yang bersunat, sebab Kristus sendiri adalah seorang Yahudi. Pernyataan rasul Paulus tersebut hendak menegaskan identitas diri Kristus sebagai orang Yahudi, sehingga Dia melayani umat Israel. Sebagai umat Israel, Kristus menyatakan keselamatan kepada umat di luar Israel. Melalui para bapa leluhur Israel, Allah menjangkau bangsa-bangsa. Itu sebabnya Kristus yang adalah umat Israel, menjangkau bangsa-bangsa di luar Israel. Misi Kristus adalah agar semua umat manusia memuliakan Allah berdasarkan rahmatNya. Dengan demikian melalui pelayanan Kristus bagi orang-orang bersunat, Kristus menjangkau setiap umat yang tidak bersunat, sehingga mereka juga akan memuliakan Allah dan bersukacita (Rom. 15:9-10).
Tanggapan kritis
Tujuan karya keselamatan Allah dalam sejarah kehidupan manusia dinyatakan melalui kelemahan dan penderitaan agar tersedia pengharapan. Sebab di dalam Kristus, Allah menyediakan pengharapan yang melampaui kelemahan dan keterbatasan manusia. Rasul Paulus mengingatkan agar seluruh pemikiran dan sikap iman umat percaya ditempatkan dalam ketegangan eskatologis antara yang telah digenapi di dalam dan melalui Kristus. Dengan sikap iman yang demikian, umat akan memperoleh penghiburan dan ketekunan dari Allah, sehingga mereka mampu hidup rukun dan satu hati dengan sesama (Dunn, James D.G. 1988, 843). Makna hidup rukun dan satu hati di sini bukan sekedar suatu sikap toleransi yang mampu menerima perbedaan-perbedaan, tetapi juga suatu penerimaan yang timbal-balik (mutual acceptance) untuk tujuan memuliakan Allah. Ayat 7: “Sebab itu terimalah satu akan yang lain” (Διὸ προσλαμβάνεσθε ἀλλήλους), kata “διό” menyimpulkan dengan ayat sebelumnya. Sedang kata προσλαμβάνεσθε (menerima) dalam bentuk present imperative untuk menunjuk suatu perintah yang dilakukan setiap saat. Dasar sikap etis tersebut adalah karena Χριστὸς προσελάβετο ἡμᾶς εἰς δόξαν θεοῦ (Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah). Karena Kristus telah menerima kita, maka kita juga dimampukan untuk menerima orang lain yang berbeda dengan kita. Namun tujuannya bukan sekedar demi suatu hubungan antar personal, tetapi untuk kemuliaan Allah (δόξαν θεοῦ). Dengan ulasan tersebut, terlihat jelas Beverly Gaventa dalam tafsirannya kurang memperhatikan tujuan utama dari Kristus yang berkenan menerima umat yang berdosa, yaitu untuk kemuliaan Allah.
Matius 3:1-12 (tafsir Charles Cousar)
Sosok Yohanes Pembaptis tidaklah mudah untuk dipahami. Dia tampil bukan seperti orang-orang pada umumnya. Gaya dan tampilannya yang serba nyentrik. Dia mengenakan jubah dari bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan. Karakternya yang tidak kompromis, asketis, dan kasar sambil berseru-seru: “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan”. Bagi orang modern, dia lebih cocok menjadi tokoh komik atau film kartun. Tetapi sesungguhnya peran Yohanes begitu penting untuk mempersiapkan jalan bagi Kristus. Dia hadir untuk memenuhi nubuat nabi Yesaya. Melalui khotbah-khotbahnya, Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan bagi setiap orang. Sangat mengherankan, umat dari berbagai lapisan pada waktu itu bersedia dan antusias datang menjumpai untuk mendengarkan khotbah Yohanes Pembaptis. Bahkan orang-orang Farisi, dan Saduki dari kota Yerusalem datang mendengar pemberitaan Yohanes Pembaptis. Apakah orang-orang Farisi dan Saduki tersebut tulus untuk mencari kebenaran? Ternyata Yohanes Pembaptis menyambut mereka dengan kata-kata yang pedas: “Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang?” (Mat. 3:7). Mereka disebutnya sebagai ular-ular beludak. Apakah dengan mata kenabiannya, Yohanes Pembaptis melihat jati-diri mereka yang sesungguhnya? Sikap Yohanes Pembaptis didasari oleh penilaiannya yang melihat orang-orang Farisi dan Saduki sebagai kelompok orang-orang yang merasa sanggup menyelamatkan diri dari murka Allah karena berasal dari keturunan Abraham (Mat. 3:8).
Perkataan Yohanes Pembaptis tersebut merupakan kritik terhadap orang-orang Farisi dan Saduki dalam menafsirkan Yesaya 51:1-2. Sebab latar-belakang di Yesaya 51:1-2, Allah berfirman: “Dengarkanlah Aku, hai kamu yang mengejar apa yang benar, hai kamu yang mencari TUHAN! Pandanglah gunung batu yang dari padanya kamu terpahat, dan kepada lobang penggalian batu yang dari padanya kamu tergali. Pandanglah Abraham, bapa leluhurmu, dan Sara yang melahirkan kamu; ketika Abraham seorang diri, Aku memanggil dia, lalu Aku memberkati dan memperbanyak dia”. Di Yesaya 51:1-2, Allah menyampaikan sabdaNya kepada mereka yang mengejar apa yang benar atau mencari Tuhan dengan mengingatkan mereka untuk memandang Abraham bapa leluhur. Sebaliknya orang-orang Farisi dan Saduki dalam konteks ini merasa diri sebagai orang-orang yang merasa dirinya telah hidup benar dan mencari Tuhan. Apalagi mereka merasa sebagai keturunan Abraham. Bagi Yohanes Pembaptis, yang utama adalah buah pertobatan. Karena Allah yang maha-kuasa dapat mengubah batu-batu di sekitar sungai Yordan untuk menjadi anak-anak Abraham. Makna pertobatan bukan sekedar menyesali perasaan berdosa atas perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu, tetapi harus dikuti dengan pembaruan hidup yaitu memiliki hati yang baru.
Tanggapan Kritis
Kisah dan peran Yohanes Pembaptis ditampilkan di Minggu Adven kedua karena ia dianggap oleh gereja sebagai nabi zaman akhir yang mempersiapkan umat untuk menyambut Kristus. Baptisan yang dilakukan Yohanes Pembaptis sebagai tanda pertobatan umat, sehingga mampu menyongsong kedatangan hari Tuhan. Ada dugaan Yohanes Pembaptis berasal dari kalangan komunitas di Qumran, yaitu golongan Esseni. Sebab golongan Esseni melakukan pembasuhan dan hidup selibat seperti Yohanes Pembaptis. Tetapi golongan Esseni melakukan pembasuhan untuk kepentingan diri mereka semata, yaitu hidup suci. Namun tidaklah demikian baptisan yang dilakukan Yohanes Pembaptis adalah agar umat bertobat untuk menyambut kedatangan Mesias. Berita yang disampaikan Yohanes Pembaptis adalah: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 3:2). Makna berita Yohanes Pembaptis adalah Allah yang di surga akan datang untuk merajai kehidupan umat manusia. Karena itu Yohanes Pembaptis menyuruh setiap umat sebelum dibaptis, terlebih dahulu mengaku dosa. Kata “mengaku dosa” di sini mempergunakan kata “homologeo” yang artinya: setuju, mengakui, dan menyatakan di hadapan umum (Stefan Leks 2003, 67). Jadi melalui berita Matius 3:1-12, umat percaya pada masa Adven juga memiliki sikap yang sama dengan umat yang akan dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, yaitu pertobatan dengan mengaku dosa. Untuk menyambut kehadiran Kristus, umat terlebih dahulu berani membuang semua paradigma, pola hidup, dan kebiasaan duniawi. Tanpa pertobatan, maka umat akan termasuk dalam kelompok “ular beludak” sebagaimana teguran Yohanes Pembaptis kepada orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki (Mat. 3:7).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Catatan:
Ulasan tafsir leksionaris RCL tentang hari raya gerejawi dapat dilihat dalam tulisan: Yohanes Bambang Mulyono, Sejarah dan Penafsiran Leksionari Versi RCL, diterbitkan oleh Grafika KreasIndo, Jakarta 2014