“Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.” Ke-Mesias-an Yesus selaku Raja pada hakikat-Nya karena Ia memiliki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Allah. Yesus adalah manusia sekaligus Sang Sabda Allah sendiri yang sehakikat dengan Allah. Karena itu ketika Pilatus bertanya, apakah Yesus adalah Raja? Jawaban Yesus adalah: “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yoh. 18:36-37)
Dalam naskah Laut Mati yang ditemukan pada tahun 1947 kelompok keagamaan umat Israel pada zaman Yesus ternyata tidak hanya Farisi dan Saduki saja, tetapi juga Essene. Dalam ajaran kaum Essene memahami Mesias dalam dua jabatan, yaitu Mesias Imam dan Mesias Raja. Kedua Mesias tersebut saling berkaitan dan tidak terpisahkan. Karena itu disebut dengan “Mesias Kembar.” Jabatan Mesias Imam berasal dari keturunan Harun selaku Imam Besar, dan jabatan Mesias Raja berasal dari keturunan Daud. Lingkup karya Mesias Imam membidangi seluruh aspek rohani, tradisi iman, ritual, dan otoritas ajaran serta menjadi mediator yang dipilih Allah untuk mendamaikan relasi umat dengan Tuhan. Sedang lingkup karya Mesias Raja membidangi seluruh aspek politik, pemerintahan, militer dan pengaturan kenegaraan (kerajaan) untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan umat Israel. Harapan mesianis kaum Essene adalah datangnya “Mesias Kembar” dalam kehidupan mereka.
Dalam konteks ini muncul pertanyaan di manakah posisi Yesus selaku Mesias Allah? Umumnya kita segera memberi jawaban bahwa lingkup ke-Mesias-an Yesus adalah sebagai “Mesias Imam”. Jawaban ini tentu memiliki dasar dan argumentasi yang kuat. Karena dari sudut biologis, Maria ibu Yesus sama seperti Elisabeth yang adalah ibu Yohanes Pembaptis berasal dari keturunan Imam Harun. Yesus mewarisi keturunan Harun selaku Imam Besar sebagaimana juga Yohanes Pembaptis. Dalam konteks ini kita dapat melihat pertalian yang sangat kuat relasi Yesus dengan Yohanes Pembaptis. Mereka memiliki hubungan sebagai saudara sepupu yang mewarisi garis keturunan Harun selaku Imam Besar. Selain itu umat Kristen secara dominan juga menempatkan Yesus selaku Mesias Imam yaitu Penyelamat dalam bidang rohani yaitu mendamaikan manusia dengan Allah dengan darah-Nya. Padahal Yesus juga dinyatakan dalam teks-teks Perjanjian Baru sebagai keturunan raja Daud. Yesus dipanggil dengan nama “Anak Daud.” Garis keturunan Yesus dari sudut ayah yaitu Yusuf (ayah angkat) dalam hukum Romawi berasal dari keturunan raja Daud. Di Matius 1:1 menyatakan: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.” Garis keturunan Yesus dari Daud berasal dari Yusuf. Walau Yusuf bukan ayah biologis, tetapi secara hukum Yusuf adalah ayah Yesus.
Terlepas dari masalah Yesus dari keturunan raja Daud, pertanyaannya adalah apakah ke-Mesias-an Yesus hanya terbatas pada Mesias Imam, dan bukan Mesias Raja? Sangat menarik bahwa dalam pengajaran dan pernyataan sikap-Nya justru Yesus menegaskan diri-Nya selaku Mesias Raja juga. Selaku Mesias Imam, Yesus menjadi perantara yang mendamaikan manusia dengan Allah dengan kurban darah-Nya. Sedangkan selaku Mesias Raja Yesus menyatakan bahwa kedatangan-Nya merupakan wujud kehadiran pemerintahan Allah dalam kehidupan umat manusia. Untuk jelasnya yang dimaksudkan kita perlu memahami bagaimana makna martabat dan otoritas seorang raja. Martabat seorang raja adalah penguasa dan pemilik yang memiliki otoritas dalam seluruh perkataan dan perilakunya. Kedudukan raja dalam konsep teologis umat Israel adalah manifestasi otoritas Allah. Perkataan raja memiliki kuasa. Dalam konteks ini perkataan Yesus memiliki kuasa seperti seorang raja semesta. Yesus bersabda: “Jadilah…., maka terjadilah.” Seluruh mukjizat Yesus terjadi dengan kuasa perkataan-Nya yang penuh otoritas. Misalnya di Matius 8:13 menyatakan: “Lalu Yesus berkata kepada perwira itu: Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya. Maka pada saat itu juga sembuhlah hambanya.” Perhatikan pula bagaimana berwibawa dan penuh kuasa perkataan Yesus saat para murid bersama dengan Dia diombang-ambingkan oleh angin sakal dan badai, tetapi dengan satu ucapan Yesus mampu meneduhkan angin dan badai di danau itu (Mark. 4:39). Dari otoritas ucapan Yesus, kita dapat melihat wibawa dan kuasa-Nya selaku raja atas kehidupan dan semesta.
Namun dari kedudukan-Nya selaku Mesias apakah Yesus adalah Raja dalam arti yang sebenarnya? Sebab apabila Yesus adalah Raja seharusnya Ia memiliki kerajaan. Apa buktinya Ia memiliki kerajaan? Lalu apa bedanya seandainya Yesus memiliki kerajaan dengan kerajaan-kerajaan dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat urgen dan relevan untuk dijawab. Kedudukan Yesus yang berkuasa sering dipahami hanya terbatas di lingkungan umat Kristen saja. Padahal apabila Ia adalah Raja semesta alam akan membawa konsekuensi seluruh mahluk dan ciptaan di alam semesta ini harus tunduk, menyembah dan mempermuliakan-Nya.
Pengakuan eksplisit dari mulut Yesus bahwa sesungguhnya Ia adalah Raja yang memiliki kerajaan dinyatakan saat Ia diadili oleh Pontius Pilatus. Di Yohanes 18:36 Yesus memberi jawaban: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini.” Ke-Mesias-an Yesus selaku Raja pada hakikat-Nya karena Ia memiliki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Allah. Yesus adalah manusia sekaligus Sang Sabda Allah sendiri yang sehakikat dengan Allah. Karena itu ketika Pilatus bertanya, apakah Yesus adalah Raja? Jawaban Yesus adalah: “Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yoh. 18:37). Kedatangan-Nya sebagai Raja ke dunia memiliki misi untuk memberitakan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Pernyataan “untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini” merupakan penegasan bahwa Yesus memiliki misi khusus sehingga Ia berinkarnasi, berkarya, wafat dan bangkit untuk mengaruniakan keselamatan. Karena itu dapat dikatakan pula bahwa melalui inkarnasi-Nya, Yesus sebagai Raja dalam Kerajaan Allah menyamar sebagai manusia. Di pihak lain dalam keberadaan-Nya sebagai manusia, manifestasi kuasa ilahi-Nya dalam seluruh perkataan dan perbuatan-Nya tidak dapat disembunyikan. Perkataan-Nya penuh kuasa sebagaimana Allah sendiri bersabda, sehingga apa yang Dia ucapkan menjadi ada. Sampai saat ini kita dapat melihat pengajaran Yesus yang melampaui seluruh pemikiran para filsuf, menginspirasi manusia dari zaman ke zaman untuk melakukan karya yang spektakuler, memberi landasan etis-moral yang abadi dalam berbagai aspek kehidupan, dan di dalam nama-Nya tersedia pengharapan, pengampunan dan pemulihan dari kuasa dosa.
Apabila kita mencermati pengajaran Yesus maka tidak mengherankan jikalau begitu intensif Yesus mengajar tentang Kerajaan Allah (basileia tou Theou). Di Injil Matius saja kata basileia tou Theou digunakan sebanyak 32 kali. Sedangkan di seluruh Perjanjian Baru penggunaan kata basileia tou Theou sebanyak 162 kali. Pengajaran dan karya-karya mukjizat yang dilakukan Yesus sesungguhnya menghadirkan realitas Kerajaan Allah, yaitu pemerintahan Allah dalam kehidupan manusia yang didasari oleh cinta-kasih, pengampunan, pemulihan/penyembuhan, kebijaksanaan ilahi, penebusan dan penyelamatan. Tepatnya realitas Kerajaan Allah dimanifestasikan secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan Yesus mulai dari kelahiran-Nya, karya-karya mukjizat, pengajaran, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke sorga. Melalui seluruh hidup Yesus, umat dapat mengalami bagaimana Allah hadir dalam kuasa kasih-Nya yang memulihkan, mengampuni, menebus dan mendamaikan. Di Lukas 11:20 Yesus berkata: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” Dalam konteks ini terdapat 2 kata utama yang saling terjalin, yaitu kata “Aku” (Egoo) dan “Kerajaan Allah” (basileia tou Theou). Kata “Aku” yang menunjuk pada diri Yesus sebagai subjek yang menentukan sebagai penghadir Kerajaan Allah. Jadi diri Yesus adalah penghadir dan manifestasi Kerajaan Allah yang dinyatakan melalui tindakan-Nya mengusir setan. Di dalam dan melalui Yesus, Kerajaan Allah hadir secara faktual dan dialami oleh manusia.
Kerajaan Allah atau pemerintahan Allah selain dinyatakan dalam sosok pribadi Yesus selaku Sang Raja dan memiliki kuasa atau otoritas rajawi dalam perkataan/perbuatan juga memiliki peraturan yaitu Undang-undang Kerajaan Allah. Sebagaimana umat Israel memiliki Undang-undang atau hukum-hukum Allah dalam Taurat, maka di dalam dan melalui Yesus sebagai penghadir Kerajaan Allah juga memiliki peraturan ilahi. Oleh Injil Matius secara sengaja mengumpulkan Undang-undang Kerajaan Allah di Matius 5-7 yang dikenal dengan Khotbah Yesus di atas Bukit. Sangat menarik bahwa hukum atau undang-undang Kerajaan Allah tersebut menempatkan spiritualitas daripada ritualitas. Aspek spiritualitas adalah sikap batin manusia di hadapan Allah, bersifat tersembunyi tetapi sebagai alat ukur apakah kita memiliki hati yang tulus dan murni. Sebaliknya ritualitas merupakan ekspresi manusia yang dinyatakan melalui ibadah sehingga dapat dilihat secara lahiriah. Ritualitas tanpa spiritualitas dalam undang-undang Kerajaan Allah tidak akan berkenan, bernilai dan sekadar suatu kemunafikan. Yesus justru menyoroti spiritualitas yaitu sikap batin manusia untuk dinilai, diwaspadai, dan dimurnikan. Sebab dari batin aau hati lahirlah berbagai dosa dan hawa-nafsu. Sangat berbeda dengan filsafat Plato yang menempatkan roh sebagai yang murni sedangkan tubuh atau materi sebagai sumber segala kecemaran dan kejahatan.
Dari ulasan tersebut di atas terlihat bahwa Yesus memenuhi syarat disebut sebagai Raja, yaitu: 1). Yesus adalah Sang Firman Allah sendiri sehingga Ia memiliki kuasa atau otoritas ilahi. Apa yang Ia ucapkan atau katakan akan menjadi atau terjadi, 2). Secara eksplisit Yesus menyatakan bahwa Ia memiliki kerajaan, yaitu kerajaan yang bukan berasal dari dunia ini, 3). Melalui hidup dan segala perbuatan-Nya Yesus menghadirkan pemerintahan Allah yang didasarkan pada kasih, keadilan, perdamaian, dan keselamatan bagi seluruh ciptaan, 4). Pemerintahan Allah yang Ia nyatakan diatur dalam peraturan atau undang-undang yang menempatkan spiritualitas yaitu sikap batin manusia di hadapan Allah dan sesamanya. Karena itu Yesus sebagai Raja memanggil setiap orang datang dan mengikut Dia. Dengan tegas Yesus berkata bahwa Ia adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6). Untuk menjadi warga Kerajaan Allah, manusia membutuhkan anugerah dan karya penebusan-Nya. Sikap menolak dan tidak percaya kepada Kristus berarti pula menolak anugerah Kerajaan Allah. Sebaliknya sikap percaya dengan mengikut Yesus berarti umat akan dihisapkan sebagai warga Kerajaan-Nya yaitu menjadi anak-anak Allah. Yohanes 1:12 menyatakan: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.
Kedudukan Yesus sebagai Raja dalam inkarnasi-Nya tidak membatasi kuasa-Nya yang kekal. Yesus adalah Raja yang kelak datang pada akhir zaman untuk menghakimi seluruh umat manusia. Di Matius 25:31-46 kita dapat melihat secara gamblang Yesus menjelaskan sosok diri-Nya yang kelak akan datang sebagai Raja dan Hakim Zaman Akhir. Di Matius 25:31-32 menyatakan: “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing.” Ayat ini menegaskan keberadaan Yesus yang sesungguhnya. Ia telah ada sejak kekal, sehakikat, memiliki kekuasaan dan kemuliaan Allah sehingga Ia akan datang bersama dengan seluruh bala-tentara sorgawi untuk melakukan penghakiman Allah. Kerajaan Allah yang sesungguhnya kelak akan datang (eskaton) di dalam diri Yesus. Yesus sang Eskaton hadir dalam sejarah umat manusia di masa kini untuk membawanya ke proses perwujudannya (eschatology in the process of being realized). Karena itu iman dan anugerah penebusan-Nya dalam kehidupan umat manusia di masa kini sangat menentukan sebab akan menjadi dasar penilaian atau syarat saat kita semua menghadap takhta pengadilan Allah. Itu sebabnya umat manusia sejak kedatangan-Nya yang pertama hidup dalam masa transisi menyongsong kedatangan-Nya yang kedua. Di masa transisi inilah setiap orang harus hidup benar di hadapan Kristus. Masa transisi merupakan waktu peziarahan yang seharusnya keluar dari dunia gelap menuju kerajaan Allah. Peziarahan umat percaya seperti pengalaman umat Israel yang keluar dari tanah Mesir menuju tanah terjanji Kanaan dengan melewati padang-gurun.
Namun muncul pertanyaan yang mendasar yaitu apakah jabatan Yesus sebagai Raja pernah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama? Umumnya dipahami bahwa rencana Allah seharusnya diwahyukan sebelumnya sebagai bukti bahwa apa yang kelak akan terjadi sebagai sesuatu yang telah ditetapkan oleh Sang Ilahi. Tanpa adanaya suatu nubuat dapat diragukan bahwa yang dipersaksikan dalam ucapan dan perbuatan Yesus selaku Raja sebagai kebenaran ilahi. Selain itu nubuat sebagai Firman Tuhan menegaskan terjalinnya kesinambungan yang utuh kesaksian antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Suatu kesaksian dan peristiwa yang belum dinubuatkan akan dianggap sebagai versi atau persepsi teologis suatu kelompok keagamaan. Karena itu ucapan Yesus bahwa Ia akan datang sebagai Raja dalam kemuliaan untuk menghakimi memiliki kaitan yang sangat erat dengan kesaksian nabi Daniel, yaitu: “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah” (Dan. 7:13-14). Menurut penglihatan nabi Daniel, ia melihat sosok seperti anak manusia menghadap Allah. Lalu anak manusia itu diberi kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja. Hakikat kerajaan anak manusia itu kekal. Pada saat Yesus diadili oleh Pontius Pilatus, Ia berkata: “Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (Mat. 26:64). Sangat jelas dan eksplisit bahwa Yesus secara sengaja menggunakan nubuat nabi Daniel terhadap diri-Nya. Karena itu tidak mengherankan Yesus secara intensif menggunakan predikat “Anak Manusia” kepada diri-Nya. Kita dapat menjumpai gelar Yesus selaku “Anak Manusia” sebanyak 81 kali.
Ujian yang paling menentukan kualitas Yesus selaku Raja adalah saat Ia disalibkan. Makna peninggian Allah di dalam Kristus justru dinyatakan melalui peristiwa salib. Kristus Sang Raja dihadirkan secara paradoks dalam peristiwa salib. Tempat seorang raja adalah takhtanya. Peninggian seorang raja terjadi saat ia duduk di atas takhta dengan mengenakan mahkotanya. Lukas 23:33-43 mempersaksikan Yesus Sang Firman, Raja segala raja justru ditinggikan melalui peristiwa penyaliban di bukit Golgota dengan mengenakan mahkota duri. Paradoksnya adalah bagaimana mungkin seorang Raja di atas segala raja justru saat Ia disalibkan? Hukuman salib justru dianggap sebagai peristiwa peninggian? Arti “peninggian” dalam konteks ini untuk menunjukkan keagungan dan kemuliaan yang sejati. Tetapi seorang yang berkarakter atau memiliki kepribadian yang mulia terlihat justru saat ia mengalami penderitaan. Sebab saat ia mengalami penolakan, caci-maki dan penghinaan akan memperlihatkan watak asli atau kepribadian yang sesungguhnya. Apabila ia menunjukkan kemarahan, kebencian dan ungkapan berupa kata-kata yang buruk akan memperlihatkan kepribadian yang tidak berkualitas. Sebaliknya di atas kayu dan di tengah penderitaan yang tak terperikan Yesus menyatakan pengampunan atas musuh-musuh-Nya.
Melalui perayaan Minggu Kristus Raja, gereja merayakan jabatan dan kemuliaan Yesus selaku Raja. Namun sesungguhnya seharusnya setiap waktu umat manusia menyadari bahwa penguasa langit dan bumi adalah Yesus Kristus. Eksistensi Yesus selaku Sang Firman Allah yang kekal, wibawa dan kuasa ilahi-Nya, dan undang-undang Kerajaan Allah yang dilandasi oleh kasih dan keadilan seharusnya tidak ada alasan manusia untuk meragukan-Nya. Apalagi Yesus telah dinubuatkan sebelumnya. Di tengah penderitaan dan wafat-Nya Yesus menunjukkan martabat yang begitu mulia dengan mengampuni para musuh-Nya. Karena itu setiap orang diundang datang kepada Kristus. Ia adalah raja semesta alam. Wahyu 19:16 berkata: “Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.” Namun kita tahu bahwa kuasa kegelapan tidak menghendaki umat manusia menyembah Yesus selaku Raja segala raja. Karena itu sosok Anti-Kristus yang mengklaim dirinya sebagai sosok mesias dan penyelamat berusaha mengalihkan manusia dari diri Yesus Kristus. Sosok Anti-Kristus tersebut berlaku seolah-olah mesias Allah padahal sesungguhnya ia adalah musuh kebenaran dan kemanusiaan. Pemikiran dan spirit Sang Anti-Kristus tersebut mendatangkan malapetaka dan kematian. Sebaliknya di bawah naungan dan otoritas Yesus selaku Raja di atas raja mendatangkan damai-sejahtera, keadilan, kesetaraan, keadilan, pengampunan, kasih dan damai-sejahtera. Karena itu layak dan pantas setiap mahluk bertekuk-lutut di bawah pemerintahan Kristus, sebab Ia adalah Raja dan Tuhan bagi semesta alam.
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Flp. 2:9-1).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono