Latest Article
Minggu Paskah VII

Minggu Paskah VII

Minggu, 8 Mei 2016

Kesatuan yang Fungsional selaku Tubuh Kristus

(Kis. 16:16-34; Mzm. 97; Why. 22:12-21; Yoh. 17:20-26)

 Perayaan Minggu Paskah VII yang merayakan misteri kebangkitan Kristus adalah akhir dari rangkaian masa hari raya Paskah. Tetapi tidak berarti kuasa kebangkitan Kristus berakhir dengan selesainya masa perayaan Paskah. Kuasa kebangkitan Kristus tetap abadi dan terus bergerak ke depan bagai bola salju yang terus membesar merangkum semesta. Kuasa kebangkitan Kristus yang membarui tidak dapat dihentikan oleh peristiwa kematian, pembantaian, kekerasan, kejahatan, diskriminasi, rasialisme dan ketidakadilan. Melalui kebangkitan-Nya Kristus menaklukkan kematian dan kuasa maut. Karena itu melalui kebangkitan Kristus, seharusnya umat percaya memiliki pengharapan yang kokoh walau berada di tengah-tengah realitas kematian dan penderitaan. Spiritualitas pengharapan dalam kuasa kebangkitan Kristus adalah kebutuhan setiap umat agar tidak pernah putus-asa saat menghadapi kuasa dunia yang destruktif. Sebaliknya melalui kuasa kebangkitan Kristus, pengharapan dalam sikap iman tersebut semakin menguat dan memberkati banyak orang dalam lingkup yang lebih luas.

Konteks bacaan Yohanes 17 adalah menjelang Yesus ditangkap dan dieksekusi. Namun di tengah-tengah situasi kritis tersebut Yesus menaikkan doa yang dilandasi pengharapan yang kokoh dan abadi. Esensi doa di Yohanes 17 adalah doa Anak Allah. Dalam Alkitab kita menemukan doa Salomo di kitab 1 Raja-raja 8, doa Abraham di Kejadian 18, dan doa Musa di Keluaran 32. Tetapi di Yohanes 17 kita dapat menemukan doa Yesus selaku Anak Allah. Philip Melanchton salah seorang kawan sekerja Martin Luther menyatakan: “There is no voice which has ever been heard, either in heaven or in earth, more exalted, more holy, more fruitful, more sublime, than this prayer offered up by the Son of God himself.” Dari struktur narasi, maka doa Yesus di Yohanes 17 terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Doa Yesus tentang keberadaan diri-Nya (Yoh. 17:1-5)
  2. Doa Yesus untuk murid-murid-Nya (Yoh. 17:6-19)
  3. Doa Yesus untuk seluruh umat percaya (Yoh. 17:20-26)

Dengan demikian inti pesan dalam bacaan Yohanes 17:20-26 berkaitan dengan doa Yesus untuk seluruh umat percaya. Pola doa Yesus merupakan pola spiritualitas yang menaikkan syafaat agar dunia percaya dan mengalami hidup kekal di dalam diri-Nya (Yoh. 17:3). Karena itu doa Yesus di Yohanes 17 juga merupakan doa syafaat agar Allah memelihara para murid-Nya dengan kuasa nama Allah (Yoh. 17:11) sehingga mereka terlindung dari kuasa jahat (Yoh. 17:15). Yesus mendoakan para murid-Nya karena mereka diutus ke dalam dunia (Yoh. 17:18) agar mereka tetap dikuduskan dalam kebenaran. Yesus berkata: “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran” (Yoh. 17:19).

Mulai Yohanes 17:20 lingkup doa syafaat Yesus tidak terbatas pada kebutuhan para murid-Nya, tetapi juga Yesus mendoakan untuk orang-orang yang mendengar dan percaya akan pemberitaan Injil dari para murid-Nya. Di Yohanes 17:20 Yesus berkata: “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka.” Orang-orang yang percaya dalam konteks ini adalah umat percaya yang diperoleh dari pemberitaan Injil. Umat percaya tersebut kemudian tersebar di berbagai tempat dengan keanekaragaman etnis, budaya, adat-istiadat, sosial-politik dan ekonomi. Keragaman tersebut semakin diperkaya dengan pola ibadah dan ekspresi yang sesuai dengan latar-belakang sejarah pembentukan jemaat, warisan teologis, denominasi, dan situasi riil yang mereka alami. Karena itu tidak mengherankan jikalau jemaat yang didirikan Kristus senantiasa beragam dan multidimensional. Keberagaman dalam kehidupan jemaat Tuhan Yesus tersebut merupakan kekayaan spiritualitas dan historisitas, sehingga setiap denominasi jemaat memiliki kekhasan dan identitasnya masing-masing.

Secara garis besar keberagaman gereja-gereja di muka bumi terdiri dari tiga bentuk denominasi besar, yaitu: Episkopal, Kongregasional, dan Presbiterial. Sistem Episkopal merupakan tata kelola pemerintahan gerejawi yang bersifat hirarkhis, misalnya: Gereja Timur (Orthodoks Timur), Katolik, Anglikan dan Lutheran. Sistem Kongregasional merupakan tata kelola pemerintahan gerejawi yang berpusat pada kongregasi atau jemaat lokal. Sistem pemerintahan Presbiterial merupakan tata kelola pemerintahan gerejawi yang dipimpin oleh para presbiter (Penatua). Kepemimpinan para presbiter tersebut terdiri Pendeta dan para Penatua, sehingga setiap anggota memiliki kedudukan yang sama dengan fungsi yang berbeda-beda. Dalam praktik keberagaman kehidupan gereja tersebut lebih kompleks daripada tiga kelompok denominasi tersebut, sebab juga terdapat keberagaman dalam kehidupan gereja yang episkopal, kongregasional dan presbiterial. Keberagaman dari masing-masing denominasi tersebut semakin diperkaya dengan pemahaman teologis yang berbeda, pola ekspresi yang sesuai dengan sejarah dan budaya, adat-isitiadat dan ekklesiologi masing-masing.

Namun dalam kenyataan sehari-hari keberagaman yang seharusnya saling memperkaya tersebut sering berubah menjadi “keberagaman” yang saling membatasi, saling menghakimi, dan saling mencurigai sehingga masing-masing pihak membangun tembok pemisah. Dalam sikap yang saling membatasi dan hidup dalam bentengnya masing-masing, Yesus menaikkan doa, yaitu: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:21). Tentu Yesus selaku Kepala Gereja tidak pernah menghendaki agar semua gereja-Nya “esa” dalam pengertian serba “seragam.” Allah tidak pernah menghendaki makna keesaan dalam pengertian serba sama/tunggal. Di Kejadian 11:4 mengisahkan sikap manusia yang berusaha mendirikan sebuah kota dengan puncaknya sampai ke langit agar umat tidak terserak ke seluruh bumi. Respons Allah terhadap usaha manusia tersebut adalah: “Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing” (Kej. 11:7). Makna “keberagaman” (diversity) tidak identik dengan “keseragaman” (uniformity). Makna “keseragaman” tidak memungkinkan terbuka ruang untuk berdialog dan saling berbeda, sebab yang berbeda dianggap sebagai lawan/ musuh. Sebaliknya dalam “keberagaman” terbuka ruang dialog untuk berbeda namun saling memperkaya dan melengkapi. Tembok pemisah dalam kehidupan gereja dapat terjadi apabila tidak tercipta keberagaman yang konstruktif, tetapi keseragaman yang saling menghakimi dan menganggap denominasi atau aliran gerejanya yang paling benar.

Doa Yesus agar umat-Nya yang beragam dapat menjadi satu dalam pengertian: “keesaan dalam keberagaman” (unity in diversity). Di Yohanes 17:21 doa Yesus menekankan dua tujuan utama, yaitu: “supaya mereka semua menjadi satu,” dan “supaya dunia percaya, bahwa Allah yang telah mengutus Yesus.” Doa Yesus tersebut menjadi daya dorong bagi gerakan ekumenis, yaitu keesaan gereja yang diwujudkan dalam keberagamannya, sehingga dunia percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Dengan demikian makna keesaan gereja bukan bertujuan agar gereja tampil sebagai organisasi atau lembaga keagamaan yang super-power, tetapi sebagai perwujudan Tubuh Kristus yang memiliki keanekaragaman fungsional sehingga semakin efektif menyatakan karya keselamatan Allah kepada dunia. Apabila gereja-gereja Kristus masih hidup dalam tembok atau bentengnya masing-masing secara eksklusif dan saling membenarkan diri, maka dunia tidak akan terdorong untuk ambil bagian dalam realitas Tubuh Kristus tersebut. Jadi peristiwa perpecahan di antara gereja-gereja Tuhan akan menjadi batu sandungan, sehingga dunia menolak percaya Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat. Karena itu makna keberagaman gereja tidaklah identik dengan perpecahan jemaat. Perpecahan dalam jemaat justru merusak keberagaman yang merupakan kekayaan dalam kehidupan gereja Tuhan. Dengan demikian perpecahan gereja menandakan gereja sebagai persekutuan mengalami kegagalan untuk menyatakan kasih Kristus.

Inti utama kesaksian dari kitab Kisah Para Rasul 16:16-34 terdapat dua bagian yang perlu diperhatikan oleh gereja sebagai umat yang diutus Allah ke dalam dunia, yaitu:

  1. Umat menghadapi kuasa gelap yang dinyatakan dalam kisah perempuan yang memiliki kemampuan tenung dengan mengikuti pelayanan Rasul Paulus dan Silas (Kis. 16:16-18).
  2. Penolakan dunia yang dinyatakan dalam bentuk menganiaya, menangkap dan memenjarakan umat percaya (Kis. 16:19-24).

Dua tantangan yang dihadapi gereja sepanjang masa yaitu kuasa gelap dan penolakan dunia melalui penganiayaan kepada umat percaya. Kedua tantangan tersebut hanya akan dapat diatasi apabila gereja-gereja yang terdiri dari berbagai ragam memiliki persekutuan yang esa dan saling mendukung. Namun apabila gereja-gereja Tuhan hidup dalam perpecahan, saling menutup diri dalam benteng denominasi masing-masing, dan bermusuhan maka kita tidak akan sanggup menghadapi serangan dari kuasa gelap dan penolakan dunia. Serangan kuasa gelap bisa dalam penggunaan kuasa tenung dan sejenisnya, juga bisa dalam bentuk ideologi atau pengajaran yang membingungkan umat sehingga umat berpaling meninggalkan Kristus.

Gereja-gereja Tuhan di beberapa wilayah Indonesia menyadari bahwa kekuatan tenung dan sejenisnya merupakan manifestasi kuasa gelap. Kuasa gelap tersebut hanya dapat disikapi dengan sikap iman dalam nama Yesus sebagaimana yang dilakukan Rasul Paulus, yaitu: “Demi nama Yesus Kristus aku menyuruh engkau keluar dari perempuan ini” (Kis. 16:18). Gereja tidak boleh menyerahkan umat yang mengalami serangan kuasa tenung/santet kepada para dukun. Sebaliknya gereja dipanggil juga untuk melayani dan melepaskan umat dari belenggu dan serangan kuasa tenung yang mereka alami. Manifestasi kuasa gelap juga bisa dinyatakan melalui penyebaran ideologi atau pengajaran yang menyesatkan jemaat namun sering dilakukan dengan cara yang simpatik dan menyentuh hati secara rohani. Di kitab Kisah Para Rasul 16:17 perempuan yang memiliki kuasa tenung tersebut memberi kesaksian yang tampak begitu “rohani,” yaitu: “Orang-orang ini adalah hamba Allah Yang Mahatinggi. Mereka memberitakan kepadamu jalan kepada keselamatan.” Bukankah dalam kehidupan jemaat dan masyarakat kita menjumpai tipe kesaksian seperti wanita tenung tersebut? Kita menjumpai orang-orang yang menyampaikan kesaksian tentang “jalan keselamatan” namun sesungguhnya bukan didorong oleh Roh Allah tetapi oleh kuasa kegelapan. Iblis juga bisa menyatakan “pengakuan iman” bahwa Allah itu esa. Di Yakobus 2:19 menyatakan: “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”

Penolakan yang lazim dilakukan dunia adalah dengan cara menganiaya dan membunuh umat percaya. Di Kisah Para Rasul 16:19-24 Rasul Paulus dan Silas difitnah, sehingga mereka kemudian ditangkap dan dianiaya, kemudian dipenjarakan. Penganiayaan tersebut ternyata dihadapi oleh Rasul Paulus dan Silas dengan doa dan nyanyian yang memuji Allah. Kisah Para Rasul 16:25 menyatakan: “Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka.” Jemaat Tuhan yang telah disatukan sebagai Tubuh Kristus dan telah mengalami kasih Kristus tidak akan menyikapi kebencian dan penganiayaan yang mereka alami dengan kemarahan dan perasaan putus-asa. Di Roma 8:35 Rasul Paulus berkata: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Beban dan derita akan menjadi lebih berat ditanggung oleh setiap jemaat yang hidup dalam perpecahan. Sebaliknya umat akan merasa lebih ringan dan memeroleh penghiburan yang saling menguatkan apabila ditanggung oleh berbagai jemaat dalam kesatuan Tubuh Kristus.

Kita dapat saling mendoakan dan menguatkan melalui doa yang lahir dari hati yang mengasihi dengan keragaman spiritualitas berbagai denominasi gereja. Selain itu kita dapat saling memperkaya spiritualitas kita dari berbagai pujian lintas denominasi, sehingga doa dan pujian tersebut menjadi persembahan yang harum di hadapan Allah. Saya yakin melalui dukungan doa dan pujian yang begitu kaya dalam satu hati dan satu iman, tidak ada penderitaan yang tidak dapat kita tanggung. Sebab keragaman denominasi gereja bagaikan keragaman organ-organ tubuh manusia yang akan berfungsi efektif apabila setiap bagian melakukan tugas sesuai fungsinya masing-masing dalam ikatan satu roh. Di Yohanes 17:26, Yesus berdoa agar setiap umat dan jemaat saling mengasihi, yaitu: “Dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.” Dengan mengimplementasikan doa Yesus tersebut setiap umat tidak akan lagi menganggap ajaran teologi, struktur dan organisasi gerejanya sebagai yang “paling baik.” Sebab teologi, struktur dan organisasi setiap gereja memiliki keterbatasan dan kelemahannya masing-masing. Namun yang terindah adalah Kristus berkenan memakai setiap umat dengan keterbatasan dan kelemahannya masing-masing untuk kemuliaan nama-Nya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono