Latest Article
Pemimpin yang Melayani (Servant-leadership)

Pemimpin yang Melayani (Servant-leadership)

Pemimpin yang melayani merupakan salah model yang menjadi ciri khas dan menonjol dari kepemimpinan Kristus. Namun nama model kepemimpinan Kristus tersebut justru diangkat oleh seseorang yang bukan berasal dari kalangan lembaga Kristen. Sebab sebutan model kepemimpinan Yesus tersebut diangkat dari kalangan sekuler, yaitu Robert K. Greenleaf dalam bukunya yang berjudul: The Servant as Leader, The Power of Servant Leadership, dan A Life of Servant Leadership. Makna “pemimpin yang melayani” menurut Greenleaf dipahami sebagai “the natural feeling that one wants to serve, to serve first.” Dengan perkataan lain Greenleaf memahami makna “pemimpin yang melayani” bukan dalam perspektif iman Kristen, yaitu ajaran dan kehidupan Yesus. Padahal nama model “kepemimpinan yang melayani” secara eksplisit dinyatakan oleh Yesus. Di Matius 20:27 Yesus menyatakan: “dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.” Dalam nas tersebut Yesus menyatakan dua hal yang mendasar yaitu seorang pemimpin yang terkemuka dinyatakan dengan kesediaan dirinya untuk menjadi seorang hamba.

Konteks pernyataan Yesus di Matius 20:27 tentang kepemimpinan yang terkemuka apabila didasari dan dilakukan dengan kesediaan seseorang menjadi seorang hamba yang melayani. Model kepemimpinan yang menghamba tersebut merupakan kritik Yesus tentang model kepemimpinan yang diberlakukan oleh para penguasa dunia. Model kepemimpinan yang diberlakukan oleh penguasa dunia adalah model otoriter yang dinyatakan dalam dalam bentuk kekerasan dan penaklukan. Penguasa yang kuat adalah penguasa yang mampu menggunakan kekuasaannya dan kalau perlu memakai cara-cara yang kejam. Niccolo Machiavelli dalam bukunya yang berjudul The Prince pada intinya menyatakan bahwa para penguasa negara haruslah mempunyai sifat seperti kancil dan singa. Sebagai seekor kancil penguasa harus pandai mencari lubang jaring, dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Seorang penguasa negara haruslah cerdik, pandai dan licin seperti seekor kanci akan tetapi ia harus memiliki sifat yang kejam dan tangan besi seperti singa. Bagi Machiavelli penguasa negara boleh berbuat apa saja asalkan tujuan tercapai. Landasan moral Machiavelli adalah segala yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan seorang penguasa/raja. Dengan pemikiran Machiavelli tersebut tidak mengherankan jikalau buku The Prince dianggap sebagai buku petunjuk bagi para diktaktor dalam menjalankan kekuasaannya yang serba absolut. Di Matius 20:25 Yesus berkata: “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.”

Ucapan Yesus di Matius 20:27 tentang: “dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” ditempatkan dalam konteks pola para penguasa menjalankan kekuasaan mereka dengan tangan besi. Bagaimana sikap umat percaya di tengah-tengah penguasa yang memerintah secara otoriter, diktaktor dan menggunakan kekerasan? Yesus memiliki sikap dalam kepemimpinan-Nya, yaitu menolak setiap bentuk kekuasaan yang memakai cara kekerasan dan penindasan untuk mencapai suatu tujuan. Kecenderungan dan praktik menggunakan kekerasan dan penindasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh para penguasa sepanjang zaman. Periode kolonialisme dan imperialisme setua usia peradaban manusia. Makna kolonialisme umumnya dilakukan untuk menguras habis sumber daya alam di negara yang ditaklukkan. Sedang makna imperialisme dilakukan untuk menanamkan pengaruh dalam semua bidang kehidupan. Secara hakiki kolonialisme dan imperalisme menggunakan kekuatan senjata dan militer untuk mewujudkan tujuan politis dan kekuasaan mereka. Mereka menempatkan diri sebagai penguasa yang harus ditaati dan dipenuhi semua keinginan dan kehendak mereka. Karena itu bangsa yang dikalahkan harus melayani dan tunduk kepada mereka.

Pola kepemimpinan Kristus tidaklah seperti yang dilakukan oleh para penguasa atau raja-raja di dunia tersebut. Walau Kristus adalah penguasa langit dan bumi, Dia tidak menaklukkan manusia dengan penggunaan kekuasaan politis dan kekerasan militer. Matius 28:18 Yesus berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Kolose 2:17 menyatakan: “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana maupun kerajaan, baik pemerintah maupun penguasa, segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” Kedua ayat tersebut sangat jelas menyatakan Yesus sebagai penguasa di atas segala penguasa, bahkan penguasa sorga dan bumi. Walaupun demikian Kristus menaklukkan manusia dengan kuasa kasih-Nya yang berkurban dan merendahkan diri. Karena kekerasan dan penaklukkan dengan kekuatan fisik atau militer tidak akan pernah membuka kesadaran manusia untuk dipulihkan. Pola pendekatan dengan kekerasan hanya menghasilkan kekerasan. Penaklukkan dengan kekuasaan hanyalah menghasilkan kebencian dan dendam secara turun-temurun. Kristus memilih model kepemimpinan yang menghamba dengan berinkarnasi menjadi manusia dan merendahkan diri-Nya.

Model kepemimpinan Kristus yang menghamba (servant-leadership) secara hakiki dilandasi oleh sikap Kristus yang mengosongkan diri-Nya. Di Filipi 2:6 personalitas Yesus dideskripsikan “ dalam rupa Allah” (ἐν μορφῇ θεοῦ). Kata “rupa” dalam konteks ini berasal dari kata “morphe” untuk menunjuk hakikat atau kodrat Kristus yang tidak pernah berubah. Karena itu kata “morphe” bukan untuk menunjuk bentuk luar atau jasmaniah kedirian Kristus. Jadi makna gelar Kristus yang disebut oleh Rasul Paulus dengan “dalam rupa Allah” menyatakan bahwa sejak kekal diri Kristus telah sehakikat dengan Allah. Keilahian Kristus sebagai Sang Firman Allah tidak berubah saat Ia berinkarnasi menjadi manusia. Kedudukan Kristus yang sejak kekal sehakikat dengan Allah ternyata tidak menghalangi Dia untuk mengosongkan diri-Nya.

Makna kata “mengosongkan diri” berasal dari kata “kenosis” untuk menunjuk tindakan yang meniadakan kepentingan diri. Frasa “mengosongkan dirinya” (ἑαυτὸν ἐκένωσεν), khususnya kata ἐκένωσεν merupakan bentuk aoris pertama-indikatif aktif-orang ketiga tunggal. Dalam hal ini kata kerja “keno” (κενόω) umumnya dipahami sebagai tindakan memindahkan sesuatu dari satu tempat atau mencurahkannya ke tempat lain sehingga tidak tersisa. Perlu dipahami bahwa makna pengosongan diri Kristus tidak terlepas “dalam rupa Allah” dan kesetaraan dengan Allah” sebagaimana telah diuraikan di atas. Karena itu Kristus yang melakukan pengosongan diri dalam inkarnasi-Nya itu adalah benar-benar menjadi manusia dan benar-benar Allah.

Model spiritualitas kepemimpinan yang menghamba (servant-leadership) di dalam inkarnasi Kristus menghasilkan pola sikap kepemimpinan yang lebih konstruktif dan transformatif, yaitu:

  1. Dari kesaksian dan ulasan Surat Filipi 2:6-8 kita dapat melihat bahwa model kepemimpinan yang menghamba (servant-leadership) berakar pada tindakan Allah di dalam Kristus yang berinkarnasi dengan mengosongkan diri-Nya. Model/pola kepemimpinan yang menghamba (servant-leadership) di dalam Kristus bukan bertujuan untuk menguatkan status kepemimpinan-penguasa, sebaliknya mengubah makna “penguasa” seharusnya menjadi para pribadi yang berkarya untuk kesejahteraan dan keselamatan bagi orang-orang yang dilindunginya. Dalam konteks ini makna pola kepemimpinan yang menghamba di dalam Kristus merupakan pola kepemimpinan yang khas iman Kristen. Ciri dan pola kepemimpinan yang menghamba ini merupakan model yang menentang pola-pola kepemimpinan yang dilakukan oleh orang-orang dunia pada umumnya. Pola kepemimpinan Kristus yang menghamba menentang berbagai bentuk diktaktorisme, otoriterisme, kolonialisme, imperialisme, triumfalisme dan sebagainya. Jadi kedatangan Kristus yang berinkarnasi dan menghamba merupakan manifestasi kedatangan pemerintahan Allah yang menghadirkan nilai-nilai pemerintahan Allah yang berdasarkan kasih dan mengangkat martabat manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Karena itu di dalam Kristus, setiap umat dipanggil untuk melaksanakan fungsinya yang menghadirkan keselamatan, bukan menonjolkan kuasa atau kekuatan yang dimilikinya. Kekuasaan, kedudukan, kekayaan, kekuatan, dan kepandaian hanyalah alat untuk melaksanakan fungsi kepemimpinan yang memuliakan Allah dengan melayani sesama.
  2. Model kepemimpinan Kristus yang menghamba adalah pola kepemimpinan yang didasari pada kualitas diri, pengudusan dan kebenaran. Kristus Sang Firman Allah mengosongkan diri-Nya karena Ia memiliki kepenuhan ke-Allah-an. Inkarnasi Kristus yang mengosongkan diri-Nya bukanlah didasarkan pada “kekosongan” dalam diri-Nya. Tindakan pengosongan diri hanyalah mungkin karena Kristus memiliki seluruh kepenuhan yang sempurna. Dengan demikian pola kepemimpinan umat percaya yang dilandasi dalam pengosongan Kristus seharusnya didasari pada kualitas diri baik dalam kompetensi maupun karater. Kualitas diri dalam kompetensi diwujudkan dalam keahlian, kecerdasan, kreativitas, sikap inovatif dan profesionalisme. Sedangkan kualitas diri dalam karakter diwujudkan dalam integritas, kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan, dan kebaikan. Kualitas diri dalam kompetensi dan karakter tersebut perlu dikembangkan secara optimal dan sesuai dengan kepenuhan diri dari masing-masing pribadi. Pengembangan diri secara optimal tersebut dinyatakan dalam relasi personal dan sosial dengan perendahan diri. Semakin seseorang mencapai tingkat pengembangan diri yang semakin tinggi, seharusnya dia semakin merendahkan diri. Dengan perkataan lain kecenderungan orang-orang yang meninggikan diri dilakukan oleh orang-orang yang belum berhasil mencapai tingkat pengembangan diri secara optimal. Ilmu pengetahuan dan keahlian masih minim tetapi menganggap diri telah menguasai kedalaman dan kekayaan ilmu pengetahuan/keahlian.
  3. Model kepemimpinan Kristus yang menghamba menyediakan ruang yang terbuka dan berbagi dengan sesama yang berbeda. Sikap menghamba bukanlah sikap inferior, sebaliknya spiritualitas yang dilandasi oleh kerendahan hati yang tulus dan murni. Hambatan terbesar bagi kita untuk menyediakan ruang yang terbuka dan berbagi dengan sesama adalah karena kita menganggap diri/kelompok sebagai yang paling unggul/superior. Apabila kita menganggap diri/kelompok lebih unggul, maka dapat dipastikan kita akan menganggap orang lain sebagai pihak yang inferior. Karena itu manakala setiap orang menganggap dirinya lebih unggul dan saling menyombongkan status, kemampuan dan kepandaiannya akan menghasilkan ruang hati yang tertutup. Dalam situasi tersebut setiap orang tidak akan bersedia berbagi dengan orang lain, sebaliknya masing-masing akan berusaha merebut hak orang lain. Tindakan para penguasa yang imperalistis, kolonialistis atau triumpalistis pada hakikatnya didasari sikap diri sebagai kelompok yang superior. Dengan demikian pola kepemimpinan Kristus yang menghamba memungkinkan setiap umat hidup dalam keberagaman secara adil, tanpa diskriminasi, saling berbagi dan mutual-relationship.
  4. Model kepemimpinan Kristus yang menghamba bertujuan mengubah hati manusia dengan kelembutan kasih dan keramahtamahan dalam karya penebusan Kristus. Dengan menonjolkan pada sikap yang rendah-hati dan menghargai martabat manusia, pola kepemimpinan Kristus menaklukkan hati manusia dengan kuasa penebusan, yaitu kasih yang berkurban. Dalam konteks ini makna kepemimpinan Kristus yang menghamba didasarkan pada karya penebusan-Nya yang memberi nyawa-Nya. Di Markus 10:45 Yesus berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Sikap Yesus yang melayani dengan menghamba dinyatakan dengan kesediaan diri untuk memberi nyawa-Nya bagi umat manusia. Dengan demikian panggilan umat percaya untuk mengimplementasikan kasih Kristus adalah dilandasi oleh karya penebusan Kristus, sehingga menghadirkan keselamatan bagi banyak orang. Konsekuensinya adalah setiap umat percaya mengimplementasikan makna kepemimpinan yang menghamba pada hakikatnya diwujudkan dalam tindakan kasih yang bersedia berkurban sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kristus.

Model kepemimpinan yang menghamba pada hakikatnya adalah hasil dari tingkat spiritualitas yang terjadi dalam kasih-karunia Allah untuk menjadi serupa dengan Kristus (imitatio Christi). Di Surat Roma 8:29 menyatakan: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Dengan demikian model kepemimpinan yang menghamba pada hakikatnya adalah karakter dan spiritualitas iman Kristen yang mendasarkan pada kasih-karunia Allah yang berkenan memilih dan memampukan setiap umat percaya untuk menjadi serupa dengan gambaran Kristus. Kasih-karunia Allah dalam karya penebusan Kristus tersebut seharusnya direspons dengan kesediaan setiap umat untuk membuka diri terhadap pembaruan Roh Kudus dan disiplin rohani dalam bentuk kerendahan hati dan kesediaan untuk berkurban bagi orang lain. Model kepemimpinan yang menghamba bukanlah suatu proses pendewasaan yang sekali jadi, tetapi diperjuangkan dalam setiap aspek kehidupan dari waktu ke waktu. Sikap pengosongan Kristus yang menghamba direspons umat dengan kesediaan menyangkal diri. Ini berarti model kepemimpinan yang menghamba adalah wujud dari disiplin rohani umat yang terus-menerus menyangkal diri dalam mengikut Kristus.

Model kepemimpinan yang menghamba akan senantiasa relevan dalam setiap zaman dan waktu, sebab kita terjebak oleh dosa maut yang utama adalah kesombongan. Sebagaimana manusia pertama memberontak kepada Allah ingin menjadi sama seperti Allah (Kej. 3:5), demikian pula manusia sepanjang zaman ingin dimuliakan seperti “allah.” Fenomena kultus-individu, membangga-banggakan etnis, kepercayaan/agama, kepandaian, kekuasaan dan status sosial senantiasa terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Model kepemimpinan menghamba yang diteladankan oleh Kristus adalah penyangkalan diri terhadap diri sendiri dan sikap kritis terhadap kepemimpinan-penguasa yang terjadi dalam berbagai bentuk di setiap elemen kehidupan.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono