Latest Article
Pengentasan Kemiskinan dalam Perspektif Iman Kristen

Pengentasan Kemiskinan dalam Perspektif Iman Kristen

Pengantar

Makna “miskin” secara umum dipahami sebagai kondisi tidak memiliki harta dan kemampuan ekonomis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling mendasar (primer) yaitu: makanan, air, kesehatan dan pendidikan serta tempat tinggal. Seseorang yang hidup dalam situasi kemiskinan tidak mampu menikmati kesejahteraan secara ekonomis dan sosial, sehingga ia mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas hidup sebagaimana yang seharusnya. Dalam konteks ini kita dapat melihat hubungan yang erat antara kesejahteraan hidup dengan kualitas hidup. Seseorang disebut sejahtera apabila mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Makna kesejahteraan bukan sekadar sejahtera secara ekonomis saja, tetapi juga secara sosial, kesehatan dan tingkat pendidikan serta makna hidup. Itu sebabnya kualitas hidup manusia mencakup keseluruhan aspek, yaitu ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan makna hidup.

Salah satu faktor yang tidak dapat disangkal untuk mencapai kesejahteraan hidup adalah faktor ekonomi. Walau faktor ekonomi tidak lebih tinggi daripada kebutuhan sosial, kesehatan, pendidikan dan makna hidup tetapi tanpa didukung oleh kemampuan ekonomis kita tidak dapat mencapai kualitas hidup yang seharusnya. Karena itu salah satu faktor pengentasan kemiskinan adalah perlunya peningkatan kemampuan ekonomis yang didukung oleh keahlian, pendidikan, pelatihan, cara pandang, mentalitas dan spiritualitas serta iman. Dengan demikian upaya pengentasan kemiskinan bersifat holistik, yaitu terintegrasinya setiap segi dalam kesatuan sehingga menghasilkan sinergi spiritual untuk meraih tahap-tahap kualitas hidup.

Hambatan dalam Pengentasan Kemiskinan

Upaya pengentasan kemiskinan sering gagal karena faktor penghambat tidak diselesaikan lebih dahulu, yaitu:

  1. Kemiskinan kultural/budaya yaitu lemahnya nilai-nilai dan pola hidup yang terbentuk sebagai budaya dalam mental seseorang sehingga ia cenderung mengembangkan sikap apatisme, malas, serba tergantung, tidak memiliki inisiatif dan mudah menyerah/tidak ulet.
  2. Orientasi spiritualitas yang keliru sebab ia menganggap segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini merupakan takdir Allah, sehingga cenderung bersikap pasif dan pasrah. Ia tidak memahami bahwa Allah menjadikan manusia sebagai mandataris-Nya untuk mengelola dengan keahlian, tekun dan bertanggungjawab.
  3. Kebiasaan hidup yang buruk yaitu: mabuk, pesta-pora, konsumerisme
  4. Managemen waktu yang salah sehingga menyia-nyiakan kesempatan, menunda pekerjaan, tidak disiplin dan melakukan hal-hal yang tidak berguna.
  5. Tidak memiliki prioritas hidup, sehingga seluruh waktu dan tenaga dicurahkan untuk hal-hal yang tidak terlalu penting dan bermakna. Karena itu makna hidup perlu ditemukan dalam tujuan hidup yang utama dan bernilai abadi.

Upaya Pengentasan Kemiskinan

Upaya pengentasan kemiskinan membutuhkan proses waktu, pola pendekatan, perubahan paradigma dan mentalitas serta spiritualitas seseorang sehingga terjadi pembaruan yang utuh dalam kehidupannya. Tiga langkah untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan, yaitu:

  1. Pendekatan karitatif yaitu pola ajar berupa pemberian berbagai kebutuhan primer dalam jangka waktu tertentu seperti memberi “sembilan kebutuhan pokok” untuk meringankan beban kemiskinan yang berakibat rentan terhadap penyakit dan problem sosial. Karena itu pendekatan karitatif hanya boleh dilakukan dalam jangka waktu pendek dan tidak boleh terus-menerus sebab tujuan utama diakonia adalah pemberdayaan kualitas hidup seseorang.
  2. Pendekatan reformatif yaitu pola ajar yang sifatnya memberdayakan dengan memberikan pelatihan, pembinaan, dan pendampingan sehingga yang bersangkutan mengalami perubahan paradigma dan pengembangan keahlian. Dengan demikian ia dapat mengatasi setiap persoalan hidup dan keluarganya dengan daya inisiatif yang tinggi dan memiliki kemampuan yang terus berkembang. Karena itu dengan bantuan reformatif seseorang semakin diperlengkapi dengan kemampuan yang semakin memadai. Ia berkembang dan mampu menjadi seorang yang profesional dalam bidang pekerjaannya.
  3. Pendekatan transformatif yaitu pola ajar yang mampu mengembangkan para anggota masyarakat sebagai komunitas untuk saling menginspirasi, berbenah dan mengembangkan diri sehingga menciptakan kondisi sosial, budaya dan ekonomi serta tingkat pendidikan untuk mencapai suatu kualitas hidup yang lebih tinggi. Dengan pendekatan transformatif tersebut perubahan bukan hanya bersifat personal atau suatu kelompok kecil tetapi suatu komunitas dalam lingkup yang lebih luas. Karena saling menginspirasi dan memberdayakan, maka perubahan dengan peningkatan kualitas hidup yang lebih tinggi bergerak secara sentrifugal yaitu gerak yang semakin meluas dan melebar.

Ketiga pendekatan tersebut seharusnya bukan suatu pilihan tetapi suatu tahapan agar upaya pengentasan kemiskinan menjadi upaya yang bersifat struktural dan kultural. Dengan demikian upaya pengentasan kemiskinan yang bersifat karitatif hanyalah pintu masuk dalam suatu periode tertentu agar dapat mengembangkan pola pendekatan yang bersifat reformatif dan pada akhirnya mencapai pendekatan yang bersifat transformatif. Kesalahan terbesar bagi beberapa kalangan atau lembaga termasuk pelayanan gerejawi adalah hanya terbatas pada pendekatan karitatif belaka. Akibatnya justru menjadi bumerang. Mereka yang dibantu bukan semakin keluar dari lingkaran kemiskinan, sebaliknya mereka semakin mengembangkan kebiasaan tergantung dan pasif. Seharusnya pendekatan karitatif dilaksanakan dalam jangka waktu yang relatif pendek tetapi mengutamakan pendekatan reformatif dalam jangka waktu yang lebih panjang sehingga menghasilkan kemandirian dan pemberdayaan yang sesuai dengan talenta atau karunia setiap orang.

Bentuk-bentuk Kemiskinan

Situasi kemiskinan sering merupakan situasi yang kompleks, saling terjalin dalam suatu sistem. Secara garis-besar kemiskinan dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:

  1. Kemiskinan Absolut: Arti kemiskinan yang absolut adalah suatu kondisi kekurangan ekonomis secara ekstrim dalam jangka waktu yang panjang. Dalam kondisi kemiskinan absolut, seseorang atau suatu keluarga tidak dapat memperoleh kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan, pendidikan dan perlindungan yang layak. Karena itu dalam kemiskinan absolut, seseorang atau keluarga hanya dapat bertahan dari sisa-sisa yang dimiliki. Setelah itu ia akan kehilangan semuanya termasuk tempat tinggal, harta milik dan kesempatan yang ada. Karena itu tidaklah mengherankan dalam kondisi kemiskinan absolut seseorang atau suatu keluarga menjadi sangat egoistis dan tidak peduli dengan kehidupan orang lain.
  2. Kemiskinan Relatif: Arti kemiskinan relatif adalah suatu kondisi kekurangan secara ekonomis dengan pendapatan di bawah rata-rata anggota masyarakat pada umumnya sehingga ia tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan sebab terlilit oleh hutang yang sulit dibayar. Dalam konteks kemiskinan relatif seseorang masih dapat memiliki tempat tinggal dan pekerjaan, namun jumlah pendapatan dia begitu minim. Dengan kondisi kemiskinan relatif seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan yang paling dasar (primer) namun serba terbatas.
  3. Kemiskinan Struktural adalah kondisi kemiskinan yang dialami sekelompok orang yang disebabkan oleh sistem dan struktur sosial yang tidak mampu menciptakan kesempatan dan keadilan bagi anggota masyarakatnya. Karena itu para anggota masyarakat tersebut tidak memiliki akses untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan pekerjaan yang layak walaupun mereka telah berupaya secara optimal. Dengan demikian makna kemiskinan struktural terjadi bukan karena faktor kemalasan, keengganan dan keuletan bekerja. Secara fundamental kemiskinan struktural terjadi karena penguasa korup, memeras dan berlaku tidak adil.

Refleksi Teologis terhadap Tiga Bentuk Kemiskinan

  1. Kondisi kemiskinan absolut salah satunya dikisahkan dalam Kitab 1 Raja-raja 17 tentang seorang janda miskin. Justru kepada janda miskin tersebut Allah mengutus Nabi Elia untuk meminta pertolongan. Sebab melalui nubuat nabi Elia, Allah tidak menurunkan hujan atau embun hampir selama tiga tahun enam bulan. Dengan kondisi tanpa hujan sehingga sungai-sungai menjadi kering, maka Nabi Elia tidak dapat memperoleh makanan. Namun di tengah-tengah situasi itu Allah justru mengutus Nabi Elia pergi ke rumah janda miskin di Sarfat. Di Kitab 1 Raja-raja 17:9 Allah berfirman: “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.” Janda di Sarfat begitu miskin. Kekayaan yang ia miliki hanyalah segengam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Namun di tengah-tengah kemiskinannya janda di Sarfat tersebut bersedia memberikan hasil olahan tepung menjadi sepotong roti kepada Nabi Elia. Janda di Sarfat tersebut justru memperlihatkan kepedulian dan kemurahan hati kepada orang lain, barulah dia membuat sepotong roti dari sisa tepung yang telah diolahnya. Karena itu Allah menyatakan pemeliharaan-Nya dengan kuasa mukjizat, yaitu: “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman Tuhan yang telah diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia” (1Raj. 17:16). Secara ekonomis janda di Sarfat tersebut hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi secara rohaniah ia adalah seorang yang kaya di hadapan Allah. Di tengah-tengah kemiskinannya ia tetap melakukan perbuatan yang mulia dan berbuat kebajikan kepada sesama yang juga sedang kekurangan. Itu sebabnya janda di Sarfat diberkati Allah dan memperoleh pemeliharaan Allah dengan kuasa-Nya.
  1. Kondisi kemiskinan relatif dapat dilihat di Lukas 21:2 mengisahkan seorang janda miskin yang memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan di Bait Allah. Pada zaman Kerajaan Romawi waktu itu terdapat tiga logam utama untuk alat penukar, yaitu emas, perak-tembaga, dan perungu/kuningan. Uang logam yang dipersembahkan janda miskin tersebut terbuat dari perungu. Dalam bahasa Yunani koin dari perungu disebut dengan Khalkon. Tetapi tampaknya uang yang dipersembahkan janda miskin tersebut begitu kecil sehingga disebut dengan nama assarion (Yunani) dan lepton (Yahudi). Itu sebabnya di Lukas 21:2 menyatakan bahwa janda tersebut hanya memasukkan dua peser saja. Kata “miskin” yang digunakan dalam Lukas 21:2 adalah kata penikhros. Makna kata penikhros dipakai untuk menunjuk kepada seseorang yang sangat miskin atau berkekurangan namun tetap bekerja mencari nafkah, dan nafkah tersebut dipakai untuk sesuatu yang mulia dan kudus. Dalam kondisi kekurangan, seseorang dengan spiritualitas penikhros bekerja mencari nafkah dan mempersembahkan nafkah tersebut untuk pekerjaan Tuhan atau menolong orang lain. Karena itu situasi kemiskinan tidak menghalangi dia untuk melakukan yang terbaik bagi Allah. Aspek yang menonjol dari janda tersebut adalah kemurahan hati dan cintanya yang berkobar-kobar kepada Allah. Itu sebabnya Yesus memuji sikap janda tersebut karena ia memiliki hati yang kaya dalam kemurahan walau berada di tengah-tengah situasi melarat.
  1. Kondisi kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kerusakan sistem dan struktur sosial sehingga menimbulkan ketidakadilan, eksploitasi dan kemiskinan digambarkan oleh Kitab Amos. Di Amos 2:6 menyatakan: “Beginilah firman Tuhan, karena tiga perbuatan jahat Israel bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku. Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut.” Para penguasa Israel pada zaman Nabi Amos melakukan kejahatan dan tindakan korup, sehingga mereka tidak membela orang benar tetapi berpihak kepada mereka yang memiliki uang. Di Amos 5:12 menyatakan: “Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang.” Melalui Nabi Amos, Allah menyatakan perlawanan kepada para penguasa Israel yang korup dan melakukan kejahatan sehingga orang benar dan orang miskin tertindas. Para penguasa yang korup dan penindas tersebut dari sudut agama adalah orang-orang yang gemar melakukan perayaan atau ritual keagamaan. Mereka mempersembahkan korban persembahan dalam jumlah yang besar. Tetapi tindakan keagamaan mereka justru merupakan sesuatu yang memuakkan Allah (Am. 5:22). Allah menghendaki keadilan, dan bukan persembahan: “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:24).

Tanggapan

Kasus janda di Sarfat walau terjerat oleh situasi kemiskinan absolut nuraninya tidak menjadi lemah. Sebaliknya kepeduliannya terhadap orang lain yaitu Nabi Elia tetap menjadi prioritas. Melalui harta milik satu-satunya yaitu segenggang tepung dan sedikit minyak dalam buli-buli ia membuatkan roti terlebih dahulu untuk orang lain. Kemiskinan absolut tidak meniadakan hakikat manusiawinya yaitu mendahulukan keselamatan orang lain walau ia dan keluarga sedang bertaruh dengan maut yaitu kelaparan di depan mata. Dalam konteks ini yang seharusnya dibutuhkan oleh janda di Sarfat adalah bantuan karitatif dari orang-orang di sekelilingnya. Tetapi ia justru memberi bantuan karitatif kepada Nabi Elia. Tindakan janda di Sarfat yang menyatakan kemurahan dan kepedulian yang tulus kepada Nabi Elia justru tidak membuat dia menjadi semakin miskin. Sebaliknya Allah menyatakan pemeliharaan-Nya secara ajaib. Janda di Sarfat dan anaknya itu tetap terpelihara selama musim kering dan tanpa hujan tiga tahun enam bulan lamanya.

Kasus janda di Lukas 21:1-2 yang terjerat oleh kemiskinan relatif memiliki spiritualitas penikhros. Spiritualitas penikhros yang dimiliki oleh janda tersebut adalah di tengah-tengah kemiskinan dia bekerja mencari nafkah namun nafkah tersebut dipersembahkan untuk pekerjaan atau karya Allah. Janda tersebut telah melakukan upaya reformatif bagi dirinya sendiri. Dia tidak tergantung pada pemberian atau bantuan orang lain. Ia mampu membiayai hidupnya sendiri, tetapi juga ia bekerja mencari nafkah agar dapat ambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Karya reformatif yang dilakukan oleh janda tersebut telah melewati tahap kemandirian. Ia mencari nafkah untuk sesuatu yang dianggap luhur bagi pihak lain. Dalam kehidupan sehari-hari sifat reformatif janda tersebut diimplementasikan oleh beberapa orang yang bekerja keras mencari nafkah tetapi hasil kerja keras tersebut dipakai untuk kesejahteraan anak-anak yang terlantar, para yatim-piatu dan orang-orang yang sedang mengalami kesusahan.

Kasus kemiskinan struktural harus diatasi dengan perubahan struktur dan sistem dalam lingkup sosial dan budaya serta keagamaan agar keadilan dapat diberlakukan kepada setiap orang. Lembaga-lembaga masyarakat dan keagamaan tidak senantiasa berpihak kepada kebenaran dan keadilan. Mereka bisa dipengaruhi oleh suap, hubungan relasi/kerabat dan perbedaan etnis. Karena itu pengentasan kemiskinan melalui pendekatan struktural berarti menata kembali struktur, hubungan sosial, sistem nilai, paradigma, penegakan hukum dan penolakan terhadap berbagai diskriminasi. Kemiskinan struktural akan terwujud apabila keadilan dijamin dan kesejahteraan ditumbuhkan. Pengentasan kemiskinan secara struktural merupakan upaya pengentasan yang bersifat transformatif.

Pengelolaan Keuangan

Upaya pengentasan kemiskinan perlu dilakukan secara reformatif dengan memberdayakan berbagai talenta atau karunia setiap orang sehingga mereka semakin menemukan jati-dirinya. Selain memberdayakan berbagai talenta, setiap individu diajar untuk berani keluar dari zona aman dengan melakukan setiap pekerjaan yang tersedia dengan ulet dan rajin. Namun pemberdayaan talenta tanpa disertai sistem nilai dan spiritualitas untuk mengelola keuangan, maka upaya pengentasan kemiskinan tersebut akan gagal. Langkah-langkah praktis apakah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan keuangan?

  1. Tidak melekat kepada materi. Karena itu setiap orang harus memperlakukan materi sebagai alat belaka. Nilai dan fungsi suatu benda lebih diutamakan daripada harga atau merk untuk menunjang penampilan luar belaka.
  2. Hidup hemat yaitu menggunakan keuangan sesuai kebutuhan dan bukan karena dorongan keinginan.
  3. Sikap realistis dengan kemampuan ekonomi yang ada.
  4. Membuat perencanaan keuangan secara matang dan mematuhi setiap rencana tersebut dengan konsisten walau berhadapan dengan godaan membeli sesuatu yang tampaknya menarik.
  5. Membayar tagihan tepat pada waktunya sehingga tidak terjadi tagihan-tagihan tersebut menumpuk.
  6. Produktif dan memanfaatkan peluang dengan berupaya menambah penghasilan, bersedia melakukan pekerjaan sampingan.
  7. Menabung dengan menyisihkan setiap rezeki yang diterima.
  8. Tanggap dan waspada dengan mempelajari situasi keuangan yang sedang terjadi di lingkup mikro dan makro, sehingga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengembangkan investasi.
  9. Sadar diri bahwa keuangan hanyalah salah satu bagian kecil dalam kehidupan ini sehingga fokus kehidupan harus ditujukan kepada Allah dan karya-Nya, serta kesejahteraan manusia.

Pengentasan Kemiskinan Tidak Identik dengan Ambisi Ingin Kaya

Upaya pengentasan kemiskinan bukan dilakukan oleh pihak lain, tetapi harus dilakukan oleh setiap orang secara sadar dengan cara dan tujuan yang benar. Upaya pengentasan kemiskinan bukan dilakukan dengan cara-cara yang korup, manipulatif dan menghalalkan segala macam cara. Sebab tujuan pengentasan kemiskinan adalah pemulihan harkat diri berdasarkan anugerah Allah melalui setiap talenta, kesempatan dan karakter yang terpuji. Selain itu pengentasan kemiskinan tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi belaka, tetapi utamanya pada bidang budaya dan spiritualitas diri. Bahaya kemiskinan terbesar bukanlah karena ekonomi yang minim tetapi miskinnya nilai-nilai spiritualitas dan budaya luhur sehingga kehilangan aspek kepedulian, kemurahan, kasih dan nurani.

Keinginan untuk kaya adalah tindakan serakah sebab kekayaan pada hakikatnya merupakan hasil kerja keras dan cerdas serta ulet. Di Surat 1 Timotius 6:9 menyatakan: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam ke runtuhan dan kebinasaan.” Seharusnya umat bukan bertujuan memiliki impian menjadi orang kaya, tetapi utamanya umat bermimpi dan berjuang untuk mengembangkan secara optimal berbagai karunia dan kesempatan yang disediakan Tuhan dengan tanggungjawab. Uang dan kekayaan hanyalah alat. Karena itu tujuan hidup bukanlah uang dan kekayaan, tetapi memuliakan Allah dengan mendatangkan kesejahteraan bagi diri sendiri dan sesama di sekitar kita. Apabila uang dan kekayaan dijadikan tujuan hidup, maka kita akan menuai ketamakan dan kejahatan. Di Surat 1 Timotius 6:10 menyatakan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.”

Makna hakikat dari pengentasan kemiskinan adalah pemulihan harkat manusia yang diciptakan menurut Gambar dan Rupa Allah. Dengan demikian pengentasan kemiskinan juga berarti upaya pembaruan hidup agar hidup kita menjadi para pengelola yang terampil, ahli dan bertanggungjawab untuk mengembangkan berbagai karunia Allah. Melalui upaya pengentasan kemiskinan yang terjadi di setiap pribadi sesungguhnya kita sedang memerangi salah satu musuh terbesar dalam Tujuh Dosa Maut, yaitu Dosa Kemalasan dan Dosa Keserakahan. Sebab dosa kemalasan menyebabkan kita mengabaikan inisiatif dan kesungguhan untuk berkaraya dan dosa keserakahan mendorong kita untuk meraih dan merebut berbagai hal yang bukan hak milik kita.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono, M.Th.