Latest Article
The Mindset of Christ

The Mindset of Christ

(1 Korintus 2:11-16)

Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah. Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita. Dan karena kami menafsirkan hal-hal rohani kepada mereka yang mempunyai Roh, kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh. Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani. Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain. Sebab: “Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?” Tetapi kami memiliki pikiran Kristus.

Apa yang dimaksud dengan mindset? Mindset sering diterjemahkan sebagai pola pikir seseorang tentang realitas. Karena itu mindset bersifat subjektif. Setiap orang memiliki sudut pandang atau pola berpikir sesuai dengan kepribadian, karakter, tingkat pendidikan dan latar-belakangnya. Semakin kita memiliki kepribadian yang dewasa/matang, karakter yang baik dan tingkat pendidikan yang memadai seharusnya kita dimampukan untuk memiliki pola pikir yang semakin luas, mendalam, bijaksana dan produktif. Tetapi sebaliknya semakin kepribadian kita tidak bertumbuh secara dewasa, karakter yang egoistis dan pola pendidikan yang tidak membebaskan maka kita akan menjadi sosok pribadi yang gagal merespons dengan tepat realitas hidup ini. Aspek pendidikan dalam konteks ini bukan sekadar ditentukan tingkat akademis, tetapi apakah pendidikan tersebut memampukan seseorang menemukan makna dan tujuan hidup yang otentik. Kita kadang menemui seseorang dengan tingkat pendidikan yang sangat tinggi tetapi sangat naïf dan dangkal dalam merespons suatu situasi atau permasalahan.

Mindset merupakan produk mental-spiritual seseorang. Pola pikir tersebut bukan sekadar area kecerdasan dan kemampuan kognitif tetapi utamanya hasil dari kualitas world-view (pandangan dunia). Karena itu dalam mindset seseorang tergambar bagaimana tingkat mutu world-view apakah memiliki wawasan yang luas, kemampuan pertimbangan yang matang dan daya analisa yang tajam atau sebaliknya. Sebagai hasil atau produk mental-spiritual, kualitas mindset ditentukan oleh enam faktor, yaitu: pendidikan, pengalaman, latar-belakang keluarga, relasi sosial, budaya, dan religiusitas. Karena itu perubahan mindset tidak dapat ditentukan oleh beberapa faktor belaka. Akar dari perubahan mindset senantiasa berkaitan dengan keseluruhan kepribadian kita.

Dari keenam faktor yaitu pendidikan, pengalaman, latar-belakang keluarga, relasi sosial, budaya dan religiusitas masih ada satu lagi faktor yang ketujuh. Faktor yang ketujuh itu adalah perjumpaan dan pengenalan akan Kristus. Justru faktor yang ketujuh ini merupakan faktor yang utama dan menentukan. Di surat 1 Timotius 1:13 Saulus yang kemudian berubah menjadi Rasul Paulus berkata: “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” Perjumpaan dan pengenalan akan Kristus mampu mengubah mindset Saulus sehingga ia memiliki cara pandang yang sama sekali baru. Semula Saulus memiliki cara pandang dan pola hidup sebagai penghujat, penganiaya dan seorang yang ganas. Tetapi pengalaman berjumpa dengan Kristus di Damsyik telah menjadi titik balik yang menentukan. Perubahan hidupnya terjadi begitu drastis dan signifikan. Ungkapan senada menegaskan bagaimana efek perubahan karena pengenalan akan Kristus mengubah cara pandang dan sikap hidup Saulus, sehingga ia berkata: “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Flp. 3:8).

Apa yang dahulu dianggap oleh Saulus sebagai suatu keutamaan dan prioritas berubah menjadi sesuatu yang bernilai kurang dibandingkan pengenalannya akan Kristus. Sebelum mengenal Kristus mungkin kita cenderung gila hormat, tetapi setelah mengenal Kristus kita lebih mengutamakan memberi respek kepada setiap orang tanpa kecuali. Mungkin sebelum mengenal Kristus kita adalah pribadi yang mudah tersinggung dan pemarah, tetapi setelah mengenal Kristus kita menjadi pribadi yang ramah dan mampu menguasai diri.

Perubahan mindset menentukan makna dan kualitas hidup seseorang. Dalam realitas hidup seseorang bisa saja memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, saleh dalam hidup keagamaannya dan status sosial yang terhormat namun dikendalikan oleh mindset duniawi. Manifestasi mindset seseorang akan terlihat saat ia menghadapi tiga ujian, yaitu: a). Krisis, b). Kepentingan pribadinya terganggu, dan c). Jauh dari pengamatan publik. Mengapa ketiga hal tersebut akan menyingkap tabir mindset seseorang yang sesungguhnya?

Saat seseorang menghadapi situasi krisis atau kesulitan berupa tekanan dan kegagalan akan memperlihatkan watak asli atau karakter yang aslinya. Manakala menghadapi suatu krisis seseorang cenderung mengambil sikap defensif (mempertahankan diri) atau ofensif (menyerang pihak lain). Tetapi seorang yang memiliki integritas akan memilih bersikap jujur, realistis dan memberi solusi. Mindset seseorang akan juga terlihat saat kepentingan pribadinya terganggu. Sebab kepentingan pribadi berkaitan dengan sejauh mana sikap ego yang dimiliki. Apakah ego yang ia kembangkan adalah ego yang mampu mengatasi sikap narsistis dan serakah? Terakhir sikap mindset seseorang akan terlihat apabila semua kesalehan dan kebajikan yang ia lakukan jauh dari pengamatan publik. Selama kita melakukan kesalehan dan kebajikan hanya di depan publik maka bukanlah suatu keutamaan sebab motivasinya adalah agar memperoleh pujian atau penghargaan dari orang lain. Sebaliknya ketika kita melakukan kesalehan dan kebajikan secara tersembunyi, jauh dari harapan pujian dari publik maka mindset tersebut didasari oleh ketulusan. Bukankah melakukan kesalehan dan kebajikan secara tersembunyi merupakan prinsip dari integritas diri?

Makna mindset yang berkualitas harus lolos dari tiga ujian a). Krisis, b). Kepentingan pribadinya terganggu, dan c). Jauh dari pengamatan publik tidak secara otomatis identik dengan pikiran Kristus. Mindset yang berkualitas dapat dicapai dan dimiliki oleh setiap orang yang memiliki integritas, ketulusan dan kemurahan hati. Karena itu sikap integritas, ketulusan dan kemurahan hati bersifat universal, lintas agama dan suku serta budaya. Sebaliknya hakikat pikiran Kristus (mindset of Christ) adalah pikiran dan karakter Allah. Melalui inkarnasi Kristus, manusia dapat mengenal pikiran dan karakter Allah yang sesungguhnya. The mindset of Christ berasal dari sorga. Jadi terdapat perbedaan yang asasi antara mindset manusiawi yang dicapai melalui pelatihan spiritual, budaya dan pendidikan dengan mindset ilahi sebagaimana yang dinyatakan dalam kehidupan dan karya Kristus.

Dalam iman Kristen, polanya bukan manusia dengan kekuatan rohani dan akal-budinya yang mampu mencapai mindset yang berkualitas. Sebaliknya setiap orang perlu hidup dalam persekutuan iman dan kasih kepada Kristus sehingga memperoleh anugerah Allah untuk membentuk mindset yang berkenan di hadapan-Nya. Jadi bukan Saulus yang lebih dahulu mencari Allah dan kebenaran-Nya, tetapi anugerah dan kasih Allah yang menyebabkan ia berjumpa dengan Kristus dan mengalami pembaruan yang menyeluruh dalam kehidupannya. Memiliki pikiran Kristus berarti membuka hati untuk dipenuhi oleh pikiran Allah sehingga seluruh orientasi, pijakan dan kerangka berpikir kita dikendalikan oleh kehendak-Nya. Hidup kita hanya bertujuan untuk mempermuliakan nama-Nya dan melakukan kehendak Allah dengan setia.

The mindset of Christ akan menjadi pola pikir kita apabila kita mengikuti Dia. Percaya kepada Kristus berarti mengikuti setiap pikiran, tindakan dan karya-Nya sehingga hidup kita mencerminkan karakter Kristus dalam setiap situasi yang kita hadapi apakah dalam situasi sulit, krisis, terancam atau sebaliknya saat kita mengalami kesuksesan. Orang-orang yang dikuasai oleh pikiran Kristus hidup dalam kekudusan yang memiliki daya pembaru begitu besar dalam kehidupan masyarakat. Dalam gereja Katolik dan Orthodoks orang-orang kudus itu disebut dengan para santo dan santa. Mereka hidup kudus, menghayati kemurnian, membebaskan diri  dari kemelekatan dan mengakhiri kehidupannya dengan sikap iman yang setia kepada Kristus.

Para tokoh yang hidup kudus dengan pikiran Kristus tidak terpengaruh oleh situasi yang terjadi. Apakah dalam situasi sulit dan menjadi seorang martir ataukah saat mereka diperhadapkan dengan godaan kekuasaan dan kenyamanan. Mereka tetap memprioritaskan kehendak Allah dan pola pikir Kristus. Mereka mampu melepaskan semua belenggu dan kemelekatan dunia dengan secara rela mengikatkan diri kepada kehendak Kristus. Karena itu Tuhan Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Makna “mengikut Yesus” tidak pernah terlepas dari kesediaan diri untuk senantiasa menyangkal diri dan memikul salib-Nya.

The mindset of Christ secara mendasar dipersaksikan dalam kitab Injil-injil, surat-surat rasuli dan seluruh bagian Alkitab Perjanjian Baru. Bagian yang fundamental dari pola pikiran Kristus menempatkan perlunya kewaspadaan terhadap isi batin daripada anggapan tubuh sebagai sumber dosa. Apabila dalam pemikiran filsafat Yunani yang diwakili oleh Plato menempatkan tubuh  sebagai sumber nafsu, namun tidaklah demikian dalam pemikiran Yesus. Di Markus 7:20-23 Yesus berkata: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Hawa-nafsu, kenajisan dan dosa berasal dari hati atau batin manusia. Karena itu makna perzinahan bukan sekadar dipahami persetubuhan di antara dua orang yang bukan suami-istri, tetapi keinginan di dalam hati terhadap lawan jenis secara tidak wajar. Demikian pula makna dosa pembunuhan bukan hanya karena kita melakukan pembunuhan secara fisik kepada musuh atau orang yang kita benci, tetapi kemarahan dan kebencian yang liar di dalam hati telah dianggap sebagai dosa pembunuhan. Kualitas the mindset of Christ bersumber pada kemurnian dan kesucian hati. Di dalam Kristus, manusia dibebaskan dari kepalsuan dan kemunafikan. Karena itu hanya orang yang suci hatinya yang dimampukan untuk melihat Allah.

Kekhasan lain the mindset of Christ yang utama adalah sikap-Nya yang memilih mengurbankan diri-Nya demi keselamatan dan penebusan dosa umat manusia. Kematian di atas kayu salib yang dijalani Yesus bukan karena ketidakberdayaan dan tragedi tetapi bersumber pada kekuatan kasih-Nya yang tanpa batas dan tanpa syarat. Berulangkali di kitab-kitab Injil Yesus menyatakan bahwa Ia datang untuk menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mark. 10:45).

Kristus bukan sekadar menolak kekerasan dengan menyerahkan nyawa-Nya tetapi utamanya Ia menempatkan diri-Nya sebagai Penebus. Sebab untuk menebus dosa umat manusia minimal harus dipenuhi 3 syarat yaitu: a). Benar-benar manusia agar Ia dapat menyelamatkan sesama manusia, b). Benar-benar orang benar sebab tanpa kekudusan yang mutlak mustahil seseorang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa, c). Benar-benar Allah sehingga mampu menjadi jalan pendamaian yang menyelamatkan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Karena itu seluruh pemikiran, ajaran, karya mukjizat dan penebusan-Nya menjadi sentral bagi arah perjalanan sejarah seluruh umat manusia. Tanpa Kristus, pemikiran dan karya-Nya niscaya seluruh umat manusia akan binasa.

Pikiran Kristus hanya dapat dimiliki oleh seseorang yang dikuasai oleh Roh Kudus. Di surat 1 Korintus 2:12 Rasul Paulus berkata: “Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita.” Selama seseorang dikuasai oleh roh dunia, maka ia tidak sanggup memahami dan memiliki pikiran Kristus. Dalam kasus tertentu roh dunia justru mendorong dia untuk menganggap pikirannya sebagai pikiran Allah. Dalam sejarah kita dapat melihat orang-orang yang menganggap dirinya sebagai “Tuhan” sehingga pikiran-pikirannya diidentikkan dengan Tuhan.

Fenomena megalomania adalah sikap seseorang yang membesarkan dirinya.  Karena itu  pikiran-pikiran dan ucapannya dia identikkan dengan sabda Tuhan. Tujuan utama dari kecenderungan megalomania tersebut adalah kultus-individu. Mereka meninginkan para penganutnya tunduk dan mengikuti seluruh kemauan atau kehendaknya. Dalam konteks budaya Jawa, perkataan raja sebagai disamakan dengan perkataan Tuhan yaitu “sabda pandita ratu.” Sangat menarik para pengidap megalomania atau yang menyamakan pikiran dan dirinya sebagai Tuhan senantiasa diikuti dengan pemaksaan, ancaman, dan kekerasan agar para penganutnya tunduk. Dalam pemikiran Kristus justru sebaliknya. Yesus mengutamakan cinta-kasih, pengampunan, kemurahan hati, pengorbanan, pembelaan-Nya bagi orang-orang yang lemah, dan kepedulian-Nya yang luar-biasa untuk menyembuhkan setiap orang yang sakit.

Dalam kehidupan sehari-hari seharusnya the mindset of Christ diejawantahkan. Minimal 3 aspek pikiran Kristus diharapkan dapat menguasai pikiran dan kepribadian umat percaya, yaitu: a). Kemurnian dan kesucian yang bersumber dari hati sehingga senantiasa waspada menjaga batin dari kecemaran dan kenajisan dunia. Kita dibebaskan dari kepalsuan dan kemunafikan, b). Kesediaan diri dikuasai oleh cinta-kasih Kristus yang bersedia berkurban dengan menolak segala bentuk mentalitas yang suka mengorbankan orang lain, c). Memberi ruang kepada sesama untuk mengambil jalan hidup dan keputusan yang bebas sehingga pola relasi dan komunikasi kita tidak didasari oleh pemaksaan, ancaman dan kekerasan. Bukankah dari ketiga aspek pikiran Kristus tersebut menghasilkan integritas karena dilandasi oleh kesucian dan kemurnian hati, kepedulian karena bersumber pada cinta-kasih dan kesediaan diri tanpa syarat, dan excellence karena memberi ruang kepada setiap orang untuk melakukan keputusan etis dan karya yang terbaik? Nilai-nilai yang luhur akan gagal dicapai oleh orang-orang di sekitar karena kita memilih pola pendekatan dengan cara pemaksaan, ancaman dan kekerasan.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono