Judul Buku : Language, Truth and Logic
Penulis : Alfred Jules Ayer
Penerbit : Victor Gollancz Ltd, London, 1954
Tebal : 160 hal.
Prinsip filosofis Alfred Jules Ayer yang utama adalah apakah suatu kalimat yang dinyatakan memiliki makna ataukah tidak bemakna. Ulasan filosofis Ayer terlihat dari: bukunya yang berjudul: Language, Truth and Logic (London: Victor Gollancz Ltd, 1954). Tesis pemikiran Ayer tersebut terlihat dalam introduksi bukunya yang diterbitkan pertama kali tahun 1936, yang menyatakan: “The principle of verification is supposed to furnish a criterion by which it can be determined whether or not a sentence is literally meaningful” (Prinsip verifikasi seharusnya menyajikan suatu kriteria yang dapat menentukan apakah suatu kalimat secara harafiah bermakna ataukah tidak) (Ayer 1954, 5). Karena itu kajian filsafat Ayer yang utama adalah bidang filsafat bahasa.
Judul bukunya telah mencerminkan isi filsafatnya, yaitu: Language, Truth and Logic, yaitu bagaimana bahasa seharusnya mencerminkan kebenaran yang logis. Sebab, Ayer seringkali menjumpai orang menggunakan bahasa yang kebenarannya bersifat “semu” dan tidak “logis.” Dari struktur dan isi bahasa terungkaplah bagaimanakah logika atau alur dan struktur pemikiran seseorang dalam menyatakan suatu “kebenaran.” Itu sebabnya mengapa Ayer tidak membahas soal logika sebagai premis filsafatnya, tetapi masalah bahasa. Untuk menentukan apakah suatu bahasa mencerminkan suatu hal yang logis ataukah tidak logis, maka Ayer mengajukan prinsip verifikasi[1].
Prinsip verifikasi yang dimaksud oleh Ayer adalah bahwa hanya pernyataan yang dapat diperiksa kebenarannya secara empiris sajalah yang memiliki makna. Artinya suatu pernyataan yang tidak dapat diperiksa secara empiris indrawi, maka pernyataan tersebut tidak bermakna. Prinsip verifikasi dalam konteks ini dipahami Ayer sebagai suatu kriteria makna (Ayer 1954, 15).[2] Jadi maksud pengertian “verifikasi” bagi Ayer adalah untuk menentukan makna suatu ucapan, yaitu apakah ucapan tersebut bermakna benar ataukah salah. Misalnya pernyataan: “STT Jakarta terletak di Jalan Proklamasi nomor 27 Jakarta” merupakan pernyataan yang dapat diverifikasi. Karena itu hanya kalimat yang kebenarannya dapat dicek melalui kriteria “verifikasi empiris” yang memiliki makna.
Sebaliknya suatu kalimat yang tidak dapat diverifikasi oleh kriteria verifikasi empiris [3], yaitu dengan pengalaman inderawi, maka kalimat tersebut tidak bermakna. Pernyataan: “Allah itu ada,” atau “Segala sesuatu mempunyai sebab” merupakan kalimat-kalimat yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Sebab “Allah” tidak indrawi. Demikian pula kata “sebab” tidak dapat dilihat. Jadi pernyataan “Allah itu ada” dan “segala sesuatu itu memiliki sebab” bukanlah kalimat yang bermakna. Kedua kalimat tersebut digolongkan oleh Ayer sebagai pernyataan metafisik. [4] Pernyataan-pernyataan tersebut dapat digolongkan sebagai suatu apriori belaka. Itu sebabnya tidak mengherankan jikalau buku Ayer, yaitu Language, Truth and Logic” secara konsisten menolak seluruh pernyataan teologi, etika dan estetika. Ayer juga secara konsisten menolak keberadaan Allah, sebab keberadaan Allah tidak dapat diverifikasi.
Sikap Ayer yang menolak seluruh pernyataan teologi, etika dan estetika sebenarnya bukanlah hal yang baru. Para filsuf yang tergabung dalam “Lingkaran Wina” telah bercita-cita mengembangkan filsafat yang sama sekali eksak, jelas dan logis dengan menggunakan ilmu pasti dan ilmu alam. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka metode analisis bahasa merupakan alat “pembersihnya.” Pernyataan yang digunakan oleh ilmu teologi, metafisika, etika dan estetika dianggap oleh Ayer tidak sah sebab hanya berdasarkan kekacauan dalam pemakaian bahasa. Perhatikan pula sikap Ayer tentang pernyataan teologi, yaitu: “Allah” sebagai suatu pernyataan metafisik yang tidak bermakna benar atau salah, yaitu:
“But in that case the term ‘god’ is a metaphysical term. And if ‘god’ is a metaphysical term, then it cannot be even probable that a god exists. For to say that ‘God exists” is to make a metaphysical utterance which cannot be either true or false. And by the same criterion, no sentence which purports to describe the nature of a transcendent god can possess any literal significance” (Ayer 1954, 115)
Demikian pula Ayer menolak pernyataan etika. Sebab pernyataan moral tidak menyatakan apa-apa. Untuk itu Ayer memasukkan dua teori, yaitu naturalisme dan utilitarisme (Ayer 1954, 104). Arti naturalisme oleh Ayer disebut dengan subjektivisme sebab etika yang bermaksud menjelaskan istilah-istilah moral secara deskriptif, misalnya kata “baik” berarti “disetujui orang.” Arti utilititarisme apabila dapat menghasilkan akibat baik sebesar-besarnya. Bagi Ayer, semua istilah moral tersebut hanyalah ungkapan perasaan (Ayer 1954, 105) [5]. Padahal pernyataan yang muncul dari perasaan tidak dapat diverifikasi secara empiris. Karena itu, pernyataan moral atau etika dianggap oleh Ayer sama sekali tidak bermakna.
Dari uraian sekilas tentang filsafat Ayer tersebut di atas dapat diduga segera menimbulkan reaksi dan kritik yang tajam khususnya dari kalangan teolog, atau mereka yang menggeluti bidang etika. Segi positifnya pemikiran Ayer tersebut berhasil membuka “mata” agar teologi dan etika tidak mudah terjebak dengan bahasa abstrak yang sifatnya spekulatif. Bahasa teologi dan etika tidak boleh mengabaikan tindakan untuk melakukan verifikasi empiris. Namun, apakah filsafat dan pemikiran Ayer cukup kokoh secara argumentatif? Menurut pendapat saya pemikiran Ayer memiliki kelemahan yang mendasar tentang apa yang dimaksud dengan “empiris.” Sebab Ayer memahami verifikasi empiris dengan menyangkal “intuisi,” dan hanya menerima hal-hal yang bersifat indrawi. Pertanyaan kritis saya terhadap Ayer adalah: bagaimanakah kita dapat mengetahui: “2 + 2 = 4” apabila hanya dilihat dari verifikasi indrawi belaka? Angka “2” + “2” = “4” hanyalah simbol. Tetapi simbol tersebut bermakna setelah diberi makna. Pemberian makna terhadap suatu simbol merupakan aktivitas mental dan intuisi manusia.
Berulangkali Ayer menyatakan bahwa suatu kebenaran apabila mampu melewati verifikasi yang dapat diobservasi secara indrawi. Pertanyaan yang saya ajukan adalah: “Bagaimana dengan pernyataan verifikasi itu sendiri? Misalnya pernyataan: “Hanya pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada pengamatan indrawi memiliki makna rasional” (Ayer 1954, 9). Pernyataan tentang prinsip verifikasi Ayer tersebut sebenarnya juga tidak dapat diobservasi oleh pengalaman empiris. Karena itu logikanya, pernyataan “prinsip verifikasi” Ayer juga tidak bermakna. Sebab indra manusia tidak dapat memeriksa tentang apa yanga dimaksud dengan prinsip verifikasi. Tepatnya prinsip verifikasi yang dikemukakan oleh Ayer hanya dapat dipahami secara intuitif. Dengan demikian konsep verifikasi Ayer pada prinsipnya bertentangan dengan dirinya sendiri. Ayer kurang kritis terhadap pernyataan dan pemikiran dirinya sendiri. Selain itu Ayer melupakan bahwa intuisi merupakan manifestasi dari “roh,” yaitu kepribadian manusia. Dalam hal ini keberadaan Allah yang dianggap tidak bermakna oleh Ayer hanya dapat dipahami melalui roh dalam interaksi manusia bersama dengan sesama dan alam di sekitarnya.
[1]. Istilah “verifikasi” berasal dari kata Latin verum yang artinya: benar, dan kata facere yang artinya: membuat.
[2] Dalam hal ini Ayer menyatakan: “In putting forward the principle of verification as a criterion of meaning, ……. I should, however, claim that there was at least one proper use of the word ‘meaning’ in which it would be incorrect to say that a statement was meaningful unless it satisfied the principle of verification…..”
[3] Istilah “verifikasi empiris” sebenarnya merupakan ciri pemikiran Positivisme Logis. Aliran filsafat Positivisme Logis berasal dari “Lingkaran Wina” (Vienna Circle). Jadi pemikiran filsafat Alfred Ayer dipengaruhi oleh filsafat Positivisme Logis. Pelopor “Lingkaran Wina” adalah: Gottlob Frege (1848-1925), G.E. Moore (1873-1958) dan Betrand Russel (1872-1970). Selain itu dapat juga disebut Ludwig Wittgenstein (1889-1951) yang menulis buku berjudul: Tractatus logico-philosophicus. Aliran filsafat Positivisme Logis juga sering disebut dengan Empirisme Logis karena empiris yang dapat diobservasi secara indrawi menjadi kriteria logis atau tidaknya suatu pernyataan.
[4] Istilah “metafisik” (meta dan fisika) menunjuk kepada sesuatu yang melampaui alam indrawi, sehingga tidak dapat diobservasi secara empiris. Contoh lain pernyataan seperti: “substansi,” “hakikat,” “roh,” “akal budi” merupakan pernyataan metafisik. Karena itu kata-kata tersebut bagi Alfred Ayer dan Positivisme Logis tidak bermakna.
[5] Dalam hal ini Ayer menyatakan: “And therefore we should, I think, conclude that the validity of ethical judgements is not determined by the felicific tendencies of actions, any more than by the nature of people’s feelings; but that it must be regarded as “absolute” or “ intrinsic,” and not empirically calculable.”
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono