Latest Article
Minggu Adven IV Tahun C 2015

Minggu Adven IV Tahun C 2015

Meneladani Kerendahan-hati Maria, Ibu Yesus (Mikh. 5:2-5; Luk. 1:46-55; Ibr. 10:5-10; Luk. 1:39-56)

Maria adalah nama umum di kalangan umat Israel. Namun nama Maria menjadi sangat khusus saat disebutkan dengan predikat “Ibu Yesus.” Dalam predikat “Ibu Yesus” telah mengandung makna yang begitu sarat dan dalam secara imaniah. Sebab “Yesus” dari Nazaret adalah Sang Mesias, Anak Allah (Mark. 1:1) yang di dalam Dia seluruh kepenuhan ke-Allah-an dinyatakan. Di Kolose 1:19 Rasul Paulus menyatakan: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia.” Bila di dalam diri Yesus, seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, berarti Yesus bukan sekadar manusia. Yesus adalah manusia, namun Ia juga adalah Sang Anak Allah yang kekal. Sebagai Anak Allah, Yesus adalah Sang Firman yang menciptakan segala sesuatu baik yang di sorga dan yang di bumi (Kol. 1:16). Dalam diri Yesus terkandung dua hakikat yang menyatu, yaitu hakikat Ilahi yang ada sejak kekal dan hakikat insani yang ada sejak Ia dikandung dalam rahim Maria dan lahir sebagai manusia.

Hakikat Yesus adalah Ilahi karena Ia sehakikat dengan Allah dan telah ada sejak kekal (tidak berawal dan tidak berakhir), dan hakikat Yesus adalah insani karena sebagai Sang Firman Ia dikandung dalam rahim Maria dan karena itu berada dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian melalui Maria, Allah memberi anugerah istimewa dan unik yaitu memperkenankan Sang Firman yang Tak Terbatas berada di dalam rahim Maria yang terbatas. Melalui Maria, Allah memperkenankan “Yang Terbatas mengandung yang Tak Terbatas.” Tahukah Saudara, siapakah yang menyatakan “Yang Terbatas mengandung yang Tak Terbatas?” Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Martin Luther, yaitu: finitum capax infiniti (yang terbatas mampu mengandung, merangkul yang tak terbatas). Bagi Martin Luther, Kristus tetap Sang Penyelamat yang dihadirkan lewat rahim Maria. Pernyataan Martin Luther tersebut bukan tanpa dasar, sebab dalam Lukas 1:43 Elisabet yang saat ini penuh dengan Roh Kudus berkata: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Elisabet menyebut Maria dengan panggilan “Ibu Tuhanku.” Makna kata “ibu Tuhan” (he meter tou kuriou) menunjuk kedudukan dan peran Maria yang istimewa dan unik untuk mengandung dan melahirkan Sang Firman Allah yang Tak Terbatas dalam keterbatasan manusiawinya. Dalam rahimnya Maria mengandung Yesus yang adalah Sang Firman yang ilahi dan insani sehingga ke-Allah-an dan kemanusiaan Yesus tidak terpisah dan tidak terbagi namun saling terkait dalam kesatuan.

Melalui rahimnya Maria mengandung Sang Firman Allah yang kekal. Ini berarti Maria bukan telah ada sejak kekal. Maria adalah mahluk dan ciptaan Allah. Kata “mengandung” menunjuk pada proses pembuahan dalam rahimnya selama sembilan bulan sehingga Firman Allah yang kekal menjadi janin manusia. Karena itu rahim Maria bukan sekadar tempat menampung keberadaan Sang Firman Allah yang menjadi manusia, tetapi juga sebagai media memproses keberadaan Sang Firman Allah yang menjadi janin. Darah, daging dan tulang dalam kemanusiaan Yesus berasal dari insani Maria sehingga Firman Allah yang kekal tersebut dapat hadir dalam ruang dan waktu yang terbatas. Dalam konteks ini keilahian Yesus jelas bukan berasal dari Maria. Keilahian Yesus terjadi dalam kesatuan dengan Allah dan Roh Kudus Kudus. Karena itu Maria membutuhkan keselamatan dan penebusan dari Yesus, Anaknya. Dengan demikian Maria dengan predikat sebagai “ibu Tuhan” bukanlah Sang Ilahi. Maria adalah seorang Hamba Allah yang merespons tawaran dan panggilan Allah untuk sebagai media inkarnasi Sang Firman Allah yang menjadi manusia. Melalui respons iman Maria yang berani berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38), maka terjadilah proses pembuahan dalam rahimnya. Maria yang adalah “ibu Tuhan” merupakan sosok seorang yang rendah-hati dan dengan imannya ia berani menanggung risiko yang terburuk sebagai seorang wanita, yaitu hukuman rajam. Dengan kehamilannya di luar nikah Maria bukan hanya akan dicemooh oleh keluarga dan masyarakat namun juga ia dapat dihukum rajam menurut ketentuan hukum Taurat (bdk. Ul. 22:22-23).

Namun apakah memang benar pernyataan teologis Martin Luther, yaitu: finitum capax infiniti (yang terbatas mampu mengandung, merangkul yang tak terbatas)? Bukankah yang seharusnya terjadi adalah “Yang Tidak Terbatas menampung Yang Terbatas” (infinitum capax finiti)? Dengan kalimat yang senada, Yohanes Calvin menyatakan: finitum non capax infiniti (yang terbatas tidak dapat menampung yang tidak terbatas). Tokoh Maria dalam teologi Calvinis tidak dipandang sebagai “ibu Tuhan” (Theotokos), tetapi sebagai tokoh biasa yang diperkenankan Allah untuk mengandung dan melahirkan bayi Yesus. Sebab peran Maria saat mengandung bayi Yesus hanyalah sebagai media pembuahan janin sehingga melalui darah dan dagingnya, Kristus Sang Firman Allah memiliki dimensi kemanusiaan-Nya. Karena itu gereja-gereja Calvinistis tidak memiliki suatu pengajaran dan ibadah yang secara khusus menghormati Maria.

Apabila pernyataan teologis Calvin benar bahwa finitum non capax infiniti (yang terbatas tidak dapat menampung yang tidak terbatas), berarti saat Yesus berinkarnasi menjadi manusia juga menjadi tidak mungkin. Sebab saat Sang Firman Allah menjadi manusia, kemanusiaan Yesus “menampung” keilahian-Nya yang Tak Terbatas. Pernyataan teologis Calvin tersebut yang menolak Maria sebagai finitum capax infiniti dapat menimbulkan persoalan teologis dalam misteri Trinitas Allah. Dari sudut rasional memang benar bahwa pada hakikatnya yang terbatas tidak mungkin mampu mengandung dan menampung yang Tak Terbatas. Tetapi anugerah dan rahmat Allah yang menjadikan “apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.” Tanpa anugerah Allah, mustahil Yang Terbatas dapat mengandung dan menampung Yang Tidak Terbatas. Karena itu penolakan Calvin yang menyatakan finitum non capax infiniti (yang terbatas tidak dapat menampung yang tidak terbatas) lebih dipengaruhi oleh rasionalisme yang saat itu mendominasi kehidupan gereja dan masyarakat. Dengan pendekatan rasionalisme, maka pengajaran tentang Allah Trinitas akan dianggap irasional, demikian pula Maria yang adalah perawan dapat mengandung dari Roh Kudus. Dalam ranah iman, misteri Allah Trinitas dan pembuahan Firman Allah menjadi janin dalam keperawanan Maria seharusnya ditempatkan dalam ranah transrasional, bukan irasional. Ranah transrasional menunjuk suatu realita dan dimensi yang melampaui batasan akal-budi dan pengertian manusia, namun faktual dan bukan ilusif.

Dengan sikap iman karena Elisabet dipenuhi oleh Roh Kudus, ia menyambut Maria dan berkata: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan” (Luk. 1:42-44). Teks Alkitab yang kita baca secara eksplisit menyatakan bahwa Elisabet menempatkan Maria sebagai “yang diberkati di antara semua perempuan dan diberkati buah rahimnya, serta kedudukan Maria sebagai ibu Tuhan” sehingga kedatangan Maria membawa efek kepada anak yang di dalam kandungan Elisabet (Yohanes Pembaptis) melonjak kegirangan. Dari sejarah pemikiran teologi gereja-gereja, kita mengetahui bahwa penghormatan kepada Maria bukan hanya dilakukan oleh gereja Roma Katolik namun juga gereja Lutheran, gereja Orthodoks dan gereja Anglikan. Dengan demikian sikap teologis Yohanes Calvin bukan satu-satu kebenaran teologis. Kita wajib menghormati pula kekayaan tradisi gereja-gereja lain yang menghormati dan menempatkan Maria dalam posisi yang sangat tinggi sebagai “ibu Tuhan.” Dalam konteks ini gereja-gereja tidak pernah menempatkan Maria sebagai istri Allah, atau yang ilahi. Makna “ibu Tuhan” merupakan gelar yang khusus kepada Maria yang dikaruniai Allah secara istimewa untuk mengandung Sang Firman Allah yang kekal dalam rahimnya sehingga menjadi manusia. Karena itu sikap teologis yang benar tidak menjadikan Maria sebagai perantara kita di hadapan Allah, karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim. 2:5). Penghormatan yang khusus kepada Maria seharusnya memampukan umat percaya untuk semakin menjadikan Kristus sebagai satu-satunya perantara dan Juruselamatnya.

Dalam praktik umat sering terjebak ke dalam dua kutub yang ekstrem. Sikap ekstrem yang pertama adalah penonjolan yang begitu tinggi kepada Maria sehingga bukan hanya menghormati Maria namun juga mempermuliakannya, sehingga peran Kristus selaku Juruselamat dan pengantara tergeser. Dalam konteks ini umat terus-menerus menaikkan doa kepada Maria dengan penuh keyakinan bahwa doa-doanya pasti akan dikabulkan Allah daripada melalui Kristus. Maria memang memiliki posisi yang tinggi dan agung karena Allah memilih dia sebagai wanita yang mengandung dan melahirkan Kristus, Sang Firman Allah. Namun pusat kehidupan umat percaya adalah Kristus, sebab melalui Dia Allah menyatakan seluruh kepenuhan-Nya, sehingga hanya di dalam Dia karya keselamatan dan penebusan Allah terjadi. Ekstrem yang kedua adalah pengabaian dan sikap yang tidak menghargai Maria, sehingga menaikkan doa kepada Maria dianggap sebagai suatu tindakan yang sesat sebab telah menyingkirkan Kristus selaku Pengantara dan Juruselamat. Dalam ekstrem yang kedua ini umat lebih dipengaruhi oleh rasionalisme, sehingga mengabaikan fakta bahwa Alkitab sendiri menyatakan Maria sebagai “ibu Tuhan.” Kelompok yang menolak peran Maria secara khusus dan unik seharusnya mampu memberi penjelasan yang komprehensif terhadap teks Lukas 1:43 tentang makna ucapan Elisabet bahwa Maria adalah ibu Tuhan. Jadi kedua sikap yang ekstrem tersebut bukanlah sikap iman Kristen. Sebab kedua sikap tersebut di atas gagal memahami pesan inti dan utuh dari kesaksian Alkitab tentang peran dan kedudukan Maria.

Dalam doa magnifikat yang dinaikkan oleh Maria, ia berkata: “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku” (Luk. 1:46-47). Maria tidak pernah mengklaim dirinya adalah penyelamat. Sebaliknya ia bergembira karena Allah berkenan menyatakan rahmat-Nya yang begitu besar dan menyadari bahwa dirinya hanya “hamba yang rendah.” Keutamaan Maria yang menonjol adalah karendahan hatinya selaku hamba Tuhan dan sikap imannya yang kokoh melampaui kelemahan insaninya. Maria dimuliakan gereja dan umat manusia bukan karena ia memuliakan dirinya sendiri tetapi hidupnya yang secara penuh mengandalkan rahmat Allah. Karena itu tidak mengherankan apabila Allah hanya memilih Maria, dan bukan para wanita sepanjang zaman. Maria berkata: “karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus. Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia” (Luk. 1:49-50). Melalui Maria, Allah menyatakan perbuatan-perbuatan yang besar yaitu melalui kelahiran Kristus Sang Firman Allah menjadi manusia sehingga melalui Kristus, umat manusia memeroleh pengharapan dan keselamatan dari Allah.

Minggu Adven IV merupakan masa Adven yang terakhir sekaligus sebagai persiapan memasuki peristiwa Natal, yaitu perayaan gerejawi atas peristiwa inkarnasi Firman Allah menjadi manusia. Karena itu Minggu Adven IV sebagai transisi bagi umat untuk memahami misteri Allah Yang Tak Terbatas yang bersedia menjadi Manusia Yang Terbatas. Sebab di Minggu Adven IV umat diajak memahami bahwa rahmat Allah mampu mengubah yang mustahil menjadi suatu kenyataan. Maria yang terbatas diperkenankan Allah untuk mengandung dan menampung Yang Tak Terbatas. Walaupun demikian Maria tidak memperlihatkan sikap angkuh dan superior. Dia tetap rendah-hati di hadapan Allah dan sesama. Kesaksian Alkitab tentang Maria yang adalah “ibu Tuhan dan hamba Tuhan” terintegrasi menjadi sosok pribadi yang terberkati sepanjang zaman, sehingga sangat tepat Maria diteladani karena kualitas karakter dan spiritualitas serta imannya. Yesus Kristus adalah manusia sempurna tanpa dosa sekaligus ilahi yang sehakikat dengan Allah. Namun Maria adalah manusia yang sempurna tanpa dosa, sebab jikalau ia dalam keadaan berdosa bagaimanakah ia sanggup mengandung Yesus yang tanpa dosa. Sosok manusiawi yang terdekat dengan manusia adalah Maria, sehingga melalui keteladanan dan iman Maria kita dimampukan untuk mengikuti panggilan Kristus.

Sikap Maria yang rendah-hati dan beriman berbeda secara kontras dengan sikap Hawa. Mereka berdua adalah para wanita yang menurunkan keturunan dalam kehidupan umat manusia, namun keduanya berbeda dalam kualitas karakter dan sikap imannya. Tokoh Hawa membuka dialog dengan ular dan tertarik untuk makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Dia tergoda untuk makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat sebab tertarik dengan rayuan ular yang berkata: “tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:5). Hawa tidak taat akan perintah Allah sebab tertarik untuk menjadi seperti Allah. Namun tidaklah demikian sikap Maria. Ia tidak tertarik atau ingin menjadi seperti Allah. Maria terdorong untuk melaksanakan kehendak Allah yang terjadi dalam dirinya, sehingga ia berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Maria hanya tertarik dan terpanggil menjadi seorang hamba Tuhan sehingga apapun yang dikehendaki Allah ia bersedia memenuhi walau membahayakan dirinya. Ia taat kepada Allah tanpa syarat.

Jika demikian, sejauh manakah kita telah meneladan Maria dengan taat kepada Allah tanpa syarat? Ketaatan kepada Allah yang tanpa syarat hanya terwujud bilamana kehidupan kita dilandasi oleh spiritualitas kerendahan hati, yaitu memahami diri secara jernih dari sudut pandangan Allah bahwa kita adalah umat yang berdosa dan bersandar kepada kemurahan dan belas-kasihan-Nya semata. Dengan demikian, kita tidak memiliki sedikitpun alasan untuk bermegah-diri dengan segala perbuatan baik yang telah kita lakukan. Sebab dasar dan tujuan hidup kita yang utama adalah: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” Magnifikat Maria seharusnya menjadi doa dan sikap hidup setiap umat percaya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono