Spiritualitas memberi persembahan/sedekah dalam Injil Matius 6 (Mat. 6:1-4) ditempatkan dalam satu-kesatuan dengan spiritualitas berdoa (Mat. 6:5-8) dan berpuasa (Mat. 6:16-18). Spiritualitas berdoa dan berpuasa merupakan ekspresi iman umat yang telah mengalami perjumpaan dengan Allah, karena itu spiritualitas memberi persembahan merupakan respons iman umat yang telah mengalami perjumpaan dengan Allah. Kata kunci yang utama dalam konteks ini adalah pengalaman iman berjumpa dengan Allah sehingga tindakan umat yang berdoa, berpuasa dan memberi persembahan menjadi tindakan spiritualitas imaniah yang mempermuliakan Allah.
Peristiwa perjumpaan dengan Allah hanya mungkin terjadi karena Allah berkenan menyatakan (mewahyukan) diri-Nya kepada manusia. Karena itu umat akan mampu berdoa, berpuasa dan memberi persembahan jikalau mereka terlebih dahulu mengalami penyataan Allah dalam kehidupannya secara pribadi. Peristiwa penyataan Allah dan respons umat dinyatakan melalui ibadah. Kata “ibadah” berasal dari kata latreia (kata Yunani) yang sinonim dengan makna avodah/abodah (kata Ibrani) yang berarti: “pengabdian” (persembahan diri). Dengan demikian melalui ibadah, umat mengabdi dan mempersembahkan diri dengan merespons karya penyataan Allah melalui spiritualitas doa, puasa dan memberi persembahan. Di Matius 6:1, Yesus menyatakan setiap umat yang mempersembahkan dirinya dengan merespons karya penyataan Allah melalui spiritualitas memberi persembahan/sedekah sebagai orang-orang yang melakukan dikaiosune yang artinya: kebenaran dan keadilan. Teks Matius 6:1 dari LAI menerjemahkan kata dikaiosune dengan “kewajiban agama” seharusnya: “kebenaran dan keadilan.” Jadi umat akan menerima anugerah kebenaran dan keadilan Allah apabila mereka merespons karya penyataan Allah dengan sikap iman melalui spiritualitas doa, puasa dan memberi persembahan.
Dalam tulisan ini secara khusus kita membahas apa makna dan bagaimanakah spiritualitas memberi persembahan kepada Tuhan serta memberi sedekah kepada sesama.
Spiritualitas memberi persembahan kepada Tuhan dan memberi sedekah kepada sesama merupakan dua hal yang saling tidak terpisahkan, namun maknanya tidak boleh ditukar. Sebagai umat kita tidak memberi sedekah kepada Tuhan, dan kita tidak memberi persembahan kepada sesama. Sebab Tuhan tidak membutuhkan sedekah atau pemberian kita. Allah adalah sumber segala berkat, rezeki dan semua karunia. Dia tidak membutuhkan uang atau segala hal yang kita punya. Allah adalah pemilik segala sesuatu. Sebaliknya Allah yang dengan rahmat-Nya senantiasa memberi dan mengaruniakan segala berkat dan rezeki kepada setiap umat-Nya. Persembahan yang kita lakukan adalah persembahan syukur atas seluruh karunia yang telah dianugerahkan Allah dalam hidup kita sehari-hari. Karena itu persembahan yang kita berikan hanya kepada Allah dan tidak kepada sesama, sebab persembahan adalah penyerahan diri yang total dan kudus kepada Sang Pencipta dan Pemelihara semesta alam. Makna spiritualitas memberi persembahan lebih luas maknanya daripada memberi sedekah. Walaupun demikian tindakan memberi persembahan kepada Tuhan akan menjadi tidak berarti apabila tidak diwujudkan oleh umat dengan memberi sedekah kepada sesama. Sebaliknya juga makna memberi sedekah tidak memiliki arti yang imaniah apabila tidak dilandasi oleh spiritualitas memberi persembahan kepada Tuhan. Surat 1 Yohanes 3:17 berkata: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”
Persembahan kepada Tuhan yang paling kuna dinyatakan dalam dua bentuk persembahan kepada Tuhan, yaitu persembahan kurban dan persembahan persepuluhan, yaitu:
- Persembahan kurban di era kehidupan Manusia pertama, yaitu melalui persembahan Kain dan Habel dalam kesaksian Kejadian 4. Di luar kehidupan dan sejarah umat Israel kita juga mengenal persembahan dalam bentuk kurban. Di Bilangan 23:1, 14, dan 29 kita menjumpai persembahan kurban yang dilakukan oleh Bileam dan Raja Balak di atas tujuh mezbah. Di Kitab 1 Raja-raja18:26 para imam Baal dari Tirus mempersembahkan kurban berupa lembu untuk memanggil dewa Baal. Di kitab 2 Raja-raja 3:27 mengisahkan bagaimana raja Moab yang mempersembahkan anaknya sendiri, yaitu: “Kemudian ia mengambil anaknya yang sulung yang akan menjadi raja menggantikan dia, lalu mempersembahkannya sebagai korban bakaran di atas pagar tembok.” Persembahan kurban di kalangan orang-orang di luar umat Israel dilakukan untuk memengaruhi para dewa dengan tujuan agar para dewa bersedia memenuhi harapan mereka. Makna persembahan tersebut dihayati sebagai upaya manusia untuk berkenan dan memengaruhi Allah. Namun beda dengan konteks persembahan Kain dan Habel. Kain dan Habel memberi persembahan korban kepada Allah dari hasil pekerjaan mereka sebagai petani dan peternak. Persembahan mereka tidak disebutkan untuk memengaruhi Allah sebab dilakukan sesuai profesi dan hasil pekerjaan mereka masing-masing. Persembahan korban Kain dan Habel merupakan persembahan syukur karena Allah yang telah memelihara dan mengaruniakan berkat. Karena itu motif spiritualitas memberi persembahan yang utama dalam iman Kristen adalah persembahan syukur kepada Allah, dan bukan persembahan yang bertujuan memengaruhi dan mengendalikan Allah sehingga Dia mau memenuhi harapan atau keinginan diri kita. Allah tidak dapat dipengaruhi oleh apapun yang kita persembahkan.
- Persembahan Persepuluhan dapat kita jumpai di Kejadian 14:17-20, yaitu persembahan persepuluhan yang dilakukan Abraham kepada Melkisedek, raja Salem. Abraham memberikan persembahan persepuluhan kepada Melkisedek setelah ia mengalahkan Kedorlaomer. Kejadian 14:18 menjelaskan identitas Melkisedek sebagai “raja Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi.” Menurut Surat Ibrani, Melkisedek merupakan prototype dari Yesus Kristus, yaitu: “Sebab tentang Dia diberi kesaksian: Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek” (Ibr. 7:17). Karena itu umat Kristen dapat memberi “persembahan persepuluhan” kepada Tuhan bilamana dilandasi oleh dua sikap rohani, yaitu:
- Persembahan persepuluhan merupakan ungkapan iman umat dalam pengakuan bahwa segala berkat dan rezeki berasal dari Allah. Kesaksian Imamat 27:30 menyatakan: “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN.”
- Persembahan persepuluhan merupakan ucapan syukur umat atas keselamatan yang dikaruniakan Allah di dalam penebusan Kristus. Melalui karya penebusan-Nya Kristus menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek.
Namun memaknai spiritualitas memberi persembahan persepuluhan dari dua aspek tersebut di atas bukan dimaksudkan umat memberi persembahan yang secara harafiah bernilai 10%. Makna “persembahan persepuluhan” tidak boleh dimaknai secara legalistis. Sebab ketentuan dan makna “sepersepuluh” lebih tepat merupakan simbol persembahan yang secara rohaniah untuk menyatakan sikap iman umat yang taat dan mengakui Tuhan sebagai pemilik segala sesuatu. Karena itu dalam teologia Perjanjian Baru tidak lagi menggunakan persembahan kurban dan persembahan persepuluhan, tetapi “mempersembahkan tubuh” (Persembahan Diri). Di Roma 12:1, Rasul Paulus berkata: “Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Makna “mempersembahkan tubuh” (persembahan diri) dalam konteks ini telah merangkum spiritualitas persembahan kurban dan persembahan persepuluhan sebab “mempersembahkan tubuh” didasarkan pada tiga dimensi spiritualitas, yaitu: “persembahan yang hidup,” “yang kudus” dan “yang berkenan kepada Allah.” Ketiga aspek spiritualitas memberi persembahan yaitu: “yang hidup,” “yang kudus,” dan “yang berkenan kepada Allah” tersebut merupakan manifestasi dari ibadah yang sejati.
Persembahan tubuh (persembahan diri) menjadi ibadah yang sejati apabila persembahan umat tersebut merupakan:
- Persembahan yang hidup adalah persembahan yang dilandasi oleh penebusan Kristus yang telah wafat dan bangkit, sehingga kehidupan kita seutuhnya telah menjadi milik Allah untuk mengalirkan daya kehidupan Kristus kepada orang-orang di sekitar kita. Implementasi dari makna persembahan yang hidup dinyatakan dalam kerelaan umat mendedikasikan hidupnya secara menyeluruh untuk menyatakan karya penebusan Kristus yang memulihkan, menyembuhkan dan memberi harapan.
- Kudus adalah persembahan diri yang tanpa cacat dan cela sehingga umat menjaga kemurnian dan kredibelitas (dapat dipercaya). Implementasi dari persembahan yang kudus dinyatakan dalam integritas dan karakter umat yang terus-menerus dibarui dalam anugerah Allah.
- Berkenan di hadapan Allah adalah sikap Allah yang menghargai kesungguhan dan ketulusan kita untuk mengasihi Dia serta melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya.
Untuk mewujudkan praktik ibadah yang sejati dengan ketiga aspek spiritualitas yaitu persembahan yang hidup, kudus dan berkenan di hadapan Allah setiap umat dipanggil untuk tidak selaras (menyesuaikan diri) dengan pola dan nilai-nilai duniawi. Umumnya setiap orang akan cenderung selaras dengan pola dan nilai-nilai duniawi karena kita ingin disukai dan takut mengalami penolakan walau kita mengetahui bahwa pola dan nilai-nilai duniawi merusak kualitas kehidupan. Sebaliknya umat dipanggil untuk bersikap kritis dan menyaring setiap pola dan nilai-nilai duniawi. Nilai-nilai duniawi tidak mengenal persembahan yang hidup tetapi persembahan yang sifatnya legalitas dan harafiah. Nilai-nilai duniawi lebih menyukai berbagai hal yang cemar dan najis mengikuti hawa-nafsu atau kenikmatan sesaat. Demikian pula nilai-nilai duniawi mengutamakan bagaimana setiap orang lebih berkenan di hadapan manusia daripada di hadapan Allah.
Di tengah-tengah kecenderungan manusia untuk menyelaraskan diri dengan pola dan nilai-nilai duniawi, Rasul Paulus memanggil setiap umat membuka diri diperbarui sehingga mengalami proses pembaruan diri. Sebab spiritualitas memberi persembahan yang bermakna di hadapan Allah bilamana umat senantiasa terbuka untuk mengalami proses pembaruan diri. Dengan bersandar kepada anugerah dan kemurahan Allah, kita berlatih untuk mengalami proses pembaruan diri sehingga memampukan kita untuk menjadikan kehidupan kita sebagai persembahan yang semakin hari semakin hidup, kudus dan berkenan di hadapan Tuhan seperti proses metamorfosis dari telur-ulat-kepompong-kupu-kupu. Sejauh mana kita berproses dalam metamorfosis, sejauh itulah manifestasi hidup dan persembahan kita:
- Telur: tahap menunggu proses pembuahan dan/atau pengeraman
- Ulat: tahap mencari makan sebanyak-banyaknya dan berganti kulit.
- Kepompong: tahap istirahat namun di dalamnya terjadi proses pembentukan serangga.
- Kupu-kupu: tahap perubahan bentuk secara menyeluruh dan terbang bebas menghadirkan keindahan serta bertelur menghadirkan kehidupan yang lebih luas.
Spiritualitas memberi persembahan dalam metamorfosis kupu-kupu adalah spiritualitas iman yang mengejawantahkan “mempersembahkan tubuh” kepada Tuhan dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Persembahan diri merupakan persembahan totalitas keberadaan umat sesuai dengan karunia, talenta, minat, pemikiran dan karya yang telah dianugerahkan Allah kepada kita.
2. Persembahan waktu merupakan persembahan pengelolaan waktu sehingga tersedia suatu jadwal yang khusus untuk melaksanakan misi dan karya keselamatan Allah sesuai dengan panggilan hidup kita.
3. Persembahan uang merupakan persembahan materi yang disisihkan secara khusus untuk mendukung karya misi Allah di tengah-tengah dunia.
Makna persembahan tubuh adalah persembahan yang hidup, kudus dan berkenan di hadapan Allah. Karena itu yang utama adalah bagaimanakah kita memuliakan Allah melalui persembahan diri, persembahan waktu dan persembahan uang yang tidak mengharapkan pujian dari orang-orang di sekitar kita. Di Matius 6:4 Yesus berkata: “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Namun saat kita bereaksi dengan kesal/marah karena segala yang kita berikan kepada Tuhan tidak mendapat pujian atau penghargaan, sesungguhnya kita telah gagal mempraktikkan persembahan diri dengan spiritualitas ketersembunyian. Di balik kemarahan atau reaksi kita tersebut mengungkapkan motif kita yang sesungguhnya, yaitu haus akan pujian dan penghargaan dari manusia. Spiritualitas memberi persembahan dinyatakan dalam spiritualitas ketersembunyian yang dimanifestasikan umat dalam persembahan diri, persembahan waktu, dan persembahan uang.
Dalam spiritualitas ketersembunyian di hadapan manusia namun terbuka di hadapan Allah kita membutuhkan pembaruan diri oleh karya Roh Kudus, yaitu pertobatan hati, pikiran dan uang kita. Martin Luther berkata: “There are three conversions necessary: the conversion of the heart, mind, and the purse” (Kita membutuhkan tiga pertobatan, yaitu pertobatan hati, pikiran dan uang di dompet kita). Bagaimanakah sikap Saudara?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono